Sunday, July 3, 2016

Pada Awalnya Mencuri

Kapan orang tua kita mengajarkan bahwa mengambil barang milik orang lain adalah dosa dan merupakan perbuatan yang tidak terpuji? Mencuri, maling, merampok atau apa pun itu namanya, tetap merupakan perbuatan yang tidak bisa dibenarkan. Mencuri tergolong pada perbuatan yang buruk. Sama percis dengan mengumpat, berzina, berbohong dan membunuh. Dan dengan demikian, pencuri adalah orang yang memiliki perangai buruk dan tercela.

Menurut KBBI (2008), mencuri adalah mengambil milik orang lain tanpa izin. Perbuatan ini acapkali dilakukan tanpa sepengetahuan dan izin dari si pemilik. Sementara, orangnya sendiri disebut pencuri, dan peristiwanya disebut pencurian.

Secara etimologi, mencuri memiliki banyak kata. Ini tergantung pada apa, seberapa besar/banyak dan cara barang itu diambil. Pada umumnya, mencuri berarti stealing dalam bahasa Inggris. Namun ditengarai oleh motif dan sifatnya, perbuatan yang termasuk ke dalam kejahatan kriminal ini pun dibedakan namanya menjadi larceny. Definisinya sendiri tak jauh beda, yakni kejahatan pengambilan properti (uang atau barang) seseorang menjadi milik seorang lain. 

Friday, June 10, 2016

Barasuara: Ketika Taifun Tak Menyuarakan Bara


BARASUARA baru saja meluncurkan album perdana. Taifun namanya. Berbeda halnya dengan acara wara-wiri yang terlebih dulu dilakukan di berbagai macam kegiatan termasuk live performance yang bisa dilihat di kanal kapitalis Youtube; di album ini, Barasuara justru seperti kehilangan geregetnya. Sebut dia seekor macan. Maka di album ini, dia adalah macan yang kehilangan raung predatornya. (Mudah-mudahan tak cepat-cepat kehilangan belangnya.)  

Tak perlu dimungkiri seperti apa kualitas band breakthrough yang satu ini dalam hal bermusik. Untuk masalah aransemen akibat dari mature-nya kontemplasi setelah si pemilik akal kesebelas—Iga Massardi—melakukan kontemplasi-eksplorasi selama dua tahun setelah hengkang dari The Trees and The Wild dan beberapa band-project lainnya, Barasuara punya segalanya. Tonton live performance-nya yang dirilis oleh Sounds From The Corner di kanal dengan nama yang sama. Hanya dengan sekali menyaksikan, seseorang dijamin langsung manggut-manggut seraya berkata: “Ini baru namanya musik. Ajib!”

Dan setelah menemukan Barasuara, serta merta dia akan merasa seolah-olah telah menemukan sumber air baru. Bukan! Tapi air terjun yang meluncur dari ketinggian lima meter dan menghujam tepat di atas ubun-ubun. Segar. Hidup. Bebas. Air baptis juga yang meluncur di kepalanya itu. Merasa diselamatkan dari hegemoni kaum kapitas industri musik bangsa yang memang sudah tidak sehat, tercemar, dan murahan, beberapa waktu lalu.

Remeh Temeh Soal Tulis-Menulis

Walau sudah lama tak menulis (puisi), dua buah sajak dalam buku antologi "Riak Sajak" kembali menjadi pelecut bagi apa pun yang berhubungan dengan dunia tulis-menulis saya. Kembali membaca, kembali menulis.

Entah disengaja atau tidak, dan memang tidak pernah sedikit pun diniatkan, berada di komunitas Sanggar Sastra Purwakarta--Sangsastra, begitu saya menyebutnya suatu hari yang pada akhirnya diamini oleh Rudy Aliruda--membuat saya kembali urun rembug perihal sajak-menyajak ini. Entah apa dasarnya.

Pasalnya, saya selalu merasa tidak pernah cocok untuk berorganisasi apa dan di mana pun, sekalipun dulu saya sempat sangat aktif di organisasi di Himpunan Mahasiswa Bahasa Inggris UPI (English Students' Association). Saya pribadi bukan tipe orang yang mainstream di dalam ke-antimainstreaman-nya sebuah organisasi sastra. Saya tidak menyukai keramaian termasuk segala atribut yang melekat padanya, organisasi itu. Bagi Si Sinis, budaya itu nonsense. Ia adalah buatan, artifisial, dan kadang irasional. Dan sebuah organisasi atau komunitas sastra, hal itu tak jauh berbeda.


Tak Ada Cerita Dari Nenek


Sudah hampir sepuluh tahun ini wanita bisu itu duduk di beranda. Setiap sore hari, beberapa menit sebelum jam menunjukkan pukul lima, dia akan tampak keluar dari rumahnya lantas duduk di kursi kayu. Ditemani keremangan senja dari ufuk Barat yang menyala merah, dia mulai menulis menggunakan pensil kata demi kata yang masih diingatnya.
Kata-kata itu bukanlah rangkaian sebuah kalimat apa lagi paragraf, melainkan tak lebih dari daftar kata percis daftar belanjaan. Jika kau tahu apa yang ditulisnya, mungkin kau akan heran sendiri. Bahkan bukan tak mungkin kau akan berkata betapa kurang kerjaannya wanita itu. Tapi, punya hak apa aku menghakimimu? Lebih baik, kau dengarkan dulu saja ceritaku.
Wanita bisu itu bernama Ipah. Tak ada yang tahu berapa usianya sekarang. Yang aku tahu, rambutnya sudah beruban dan tipis. Kulit di tubuhnya pun sudah kehilangan kekencangannya. Kecantikan telah menjadi istilah yang tak lagi ada di dalam kamus hidupnya. Maka dari itu orang-orang, termasuk juga aku, memanggilnya Nenek. Nek Ipah.  
Nek Ipah tinggal sendiri di rumah berdindingkan tembok. Suaminya telah lama tiada oleh sebab penyakit diabetes yang dideritanya. Akan tetapi, setiap satu minggu sekali ada kalanya anak-anaknya berkunjung. Mereka datang membawa oleh-oleh dari kota bersama istri atau suami dan anak-anaknya.
“Nek, aku bawa bolu brownies dari kota,” kata anak pertama.
“Nek, aku bawa Pizza Hut, makanan khas Amerika,” kata anak kedua.
“Nek, aku bawa baju berbahan sutera dan kerudung buatan Palestina,” kata anak ketiga.
“Nek, aku bawa televisi dan DVD Player plus kaset qosidah dan ceramah dari Kiai Sejuta Umat biar Nenek tidak kesepian. Oya, kenalkan, ini Amar, temanku,” kata anak keempat.
Semuanya datang bergiliran setiap minggunya, dan semuanya pula membawa oleh-oleh semata agar bisa menyenangkan hati Nenek. Tapi, semua pemberian itu hanya dibalasnya dengan senyuman belaka. Senyuman yang secepat dia melengkung di lesung pipitnya, secepat itu pula hilang  dan berganti wajah penuh derita dan beban. Setidaknya, itulah yang diceritakan Bayu, anaknya yang keempat, padaku saat kali pertama aku mengunjungi rumah Nenek.
Menghadapi sikap Nenek, semuanya seolah sudah paham—bahwa sebanyak dan semahal apa pun oleh-oleh mereka bahwa, hal itu takkan membuat Nenek bisa membuka mulutnya.
Awalnya aku sendiri heran: Apakah ibu temanku ini bisu? Pasalnya, ketika aku mengenalkan diri saja, balasan yang aku dapat tak lebih dari sekadar senyuman.
“Jawab dong, Bu, kalau orang mengucapkan salam itu,” belas Bayu ketika mengenalkan aku pertama kali pada ibunya. Alih-alih dijawab, Nenek justru memalingkan tatapannya dariku lantas memandang anaknya itu. Tidak dengan tatapan yang tajam melainkan lembut. Tapi di balik kelembutan itu, sesuatu yang tersirat tajam seolah berkata “Diam kau!” atau “Punya hak apa kau menyuruh-nyuruh aku untuk bicara?” Dan temanku yang satu ini, anak dari wanita bisu itu pun tertunduk malu kehilangan wajahnya. Hanya saja kemudian, secepat “tamparan” tatapan dari ibunya itu, Bayu menyampaikan maafnya padaku.
Begitulah Nenek yang aku tahu. Wanita yang memilih untuk bisu dan membahasakan alam semesta dengan hanya sebatas keheningan. Di rumah yang terletak di ujung sebuah kampung di kaki bukit ini, selain suara alam yang tersisa dan pabrik, takkan pernah kau dengar suara Nenek Ipah.
Awalnya aku tak terlalu menghiraukan masalah itu. Tapi, sesering aku bermain ke rumah Nenek, lambat-laun rasa kepenasaranku pun muncul.
“Sebelumnya, Bay, aku minta maaf kalau pertanyaan yang bakal aku tanyakan ini bakal menyinggungmu,” kataku mengawali percakapan di pinggir danau setelah aku melempar kailku jauh ke tengah. Oya, di kampung ini, memang ada sebuah danau sekira satu kilo jaraknya dari rumah Nenek.
“Formal banget sih Lo kalau ngomong,” dagunya yang tajam menunjukku.
“Lo juga sok kota banget sih pake bahasa,” timpalku tak ingin kalah.
“Alah, lagak Lo. Ngomong aja!” memalingkan wajah lantas melempar kail lebih jauh dariku.
“Nenek Lo itu... bisu, atau...” kalimatku tak sempurna.
Bukannya dijawab, Bayu malah menundukkan kepalanya. Tapi itu tak lama. Dia mulai menarik napas panjang sebelum pada akhirnya bercerita.
“Sebenarnya Emak gua ga bisu, Mar,” mengisap rokok di kempit jemarinya lantas menghamburkan asapnya ke udara; keningku mengernyit membuat lipatan tebal.
“Emak gua bisa ngomong,” kepalanya mengangguk-angguk, “tapi itu dulu. Ya, sepuluh tahun yang lalu-lah.”
“Memang, apa masalahnya?” kusorong sebatang rokok di dekat kakiku.
“Masalahnya adalah Kakak gue yang pertama, Si Jaka,” beberapa kali Bayu mengisap asap rokoknya sebelum mematikannya. Lantas mengambilnya lagi sebatang dan mulai menyalakan lighter membakarnya.
“Dulu Kakak gue maksa kalau ibu harus menjual tanah. Lo tau kebon di seberang rumah yang di depan jalan?”
Aku mengangguk.
“Dulu, tanah itu kebon warisan Bapak. Kebon paling luas dan paling hebat di kampung ini,” senyum tersungging di pipinya—bangga.
“Hebat? Maksud Lo?”
“Bagaimana gak hebat? Kebon itu punya banyak cerita, Bro. Gak hanya di kebon itu banyak pohon, termasuk pohon langka yang sekarang sudah gak ada. Di situ juga ada tanah lapang tempat anak-anak kampung ini bermain, termasuk gue. Main bola, panjat pinang setiap tujuhbelasan, ngangon sapi atau domba. Wah, pokoknya banyaklah ceritanya. Gak bakalan beres kalau gua mesti cerita seharian.”
Aku mengangguk-angguk mencoba untuk paham.
“Tapi, suatu hari ada orang kota datang. Beberapa orang. Mereka datang pake mobil blazer ke ujung kampung ini nyusurin jalan berbatu itu.
“Orang kota?”
“Hmm,” menghirup kopi dingin dengan tangannya yang basah setelah menarik pancingan yang kosong tanpa ikan.
“Bilang gue salah kalau orang kota itu nyari tanah buat bikin pabrik?”
“Gak. Lo bener. Banget malah,” puntung rokok dilemparnya ke arah belakang; aku mereguk kopi yang hampir tinggal ampas di gelasku.
“Terus?”
“Karena hanya ibu gue yang punya tanah di kampung ini—oya, asal Lo tahu, itu terjadi sebelum pemerintah ngakuisisi tanah di kampung ini sebagai milik mereka—ya, orang-orang kota itu dateng ke ibu gua. Mereka ngebujuk ibu supaya ibu mau ngejual tanahnya ke mereka. Tapi, ibu ga ngasih. Itu amanat bapak sebelum bapak meninggal. Bapak bilang, ‘Apa pun yang bakal terjadi, jangan sampai ibu ngejual tanah. Itu warisan kita. Hanya itu yang kita punya.’”
Strike!” ditariknya mata kail yang ternyata hanya sampah plastik, “berengsek!”
Kubenaih posisi duduk setelah menarik kail yang tak jauh beda dengan sobatku yang satu ini.
“Lo tau, kan, manusia bakal ngelakuin apa saja agar dia mendapatkan keinginannya?”
Aku menggumam.
“Berdirinya pabrik artinya mengalirnya duit. Dan, ya, begitulah. orang-orang kota yang sebenarnya ga lebih dari ajudan orang luar negeri itu pun ngelakuin apa aja. Termasuk ngedeketin kakak gue. Ya, singkat cerita.  Kakak gue ngiler liat duit sekoper, and dijuallah tanah kebon itu. Ada untung dan ruginya juga, tentu. Untungnya, kakak-kakak dan gue bisa seklolah bahkan kuliah di ibukota. Rumah panggung pun berubah jadi bagus. Ruginya, sejak saat itu,” menekan ‘sejak’, “ibu ga lagi ngomong. Ga sepatah kata pun!”
Pilu aku mendengar cerita Bayu. Tapi tak lebih pilu lagi ketika aku mendengar bahwa ketika rumah tembok barunya itu selesai dibangun, Nenek tak pernah sudi memasukinya. Dia memilih tidur di jalan ketimbang tidur di dalam rumah. Tapi, wanita tua mana yang kuat panas dan hujan? Sempat memang beberapa tetangga meminta Nenek untuk tinggal di rumah mereka. Tapi tetap, Nenek tak mau. Terlebih ketika Nenek menjawab ajak mereka dengan mengacungkan sebilah golok. Hampir Nenek disebut orang gila. Tapi, bersyukur, para tetangga mengerti sikap Nenek. Hingga suatu hari, tak sampai hitungan bulan, Nenek jatuh sakit di tepi jalan dan Bayu, kakak-kakaknya juga para tetangga membopongnya masuk ke dalam rumah.
Mereka pikir Nenek bakal berteriak atau menebas leher salah satu dari merak. Tapi yang terjadi? Nenek justru menangis. Menangis sejadi-jadinya. Dan sehari setelah itu, Nenek pun memiliki kebiasaan baru: Dia akan duduk berlama-lama di kursi di depan rumahnya.
“Lo tau, Mar,” tiba-tiba Bayu memulai tanpa aku minta, suatu hari di waktu yang lain. “Sebenarnya gue pernah liat ibu ngomong.”
“Kapan?”
“Dulu, ketika ada mahasiswa perguruan tinggi KKN di kecamatan ini. Gue seneng banget tahu kalau Emak ngomong. Tapi, sayang, Emak hanya ngomong sama mahasiswa itu saja. Yang gue tahu, nama mahasiswa itu, Rahmat. Pas gue tanya ibu ngomong apa, dia bilang kalau ibu ingin diajarin baca sama nulis.”
Aku heran segila-gilanya. Mungkinkah Nenek yang sudah tua itu bisa baca-tulis?
“Gue tahu yang Lo pikiran, Mar. Ya, gue juga mikirnya begitu. Gak mungkin ibu gua yang sudah tua bisa belajar baca-tulis. Tapi, nyatanya? Selain dapur dan halaman, sekarang ibu punya teman baru: buku tulis dan pensil.”
Sepuluh tahun terakhir setelah lima tahun setelahnya, dan untuk pertama kali aku main ke rumah itu, aku mendapati Nenek dengan kebiasaannya. Setiap sore Nenek akan menulis menggunakan pensil di buku tulis yang dibelinya di warungku. Ya, pada akhirnya, aku pun menjadi bagian dari kampung ini. Kampung yang di sekeliling danaunya berdiri pabrik-pabrik tekstil yang suaranya tak henti bergemuruh dari waktu ke waktu.
Sekalipun begitu, aku tahu suara itu tak lantas bisa mengalahkan nyanyian bisu Nenek. Begitulah ketika suatu hari, ketika Nenek dengan tak sengaja meninggalkan bukunya di etalase warungku, kulihat daftar kata-kata itu dengan nomor tersusun di sampingnya, menurun ke bawah. Kata-kata bertuliskan: jelatang, kecapi, sawo, bidara, tanduk rusa, komodo, puyuh, mencek, bungbang, remis, udang, dan lain sebagainya.
Aku terkejut ketika di halaman terakhir Nenek menuliskan sebuah kata dengan huruf-hurufnya yang besar dan tampak kacau. Kata itu bertuliskan: Manusia!***

Purwakarta, 25 April 2016  

Sunday, May 22, 2016

Keasingan Gantz di Dunia yang Gelap

"Aku selalu percaya bahwa tiap orang punya tugas masing-masing. Tiap orang punya bakat dan kekuatan masing-masing, dan ada tempat baginya untuk menunjukkan semua itu sepenuhnya. Oleh karena itu, orang yang diberi bakat harus berusaha sebaik mungkin dan menunjukkan kekuatan terbaik yang dia miliki" (Kei Kurono: Gantz, 2011) 

Tak ada yang lebih menarik dari seni ketimbang sifatnya yang acapkali prismatis dalam hal pemaknaan. Percis cahaya yang disorotkan ke sebuah batu berlian hingga cahaya menjalar ke berbagai penjuru arah. Dengan kata lain, pembacaan terhadap seni bisa dilakukan dengan cara apa pun, mulai dari yang mudah: menerima karya seni sebagaimana adanya tanpa tedeng aling-aling melainkan hiburan semata, sampai yang susah sekalipun: mencari pemaknaan lain dari apa yang tampak dari karya seni yang dihaturkan.

Hal yang disebutkan terakhir itu yang saya alami dan untuk pertama kalinya saya lakukan ketika tengah--dan bukan usai--menonton film Jepang berjudul Gantz (2011) besutan Shinsuke Sato.

Menonton film yang diadaptasi dari manga (baca: mangga) dengan judul yang sama karangan Hiroya Oku ini, saya merasa tidak tengah menonton film science-fiction. Lebih dari itu, saya menonton film dengan banyak simbol serta ada ideologi di dalamnya. (Tapi, bukankah kebanyakan film memang seperti itu? Alih-alih film dengan genre yang sama, film animasi seperti Wall-E (2008) Tangled (2010) bahkan sekaliber Frozen (2013) pun memiliki keduanya: simbol dan ideologi.)

Bola Hitam

Seperti halnya di film The Day The Earth Stood Still (2008), bola hitam dan besar pun direpresentasikan di dalam film ini. Lagi saya bertanya: Mengapa harus bola, besar dan hitam pula? Tak ada jawaban perihal ini sebagaimana tidak pula tokoh-tokohnya mempertanyakan apa bola itu. Sekalipun ada, jawabannya tak lebih dari memuasakan.Joichiro Nishi, lawan main Kei Kurono, hanya berkata bahwa bola itu bernama Gantz dan dia memberikan misi pada orang-orang yang "dipanggilnya" ke dalam "permainannya" agar siap sedia ketika alien menginvasi bumi. Informasi ini didapat ketika Kei, Katou, Keshimoto dan Nishi-Kun kembali setelah berhasil pada misi pertama membunuh Alien Bawang. Dengan kata lain, bola besat hitam bernama Gantz ini memang asing seasing misi yang diberikannya.

Yang menjadi menarik dari Gantz adalah, dia selalu memulai misinya itu dengan pemutaran terlebih dulu sebuah lagu dimana lagunya sendiri jauh dari kata modern. Sebuah lagu dengan lirik penuh buaian akan hidup dan kehidupan meski suaranya lebih mirip suara lagu yang mungkin sering kita terdengar di mulut radio.

Pagi yang baru telah tiba/Itu pagi harapan/Bukalah hatimu dengan kegembiraan/Lihatlah langit biru/ Dengarkan radio/Ambil nafas dalam-dalam/Dan rasakan aroma angin/Dan kemudian--satu-dua-tiga. Begitulah kira-kira liriknya. Setelah itu, apa yang terjadi? Gantz pun terbuka. Dan apa yang terdapat di dalamnya selain senjata dan baju cosplay (?)? Alien! Ya, alien yang bentuknya tak beda dengan manusia.

Awalnya, saya mengganggap bahwa bola hitam itu adalah representasi atau simbol dunia yang sudah diselimuti oleh kegelapan, oleh keasingan. Tapi manakala saya melihat ada manusia di dalamnya, saya menangkap bahwa simbol Gantz tak hanya itu. Dari lirik dan dari warnanya, Gantz ternyata juga simbol malam. Hal ini diperkuat dengan kalimat sambutan Gantz terhadap Kurono dan tokoh lainnya:

"Hidup kalian semuanya telah diambil. Bagaimana menggunakan hidup baru kalian sekarang terserah aku. Begitulah teorinya. Jika kalian ingin pulang, pergi dan bunuh orang ini. Namanya adalah...."

Kalimat analogi "Hidup hanya sekali sedang mati berkali-kali" atau puisi penyair Chairil Anwar "Sekali berarti sudah itu mati" mungkin berhubungan dengan apa yang Gantz ucapkan. Bukankah ketika kita tidur malam hari, pada hakikatnya kita sedang mati? Lebih luasnya lagi, dalam hidup kita lebih banyak mati--mati dalam hal hubungan kerabat dan pertemanan, cinta, pekerjaan, cinta-cita dan banyak lagi. Dan ketika kita bangun keesokan harinya setelah malam menidurkan kita, hidup dan kehidupan seakan meminta kita untuk mengulang semuanya. Akan hidupkah kita di satu hari atau justru mati lagi?

Maka, tak aneh kiranya lagu itu selalu diputar Gantz di awal misi. Lagu tentang bagaimana pagi yang baru telah tiba. Pagi yang penuh harapan. Ya, hanya harapan yang kita punya dan tak bisa direbut oleh apa dan siapa pun. Meski kenyataannya, seperti yang diucapkan Ellis Boyd Reding (Morgan Freeman) dalam The Shawshank Redemption (1994): "Same Old Shit Different Day." Hidup tak pernah benar-benar berbeda; ya, begini-begini aja. Rutintas dan rutinitas. Betapa hidup menjadi iklan yang sangat panjang.

Tapi hal ini tidak berlaku bagi Gantz. Kalimat selanjutnya justru terkesan kontradiktif sekontradiktif simbol dari Gantz itu sendiri. Bumi yang penuh dengan kegelapan, keburukan dan kejahatan dimana hidup manusia semua serba dipetakan dan diatur, Gantz justru menyuruh orang-orang yang diambil hidupnya itu untuk melakukan apa yang dia minta. Hidup manusia telah menjadi sangat asing, dan Gantz yang asing menyuruh Kurono dan lainnya untuk menghancurkan keasingan itu sendiri. Menghancurkan alien yang sebenarnya ada dalam diri setiap manusia. 

"Bagaimana menggunakan hidup baru kalian sekarang terserah aku," ujar Gantz. Artinya, manusia menjalani hidupnya karena kehidupan meminta kita melakukan apa yang dia minta. Kita menonton film yang harus kita tonton. Kita mendengar lagu yang harus kita dengar. Kita membaca apa yang buku-buku harus kita baca. Kita melakukan semuanya karena hidup menuntut kita untuk melakukannya. Kita telah menjadi asing dengan melakukan begitu banyak hal yang umum. Percis karekter Kurono yang merepresentasikan simbol manusia masa kini tatkala dia mengabaikan untuk menolong Katou yang tengah menolong orang lain di rel kereta api. Manusia yang tak lagi peduli dengan sesamanya. Manusia yang membunuh meski tidak dengan senjata atau pisau di genggaman tangannya. Manusia yang menghilangkan derajat kemanusiaannya. Dengan kata lain, manusia tidak lagi milik dirinya sendiri. Manusia tidak lagi alami. Dia telah menjadi makhluk asing (alien) bagi dirinya sendiri. Di sinilah peran Gantz sesungguhnya muncul. Caranya dengan membunuh orang-orang (alien) yang diperintahkannya.

Alien Bawang

Setelah melihat Alien Bawang bersosok anak kecil dan sekaligus orang dewasa dimusnahkan, seketika saya berkata bahwa: ini adalah simbol makanan. Mengapa bawang dan bukannya tomat atau wortel? Sungguh, ini adalah pertanyaan yang menarik.

Sebagai salah satu tanaman sayuran, bawang adalah bumbu yang sangat enak juga memiliki aroma menyengat. Dia adalah penyedap rasa yang digunakan di hampir belahan dunia. Bagi orang Jepang, bawang, tepatnya daun bawang--biasa disebut negi--sering digunakan sebagai taburan di hampir setiap masakan seperti  soba, udon, miso siru, ramen, dan lain-lain. Di Indonesia, negi ini mirip bawang goreng yang biasa digunakan untuk taburan pada soto, sop, sate, dan banyak lagi.

Dan memang, jangan berpikir jika Alien bawang di sini adalah bawang merah. Kita hampir takkan menemukan kepala alien itu seperti bawang merah melainkan seperti daun bawang. Perhatikan saja kepala alien itu.

Adapun simbol yang hendak direpresentasikan lewat Alien Bawang ini adalah, bahwa manusia telah menjadi sangat gila dengan makanan. Seumur hidupnya manusia telah menjadikan makanan sebagai konsumsi pokok, pemuas, bahkan simbol akan derajat kesejahteraan ekonomi. Memang, manusia yang hidup pasti membutuhkan makan. Tapi di film ini bukan itu yang dimaksud. Sebaliknya, di film berdurasi lebih dari dua jam ini, justru seakan memberi tahu bahwa hidup tak hanya soal makan. Ada yang lebih penting dari hanya sebatas makan, yakni peran manusia itu sendiri. Hal ini diungkapkan secara tersurat dari kalimat pertama yang diucapkan Kurono di awal adegan, sebagaimana terpampang di awal tulisan ini.

Dengan kata lain, makanan hanya alat agar manusia tetap bisa hidup dan menjalani kehidupannya. Bukannya menjadi alasan utama yang membuat orang-orang lantas dilanda euforia dan mabuk kuliner seperti tampak di zaman sekarang. Manusi makan untuk hidup, bukan sebaliknya. Inilah alien partama yang dijadikan misi Gantz terhadap para "pemainnya."

Alien Tanaka (Radio)

Euforia manusia juga tampak pada representasi Alien Tanaka yang menyukai kaset radio. Simbol teknologi, informasi sekaligus energi manusia. Manusia yang menjadi sangat tergantung pada gadget (gawai) dan bukan pada fungsi gawai itu sendiri. Tak salah memang memiliki gawai, tapi kembali pada kenyataan bahwa hidup dan kehidupan manusia tidak ditentukan oleh canggih tidaknya sebuah atau perkembangan gawai melainkan pada interkasi manusianya sendiri. Maka dari itu mengapa Gantz menyuruh Kurono dan kawan-kawan untuk menghancurkan alien ini.

Berbeda dengan Alien Bawang yang bisa dengan mudah dihancurkan, Alien Tanaka ini justru punya kekuatan yang lebih besar. Barangkali besarnya kekuatan ini sebanding pula dengan besarnya kekuatan manusia yang begitu-terama-sangat berkegantungan padanya. No Music No Dreams, begitu slogan ini terkenal di Jepang. Tanpa musik, manusia tak punya mimpi. Dengan musik, orang-orang justru bisa bermimpi sekalipun mimpinya itu adalah mimpi buruk seperti yang tampak pada film Detroit Metal City (2008).

Tapi di dalam misi kali ini, bukan musik atau harapan yang harus dihancurkan, akan tetapi kebisingan. Dan bukan pula kebisingan terhadap musik, tapi "kebisingan" terhadap gawai itu sendiri. Bayangkan apa yang terjadi sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Kiranya bukan hanya sampah rumah tangga yang kelak berjejalan di pinggir jalan untuk diangkut oleh mobil pengangkut sampah, tapi pemutar kaset/CD kita, komputer PC & laptop, TV LCD, dan bahkan Smartphone kita.

Alien Buddha

Sepertinya kecanduan manusia tidak hanya tampak pada makanan (Alien Bawang), teknologi (Alien Tanaka), tapi juga pada agama (Alien Buddha). Direpresentasikan sebagai alien yang (1) mudah marah, (2) besar, dan (3) menyukai tempat yang tenang, Alien Buddha adalah misi terakhir yang diberikan Gantz di film sekuel pertama ini.

Mendasarkan diri pada ciri ini saja, dengan mudah kita bisa menyimpulkan lewat beberapa pertanyaan: Bukankah permasalahan agama memang masih menjadi tema besar di muka bumi ini? Bukankah permasalahan terkait agama memang selalu menjadi isu yang senstitif bagi manusia? Dan, bukankah agama yang ada di dunia ini masih saja terpaku pada pakem dan tradisi alias agama budaya dan bukan budaya agama? Agama nenek moyang yang sekalipun nenek moyang salah, kita tak berani menggugatnya? Agama yang tenang dalam sepi dan jauh dari realita kehidupan manusia itu sendiri.

Terasa ekstrim sekiranya saya sampai berkata jika Gantz bermaksud agar Kei dan kawan-kawan harus menghancurkan agama. Terlebih aneh juga rasanya mengingat bagaimana Jepang sebagai negara yang sekuler, di mana orang-orangnya tak terlalu memikirkan agama di dalam kehidupannya sehari-hari--sekalipun mereka sangat menghormati orang yang beribadah apa pun agamanya--justru memasukan simbol ini sebagai salah satu dari misi Gantz.  

Akan tetapi, melihat sikap dan mental orang Jepang yang semangat dalam menjalani hidup dan selalu mencoba bekerja lebih baik lagi; dan, dengan mempertimbangkan kata-kata Kurono di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa: setiap orang di muka bumi memang punya peran dan tugasnya masing-masing, dan karena itu dia dituntut untuk bisa mengerjakan tugas itu sebaik mungkin. Dengan kata lain, eksistensi manusia tidak hanya dilihat dari apa yang dimiliki saja, termasuk agama; melainkan dari kerja dan karya nyata.

Cukuplah agama menjadi hak masing-masing tiap orang. Setiap orang berhak memiliki dan meyakini agama juga menjalankan apa yang diyakininya itu tanpa harus adu tegang urat syaraf dengan mereka yang berbeda keyakinan. Lagi pula, orang Jepang memang tak melihat seseorang dari latar belakang agamanya. Apalah artinya beragama jika dia tak punya sopan santun dalam bersikap termasuk berbahasa. Tak peduli seberapa sering seseorang sembahyang, jika seseorang tak punya etika dan sopan santun berperilaku dan berbahasa, semua itu tak ada artinya di mata mereka. Dan mestinya, di mata manusia mana saja yang ada di muka bumi ini.

Pada akhirnya, semua keasingan lewat representasi simbol yang ada di dalam film Gantz ini telah lebih dari cukup untuk menghibur saya. Termasuk memprovokasi saya untuk kembali menulis dan mengenyahkan pikiran yang berkata bahwa hidup tak lagi indah dan menyenangkan karena apa yang terjadi di muka bumi telah menjadi sangat biasa, seperti yang saya yakini beberapa tahun terakhir. Kenyataannya, betapa banyak hal yang saya masih belum tahu dan ingin saya cari tahu.

Dan seperti Kurono yang pada akhirnya memutuskan apa yang harus diperbuatanya lewat kerja dan karya nyata sehingga kawan-kawannya termotivasi dan mengikuti jejaknya, maka saya pun berharap ada yang bisa dipetik dari apa yang saya lakukan ini, tak terkecuali menonton film ini, juga film-film "nyeleneh" Jepang yang ternyata tak senyeleneh pesan yang hendak disampaikannya. Tengok saja Dertoit Metal City (2008), Sunset on The Third Street (2005), Stranger Than Mine (2004), Fish Story (2009), Handsome Suit (2009), dan banyak lagi yang lainnya. Ja. Mata. (FA/"Saswaloka")

Friday, January 1, 2016