Friday, April 9, 2021

Aksara Buda: Sebuah Pengantar

Dalam khazanah pernaskahan kuno khususnya yang ada di pulau Jawa, setidaknya dikenal beberapa macam aksara yang digunakan sebagai sebuah sistem tulisan. Beberapa di antaranya adalah aksara Sunda Kuno, Jawa (Carakan), Cacarakan (Jawa-Sunda), Jawi, Arab Pegon, dan Buda. Tidak seperti aksara lainnya, aksara Buda bisa dibilang tidak terlalu populer. Ketidakpolueran itu, nahasnya, tampak pula dari sudut pandang pernaskahan Jawa klasik (Jawa Tengah & Jawa Timur), Sunda Klasik[1] dan Bali. Di antara jenis aksara yang subur di ketiga kubu itu, aksara Buda dalam kacamata Willem van der Molen (2001) tampil sebagai aksara yang terabaikan dari sebuah koleksi naskah yang nasibnya tidak jauh beda.

History of Java (1830)
Aksara Buda sebagai sebuah istilah, pertama kali disebutkan oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817: 403). Merujuk pada jenis aksara yang ditampilkan, dia mendeskripsikan jika Tabel Nomor 2 mengandung huruf persegi/kuadrat di mana (aksara) Kawi biasanya ditulis dan ditemukan terpahat pada batu dan perunggu dalam inskripsi-inskripsi yang berbeda dengan bahasanya itu. Sedang Nomor 3 disebutnya sebagai contoh variasi aksara dalam kurun waktu yang berbeda, sebagaimana diasumsikan dan disusun berdasarkan penilaian penulis pribumi, menurut hubungannya yang kuno.
        Dalam ilustrasi yang dimaksudkannya itu, Raffles tidak menuliskan kata Kawi, melainkan Bud’da atau Aksara Kuno. Dengan kata lain, aksara Buda menurut pengertian Raffles adalah aksara Kawi!
Ilustrasi Aksara Buda
        Tidak diketahui dari mana asal muasal sumber aksara yang tampak pada buku Raffles tersebut.[2] Namun dari beberapa literatur, disebutkan jika pengerjaan maha karyanya itu dibantu oleh dua orang asisten pribumi yakni Panembahan Sumenep, sekretaris pangeran Adi dari Surakarta, dan Sura Adi Menggala, Kyai Adipati Demak. Barangkali mereka berdua inilah yang Raffles maksud sebagai penulis pribumi itu.
      Sedangkan menurut Karel Frederick Holle (1882) aksara ini bernama Kawi Kuadrat. Tidak hanya Kawi, tapi Kawi Kuadrat, yang berbeda dengan Kawi miring.  Pendapat Holle ini tidak terlepas dari pengaruh para peneliti sebelumnya, khususnya Johan Hendrik Caspar Kern, Neubronner Van Der Tuuk, R. Friedrich, dan Cohen Stuart.

Karel Frederik Holle
Dalam bukunya Tabel Van Oud-En Nieuw-Indische Alphabetten, Holle membagi aksara-aksara yang ditelitinya ke dalam tiga jenis tipe, yakni: 1. Tipe Vengi jenis Calukya, 2. Tipe Kambodja, dan 3. Tipe Nagari. Adapun aksara Buda atau Kawi Kuadrat yang sedang dipermasalahkan di sini menurut Holle, termasuk ke dalam tipe Kamboja.
    Agak mengherankan bagaimana Holle melakukan penyebutan terhadap aksara Buda yang dianggapnya sebagai bagian dari jenis aksara Kawi ini. Sekalipun dua jenis aksara yang dibandingkannya itu memang sesuai dengan kelompok aksara yang menurutnya berbentuk persegi dan berkarakter tegak, tapi tidak dengan aksara Buda yang sedang dibahas di sini.
          Holle berkata: “Jenis pertama, yang biasanya agak condong ke kanan, dikenal sebagai Kawi Miring, yang lainnya dengan Kawi Kuadrat atau persegi. Yang terakhir biasanya memiliki huruf tegak, biasanya muncul pada pelat tembaga dan yang ditulis dengan tinta, pada manuskrip di tatar Sunda.” (1882, 14).
abel Van Oud-En Nieuw-Indische Alphabetten
        Benar jika aksara yang disebutnya Buda ini ditulis dengan tinta, dan benar manuskripnya ditemukan di tatar Sunda, walau ada juga yang ditemukan di gunung Merbabu. Tapi jika ditulis pada pelat tembaga, sampai detik ini belum ditemukan satu pun inskripsi yang ditemukan pada tembaga menggunakan aksara Buda di daerah manapun. Lain halnya dengan Piagem Kebantenan yang Holle sendiri sebut menggunakan aksara Kawi Miring. Dan pula aksara Buda yang ada di tatar Sunda tidaklah tegak sebagaimana yang beliau saksikan sendiri. 
        Di sini kita mungkin bisa sedikit mempertanyakan pernyataan Holle terkait paragraf yang kemudian dijadikan acuan utama oleh kalayak ramai. Sekalipun Holle menyebut jika aksara yang ditulis dengan tinta pada manuskrip kuno di wilayah Sunda disebutnya sebagai aksara Kawi Kuadrat atau Persegi, namun apakah aksara ini berkarakter tegak?
        Bukankah Holle sendiri yang berkata jika yang agak condong ke kanan itu disebut dengan Kawi Miring? Lalu bagaimana dengan aksara Buda yang tengah dibahas di sini? Adakah dia tegak, atau miring? Dan bagaimana pula dengan aksara Kawi Kuadrat model Merapi-Merbabu itu? Adakah keduanya itu termasuk ke dalam kelompok yang sama?
        Seandainya saja ada bukti yang bisa menguatkan pernyataannya itu. Sayangnya, lampiran yang diberikan terkait istilah Kawi ini pun tak banyak membantu. Alih-alih menulis frase aksara Buda, Holle justru menuliskan judulnya dengan bunyi “Naskah Kawi dari Tatar Sunda” dalam lampirannya atas edisi faksimili naskah yang diambilnya dari wilayah Jawa Barat itu.

Kawi Handscripten
Sampai sini, setidaknya kita tahu jika Holle tidak membuat istilah baru kecuali mengadopsi pernyataan Raffles. Dan kita juga tahu, jika keduanya masih spekulatif dalam penyebutan nama aksara ini, alias belum cukup yakin dengan apa yang diutarakannya. 
       Raffles memakai kata “usually” sedang Holle tiga kali memakai kata “meestal” dalam masing-masing paragraf yang menjadi pernyataannya. Dalam artian bahwa istilah “Aksara Buda” masih menjadi istilah yang longgar untuk digunakan sebagai penyebutan aksara yang dimaksud, sebagaimana yang Wilhelm Van der Molen (2001) nyatakan sebagai “lack of better terms.
Penyebutan nama yang Spekulatif
    Namun demikian, dari penjelasannya, setidaknya kita tahu bahwa di Jawa Barat dan Jawa Timur, tempat jenis aksara Buda ini berasal, terdapat lima jenis aksara dalam Tipe II, yaitu:

1. Kawi Kuno atau Kawi Tua yang merupakan      Kawi sebenarnya;
2. Kawi-Jawa  atau Jawa Kuno;
3. Kawi Miring;
4. Kawi Kuadrat atau Persegi  dalam hal ini  
     adalah aksara Buda, baik model Jawa Barat 
     maupun Merbabu, dan;
5. Aksara Sunda Kuno

        Kesemuanya itu termasuk ke dalam jenis aksara Abugida dari rumpun yang Wilhelm Von Humboldt[3] sebut sebagai Melayu-Polinesia (1836). Selain aksara Kawi Miring[4] atau Jawa Kuno, semuanya bisa dikatakan sebagai “scripta manent” atau “scriptio continua” atau tanpa spasi.

Pigeaud
Peneliti selanjutnya yang memberi istilah penyebutan aksara ini adalah, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1967). Pigeaud  menyebut aksara ini aksara Buda atau tulisan gunung. Menurutnya, aksara Buda dari akar kata “Buddha” ini berasal dari zaman pra-Islam yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai Zaman Buda. Sementara disebut gunung mengacu pada asal tempat di mana manuskrip dengan aksara ini ditemukan, yaitu di sekitar gunung Merbabu dan Merapi.
        Menurutnya naskah beraksara Buda merupakan naskah tertua yang ditulis sekitar abad ke-15 hingga ke-16. Walau demikian penelitian Molen (1983) mengungkapkan lebih jauh lagi, salah satu contohnya adalah naskah Kakawin Arjunawiwaha yang bertarikh 1334 M. Model dalam naskah ini ditulis dengan tinta dan bentuknya sama dengan bentuk aksara dalam naskah Kunjarakarna. (Kern 1901, Molen, 1983).
Kakawin Arjuna Wiwaha (1334 M)
        Dalam magnum opusnya[5], Literature of Java Volume I-III (1967, 1968, 1970), secara khusus Pigeaud membahas habis soal aksara Buda atau tulisan gunung ini. Tak tanggung-tanggung beliau pun melampirkan naskah beraksara Buda yang memiliki beberapa variasi ini. Variasi yang belum banyak diketahui khalayak umum ini disebutnya sebagai aksara yang kasar dan acak-acakan.
    Selanjutnya, penyebutan aksara ini juga dilakukan oleh J.G. de Casparis (1975). Seperti halnya Holle, Casparis juga menyebut aksara ini dengan aksara Kuadrat, dengan menghilangkankata Kawi di depannya. Akan tetapi aksara yang disebutnya ini tidak mengacu pada aksara Buda, melainkan adalah aksara sebagaimana yang tampak pada banyak prasasti yang ada di Jawa, khususnya Jawa Timur, wabil khusus lagi yang muncul di masa kerajaan Kediri. Maka dari itu aksara ini lebih dikenal dengan istilah Kuadrat Kediri. 

Aksara Buda menurut J.G. Casparis
Kenyataan ini membuat istilah aksara “kuadrat” memiliki dua paham yang berbeda (dualisme). Yang pertama, Kawi Kuadrat yang mengacu pada aksara Buda dalam kacamata Holle, dan aksara Kuadrat yang terdapat pada prasasti-prasasti di daerah Jawa Tengah, Timur dan Bali sebagaimana yang dimaksud Casparis.
    Secara lebih spesifik, Casparis menjelaskan jika aksara Kuadrat memiliki ciri khusus, yaitu aksaranya ditulis besar dan menonjol, dan memiliki bentuk persegi empat (kuadrat). Tidak banyak informasi terkait aksara ini karena Casparis (1975) sendiri dalam bukunya Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500 tidak membahas aksara Kwadrat secara mendalam. Terlebih Casparis sebagai peneliti lebih concern dengan prasasti ketimbang manuskrip.
    Selain Raffles, Holle, Piguead dan Casparis, para peneliti lainnya juga melakukan penyebutan terhadap aksara ini. Semisal, aksara Kawi seperti yang diungkapkan R. Friedrich, begitu juga peneliti dari negeri sendiri yakni Ribut Darmosutopo. Sedang Cohen Stuart, peneliti pertama yang menyusun katalog naskah koleksi Merbabu (1872), menyebutnya dengan istilah Jawa Kuno yang dianggap berasal dari abad ke-16 dan ke-17. Hal senada juga diungkapkan oleh Brandes dan Krom (1913).
        Lain halnya John Crawfurd (1820) yang menyebutnya sebagai aksara Barbar. Penyebutan juga dilakukan oleh Amir Rochkyatmo, Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka atau Leisya, dan Andrea Acri, yang akan dibahas satu persatu di sini.

Amir Rochkyatmo
Yang pertama adalah Amir Rochkyatmo (1996), peneliti dari negeri sendiri. Walau penjelasannya tidak sedang mengacu pada aksara Buda, namun ada informasi menarik terkait aksara Jawa yang beliau sampaikan. Beliau menyebut jika aksara Buda dalam karya Raffles, merupakan salinan dari buku Sekolah Raja di Magelang, yang kemudian menjadi koleksi Mayer Renneft. Koleksi Renneft yang berjudul Modellen van Oud Javaansch Schrift (1893) itu, tidak hanya berisi aksara Buda, tapi juga model aksara lainnya!
        Dalam penjelasannya, Rochkyatmo berkata jika model-model aksara yang digunakan pada masa pemerintahan seorang raja dan negerinya itu, bersifat fiktif dari segi historis. Tidak ada keterangan apa pun tentang kapan aksara itu digunakan, dan untuk kepentingan apa pula. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang diungkapkan T.E. Behrend dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara (1977). Menurut Behrend et. al., buku atau naskah tersebut memuat keterangan penggunaan “suryasangkala”, periode di mana aksara-aksara pada naskah itu digunakan.
    Penggunaan tahun “suryasangkala” alih-alih “candrasengkala” memberi kesan jika teks disusun oleh orang yang sangat terpengaruh tradisi Ronggowarsito di Surakarta. Naskah ini kemudian diberi nomor KBG 303/BA. 133 dan diberi judul Carakan Buda, yang dibedakannya dengan naskah PNRI/KBG 206 yang memuat tabel aksara Buda yang ditulis sendiri oleh Ronggowarsito.

KBG 303
    Namun demikian, baik naskah Renneft maupun Ronggowarsito, keduanya menyebutkan jika salah satu bentuk aksara dalam naskah itu dipakai oleh para pendeta di lereng gunung Merbabu (atau di Prambanan). Perbedaannya adalah bahwa salah satu model aksara pada naskah Renneft tidak bernama aksara Buda, melainkan Githayu!
        Sementara itu, Poerbatjaraka (1926: 8), yang juga merupakan peneliti dari Indonesia, menyebut aksara ini sebagai aksara Bali Pertengahan. Pernyataannya itu tidak terlepas dari studinya terhadap naskah nipah bernomor 164 berjudul Kakawin Arjuna Wiwaha yang ditemukan di Jawa Tengah.

Poerbatjaraka (Leisya)
    Menurut Romo Ignatius Kuntara Wiryamartana (1990: 17), bentuk aksara dalam naskah lontar 164 ini mirip dengan bentuk aksara pada naskah lontar 181 dengan judul yang sama. Sedang bentuk aksara pada naskah lontar 181 sama dengan bentuk aksara pada naskah lontar 187 dan naskah lontar K53 Kunjarakarna (prosa). Mengingat bentuk dan goresan tulisannya, lanjut beliau, aksara ini bisa disebut aksara Buda kursif atau Buda miring.
        Akan tetapi, model aksara yang dimaksud oleh Wiryamartana bukanlah aksara yang tengah dibahas saat ini, melainkan aksara Buda model lain, yang walau demikian disebut sama oleh Pigeaud. Sama-sama aksara Buda atau tulisan gunung meski memiliki model yang berbeda. Lain halnya dengan rekan sejawatnya, Willem van der Molen, yang di lain kesempatan, tidak hanya menyebut aksara ini sebagai aksara Buda, tapi juga Jawa-Buda (via Wiryamartana, 1990).
        Namun demikian, Poerbatjaraka juga pernah mengutip istilah aksara ini ketika beliau melakukan studi terhadap naskah Perpusnas RI bernomor 206 yang ditulis sendiri oleh Ronggowaristo. Naskah ini memuat tabel aksara Buda di mana salah satu terjemahan lariknya berbunyi: Punika haksara buda, hingkang kahangge para hajar-ajar hing redi. Ini adalah aksara Buda yang digunakan oleh para spiritualis di pegunungan. Demikian Poerbatjaraka engutip kata-kata Ronggaworsita sang pujangga.
        Barangkali inilah yang kemudian menjadi dasar Pigeaud menggunakan istilah aksara Buda dalam karyanya Literature of Java untuk membahas tiga model aksara Buda yang berakar sama.
Mata Rantai Yang Hilang

Martabat aksara Buda selanjutnya diperkuat lagi setelah Willem Van der Molen, Ignatius Kuntara Wiryamartana dan Kartika Setyawati banyak mempublikasikan kajian-kajian terkait naskah-naskah beraksara buda, khususnya koleksi naskah dari skriptorium Merapi-Merbabu.
        Willem van der Molen bahkan disebut-sebut sebagai peneliti pertama yang mengamati secara khusus salah satu naskah koleksi Merbabu berjudul Kunjarakarna LOr 226. Pusat perhatian dalam penelitiannya adalah paleografi dan penanggalan naskah. Beliau secara khusus mengamati masalah huruf dan penanggalan yang terdapat dalam naskah yang dikajinya.

Tidak seperti para peneliti lain yang menggunakan analisa model statis terhadap aksara Jawa, beliau justu menerapkan model dinamis. Van der Molen berpendapat jika huruf atau aksara itu lebih dari susunan garis saja, tapi juga merupakan hasil gerakan tangan (1983). Mendasarkan penelitiannya dari ahli paleografi Prancis, Jean Mallon (1948), mengenai sejarah tulisan latin, Molen menggunakan pendekatan yang meliputi lima segi:

1. Segi rupa atau bentuk lahiriah;
2. Segi sudut tulisan, yaitu sudut antara posisi alat menulis 
     dengan arah tulisan;
3. Segi duktus, yakni urutan penulisan garis dan arahnya;
4. Segi ukuran, yaitu panjang lebarnya huruf, dan terakhir;
5. Segi Ketebalan, yaitu garis tipis atau tebalnya huruf atau
     aksara
     Hasil penelitiannya untuk kemudian memberi sumbangan yang sangat berarti bagi sejarah kesusastraan Jawa, karena telah memberi gambaran yang tepat mengenai perkembangan huruf Jawa dari masa ke masa dan cara penghitungan penanggalan naskah yang sangat akurat.
Javaanshe Tekskritie
    Banyak temuan didapatkan dari Van der Molen, Wiryamantara dan Setyawati ini. Tidak hanya melanjutkan para peneliti sebelumnya, mereka pun menambahkan bahkan memperbaiki kesimpangsiuran perspektif terkait aksara Buda. Semisal bahwa sekalipun bernama aksara Buda, akan tetap aksara ini tidak muncul di zaman Buda, menegaskan apa yang sempat diungkapkan Cohen Stuart yang merevisi pendahulunya, R. Friedrich.
        Penyusunan Katalog Naskah Merapi-Merbabu (2002) oleh Tiga Serangkai ini tidak hanya melengkapi pernyataan Cohen, tapi juga membuka jalan penelitian terhadap naskah beraksara Buda. Beberapa di antaranya adalah Abimardha Kurniawan (2017) yang menelaah naskah “Nabi Aparas” dan sempat juga menyebut naskah lainnya seperti Sahadat Kalimah Kalih dan Tapel Adam dalam penelaahannya itu.

Katalog Naskah Merapi-Merbabu
Ada juga Agung Kriswanto (2019) yang fokus membahas soal naskah-naskah Keislaman dari Skriptorium Merapi-Merbabu, selain karyanya yang berjudul Gita Sinangsaya (2012), dan karya lainnya terkait naskah dari Koleksi Merapi-Merbabu. Kriswanto mengetengahkan nuansa Islam yang hadir dalam naskah-naskah beraksara Buda ini, seperti naskah Anbiya atau Carita Nira Para Nabi yang menceritakan kisah penciptaan dunia sebelum Nabi Adam sampai pada kisah para nabi yaitu: Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Ayub, Yunus, Daud, Suleman, Zakarya, Isa, dan Nabi Muhammad sampai wafatnya dan diganti sahabat Abubakar menjadi kalifah. Lalu naskah Primbon Pengobaran, She Ba Yajid, Sahadat Jati, naskah yang berisi makna sholat yang dimulai dari Takbiratul Ikram, dan masih banyak lagi.

Gita Sinangsaya
Satu yang pasti, karya para peneliti ini tak bisa dilepaskan dari jejak para peneliti sebelumnya dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Begitulah tesis berangkat dari antitesis berkelindan sebagai sintesis untuk kemudian menjadi tesis kembali. Adalah sebuah fakta bahwa sekalipun orang-orang telah mengenal aksara ini sebagai aksara buda, akan tetapi penelitian terbaru justru menyebut aksara ini sebagai aksara Jawa Kuno Bagian Barat. Seperti yang diungkapkan Andrea Acri ketika dirinya membahas naskah Dharma Patanjala (2011).
      Namun demikian, di atas semuanya, penelitian terhadap aksara Buda, khususnya koleksi naskah Merapi-Merbabu tak pernah seintens itu dilakukan oleh R. Friedrich dan Cohen Stuart sebagai pelopor, untuk kemudian dilanjutkan oleh Willem van der Molen, Kuntara Wiryamartana dan Kartika Setyawati sebagai peletak dasarnya. Bahkan tidak sedikit pula para peneliti yang mengikuti jejak tiga serangkai ini membedah naskah beraksara Buda.
        Pertanyaannya sekarang adalah:  Lalu apa nama aksara ini? Aksara Budakah? Aksara Gunungkah? Atau aksara Kawi Kuadrat? Aksara Jawa-Budakah? Atau, aksara apakah? 
       Sejatinya sungguh dilematis untuk memberi nama pada aksara ini. Pertama, tak seperti aksara Jawa dan Sunda yang keduanya dimiliki oleh mereka suku Jawa (Timur dan Tengah) dan Sunda, aksara Buda tidaklah demikian. Tidak ada suku Buda di Nusantara ini! Sekiranya saja ada suku yang bernama Buda di Indonesia ini, tentu aksara ini tidak akan diabaikan sebegitunya. 
      Permasalahan bahkan menjadi pelik tidak hanya soal penyebutan nama, tapi juga referensi naskah yang dimaksud para peneliti yang memberi nama pada naskah yang ditelitinya itu sebagai aksara Buda. Belum lagi masalah sanad dan masalah lain yang berada di wilayah yang berbeda, yakni filologi dan paleografi. 
    Seiring penelitian para filolog terhadap naskah-naskah yang ada, beberapa paleografer justru menyamakan antara aksara Kawi dan Jawa Kuno. Brandes, Kern, Cohen Stuart menyebut aksara Buda sebagai aksara Kawi karena dirasa lebih netral mengingat aksara tersebut tidak hanya digunakan di Jawa, tapi juga Sumatera, Bali bahkan Filipina. Lain halnya dengan Krom yang menyebutnya sebagai aksara Jawa Kuno.  
    Terlepas dari itu semua, aksara Buda—sebut saja demikian—bagaimanapun merupakan bagian dari Nusantara. Ia adalah hasil karya cipta, cita dan bagian dari Indonesia tercinta. Yang membuat sistem tulisan tak pernah sekaya ini di belahan dunia mana pun. Membuat para peneliti mancanegara melirikan matanya. Yang mestinya juga menjadi kebanggaan Indonesia untuk terus dikaji, dilestarikan dan dijaga. Semata untuk mencari pohon sejarah Nusantara yang akarnya sampai sekarang belum diketahui rimbanya. (Firman Nugraha*/”Saswaloka”)

*) Penulis lepas, peminat bahasa dan aksara kuno


[1] Penemuan naskah beraksara Buda berbahasa Sunda di Kabuyutan Ciburuy dan Cilegon Kabupaten Garut di waktu yang sama sebagaimana koleksi Merbabu ditemukan, pernah disyukuri oleh Willem van Der Molen (2011: 104). Akan tetapi, Selain fakta yang menyatakan bahwa Kabuyutan Ciburuy merupakan tempat yang penting (Sopian, 2020), tidak ada fakta lain yang menghubungkan antara Ciburuy dan Merbabu sebagai sebuah skriptoria. Bahkan KF. Holle (1882) sampai menyatakan bahwa ketimbang Jawa dan Bali dimana tradisi menulis tetap terjaga, asal muasal Kabuyutan Ciburuy penuh dengan ketidakjelasan. Maka, alih-alih mengetahui bagaimana aksara Buda bisa ditemukan di wilayah Jawa Barat dan digunakan pada naskah Sunda, kita tidak mendapat informasi lain lagi soal apa pun.

[2] Faktanya, buku Raffles tidak banyak digunakan sebagai referensi oleh para peneliti khususnya di bidang paleografi dan epifgrafi mengingat “miskinnya” sumber khususnya soal kesusastraan Jawa (c.f. Pigeud, 1970). Hal senada diungkapkan Donald E. Wheatherbee (Raffles’ Source for Traditional Javanese Historigraphy and the Mackenzie Collections, 1978) yang menganggap Raffles sebagai seorang yang abai perihal sumber bagi tulisan-tulisannya.       

[3] Menurut R. Friedrich (1849) Humboldt adalah peneliti pertama yang menyebut Kawi sebagai sebuah istilah dalam karyanya Uber die Kawi Sprach auf der Insel Java (1836). Menurut penuturan Humboldt, kata Kawi yang berasal dari akar kata “ku” dalam bahasa Sanskerta yang artinya adalah penyair, atau dalam turunannya yaitu orang yang bijak dan berpengetahuan.

    Berdasarkan penjelasannya, beliau sampai pusing mencari-cari kata Kawi dalam buku Raffles, dan hanya menemukan satu rujukan saja dan itu tidak berarti apa-apa, yaitu ketika Raffles menyebut kata Sekar Kawi yang mengacu pada metrum kakawin yang artinya Bunga bahasa.

        Namun demikian, penjelasan soal arti Kawi yang diutarakan Humboldt ini ternyata diiyakan oleh orang-orang Bali. Orang Bali bilang kalau Kawin atau Kakawin berarti “berkias” atau membuat perbandingan atau “berbicara dengan perbandingan” (berpuisi?). Inilah inti dari bagaimana puisi dibentuk. Dan puisi dalam pengertian orang Bali adalah kakawin.  

Dalam suratnya kepada August Wilhelm Schlegel, tertanggal 24 October 1832, Humboldt berkata jika dia berterima kasih atas kebaikan Crawfurd karena telah mendapat teks Kawi yang dicetak dengan tidak benar oleh Raffles untuk kemudian dijadikan penelitiannya.

[4] Sekalipun tampak sederhana, di sini kita cukup dibingungkan dengan istilah Kawi Miring Holle dan Brandes dkk. Kawi miring-nya Holle adalah Kawi Kuno yang ditulis secara miring sebagaimana tampak pada Piagam Kebantenan. Sedangkan, Kawi miringnya Brandes, Cohen Stuart, Van der Tuuk, Krom, bahkan Crawfurd dan Humboldt sekalipun tak lebih dari sekadar Jawa Modern, dan bukan aksara Jawa Kuno (Kawi sebenarnya) sebagaimana yang dibahas Brandes dan Krom dalam Oud Javaneese Oorkonden: Nagleten Inscriptie (1913).

[5] Karya Pigeud ini tak terlepas dari kritik para peneliti ihwal kualitas bahasa Inggrisnya (c.f. Teeuw, 1972), walau begitu hal tersebut tidak lantas mengurangi kualitas isi secara keseluruhan. 

Video terkait Aksara Buda ini dapat ditonton di kanal Youtube SA Anugrah . 

Cara Mengutip Artikel ini 

Nugraha, Firman. (2021). Aksara Buda: Sebuah Pengantar. Dalam Saswaloka. Diakeses pada <bulan>, <tahun>, dari https://upacarausia.blogspot.com/2021/04/aksara-buda.html


KEPUSTAKAAN

Acri, Andrea.

2011         “Dharma PatañjalaA Saiva Scripture from Ancient Java, Studied in the Light of Related Old Javanese and Sanskrit Texts.” Leiden: Leiden University.

Anjani, Anggita         

2019    Lontar Darmawarsa: Edisi Teks dan Terjemahan. Jakarta: Perpusnas RI

Atja dan Saleh Danasasmita

1981     Sanghyang Siksakanda Ng Karesian: Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 Masehi. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

Atmodjo, M.M. Sukarto K.

1984       “Mengungkap Masalah Pembacaan Prasasti Pasrujambe,” Berkala Arkeologi VII, hlm. 39—55.

Behrend, T. E. dan Titik Pudjiastuti

1977       Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara. Jilid 3A dan 3B : Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Obor Indonesia bersama EFEO.

Brandes J. L. A.

1901-1926 Beschrijving der Javaansche, Balineesche en Sasaksche Handschrijften aangetroffen in de Nalatenschap van Dr. H. N. van der Tuuk, en door Hem Vermaakt aan de Leidsche Universiteits-bibliotheek. Batavia: Landsdrukkerij.

Burgess, Jas (Ed)

1984    The Indian Antiquary: A Journal of Oriental Research Vol X. Delhi: Swati Publication  

Casparis, J.G. De

1975    Indonesian Palaeography, A History of Writings in Indonesia from the Beginnings to C. AD. 1500, Leiden/Kőln, E.J.Brill.

1985    Penyelidikan Prasasti. Amerta 1 (4), hlm. 25-29

Cohen Stuart, A. B.

1872    Eerste vervolg catalogus der bibliotheek en catalogus der Maleische, Javaansche en Kawi handschriften van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: Bruining & Wijt, ’s-Hage: Nijhoff.

1875    Kawi Oorkonden in Facsimile, met Inleiding en Transciptie. Leiden: E. J. Brill

Crawfurd, John

1820    History of the Indian Archipelago: Containing an Account of the  Manners, Arts, Languages, Religions, Institutions, Commerce of Its Inhabitants. Volume 2. London: Archibald Constable and Co. Edinburgh.

Damais, L. C.

1952    I. Etudes d'Epigraphie Indonesienne.” Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient, Année 1952, Volume 46, Numéro 1 p. 1 - 106

1955    II. Etudes d'épigraphie indonésienne: IV. Discussion de la date des inscriptions. In: Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient. Tome 47 No. 1, 1955. pp. 7-290;

Darmosoetopo, Riboet

1982    "Analisa Sementara Keropak dari Dakan". Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi II, 25—29 Februari 1980. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta, Depart emen Pendidikan dan Kebudayaan.

Darsa, Undang. A.

2010    “Sanghyang Hayu: Sebuah Pengetahuan Tentang Kebajikan”, dalam Jumantara Vol 1 No. 2, hlm. 53-64.

Djafar, H.

1994    Prasasti Huludayeuh, dalam  Berkala Arkeologi, Vol 14 No. 2, hlm. 197–202.

2011     Perkembangan Aksara di NusantaraKatalog Pameran Lambang & Aksara, Direktorat Permuseuman, 6-21 Oktober.

Drewes, G.W.J.

1969    The Admonitions of Seh Bari: A 16th century Javanese Muslim text attributed to the Saint of Bonah re-edited and translated with an introduction. BI 4. The Hague: Martinus Nijhoff.

Friederich, R.

1849    “Ardjoena Wiwaha, een oorspronkelijk Kawi-werk, volgens een Balineesch manuscript met interlineairen commentarius”, Verhandelingen Bataviaasch Genootschap 23.

1849    “The Language and Literature of The Island of Bali.” In The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia Vol 3 , p. 119-235. Singapore: G. M. Frederick

1854    Over inscriptiën van Java en Sumatra voor het eerste ontcijferd. Vol I. Barracuddas: Lange & Company

1852    “Boma Kawja, in het oorspronkelijk Kawi.” Batavia: Verhandelingen Bataviaasch Genootschap 24

Florida, Nancy K.

1993    Javanese Literature in Surakarta Manuscripts. Vol 1: Introduction and Manuscripts of the Kraton Surakarta. New York: Southeast Asia Program. Cornell University Ithica.

Rakai Hino Galeswangi

2020    “Media Pembelajaran Pada Abad XV M: Studi Kasus Prasasti Widodaren, Gerba, Dan Pasrujambe”, dalam Berkala Arekologi, Volume 40 No. 1, Mei, hlm. 127-148

Gericke, J.F.C.

1931     Eerste Gronden Der Javaansche Taal, Benevens Javaansch Leer- En Leesboek Met Eene Woordenlijst Ten Gebruike Bij Hetzelve. Batavia.

1844    '”Serat Wiwaha Jarwa inggih Serat Mintaraga Sekar Macapat", dalam VBG 20.

1850    “Wiwaha Djarwa en Brata Joeda Kawi (Fragmen).” in Tijdschrift des Genootschaps Deel XXI. Batavia: Bruining & Wijt, ’s-Hage: Nijhoff.

J. Gonda

1986    Naar Aanleiding van: A. Teeuw, De tekst, en W. van der Molen, Javaanse Tekstkritiek In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 142, no: 4, Leiden, 447-452

Gunawan, Aditia

2009   Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan. Jakarta: Perpusnas RI  

2015    Nipah or GebangA Philological and Codicological Study Based on Sources from West Java. Downloaded from Brill.com, 02/06/2021, 02:33:34PM

Gunawan, Aditia dan Agung Kriswanto

2009   “Kala Purbaka: Kisah Batara kala dalam Teks Sunda Kuno”, dalam Pulung Kraton Pajajaran, Seri Sundalana.  Bandung: Pusat Studi Sunda

Humboldt, Wilhelm von

1836    Uber die Kawi Sprach auf der Insel Java nebst einer Einleitung uber die Verschiedenthesit des menschilchen Sprachbaues un ihren Einflufs auf de geistige  Entwickelung des Menschengeschlschts. Berlin: Ester Band.

Holle, Karel Frederik

1882    Tabel Van Oud-En Nieuw-Indische Alphabetten: Bijdrage Tot de Palaeographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: W. Bruining & Co. & ‘s Hage, M. Nijhoff.

1867    Vlugtig berigt Omtrent eenigne lontar-handscripten, afkomstig uit de Soendalanden, door Raden Saleh aan het Bataviaasch Genootschap van K. en W. ten geschenke gegeven, met toepassing op de inscription van Kwali. In Tijdschrift Voor Indische Taal-, Land- En Volkenkunde Del XVI, p. 450-471. Batavia: Albrecht & Co. 'Shage, M, Nijhoff.

Jusuf, Jumsari

1982    Naskah Kuno Koleksi Museum Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Kern, H.

1871     Kawi-studien: Arjuna Wiwaha, Zang I en II; Teks en vertaling. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Kriswanto, Agung

2012    Gita Sinangsaya. Jakarta: Perpusnas RI

2019    “Naskah-naskah Keislaman dari Scriptorium Merapi-Merbabu di Perpustakaan Nasional,” dalam Jumantara, Vol. XX No. 1. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Kumar, Ann, and John H. McGlynn (eds),

1996    Iliuminations; The writing traditions of Indonesia; Featuring manuscripts from the National Library of Indonesia, Jakarta: The Lontar Foundation / New York/Tokyo: Weatherhill.

Kurniawan, Abimardha

2017    Mencapai Keselamatan: Tinjauan Awal Pengaruh Islam dalam Skriptoria Merapi-Merbabu Abad 16-18. Jurnal Sejarah Vol. I (1), 1-29

Krom, N. J.

1927       Barabudur: Archeological Description. Batavia: The Hague Martinus Nijhoff   

1913        Oud-Javaansche Oorkonden. Nagelaten transcripties van Wijlen Dr. J. L. A. Brandes. In Verhandelingen Van Het Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen Deel LX. Batavia: Albrecht & Co. 'Shage, M, Nijhoff.

1946       Over De Dateering Van Eenige Kawi-Geschriften. In Tijdschrift des Genootschaps Deel LVII: 508—521        

McDonald, B.

1983    "Kawi and Kawi Miring: Old Javanese literature in eighteenth century Java". Vol I-II. Tesis Doctor of Philosophy pada Australian National University, Canberra.

Meij, Dick van der.

1996    Nabi Aparas: The Shaving of the Prophet Muhammad’s Hair. Leiden: Indonesia-Netherlands cooperation in Islamic Studies.

Molen, W. van der

1983    Javaanse tekstkritiek. Een overzicht en een nieuwe benadering, geillustreerd aan de Kuñjarakarna. Leiden: KITLV. VKI 102.

1985    “Sejarah dan Perkembangan Aksara Jawa”, dalam Aksara dan Ramalan Nasib dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta; Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Nusantara, Direktorat Jendral Kebudayaan, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan RI.

2011     Kritik Teks Jawa. Sebuah Pemandangan Umum dan Pendekatan Baru yang Diterapkan Kepada Kunjarakarna. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Molen, W. Van Der dan I. Kuntara Wiryamartana

2001    “The Merapi-Merbabu Manuscripts: A Neglected Collection”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 157. No. 1, 51—64. 

Munandar, A. A.

2010    “Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-Buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14-16 M)”, dalam Jumantara Vol. 01 No. 1, hlm. 27-48.

Nastiti, Titi Surti

2017    Perkembangan Aksara Kwadrat Di Jawa Tengah, Jawa Timur, Dan Bali: Analisis Paleografi, dalam Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 3, November, hlm. 175-188.

Noorduyn, J.

1982    “Bujangga Manik’s journeys through Java: Topographical data from an Old Sundanese source”. BKI 138: 413-442. 

Noorduyn, J dan A. Teeuw

2006   Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV Press. Edisi terjemahan: Tiga Pesona Sunda Kuna (2009) Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Penyusun, T.

1992    Serat Sanghyang Siksakandang Karesian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Penyusun, T.

1997    Pelestarian dan Usaha Pengembangan Aksara Daerah Sunda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 

Pigeaud, Th, G, Th.

1960    Java in the 14th Century. A Study in Cultural History. Vol. II. Notes on the Texts and the Translations. The Hague: Martinus Nijhoff.

1963    Java in the 14th Century. A Study in Cultural History. Vol. V. Glossary, General Index. The Hague: Martinus Nijhoff.

1967    Literature of Java. Vol. I. Synopsis of Javanese Literature, 900-1900 A. D. The Hague: Martinus Nijhoff.

1968    Literature of Java. Vol. II. Descriptive list of Javanese manuscripts. The Hague: Martinus Nijhoff.

1970    Literature of Java. Vol. III. Illustrations and fascimiles of manuscripts, maps, addenda and a general index of names and subjects. The Hague: Martinus Nijhoff.

1980    Literature of Java. Vol. IV. Supplement. Leiden: Leiden University Press.

Poerbatjaraka, R. M. Ng.

1926    Arjuna-Wiwaha: Tekst en vertaling. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

1933   “Lijst der Javaansche handschriften in de boekerij van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap”. Jaarboek Bataviaasch Genootschap 1: 269-376.

1933    Niticastra: Oud-Javaansche Tekst Met Vertaling. Koninklijk Bataviaasch Genootschap. Jaarboek Bataviaasch Genootschap. Bandoeng; A. C. Nix & Co.

Prichard, James Cowles

1847    History of The Oceanic and of The American Nation: Researches Into the Physical History Of Mankind vol V. London: Sherwood, Gilbert, And Piper.

Pudjiastuti, Titik

2009   Tulisan Pegon: Wujud Identitas Islam-Jawa, dalam Suhuf Vol. II No. 2, hlm. 271-284

Raffles, T.S.

1830        The History of Java. Vol. I & II. London: John Murray. Albemarle-Street.

Rahayu, Andriyati

2009   Naskah Naskah Merapi Merbabu: Tinjauan Atas Aksara Dan Perkembangannya. Jakarta: Tesis UI. Unpublished

Rendra, Agusta

2018    “I Sakala Dihyang: Relasi Prasasti Akhir Majapahit dan Naskah-Naskah Merapi Merbabu.” Jumantara Vol 9 No. 2, hlm. 49-68

Ricklefs, M. C dan P.Voorhoeve

1977    Indonesian Manuscripts in Great Britain. A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections. London Oriental Bibliographies vol. 5. Great Britain: Oxford University Press.

Ricklefs, M.C., P. Voorhoeve., Annabel The Gallop.

2014    Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalugue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections (New Edition with Addenda et Corrigenda). Jakarta: EFEO, Perpusnas RI, Yayasan Obor Indonesia.

Rochkyatmo, Amir

1996    Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode  dan Teknis Menulis Aksara Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ruhimat, Mamat, Aditia Gunawan dan Tien Wartini

2014    Kawih Pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Sunda Kuna dan Teks-Teks Lainnya. Jakarta: Perpusnas RI

Santos, Norman de los

2015    Philippine Indigenous Writing Systems In The Modern World. Presented at the “Thirteenth International Conference on Austronesian Linguistics”. 13-ICAL Academia Sinica, Taipei, Taiwan. Downloaded from www.academia.edu, Sunday, February 07, 2021, 5:26:54 PM

Schlegel, August Wilhelm

            1823    Indische Bibliothek eien Zeitschrift Vol 3. Bei E. Weber.           

Setyawati, Kartika

1995    “Naskah-naskah Merapi-Merbabu Koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia: Tinjauan Awal”, Humaniora I,  halaman: 35-42.

2010   “Kidung Surajaya: (Surajaya sebagai Tirthayatra)”. Jumantara (Jurnal Manuskrip Nusantara), Vol. I. No. 1. Perpustakaan Nasional RI.

2015    Kidung Surajaya. Disertasi. Leiden.

Setyawati, Kartika, I. Kuntara Wiryamartana, W. van der Molen

2002    Katalog Naskah Merapi-Merbabu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, Leiden: Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië Universiteit Leiden. Serie Pustaka Windusana 1.

Sopian, Rahmat

2011     “Potensi Pemaknaan Aksara Sunda Kuno Melalui Naskah Bima Swarga 623. Jumantara Vol II No. 1, hlm. 1-15.

Susanti, Ninie

2018    “Variety of Distinct Style Scripts in Inscriptions Found in Mandalas of the Late Majapahit Era: An Overview of the Paleography to Mark Religious Dynamics.” In Cultural Dynamics in a Globalized World (1st ed., pp. 585–592)

Suparta, I. Made

2016    Teks Putru Kalĕpasan Merapi-Merbabu:  Kajian Filologis dan Konsep Eskatologis Jawa Kuno Abad Ke-16 Masehi. Disertasi. Jakarta: UI. Unpublished

Susanti, Ninie dan Agung Kriswanto

2008   “Damalung: Skriptoria Pada Masa Hindu-Budha Sampai Dengan Masa Islam.” Makalah Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XII, Bandung, 4-7 Agustus.

Tuuk, H. N van der

1897-1912 Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenboek. 4 jilid. Batavia:

Landsdrukkerij.

1875    Geschiedenis van Boma, naar een Maieisch handschrift van de Royal Asiatic society. In Tijdschrift des Genootschaps Deel XXI, by Stortenbekker, W. Jr et al (ed). Batavia: Bruining & Wijt, ’s-Hage: Nijhoff. p. 91-101.

Wiryamartana, I. Kuntara

1990    Årjunawiwåha. Transformasi Teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

1993    “The Scriptorium in Merbabu-Merapi Area.” In Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149: No. 3, halaman 503—509.

2012    “Filologi Jawa dan Kuñjarakarna Prosa,” dalam Jumantara Vol. 3 No. 1 (2012), hlm. 178 – 195.

Zoetmulder, P. J.

1957    "Kawi and Kakawin", In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 113 (1957), no: 1, Leiden, 50-69 Downloaded from Brill.com, 03/18/2021, 11:01:20AM

1983    Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Seri ILDEP. Jakarta: Penerbit Djambatan.

No comments:

Post a Comment