Wednesday, January 30, 2013

Obituari Hujan

Burung akan meninggalkanmu
Saat mata hanya tatap
Dan cuaca tak lagi petaka
Tinggal hening menggaris di atas hening

Entah berapa pesan telah diabaikan
Kolom-kolom kosong melapak ruang
Tanah-tanah lapang tembok lumutan
Barangkali kebisuan yang amat panjang

Kau pun tak lagi mengenal tanah
Menyaksikan gugur daun dan embun basah
Seperti dulu waktu mengajarimu
Menjelaskan makna ibu

Karena selain menghitung anak tangga
Pasak-pasak kayu menghujam perutmu
Kau tak lagi mencercap dingin air
Hujan yang telah melahirkanmu

Pag, 30 Jan 2013

Tuesday, January 22, 2013

Persoalan Teknik Belajar Bahasa


Kita mungkin pernah bertanya: Bagaimana cara belajar bahasa yang baik itu? Apa harus kita menghapal abjad dari bahasa yang sedang dipelajari? Apa harus mempelajari tata bahasa dan mengenal kosa kata terlebih dahulu? Atau, apa langsung pada percakapan saja? Dengan kata lain, teknik apa yang efektif dalam belajar bahasa?

Pada hakikatnya, tidak ada teknik belajar bahasa yang mutlak efektif—untuk mengatakannya tidak efektif sama sekali. Persoalan teknik sepenuhnya bergantung pada kebutuhan pembelajar dalam mempelajari bahasa yang sedang dipelajarinya.

Dalam ruang lingkup formal (institusi) khususnya, kebanyakan pembelajar bahasa barangkali terlebih dahulu (baca: mau tidak mau) harus mengenal abjad dari bahasa yang sedang dipelajari. Misal, anak sekolah yang menghapal abjad ABC sampai Z dalam belajar bahasa Inggris, maupun bahasa yang lain seperti Prancis, Jerman atau Rusia. Sayangnya, hal ini tidak berlaku jika si pembelajar mempelajari bahasa, semisal bahasa Jepang, bahasa Arab, atau Sanskerta. Karena, jelas ketiga bahasa tersebut berbeda dengan bahasa latin yang abjadnya dimulai dari A dan diakhiri dengan Z.


Monday, January 21, 2013

Tentang Kamar Mandi

Apa yang kita tahu soal kamar mandi atau toilet atau hamam? Tempat buang ari besar? Tempat buang ari kecil? Barangkali pengetahuan kita tidak lebih dari itu. Padahal, kamar mandi lebih dari sekedar kamar yang seringkali menjadi penampung bagi kita membuang “beban” hidup.

Tidak ada yang tahu jika kamar mandi bisa membuat seorang Oneng (Rieke Diah Pitaloka) menjadi seorang penyair lewat antologi puisinya yang berjudul Renungan Kloset. Bahkan penulis sendiri pernah merasakan bagaimana kamar mandi menjadi semacam “gua hira” dimana inspirasi, ide-ide dan pemikiran bermunculan di kepala.
Di dalam kamar mandi, seseorang punya dunianya sendiri, dan tidak hanya “dunia” aktivitas yang biasa kita lakukan. Beberapa orang mungkin menjadikan kamar mandi tempat biasa dimana aktivitas di dalamnya adalah privacy. Aktivitas personal dimana orang yang berada di luar tidak boleh mengetahui apa yang kita lakukan. Kalau perlu kita yang sedang di kamar mandi pun tidak boleh mengetahuinya. Buktinya? Bukankah kita sering membuka kran keras-keras agar aktivitas yang tengah kita lakukan tidak diketahui orang lain? Mungkin ada rasa malu. Tapi kenapa juga harus malu, lha wong kita memang melakukan aktivitas yang sudah pada tempatnya kok?
Mengapa kita tidak malu jika berbuat salah pada orang lain? Mengapa kita tidak malu ketika melanggar peraturan dan tata terbit di sekolah? Mengapa di ruang publik kita tidak malu dengan sikap dan perilaku kita yang bahkan bisa jadi merugikan orang lain? Anehnya, mengapa justru di kamar mandi kita masih punya malu—sesuatu yang sebenarnya tidak harus kita malukan. Setelah kita di kamar mandi, ritual pun dimulai.
Sebagian orang mungkin hanya sebatas membuang “beban” hidup. Di antara mereka ada yang bernyanyi—mungkin mengekspresikan diri untuk menjadi seorang penyanyi yang belum kesampaian. Ada juga yang menangis, entah karena tidak bisa makan atau karena diputuskan oleh pacar. Dan banyak lagi hal yang semacam ini. Sayangya, tidak untuk sebagiannya lagi. Mereka menjadikan kamar mandi sebagai tempat merenung: memikirkan diri sendiri, memikirkan masalah, bahkan memikirkan masa depan. Terlebih, jika kita punya waktu banyak di kamar mandi. Bagi mereka, secara tidak sadar, kamar mandi menjadi tempat untuk bertanya pada diri sendiri. Dengan kata lain tempat berkontemplasi. Pada saat itulah orang-orang semacam ini memiliki dunianya sendiri.
Layaknya beres mandi di kamar mandi, mereka pun keluar dan merasa ada sesuatu yang didapat, entah jawaban atau mungkin semangat. Satu yang pasti, kamar mandi telah menjadi semacan “penyelamat” dirinya untuk keluar dari “gua hira” untuk selanjutnya melangkah dan menjalani dan menghidupi hidup. Sayangnya, rasa terima kasih kita atas apa yang sudah di dapat tidak bebanding lurus dengan apa yang kamar mandi sudah berikan pada kita. Kenyataannya, kamar mandi lebih banyak menjadi tempat jorok, tidak bersih dan bau pesing. Padahal, kamar mandi itu sudah begitu baik “membersihkan” diri kita, dari “beban” hidup yang ditahannya, dan dari segala unek-unek yang ditumpahkannya lewat air yang mengalir dari mulut kran. Barangkali ini saatnya bagi kita untuk mengungkapkan rasa terima kasih itu. Caranya, perlakukan kamar mandi itu sebagaimana dia memperlakukan kita: membersihkannya setelah kita menggunakannya. (Fim Anugrah/"Saswaloka")

Kampag, 22 Januari 2013

Wednesday, January 16, 2013

Penyakit Bahasa (1)

Agrafia atau disgrafia adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan keadaan dimana seseorang tidak kuasa atau tidak punya kemampuan untuk menulis. Ketidakmampuan menulis ini bukan berarti bahwa orang tersebut tidak tahu cara menulis dikarenakan hal-hal teknis seperti: tidak bisa menyusun kata-kata menjadi kalimat, atau tidak bisa membuat paragraf. Akan tetapi, ketidakmampuan di sini lebih kepada kondisi atau keadaan dimana seseorang tidak bisa menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan. 

Penyakit ini dapat diakibatkan karena proses kognitif, linguistik, atau sensimotorik yang terganggu. Dengan kata lain, keadaan psikologi yang tidak mendukung. Sebabnya tentu saja banyak, mula dari segi individu maupun dari segi lingkungan yang memengaruhi individu tersebut. Sehingga, muncullah hambatan dalam proses kebahasaan yang tampak dari tidak kuasanya seseorang untuk "menerjemahkan" bahasa itu.

Dari kenyataan ini, setidaknya ada dua aspek yang menghambat proses menulis seseorang, yakni komponen sentral dan periferal (Ellis, 1988; Shallice, 1988; Rapesak dan Beeson, 200). Komponen sentral mengacu pada hakikat ketatabahasaan yang bertanggungjawab untuk memperoleh kata-kata yang tepat dan ketentuan informasi untuk pengejaan tepatnya. Sedang komponen periferal atau lingkungan menulis merupakan prosedur yang menjadi jalan tentang bagaimana menerjemahkan pengetahuan ke dalam tulisan, dan bagaimana membimbing motorik untuk menggerakan tangan atas tulisan.
   
Sejauh ini penelitian menyebutkan jika agrafia terjadi lebih pada akibat psikologi ketimbang teknis. Contohnya, seseorang yang tidak biasa berbicara di depan publik, memiliki tingkat agrafia yang lebih tinggi ketimbang orang yang biasa berbicara/berkomunikasi. Tetapi hal  ini tidak mutlak adanya; dengan kata lain, hal ini bisa diperdebatan. Atau, seseorang yang memang sengaja memiliki niatan untuk tidak berkomunkasi dengan orang lain, bahkan teman sekalipun, dikarenakan kekhawatiran yang berlebih atas alasan yang belum jelas. Orang seperti ini juga bisa mengalami penyakit agrafia, termasuk juga orang yang lebih suka diam di kamarnya ketimbang bersosialisasi dengan orang-orang sekitarnya.

Satu yang pasti, setiap orang bisa mendapatkan penyakit ini, tidak terkecuali seorang penulis hebat sekalipun. Maka dari itu beberapa solusi agar kita tidak sampai mendapatkan penyakit ini adalah dengan cara jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat berbeda dan tetap berkomunikasi dengan orang-orang tanpa harus merasa takut apakah kita diterima oleh mereka atau tidak. Jauhkan segala bentuk prasangka yang berkata jika kita adalah orang yang tidak cukup penting dan berarti di lingkungan sekitar kita karena, bisa jadi orang-orang pun berpikir demikian terhadap kita. Satu lagi, untuk penulis khususnya, jangan merasa malu untuk terus menulis sekalipun hanya menulis kata-kata tertentu yang tidak berupa kalimat atau paragraf. Tulislah kata-kata yang disukai atau yang menarik yang baru ditemui dalam bentuk daftar seperti daftar belanjaan. Minimal dengan cara seperti ini gejala penyakit agrafia bisa dihindari. Demikian. [FA]  

Thursday, January 10, 2013

Konferensi Kerbau

Tak lama setelah mendengar berita jika manusia hendak menjadi kerbau, keluarga kerbau pun kelimpungan. Bukan tak mungkin kerbau akan menjadi banyak; tapi, bagaimana dengan kerbau sendiri? Masihkah mereka tetap menjadi kerbau, atau harus menjadi apa?

Sebenarnya berita itu sudah jauh-jauh hari mereka dengar, walau hanya sebatas gosip-gosip tetangga. Tapi jika kenyataannya manusia benar-benar ingin menjadi kerbau, malah ingin mendeklarasikannya segala, ini bukan main-main namanya. Keluarga kerbau bisa jadi kehilangan pekerjaannya karena terlalu banyak saingan.

Lahan pekerjaan bisa jadi bekurang. Sawah tempat biasa kerbau bekerja bisa penuh, pedati yang biasa ditarik pun bisa jadi lahan rebutan antar sesama kerbau. Keluarga kerbau yang biasa mengerjakan pekerjaan ini bukan tak mungkin jadi pengangguran. Kerbau pengangguran. Dan itu tidak mungkin, tidak baik dan tidak sehat.

Tanpa pikir panjang, keluarga kerbau pun mengadakan pertemuan, semacam konferensi yang diikuti keluarga kerbau dari seluruh dunia.

Seekor kerbau yang kebetulan sudah tua, tak hanya umur tapi juga pengalamannya, membuka konferensi itu.

“Sebelumnya, saya, mewakili kaum kerbau yang ada di sini, mengucapkan banyak terima kasih atas kehadiran Anda semua. Sengaja konferensi ini diadakan di Andalas mengingat selain kaum kita ini adalah asli dari negeri ini, jumlahnya pun lebih banyak ketimbang di negeri-negeri lain. Akan tetapi, tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan, saya haturkan selamat datang dan terima kasih untuk keluarga kerbau yang sudah jauh-jauh datang baik dari Filipina, India, bahkan dari negeri Paman Sam sana, Amerika.”

Semua peserta khidmat mendengarkan pembukaan dari Eyang Kerbau yang disinyalir merupakan empunya kerbau dan masih punya darah keturunan langsung dengan nenek moyang dari segala kerbau yang ada di dunia.

“Keluarga kerbau semuanya yang saya hormati, sebagaimana kita tahu jika akhir-akhir ini kita mendengar berita yang cukup mencengangkan kita semua. Walau demikian, saya pikir ini bukanlah hal baru bagi kita. Semenjak manusia tahu sifat dan tingkah laku kita, semenjak itu pula kita menjadi contoh, teladan dan panutan bagi mereka. Manusia mungkin berpikir jika kita ini, keluarga kerbau, adalah makhluk yang pandir dan bodoh, meski sebenarnya kita adalah makhuk yang rendah hati. Tidak berarti kita ini dicocok hidung maka kita nurut-nurut saja sama manusia. Kenyataanya, kita ini kasihan sama mereka, karena tanpa kita bagaimana mungkin mereka bisa makan, bisa membajak sawah tempat padi disemai. “

“Lalu,” lanjutnya, “kita juga turut serta memberikan kerabat kita, yakni sapi, punya nama. Walau kita tahu kita ini punya susu. Akan tetapi, kenyataanya, tidak hanya manusia tidak belajar dari kerbau; parahnya, mereka malah memiliki sifat dan tingkah kita. Bukan yang baik, tapi yang buruk. Manusia sekarang adalah kerbau yang menanduk anak; adalah kerbau yang runcing tanduk; adalah kerbau yang dibeli di padang; adalah manusia yang mengambat kerbau berlabuh antara sesamanya. Bahkan lebih parah lagi, manusia sekarang banyak yang suka berkumpul seperti kerbau di hutan remang-remang sana. Saya pikir, mungkin, karena terlanjur memiliki sifat dan perilaku seperti kita ini, manusia pada akhirnya memutuskan untuk menjadi kerbau saja.”

Mendengar itu, suara gemuruh dari mulut-mulut kerbau memenuhi konferensi. Sebagian ada yang marah akan keputusan manusia itu, sebagian lagi menyayangkannya.

“Baik-baik,” sela empu kerbau, “saat ini saya hanya bisa mengembalikan keputusan kepada kita semua yang ada di sini tentang bagaimana sikap kita seharusnya menghadapi kenyataan itu. Satu yang pasti, kita harus memikirkan bagaimana nasib kaum kita selanjutnya.”

Dengusan nafas, lenguhan dan cibiran mulai membahana di antara mereka. Limbung tak dinyana mendapati kenyataan tentang manusia yang ingin mendeklarasikan dirinya menjadi kerbau. Hajat hidup keluarga kerbau pun ditaruhkan di konferensi itu.

Setelah menghembuskan napas berat seekor kerbau yang berasal dari Amerika dengan amarahnya berkata: “Apa harus kita serbu saja manusia itu? Kita seruduk saja mereka sampai mati agar mereka mengurungkan niatnya itu.”

Sesaat peserta keonferensi terdiam mendengar perkataannya, akan tetapi dengan cepat suara gemuruh lekas membahana.

“Tidak, tidak Bapak Bison,” sela Empu Kerbau, “cara itu bukanlah cara yang baik yang bisa kita lakukan terhadap manusia. Meski kita ini besar dan kuat, tapi jumlah kita tidak lebih banyak dari mereka yang sekarang ini sudah mencapai tujuh miliar. Cara itu pun hanya akan menambah permasalahan saja. Bukan tidak mungkin akan muncul banyak pemberitaan tentang tingkah laku kita yang sangat tidak kerbauwi itu di media massa. Jika sudah seperti itu, manusia bisa jadi memutuskan untuk melenyapkan kita di muka bumi karena image jelek yang kita buat sendiri. Dan itu sama artinya dengan ancaman punah bagi kaum kita.”

Beberapa kerbau manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Tapi tak lama setelah itu, seekor kerbau yang sedari tadi duduk, berdiri dan melangkah beberapa kali seraya berkata,” jika begitu, mengapa tidak kita biarkan saja manusia itu menjadi kerbau? Biarkan saja mereka mendeklarasikan keinginannya jadi kerbau sehingga Sanghyang Dewata mengubah mereka jadi kerbau.” Kerbau Tamarau dengan kaki pendek yang berasal dari Filipina tapi masih menyimpan kepercayaan leluhurnya dari India itu, menggelengkan kepalanya ke kanan ke kiri seakan berkata: “Ya, begitu saja.”

Seekor kerbau lainnya berdiri dan menegaskan perkataan kerbau tadi. “Ya, begitu sajalah. Biarkan saja manusia menjadi kerbau kalau memang itu yang mereka inginkan. Tidakkah bagus banyak kerbau? Bakal banyak sawah yang digarap, pedati yang ditarik dan banyak lagi lainnya. Jadi kita tidak harus terlalu cape mengerjakan pekerjaan yang biasa kita lakukan itu….”

“Maaf saudaraku,” seekor kerbau Carabao menyela, “jika manusia jadi kerbau, lalu kerbau jadi apa?”

“Ya, jadi banyak, “ celetuk seekor kerbau yang kebetulan masih remaja dan suka bercanda. Tawa dan senyum pun tebar di antara mereka.

“Maksud saya,” lanjutnya, “jika manusia jadi kerbau, lalu siapa yang akan menikmati hasil dari pekerjaan kerbau? Sangat muskil sekiranya kerbau dan manusia-kerbau menikmati hasil pekerjaannya sendiri, karena kerja kita hanya kerja: membajak sawah dan segala pekerjaan angkut-mengangkut, mulai dari mengangkut hasil panen sampai mengangkut manusia.”

“Kerbau makan kerbau, dong?” sahut kerbau yang menyela tadi. Gelak tawa kembali meramaikan percakapan.

“Ada betulnya juga kata Bapak Carabo tadi,” seekor yang lainnya coba membenarkan. “Coba bayangkan bagaimana kalau manusia jadi kerbau? Rumah-rumah akan ditinggalkan dan kandang-kandang akan berjejalan memenuhi muka bumi. Sawah-sawah dan ladang akan penuh dengan kerbau sedang kita tahu kerbau tidak bisa membuka lahan sawah dan ladang baru melainkan oleh manusia. Lahan pekerjaan akan menyempit dan persiangan pasti akan terjadi. Persaingan lahan, dan tentunya persaingan bahan makanan. Sangat tidak mungkin jika kita harus jadi kerbau pengangguran. Itu bukan kerbau namanya, lagi pula itu bukan identitas kita, keluarga kerbau.”

“Susah amat sih, sudah seruduk saja manusia itu,” bison lantang berteriak.

“Jangan!” Empu kerbau menjawab.

“Ya sudah biarkan saja mereka jadi kerbau!” seru Tamarau.

“Tidak bisa!” Carabao menyahut.

Pertengkaran pun terjadi di antara mereka. Sebagian setuju, sebagian tidak, sebagian lagi bingung entah harus memihak mana. Haruskah mereka setuju membiarkan manusia mendapat apa yang diinginkannya, atau tidak. Saking sengitnya perdebatan itu, beberapa ekor kerbau malah sempat beradu dan saling seruduk karena pendapatnya masinng-masing. Sampai pada akhirnya,…

“Cukup… cukup! Hentikan perdebatan dan perkelahian ini wahai saudaraku sebangsa dan seketurunan! Hentikan!” teriakan empu kerbau mengalihkan perhatian semua. “Tidakkah kita sadar dengan perbuatan kita ini? Apa bedanya kita dengan manusia kalau begitu? Suka berdebat dan membenarkan pendapatnya masing-masing, sampai-sampai harus menumpahkan darah, bahkan mengorbankan nyawa sesama? Di mana harkat derajat kita sebagai seekor kerbau? Apa kata nenek moyang kita nanti? Ingat saudaraku, tidak ada sejarahnya kerbau saling menikam kaumnya sendiri. Tidak ada dan tidak pernah, bahkan dalam ilmu biologi sekalipun, bangsa binatang itu saling bunuh. Ingatlah hakikat binatang! Ingat saudaraku, kita ini bukan manusia. Camkan itu!” Geram Empu Kerbau seraya bahunya turun-naik karena amarah.

Kerbau-kerbau pun seketika terdiam mendengar perkataan itu. Mereka sadar mereka khilaf. Mereka tahu jika mereka adalah kerbau, dan bukan anjing, babi apalagi yang lainnya, terlebih manusia. Beberapa saat mereka kehilangan kekerbauan mereka, dan hal itu benar-benar sangat disayangkan oleh semua yang ada di sana. Mereka melenguh dan mengemoh menangisi peristiwa tadi. Peristiwa yang hampir saja mengubah status mereka yang kerbau menjadi sesuatu yang lain.

Tiba-tiba dari arah kerumunan melangkahlah seekor—atau mungkin seorang –kerbau ke tengah-tengah forum. Semua kerbau menatapnya keheranan seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dari ujung tanduk sampai ke ujung kaki, baru mereka melihat mahluk seperti itu untuk pertama kali. Tak sedikit matapun mengedip ketika mereka melihat makhluk itu. Semua tatapan teruju pada makhluk berkepala kerbau namun bertubuh manusia.

Empu kerbau pun sempat mengernyitkan dahi tepat ketika makhluk itu berada di hadapannya.

“Wahai, siapa dan ada keperluan apakah gerangan datang kemari, ke konferensi kerbau ini?” tanyanya.

“Mmoooaaah (baca: Salam), Empu Kerbau yang saya hormati. Sebelumnya, saya minta maaf jika penampakan saya ini mengganggu jalannya konferensi. Saya yakin jika keberadaan saya ini mengganggu semua kerbau yang ada di sini. Karenanya, sekali lagi, saya mohon yang teramat maaf sekali.” Makhluk itu melenguh dan menjatuhkan tatapannya ke tanah.

“Seperti yang Empu Kerbau dan semuanya lihat,” lanjutnya seraya menatap ke depan, “saya ini adalah manusia, tapi saya juga kerbau. Kalian bisa melihat kepala saya yang kerbau dan tubuh saya yang masih manusia ini. Sungguh menyedihkan bernasib seperti ini. Tapi, bagaimana lagi, saya harus menerimanya dengan dada yang lapang.”

“Adapun kedatangan saya ini adalah, bermaksud untuk memberi tahu seyogianya, bahkan sebelum pendeklarasian itu, manusia sudah banyak yang menjadi kerbau. Sebagaimana yang kita semua tahu, manusia adalah makhluk yang selalu butuh eksistensi. Mereka butuh pengakuan atas apa dan siapa dirinya. Maka dari itu, untuk menjadi kerbau pun mereka butuh deklarasi. Biar dianggap sah katanya. Entahlah. Dan, saya pikir, tak perlu kiranya keluarga kerbau yang ada di sini kalang kabut dengan keputusan manusia itu. Saya pikir semua sudah pada jalannya masing-masing.”

“Moah (baca: Selamat datang) saya ucapkan padamu anak muda. Jujur, kami terkejut melihat kedatangan Anda di konferensi ini. Terlebih melihat wujud Anda yang seperti itu. Tapi asal Anda tahu, kami tidak lantas merendahkan Anda juga manusia yang ada. Dari dulu kaum kami dan kaummu sudah berteman sejak lama. Kami membantu pekerjaan manusia sebagaimana manusia dengan sangat baik mengurus kami. Tapi, ada satu hal yang membuat saya, kami, masih penasaran...,” Empu Kerbau memotong kata-katanya dan sejenak terdiam.

“Apakah itu Empu? Ceritakanlah!” pintanya.

“Sebenarnya, alasan apa yang membuat manusia ingin menjadi kerbau seperti kami? Tidakkah nikmat menjadi manusia. Mereka bisa melakukan apa saja dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mengapa harus repot-repot menjadi kerbau yang tempat kerjanya tak lebih dari kandang dan sawah? Tolong jelaskan kepada kami!”

“Sungguh bukan kesalahan yang bisa dibanggakan, Empu. Benar kata Empu tentang manusia. Tapi di tengah gemerlap hidup yang serba tak pasti, di zaman yang santer disebut-sebut sebagai globalisasi, di masa dimana kebutuhan akan materi menjadi satu-satunya tujuan, manusia justru menjadi makhluk paling tidak jelas. Tidak jelas nasib dan takdirnya. Tak tahu ke mana arahnya. Setiap hari yang kami lakukan hanya bekerja dan bekerja. Kami turuti semua aturan dan larangan dan segala macam perintah atasan. Kami iyakan semua perkataan dan perbuatan pimpinan karena jika tidak, hidup kami bisa terancam. Bahkan sebagai rakyat kecil pun kami tak bisa berbuat apa terhadap tindakan pemerintah. Sedang, ancaman hidup adalah musuh manusia. Jika kami menolak atau melanggar apa yang pimpinan katakan,kami bisa bahaya. Hajat hidup bisa terganggu dan kami tidak bisa dengan enak makan atau minum. Kita tahu, makan adalah kebutuhan primer dan kami tidak bisa hidup tanpanya.”

“Ya ya, saya mengerti. Tapi, mengapa harus menjadi kerbau? Mengapa tidak menjadi sapi, contohnya, atau yang lainnya?”

“Sesungguhnya, kami juga belajar bahwa makhluk yang paling rendah hati adalah kerbau. Tak ingin kami menjadi anjing yang suka menyalak walau kenyataannya sudah banyak dari kami yang seperti itu. Tak hanya kawan, lawan pun kami telikung. Atau babi, yang kerjanya hanya makan dan tak pernah peduli bahkan dengan sesamanya sendiri. Tapi, siapa juga yang ingin jadi makhluk kotor yang rumahnya adalah kubangan lumpur? Tidak ada! Dengan pikiran yang matang, pada akhirnya kami pun memutuskan untuk jadi kerbau saja. Sudah banyak dari kami yang menjadi kerbau meski belum seutuhnya, dan bahkan tanpa pendeklarasian itu.”

“Bagi kami, tak apalah kami hanya menurut apa kata atasan, pimpinan dan semua yang memegang peranan penting di roda kehidupan ini. Yang penting, kami, istri-istri, anak-anak serta keturunan kami bisa makan. Itu saja. Sejatinya kami ikhlas menjadi kerbau asal bisa tetap hidup.

Mendengar penjelasan manusia-kerbau itu, keluarga kerbau yang ada di konferensi itu terdiam. Mereka iba dan kasihan dengan nasib manusia yang tidak berdaya dan tak kuasa berbuat apa-apa terhadap pekerjaan, keluarga; dengan kata lain, terhadap hidupnya. Terlebih, mereka juga sadar jika manusia bisa berbuat apa saja sekehendaknya, serta mendapatkan hasil dari perbuatannya itu. Mereka tahu bahwa semua yang ada di dunia punya jalannya sendiri-sendiri. Takdir sudah ditentukan; tinggal waktu yang bakal menjawabnya. [Fim Anugrah]

Subang, 02 Desember 2012