Oleh: Nikolai Gogol
Petro mematung, tidak bergerak sedikitpun, ketika anak tak berdosa itu mengutarakan kata-kata Pidroka padanya. “Dan aku adalah pria yang tak beruntung yang berpikir untuk pergi ke Krimea dan Turki, mendapatkan emas dan kembali padamu, kekasihku! Tapi mungkin itu takkan jadi. Mata Iblis sudah melihat kita. Aku juga ingin menikah, sayangku. Aku juga. Tapi takkan ada rohaniawan di pernikahan. Gagak hitam akan berkaok dan bukan Paus yang mendekatiku; ladang akan menjadi tempat tinggalku; langit biru yang hitam akan menjadi atapku; burung elang akan mencungkil mata cokelatku; hujan akan mencuci tulang orang-orang Kosak, dan angin puyuh akan mengeringkannya. Tapi, siapalah aku? Dari siapa, pada siapa aku harus berkeluh kesah? Sudah jelas ini kehendak Tuhan. Jika aku harus hilang, maka hilanglah!” dan ia pun langsung pergi ke kedai minuman.
Bibi kakekku bagaimanapun terkejut melihat Petrus ke kedai minuman di saat orang baik pergi ke keramaian pagi. Ia memperhatikannya bagai tak percaya di saat Petrus memesan satu gelas besar brendi. Gelas yang cukup besar. Tapi kawan yang malang itu sia-sia saja menghilangkan kesengsaraannya. Vodka itu menyengat lidahnya bagai jelatang, dan terasa tidak enak bahkan pahit. Ia melempar gelas besarnya ke tanah. “Sudah cukup kau menderita, orang Kosak!” gerutu seseorang dengan suara bas di belakangnya. Ia melirik –Basavriuk! Wah, kebetulan!” Rambutnya seperti sikat, matanya seperti banteng. “Aku tahu kemelaratanmu. Ini!” Ia pun mengeluarkan dompet kulit yang tergantung di korsetnya, dan tersenyum miris. Petro gemetar. “Ha ha ha! Berkilau sekali!” menggeram dan menggoyangkan koin di tangannya. “Ha ha ha. Dan, beremerincing pula! Aku hanya meminta satu dari setumpuk koin itu.” –“Ini adalah Iblis,” serunya. “Berikan sini! Aku siap untuk apa pun!” tangannya menyerang. “Lihatlah Petro, kau baru saja tiba pada waktunya. Besok adalah hari Pembaptisan di St. John. Hanya pada malam ini saja pohon pakis berbunga. Tidak bisa ditunda. Aku akan menunggumu tengah malam di lembah Bear.”
Saya tidak percaya jika pengecut itu menunggu ketika perempuan tersebut membawa jagung sebanyak kegelisaan Petrus menunggu malam. Dan bahkan kenyataannya, ia memperhatikan apakah bayang-bayang pohon memanjang atau tidak, jika matahari tidak berubah merah pada waktunya. Makin diperhatikan, makin tak sabarlah ia. Mau sampai berapa lama ini! Jelas, hari Tuhan sudah hilang ujungnya di suatu tempat. Dan sekarang matahari juga. Langit hanya merah di satu sisi, dan sekarang sudah mulai gelap. Semakin tambah dingin saja di sini. Semakin hitam dan hitam saja, dan akhirnya benar-benar gelap. Akhirnya! Dengan hati yang hampir meledak di dada, ia pun keluar dari peraduannya, dan dengan hati-hati turun melalui rimbunnya hutan kayu bernama lembah Bear. Basavriuk sudah menunggu di sana. Sudah sangat gelap saat itu, hingga kau tidak bisa melihat apapun dalam jarak tiga kaki. Sambil bergandengan mereka menembus rawa dangkal, berpegangan pada semak lebat berduri, dan tersandung-sandung di setiap langkahnya. Akhirnya mereka sampai di sebuah tempat terbuka. Petro memandang dirinya sendiri. Bagaimanapun, ia tak pernah punya kesempatan datang ke tempat ini sebelumnya. Di sini Basavriuk berhenti.
“Kau lihat, di depanmu berdiri di tiga bukit kecil? Di sana ada begitu banyak macam bunga. Dan semoga kau punya kekuatan untuk tidak memetiknya meskipun satu saja. Tetapi segera setelah pohon pakis itu berbunga, ambillah cepat, tidak pelu melihat kanan-kiri dan apa pun yang bakal tampak di belakangnya.”
Petro ingin bertanya dimanakah bunga itu berada. Tapi, lihatlah, dirinya dusah tidak lagi ada di sana. Ia mendekati tiga bukit kecil. Dia tak melihat apa pun. Hanya ada rumputan gelap di sekitar yang melumpuhkan semua dengan kesuburannya. Tapi cahaya menyala, dan di depannya berdiri segala macam bunga, bagus-bagus semua. Ada daun pakis yang sederhana di sana. Pertro meragukan perasaannya. Ia berdiri penuh pertimbangan dengan kedua tangan menjutai di kedua sisi tubuhnya.
“Keajaiban macam apa ini? Orang bisa melihat rumput liar sepuluh kali dalam sehari. Kekaguman apa yang ada padanya? Apa mungkin wajah Iblis menertawaiku?”
Perhatikan! Kuncup bunga kecil merah tua yang bergerak seolah hidup. Itulah keajaiban, dalam kebenaran. Bunga itu bergerak, dan tumbuh besar dan besar, dan bercahaya seperti batu bara yang terbakar. Bintang kecil itu menyala, sesuatu mekar dengan lembut, dan bunga itu pun terbuka seperti lidah api, menyinari yang lainnya. “Inilah waktunya,” pikir Petro seraya mengulurkan tangannya. Ia melihat ratusan tangan berbulu menggapainya dari belakang dan bunga itu. Ada yang bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, di belakang. Matanya memicing, tangannya merenggut tangkai, dan bunga sudah berada di tangannya sekarang. Semuanya tak bergerak. Di atas tunggul duduk Basavriuk dalam balutan berwarna biru seperti mayat. Ia tidak bergerak barang sedikit pun. Matanya dengan kokoh menatap sesuatu yang hanya tampak baginya. Mulutnya setengah terbuka dan kelu. Hanya itu, tidak ada yang bergerak. Aih! Sangat mengerikan!
Tapi kemudian sebuah siulan terdengar, membuat hati Petro bertambah dingin bersamanya. Dan baginya, seakan-akan rumput berisik padanya, bunga-bunga mulai berbicara sendiri dalam suaranya yang lembut, seperti lonceng perak kecil. Pohon bergerisik dengan gerakannya. W ajah Basavriuk tiba-tiba sangat hidup, dan matanya berkilau. “Penyihir baru saja kembali,” gumamnya. “Perhatikan, Petro. Kecantikan akan berdiri di sampingmu sebentar lagi. Lakukanlah apa pun yang ia mau. Jika tidak, kau akan hilang selamanya.” Kemudian ia memisahkan semak duri dengan batang kayu –dan di depannya berdiri seekor bangau kecil—sambil ketakutan, seperti yang mereka katakan. Basavriuk menghantamnya dengan tinjunya, dan dinding pun bergetar.
Seekor anjing besar berlari mendekati mereka, dan dengan anggur, mengubah wujudnya menjadi seekor kucing, terbang menuju matanya. “Jangan marah, jangan marah, jangan marah wahai Setan tua!” kata Basavriuk, menggunakan kata-kata itu seakan-akan bisa membuat seorang baik mendengarkannya. Perhatikan, bukannya kucing, tapi seorang wanita tua dengan kerutan di wajahnya seperti apel yang dibakar. Semuanya membungkuk. Hidung dan pipinya seperti sepasang kue kacang. “Cantik tiada tara!” Kata Petro; dan udara dingin menyentuh punggungnya. Penyihir merobek bunga dari tangannya, membungkuk dan komat-kamit dalam waktu yang lama, lantas menaburkannya dengan semacam air. Cahaya terbang dari mulutnya, buih muncul dari bibirnya.
“Lemparkan,” katanya, memberikannya kembali pada Petro.
Petro melemparkannya, dan betapa ajaibnya. Bunga itu tidak jatuh ke tanah, tapi untuk beberapa waktu berkelap-kelip seperti bola api dalam kegelapan, dan berenang di udara seperti perahu. Pada akhirnya bunga itu mulai merenda dan merendah, dan jatuh, dan bintang kecil itu tak lebih besar dari benih bunga apiun, hampir-hampir tak terlihat. “Ini!” teriak wanita tua itu dengan suara parau. Dan Basavriuk, sambil memberikanny sekop, berkata: “ Gali di sini, Petro. Kau akan melihat lebih banyak emas dari apa yang kau dan Korzh bayangkan.”
Petro meludahi tangannya, meraih sekop, menjejekan kaki dan menggali tanah, dua kali, tiga tiga, dan empat kali…. Ada sesuatu yang keras yang membuat sekop berdenting dan tidak bisa menggali lebih dalam lagi. Lalu matanya mulai mengintip peti besi kecil. Ia mencoba mengambilnya. Tapi dadanya mulai tenggelam ke tanah, lebih dalam, lebih jauh dan masih jauh. Di belakangnya terdengar suara tawa yang lebih mirip desisan ular. “Tidak, kau tidak akan melihat emas sebelum kau mendapatkan darah manusia,” kata penyihir, dan membawakan padanya enam orang anak berselimutkan kain putih, yang menunjukkan tanda bahwa ia telah memenggal lehernya. Petro terkejut. Bukan hal sembarangan, bagaimanapun, untuk memenggal kepala seseorang terlebih anak tidak berdosa untuk alasan apa pun! Dalam kegusaran ia merobek kain yang membungkus kepala, dan perhatikan! Di depannya berdiri Ivas. Anak kecil itu menyilangkan tangan kecilnya, dan menggantungkan kepalanya … Petro menyambar penyihir itu dengan pisau seperti orang gila, dan bermaksud untuk membaringkan kepala di tangannya….
“Apa yang kau janjikan untuk perempuan itu?”… bentak Basavriuk tepat di belakang bagai suara tembakan. Penyihir menghentakkan kakinya: lidah api berwarna biru menyala di tanah menerangi ke dalamnya dan seolah-olah membentuk Kristal. Dan semua yang ada di tanah menjadi tampak, seperti apa yang ada di telapak tangan. Koin emas, batu berharga di peti dan belanga, bertumpuk di bawah kaki. Matanya menyala,… pikirannya merunyam…. Ia merenggut pisau seperti orang gila, dan darah tak berdosa menyembur ke wajahnya…. Tawa kejam menggema dari segala arah. Kawanan monster jelmaan terbang melewatinya… Penyihir itu mengencangkan pegangannya pada batang pohon, seperti srigala meminum darahnya. … Semuanya berputar-putar di kepalanya. Seraya mengumpulkan kekuatan, ia pun berlari. Semua berbuah merah di depannya. Pohon-pohon tampak bergelimang darah, dan terbakar serta mengerang. Langit berpijar dan makin memijar… membakar, seperti cahaya, berkerlepian di matanya. Dengan sangat lelah, ia masuk ke dalam gubuknya, dan jatuh ke tanah seperti batang kayu. Semacam kematian mengalahannya dalam tidur.
Dua hari satu malam Perto tidur, tanpa sedikit pun terbangun. Ketika bangun di hari ketiga, dia menatap ke sepenjuru gubuknya. Tapi sia-sia aja ia mengenalinya. Ingatannya seperti saku orang kikir, yang darinya kau tak bisa membujuknya sekeping kopek pun. Menggeliat, ia dengar dentuman di kakinya. Ia melihat, … dua karung emas. Kemudian, bagai mimpi, ia ingat bahwa ia telah mencari harta karun, yang telah membuatnya ketakutan di hutan… Tapi dengan harga berapa dan bagaimana, ia tidak bisa mengertikannya.
Korzh melihat karung, —dan coba menenangkan diri. “Si Petrus itu, jarang terdengar kabarnya! Ya, dan bukankah aku tidak menyayanginya? Apakah ia bukan anakku?” Dan ia terus membayangkan sampai jatuh air matanya. Pidroka mulai berkata padanya bagaimana beberapa orang gipsi yang melintas telah menculik Ivas. Tapi Petro bahkan tak bisa merebutnya kembali—dimana pengaruh Iblis menggelapkan pikirannya! Tidak ada waktu untuk menunda. Orang-orang Polandia telah bubar, dan pesta pernikahaan telah disiapkan; roti gulung dibakar, handuk dan sapu tangan disulam; anak-anak muda duduk di bangku; roti pernikahan di potong; kecapi, simbal, suling, kobzi dibunyikan, dan kesenangan menyeruak….
Pernikahan di masa lalu tidaklah seperti pernikahan di masa kini. Bibi kakek biasa bercerita tentang bagaimana mempelai wanita di pesta berpakaian kuning, biru dan berpita biru, yang di kepalnya diikat oleh jalinan emas; berhias sulaman di keliman dengan sutra merah, dan bertabur bunga perak kecil; dengan sepatu kulit, dengan hak besi—menari gorlitza seperti burung merak berenang, dan liar seperti angin puyuh; tentang bagaimana anak muda mengenakan topi berbentuk perahu di kepalnya, bermahkotakan kain brokat emas, dengan sedikit belahan di tengkuk menyembulkan sejumput rambutnya, dan dua tanduk dari kulit hitam terbaik di depan dan di belakang; dalam balutan kuntush dengan sutra biru yang indah bertepian merah seraya melangkah satu dami satu, tangan mereka berkacak pinggang dengan kuat yang terikat sabuk berhiaskan perak, seruling di mulutnya, sedang yang lain ngobrol ngalor-ngidul. Bahkan Korzh tidak bisa menguasai dirinya ketika ia memandang anak-anak muda untuk kembali periang di usia tua. Kecapi di tangan, secara berurutan dipompa dengan serulingnya dan bernyanyi, segelas brendi di atas kepalanya, orang berjenggot abu-abu mulai menari tarian nasional di tengah-tengah keramaian di antara para periang yang bersuka cita.
Hal yang tidak ditemukan dalam keadaan gembira! Mereka bahkan mulai menyembunyikan wajahnya. Mereka seperti bukan manusia. Mereka tidak bisa dibedakan dengan penyamaran yang kita miliki di pernikahan sekarang ini. Apa yang mereka lakukan sekarang? Oh, meniru gipsi dan para pedagang Moskow. Tidak! Seseorang akan berpakaian seperti seorang Yahudi, sebagian lagi seperti Iblis. Mereka akan memulainya dengan saling cium, dan berakhir dengan saling menggenggam rambut… Tuhan beserta mereka! Kau tertawa hingga akhirnya kau berada di sampingnya. Mereka berpakaian dengan pakaian Turki dan Tartar. Semuanya berkilau seperti lautan api,… dan kemudian mereka mulai bercanda dan berkelakar.… Begitulah, lantas pergi bersama orang-orang suci! Hal yang menghibur terjadi pada Bibi Kakek saya, yang kebetulan berada di pesta ini. Dia berdandan dengan jubah Tartar yang besar, dan gelas menjadi temannya. Iblis menghasut seorang pria untuk menyemburkan vodka padanya dari arah belakang. Seorang lain, pada saat yang sama, menyambar dan menyentuh dirinya; … api menyala di tubuhnya; bibi yang malang, dalam terror, menghempaskan jubahnya di depan mereka.... Teriakan, tawaan, olok-olok muncul seperti sebuah pasar malam. Singkat kata, orang-orang tua tidak bisa menahan diri di pernikahan yang gembira itu.
Pidroka dan Petrus mulai hidup bagai pria dan perempuan. Ada banyak hal, dan hal itu adalah ketampanan… Tapi orang-orang jujur menggelengkan kepalanya ketika mereka melihat cara keduanya hidup. “Demi Iblis, tidak ada kebaikan yang bakal datang,” mereka berkata. “Kecuali dari kaum ortodok penggoda, dari mana asal kekayaan itu? Dari mana ia bisa mendapatkan emas sebanyak itu? Oh, pada hari dimana dia kaya, apakah Basavriuk hilang seperti udara?” Katakan, jika kau bisa, bahwa orang-orang membayangkan sesuatu! Kenyataannya, satu bulan belum berlalu, dan tidak ada satu orang pun yang mengenali Petrus. Apa yang sudah terjadi padanya? Hanya Tuhan yang tahu. Ia duduk di satu tempat, dan tidak berkata satu patah kata pada siapa pun. Ia terus menerus berpikir, dan tampak tengah mencoba mengingat sesuatu. Ketika Pidroka mulai berbicara padanya, ia seakan lupa dengan dirinya sendiri sambil terus melanjutkan percakapan dan bahkan bertambah riang. Tapi jika ia dengan ceroboh melihat sekilas pada karung lantas berkata: “Berhenti, berhenti! Saya lupa,” maka ia pun kembali terjun dalam angan-angannya, dan lagi, berusaha mengingat sesuatu. Adakalanya ketika ia duduk lama, tampak baginya sesuatu itu teringat lagi dalam benaknya, … tapi lagi-lagi semuanya memudar. Jika ia tampak duduk di kedai minuman, mereka membawakannya vodka dan vodka itu menyengatnya… tapi di balik itu semuanya terselebung dalam kegelapan di depannya. Keringat jatuh di wajahnya, dan dia duduk kelelahan di tempat yang sama.
Apa yang telah Pidroka lakukan? Ia meminta pendapat ahli sihir, dan mereka mencari sumber ketakutan yang menimbulkan sakit perut, tapi semua tak ada gunanya. Dan musim panas pun berlalu. Banyak orang Kosak panen dan menyimpan hasilnya di lumbung. Banyak orang Kosak, yang lebih giat ketimbang yang lainnya, telah mempersiapkan sebuah perjalanan. Kawanan bebek sudah memenuhi rawa, tapi tak ada sedikitpun tanda-tanda kemajuan.
Saat itu langit merah di atas padang rumput. Gerobak padi, seperti topi orang Kosak, membuat jejak di sana-sini. Di jalan raya hilir mudik kendaraan bermuatan semak belukar dan kayu gelondongan. Tanah menjadi sangat padat, dan di tempat lain dilapisi es. Salju sudah mulai turun dari langit, dan cabang pepohonan mulai diselimuti embun beku seperti bulu kelinci. Di hari-hari yang sangat dingin burung kutilang berbulu merah meloncat-loncat di atas timbunan salju bagai bangsawan Polandia yang suka bersolek, dan memungut bulir-bulir jagung. Sedang anak-anaknya, dengan tongkat besar, memburu puncak kayu di atas es, sementara bulu-bulunya terbaring di kompor, yang selanjutnya menghasilkan waktu bersama pipa yang menyala di mulut mereka, untuk menggeram dengan kebiasaannya yang kolot, atau untuk menghirup udara, dan mengirik bulir padi keluar dari lumbung.
Akhirnya, salju pun mulai mencair, dan es mulai berluruhan. Akan tapi Petro masih saja sama, dan, makin lama makin murunglah ia. Dia duduk di tengah pondok bagai memaku diri dengan karung emas di kakinya. Ia bertambah malu, rambutnya bertambah panjang, ia bertambah kacau; dan masih saja ia memikirkan hal yang sama untuk mengingat sesuatu, dan bertambah marah dan emosional karena tidak bisa mengingatnya. Seringkali, seraya beranjak rusuh dari tempat duduknya, menggerak-gerakkan tangannya dengan kasar, membetulkan matanya pada sesuatu yang ingin sekali ditangkapnya. Bibirnya bergerak seolah ingin mengucapkan kata-kata yang sudah lama tak diingatnya, namun tetap saja kelu. Kemarahan telah menguasainya. Dia mulai menggigiti tangannya seperti orang setengah gila, dan dalam kejengkelannya mulai menjengguti rambutnya sampai-sampai, sambil menenangkan diri, ia telah benar-benar lupa, seperti yang sudah-sudah, lantas mulai lagi mengingat, dan lagi bersama kemarahan dan ketersiksaannya yang baru … Hukuman Tuhan macam apa ini?
Pidroka tidak hidup dan tidak pula mati. Pada awalnya sungguh mengerikan baginya berada dalam kesendirian di pondok itu. Tapi, seiring waktu, perempuan malang itu jadi terbisa dengan penderitaannya. Tapi hampir tidak mungkin untuk mengenali Pidroka di hari-hari sebelumnya. Tak ada pemerah muka, tak ada senyum; dia kurus dan menyedihkan, dan telah mengenyahkan matanya yang cemerlang. Suatu hari, seseorang yang merasa kasihan padanya menyarankan padanya untuk pergi kepada seorang penyihir yang tinggal di lembah Bear, yang sudah banyak menyembuhkan setiap penyakit di dunia. Ia pun memutuskan untuk mencobanya: dengan kata-katanya ia membujuk penyihir itu untuk datang padanya. Ini adalah sebuah kesempatan di malam Tahun Baru di St. John. Petro terbaring tidak sadarkan diri di bangku, dan tidak menyadari ada pendatang baru. Sedikit demi sedikit ia beranjak, dan mulai memperhatikannya. Tiba-tiba setiap organ tubuhnya menggigil, bagai sedang berada di tiang gantungan. Bulu kuduknya berdiri, … dan tertawa seperti menusuk-menusuk hati Pidroka dengan ketakutannya. “Saya ingat. Saya ingat!” teriaknya kegirangan. Dan, sambil mengayunkan kapak di sekitar kepalanya, ia menebaskannya ke arah wanita tua dengan segala kekuatannya.
Kapaknya menembus pintu kayu hingga dua vershok (tiga setengah inci). Wanita tua itu hilang. Dan seorang anak berusia tujuh tahun dengan baju putih, dan dengan kepala tertutup, berdiri di tengah pondok... penutupnya terbang. “Ivas!” teriak Pidroka berlari kepadanya. Tapi kemunculan sosok yang tiba-tiba itu diliputi oleh darah dari kepala sampai kaki, dan menerangi seluruh ruangan dengan cahaya merah. Ia merasa terteror, tapi dengan penyesuaian diri, berharap bisa membantunya; namun sia-sia! Pintu terbanting dari arah belakangnya hingga ia tak bisa membukanya. Orang-orang berlarian dan mulai mengetuk: mereka mendobrak pintu, seakan hanya ada satu orang dari mereka. Pondok itu sesak oleh asap, dan tetap di tengahnya, di tempat Petrus berdiri, menumpuk abu sumber asap itu muncul dan terus mengepul. Mereka meloloskan diri dengan karung: hanya pecahan barang yang ada di sana dan bukannya koin emas. Orang-orang Kosak berdiri dengan mata membelalak dan mulut terbuka, tak berani menggerak rambut barang sehelai pun, seakan mengakar di tanah, teror ini benar-benar membuat mereka heran.
Saya tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Pidroka berjanji untuk pergi ziarah, mengumpulkan barang-barang yang ditinggalkannya pada ayahnya, dan dalam beberapa hari seakan-akan ia tak pernah berada di desa. Tidak ada yang tahu ke mana ia pergi. Wanita-wanita tua yang suka ikut campur urusan orang berkata bahwa ia pergi ke tempat yang sama dimana Petro hilang. Tapi seorang Kosak dari Kiev melaporkan bahwa ia terlihat berada di sebuah biara, seorang biarawati yang kurus yang tak henti-hentinya berdoa. Dan teman sedesanya mengenalinya sebagai Pidroka, dengan segala tanda-tandanya meski tak ada satu orang pun yang pernah mendengar dirinya berbicara. Saat itu ia berjalan dan membawa bingkai untuk ikon Bunda Maria yang dipasang pada patung indah yang memesona pandangan.
Tapi ini bukanlah akhir, jika kau berkenan. Pada hari yang sama dimana Iblis bertemu Petrus, Basavriuk muncul lagi, tapi semuanya hilang darinya. Mereka tahu burung macam apa itu, tak lain dan tak bukan adalah Setan yang telah mewujudkan diri jadi manusia dengan tujuan untuk mengeluarkan harta karun. Dan, sejak harta karun itu jatuh pada orang yang tidak bersih, ia menggoda anak-anak muda. Pada tahun yang sama, semuanya meninggalkan gubuknya dan berkumpul di sebuah desa. Tapi, bahkan di sana, tak ada kedamaian lantaran kutukan Basavriuk. Bibi terakhir Kakek saya berkata bahwa ia sangat marah karena perempuan itu meninggalkan kedai itu, dan mencoba dengan sekuat tenaga untuk membalas dendam atas dirinya.
Suatu hari para sesepuh desa berkumpul di kedai dan, selama percakapan berlangsung, menyusun prioritasnya di atas meja, di mana di tengah meja itu diletakan seekor domba bakar kecil. Sungguh malu mengatakannya. Mereka bercakap-cakap soal ini, yang salah satunya adalah tentang macam-macam mukjizat yang ajaib dan yang aneh. Benar, mereka melihat sesuatu. Akan menjadi sesuatu yang tidak berarti apa-apa seandainya tidak ada seorang pun yang melihatnya. Sayangnya, semua orang melihatnya. Domba itu mendongakkan kepalanya. Matanya yang membelalak jadi seperti hidup dan berkilauan. Dan kumisnya yang berbulu dan hitam, menjadikannya isyarat yang berarti di masa sekarang. Semuanya, dalam satu waktu, mengenal air muka Basavriuk di kepala domba itu. Bibi kakek saya berpikir itu berarti saatnya meminta vodka… Sesepuh yang bijak meraih topinya, dan segere pulang ke rumah.
Pada waktu yang lain, staros gereja yang sesekali suka minum segelas brendi Kakek saya, tidak berhasil untuk meneguk dua gelas sampai habis, ketika ia memperhatikan gelas itu terbungkuk rendah di depannya. “Setan mengambilmu, mari kita membuat tanda silang untukmu!”… Dan mukjizat yang sama terjadi padanya. Perempuan itu baru saja hendak mencampur adonan di dalam wadah remasan besar, tapi tiba-tiba wadah itu bocor. “Berhenti berhenti! Mau ke mana kau? Sambil berkacak pinggang dengan wibawanya, mukjizat itu pun tak terjadi. Kau boleh tertawa, tapi hal itu bukan masalah yang bisa ditertawakan bagi nenek moyang kami. Dan dengan sia-sia Bapak Atanshii menyusuri desa dengan air suci dan mengejar Iblis sepanjang jalan. dengan sikatnya. Dan bibi terakhir kakek saya cukup lama mengeluhkan hal tersebut, segera setelah hari gelap, seseorang datang mengetuk pintunya, dan menggaruk-garuk dinding.
Begitulah! Semuanya jadi sunyi sekarang, di tempat di mana desa kami berada. Tapi tak sampai beberapa lama ini –ayah saya masih hidup—saya ingat bagaimana orang baik tidak dapat melewati reruntuhan kedai itu, di mana ras yang tidak jujur telah memperbaikinya untuk kepentingan mereka sendiri. Dari cerobong asap yang hitam, asap keluar dari bubungan dan naik tinggi ke udara, seperti hendak mengawasi, bergulung seperti topi, menyebar membakar batu bara di atas padang rumput. Dan Setan (wanita jalang yang tidak boleh disebutkan namanya) itu menangis dengan sangat iba di sarangnya, dimana kawanan burung gagak yang terkejut bangkit dari pohon kayu oak, dan terbang di angkasa dengan berkaok liar.[]
Catatan:
Gorlitza = tarian orang Rusia.
Vershok = ukuran panjang dalam bahasa Rusia.
“Sumber ketakutan” = dilakukan dalam kasus ketakutan; ketika ingin diketahui apa yang menyebabkannya, timah cair hitam atau lilin dituangkan ke dalam air, dan objek yang dianggap ditakutkann oleh orang sakit itu akan muncul. Kemudian, ketakutan pun hilang. Sonyashnitza dibuat untuk rasa pusing dan sakit di perut. Di sini, sedikit puntung lilin dimasukan ke dalam wadah dan berputar di bawah mangkuk berisi air yang diletakkan di atas perut pasien. Sesudah dijampi-jampi, ia akan diberikan satu sendok makan airnya untuk diminum.
Staros = pembimbing spiritual atau guru agama di gereja ortodok Rusia (sesepuh), khususnya seseoang yang merupakan biarawan atau orang suci.
Diterjemahkan dari cerpen berjudul “St. John’s Eve” oleh Firman Nugraha; Subang, Oktober 2011.
No comments:
Post a Comment