Sunday, December 28, 2014

5 ALASAN MENGAPA KITA TAK BISA MEMBUAT BAND ATAWA LAGU FAVORIT DALAM SEBUAH DAFTAR


Sebagai salah satu bentuk kebudayan, musik/lagu seakan telah mendarah daging dalam diri manusia. Ia tumbuh, hidup dan bahkan mati bersama kita.
Akan tetapi sejauhmana musik/lagu benar-benar berpengaruh terhadap diri seseorang? Hal ini tentu ditengarai dari bagaimana perkenalan dia dengan musik/lagu dan bagaimana dia bisa “menghidupi” yang disukainya itu. Suka (?)
Seperti halnya keinginan atau kebutuhan, kesukaan seseorang terhadap musik/lagu bisa jadi tak ada habisnya. Sejauh manusia hidup di muka bumi, sejauh itu pula musik/lagu takkan habis dicari, didengarkan, dicerna dan sebagainya, tentu dalam kacamata sebagai penikmat; karena selama itu pula musik akan terus berlahiran dari tangan penciptanya, didendangkan oleh para penyanyinya.
Permasalahannya sekarang adalah, mungkinkah kesukaan seseorang terhadap lagu/ musik akan sama dan setara dengan apa yang disukai orang lain—setidaknya  untuk genre tertentu saja? Orang mungkin akan lebih suka dengan Nirvana ketimbang Alice In Chains, lebih suka dengan L’Arc~en~Ciel ketimbang MUCC, bahkan bisa jadi ada yang lebih suka Bungsu Bandung ketimbang Darso bahkan Rhoma Irama ketimbang Inul sekalipun.
Fenomana ini ternyata memicu satu atau sekelompok orang dengan atau tanpa sekonyong-konyong menggulirkan peringkat terhadap lagu/musik termasuk pelantunnya. Dengan kata lain, mereka membuat daftar band atau lagu terbaik sebagaimana yang kebanyakan tampak di begitu banyak situs. “100 Greatest Jazz of All Time,”50 Lagu Terbaik Sepanang Masa,” “10 Band Jepang Terbaik,” malah sampai ada juga yang membuat daftar “Lagu yang Harus Didengarkan Sebelum Kamu Mati” segala. Begitulah judul-judul itu mengisi laman-laman situs dan halaman majalah. Ah, Anda bisa menemukan seabreg judu-judul senada lewat mesin pencari milik Mbah Gugel.
Akan  tetapi, kembali ke pertanyaan sebelumnya: Mungkinkah kita membuat daftar-daftar semacam itu? Kenyataannya, acapkali tak sedikit orang-orang kontra dengan daftar band atawa lagu terbaik yang diposting sebuah situs di lamannya. Bahkan tak sedikit mencak-mencak bahkan perang urat syarat hanya karena band/lagu favoritnya tak ada dalan daftar yang dibacanya. Inilah masalahnya!
Sungguh hal yang menyedihkan karena kenyataannya, kita, siapapun, tidak bisa sungguh membuat daftar band/lagu terbaik semacam itu. Apalagi mengultimatum bahwa daftarnya itu lebih baik, valid atau yang terbaik yang pernah ada. Ada beberapa ALASAN MENGAPA KITA TAK BISA MEMBUAT BAND ATAWA LAGU FAVORIT DALAM SEBUAH DAFTAR.
Pertama, Beda Generasi. Tak bisa dinafikkan bahwa kita, saat ini, hidup di antara generasi yang berbeda. Generasi lawas tahun 70-an, misalnya, punya lagunya sendiri. Pun dengan generasi 80 atau 90-an dan generasi selanjutnya. Generasi lawas tak mungkin memaksakan diri untuk menyukai lagu-lagu modern model ajeb-ajeb, pun sebaliknya. Zaman dan lingkungan mempengaruhi setiap orang, dan musik adalah satu satu dari yang mempengaruhi itu.
Kalaupun ada generasi lawas yang suka dengan lagu-lagu modern abad 21, mungkin kita bisa menyebut jika orang itu gaul atau open-minded dan open-hearted, apa pun kepentingannya. Artinya, dia ikut perkembangan. Tapi jika ada generasi milenium tiba-tiba menyukai lagu-lagu lama, apa tidak nanti justru malah dipanggil tua, kuno atau ketinggalan zaman? Kalaupun harus memaksakan diri membuat daftar, maka daftar itu bisa jadi berlaku di satu generasi tapi tidak berlaku di generasi yang lain. Tidakkah aneh seandainya ada orang yang membuat daftar band terbaik Indonesia dengan memasukkan Noah, Sheila On 7, Padi,  Boomerang bersama-sama Elpamas, God Bless, Koes Plus dan Panbers dalam daftar yang sama? Jika hanya daftar mungkin tidak masalah. Tapi jika harus memberi rangking siapa yang paling bagus, bukan tidak mungkin hal ini malah menimbulkan perdebatan. “Memang Panbers sama Pantovel apa hubungannya?” tanya anak muda yang suka memutar lagu-lagu D’Masiv.   
Kedua, Beda Taste Alias Rasa. Bayangkan seorang kelahiran 60/70-an yang terbiasa mendengar lagu dengan kualitas suara musik yang “orisinil”, terdengar oleh kita seakan kasar atau mentah atau beledak-beleduk, tiba-tiba harus mendengar lagu semisal Idioteque-nya Radiohead. Alih-alih mendengarkan, orang itu mungkin mematikan pemutar musiknya sambil berkata: “Musik kok kayak takbiran!” Lalu, apa bedanya dengan mereka yang kelahiran 90-an atau 2000-an dan harus mendengarkan lagu-lagu tahun 60 atau 70-an? Hidup itu maju, seperti juga teknologi. Dan teknologi sebuah musik/lagu juga sangat mempengaruhi telinga yang mendengarnya, tergantung generasinya.  
Satu yang harus dicamkan bahwa manusia dibentuk oleh lingkungannya dan lingkungan akan memengaruhi bagaimana dia merasakan sesuatu. Seseorang yang terbiasa mendengar musik Indonesia atau Dangdut seumur hidupnya, mungkin akan menutup telinga ketika harus mendengarkan musik, semisal, Linkin Park, System of A Down atau Tokyo Jihen sambil berkata: Musik naon sih ieu teh? Teu puguh pisan! Ganti ganti ganti!” Nah, apa bedanya dengan anak-anak zaman sekarang yang, kalaupun harus dipaksa, mendengarkan lagu-lagu jadul semisal The Beatles, Yutaka Ozaki, atau Pance Pondaaq? Belum lagi masalah latar belakang dan pendidikan, dua hal ini saja sangat berpengaruh juga terhadap penerimaam musik yang disukai dan dinikmati seseorang.
Ketiga, Telinga Hanya Dua. Tuhan memberi dua telinga agar kita lebih banyak mendengar. Akan tetapi urusan musik, adakah seseorang sudah mendengar begitu banyak musik seumur hidupnya, setidaknya ketika dia hidup di generasinya sendiri? Kenyataannya, bahkan, seseorang yang, misal, hidup di generasi tahun 90-an mungkin hanya mendengar  beberapa lagu saja, itu pun yang populer.
Seseorang mungkin mendengar Bintang-nya Air, atau Pernah Mencoba-nya Dr. PM, atau Bukan Pujangga-nya Base Jam, atau Sweet Child O’ Mine-nya Guns & Roses, atau Enter Sandman-nya Metallica, dan banyak lagi. Tapi apakah dia benar-benar mendengarkan semua lagu-lagu di albumnya itu. Mungkin ada. Tapi, tetap saja telinga hanya dua, dan tidak semua musik bisa didengarkan semuanya, entah itu lagu Indonesia atau Barat; belum lagi menyebut lagu-lagu yang ada di negara lain.
Terlebih kita yang hanya manusia awam, yang kadar kapasitasnya sebagian besar hanya sebagai penikmat dan bukan pecinta, Ahmad Dani yang katanya musisi dan sempat menjadi juri di, sebutlah, Indonesian Idol saja sempat geleng-geleng ketika salah satu pesertanya mau menyanyikan lagu, yang ternyata dia tidak pernah dengar. Padahal, lagu itu lagu zaman sekarang. Bedanya ia dinyanyikan oleh orang Barat sana. Musisi gitu loh? Yang hidupnya tumbuh bersama musik/lagu setiap detiknya? Apa lagi kita?
Bagaimanapun, apa yang seseorang dengar belum tentu sama dengan yang orang lain dengar, begitu juga sebaliknya. Maka dari itu, alasan ini juga yang membuat mengapa seseorang tak bisa membuat daftar lagu terbaik, karena pertanyaan kembali: Seumur hidup berapa banyak lagu yang sudah kita dengar? Apakah kita sudah benar-benar mendengar semua lagu? Sekali lagi, apakah kita sudah benar-benar mendengar semua lagu?
Keempat, Hanya Ada Satu Televisi dan Banyak Radio. Kita harus menyadari bahwa kenyataan mengatakan bahwa di negeri tercinta ini kita hanya punya satu stasiun televisi. Stasiun TV yang tidak lagi memutarkan lagu-lagu, terkecuali alasan komersil. Dulu kita bisa tahu lagu-lagu baru di program Delta atau Clear Top Ten, 100% Ampuh (Ajang Musik Pribumi Sepuluh). Sekarang? Janganlah sebut program-program musik yang sekarang marak di stasiun-stasiun TV itu. Itu bukan program musik! Itu hanya penghias saja dengan para figuran sebagai cheerleader-nya. Jadi, tidak usahlah menyebut apakah mereka punya daftar musik berkualitas atau tidak. Karena musik yang kemarin direkam di studio, hari ini diputar di TV, besoknya sudah hilang entah ke mana. Sad but true, tapi begitulah kalau kreativitas dikomersilkan. Sebagian punya idealisme, tapi lebih banyak lagi yang “materialisme”.
Akan tetapi kita pun harus senang bahwa ternyata kita masih punya banyak stasiun radio yang memiliki programnya masing-masing. Program-program musik dengan berbagai genre-nya yang memanjakan para pendengarnya. Pagi bagian musik up-to-date, siang bagian musik dangdut, sore bagian musik lawas, malamnya musik mellow. Tak hanya itu, setiap radio pun punya program musik unggulan. Ada yang memutar Jazz saja, Blues saja, Reggae saja, Dangdut saja dan banyak saja-saja yang lainnya. Kenyataan ini membuktikan bahwa kita makin bingung untuk membuat daftar lagu terbaik, karena setiap stasiun punya versinya masing-masing. Memaksakan kehendak? Itu jelas bukan demokrasi. Tapi bagaimanapun, tetap, kita harus bersyukur bahwa kita punya radio. Setidaknya hanya media ini yang tetap setia memutar lagu-lagu. Lain tidak!
Kelima, Tanpa Alasan. Tak ada alasan mengapa tulisan ini hanya menyuguhkan lima (baca: empat) alasan  mengapa kita tidak bisa  membuat grup band atawa penyanyi atawa lagu favorit dalam sebuah daftar. Karena sesungguhnya, begitu banyak alasan lain mengapa kita bisa melakukan hal itu. Poin satu sampai empat bisa jadi alasannya. Selebihnya, bisa jadi pertimbangan genre musiknya, bisa jadi pengaruh musik/lagu itu terhadap masyarakat pendengarnya, bisa jadi aksesibilitas yang mengekspos musik/lagu itu sendiri, bisa jadi hal-hal politis lainnya semisal label mayor atau indie, dan lain sebagainya. Pokoknya bisa-bisa saja.
Satu yang pasti, tak ada rumus apakah sebuah lagu/musik itu bagus atau tidak. Semua tergantung opini orang per orang, yang tentu saja subjektif. Setidaknya musik/lagu akan terus ada, lahir, tumbuh dan berkembang tanpa batas ruang dan waktu, sejauh manusia tetap menciptanya, sejauh manusia mengapresiasinya. Setidaknya, itu sudah lebih dari cukup untuk berkata bahwa musik ada di antara kita dan di dalam tubuh kita, menghibur kita manusia yang pejalan sebelum “musik sejati” pada akhirnya menjemput. (Fim Anugrah/”Saswaloka”)