Apa yang
kita tahu soal kamar mandi atau toilet atau hamam? Tempat buang ari
besar? Tempat buang ari kecil? Barangkali pengetahuan kita tidak lebih dari
itu. Padahal, kamar mandi lebih dari sekedar kamar yang seringkali menjadi
penampung bagi kita membuang “beban” hidup.
Tidak ada yang tahu jika kamar mandi bisa membuat seorang Oneng (Rieke
Diah Pitaloka) menjadi seorang penyair lewat antologi puisinya yang berjudul Renungan
Kloset. Bahkan penulis sendiri pernah merasakan bagaimana kamar mandi
menjadi semacam “gua hira” dimana inspirasi, ide-ide dan pemikiran bermunculan
di kepala.
Di dalam kamar mandi, seseorang punya dunianya sendiri, dan tidak hanya “dunia”
aktivitas yang biasa kita lakukan. Beberapa orang mungkin menjadikan kamar
mandi tempat biasa dimana aktivitas di dalamnya adalah privacy. Aktivitas
personal dimana orang yang berada di luar tidak boleh mengetahui apa yang kita
lakukan. Kalau perlu kita yang sedang di kamar mandi pun tidak boleh
mengetahuinya. Buktinya? Bukankah kita sering membuka kran keras-keras agar aktivitas
yang tengah kita lakukan tidak diketahui orang lain? Mungkin ada rasa malu.
Tapi kenapa juga harus malu, lha wong kita memang melakukan aktivitas
yang sudah pada tempatnya kok?
Mengapa kita tidak malu jika berbuat salah pada orang lain? Mengapa kita
tidak malu ketika melanggar peraturan dan tata terbit di sekolah? Mengapa di
ruang publik kita tidak malu dengan sikap dan perilaku kita yang bahkan bisa
jadi merugikan orang lain? Anehnya, mengapa justru di kamar mandi kita masih
punya malu—sesuatu yang sebenarnya tidak harus kita malukan. Setelah kita di
kamar mandi, ritual pun dimulai.
Sebagian orang mungkin hanya sebatas membuang “beban” hidup. Di antara
mereka ada yang bernyanyi—mungkin mengekspresikan diri untuk menjadi seorang
penyanyi yang belum kesampaian. Ada juga yang menangis, entah karena tidak bisa
makan atau karena diputuskan oleh pacar. Dan banyak lagi hal yang semacam ini.
Sayangya, tidak untuk sebagiannya lagi. Mereka menjadikan kamar mandi sebagai
tempat merenung: memikirkan diri sendiri, memikirkan masalah, bahkan memikirkan
masa depan. Terlebih, jika kita punya waktu banyak di kamar mandi. Bagi mereka,
secara tidak sadar, kamar mandi menjadi tempat untuk bertanya pada diri
sendiri. Dengan kata lain tempat berkontemplasi. Pada saat itulah orang-orang
semacam ini memiliki dunianya sendiri.
Layaknya beres mandi di kamar mandi, mereka pun keluar dan merasa ada
sesuatu yang didapat, entah jawaban atau mungkin semangat. Satu yang pasti,
kamar mandi telah menjadi semacan “penyelamat” dirinya untuk keluar dari “gua
hira” untuk selanjutnya melangkah dan menjalani dan menghidupi hidup. Sayangnya,
rasa terima kasih kita atas apa yang sudah di dapat tidak bebanding lurus
dengan apa yang kamar mandi sudah berikan pada kita. Kenyataannya, kamar mandi
lebih banyak menjadi tempat jorok, tidak bersih dan bau pesing. Padahal, kamar
mandi itu sudah begitu baik “membersihkan” diri kita, dari “beban” hidup yang
ditahannya, dan dari segala unek-unek yang ditumpahkannya lewat air yang mengalir
dari mulut kran. Barangkali ini saatnya bagi kita untuk mengungkapkan rasa
terima kasih itu. Caranya, perlakukan kamar mandi itu sebagaimana dia
memperlakukan kita: membersihkannya setelah kita menggunakannya. (Fim Anugrah/"Saswaloka")
Kampag, 22 Januari 2013
No comments:
Post a Comment