Thursday, March 15, 2012

Representasi Simbol dalam Wall-E

Walau sempat booming di tahun 2008, sebagai sebuah film propaganda global warming, Wall-E tetap menjadi salah satu karya terbaik untuk ditonton lagi dan lagi. Dengan banyak karakter yang unik sekaligus lucu, serta jalan cerita yang membuat kita betah untuk mengetahui akhirnya, film ini juga mengajarkan bagaimana kita mesti mencintai rumah (baca: bumi) yang hanya satu ini. Ada fungsi sosial yang dihantarkan lewat film ini. Setidaknya, hal itu bisa kita rasakan ketika kita sudah selesai menontonnya.

Terlepas dari berapa rangking yang kita berikan untuk film ini, ada hal yang secara tidak disadari telah memapah kita pada sebuah “kesepakatan” tanpa terlebih dahulu menuntut pemahaman-keras para penontonnya. Kesepakatan yang dimaksud di sini adalah semacam stereotip yang menjadi common sense dari pencantuman citra yang diperlihatkan lewat adegan-agenda (scene) yang ada di dalam film itu; dan hal ini, dihantarkan lewat simbol.

Tuesday, March 13, 2012

Rumah

"MENJELANG" by FA

Tuhan
Betapa baik Engkau menempatkan kami di sini
Di tempat di mana gunung-gunung bagai pancang
Mendamaikan daratan dan lautan sedang
Cakrawala adalah biru langit tanpa tiang
Ketika siang kau cantumkan awan yang berjalan
Dan malam bintang gemintang pun kelip terang
Penuh pesona tanpa benang membentang

Hijau rumahmu penuh pemandangan syahdu
Sehijau hatiku menyebut nama satu

Tapi Tuhan
Benarkah ini rumah kami?
Rumah yang melindungi walau seringkali kami habisi?
Kami kumpul-kumpulkan tanah-tanahnya
Kami tebang-tebangkan pohon-pohonnya
Bahkan air sumber segala hidup ini
Lebih sering kami beraki dan kencingi

Sungguh Permurah Engkau wahai Tuhan
Tak hanya hamba-Mu yang beriman
Yang Engkau simpan di bumi pertiwi ini
Tapi juga maling, pembunuh, orang sinting
Tukang teluh, penjilat, pemadat
Bahkan koruptor pun bisa hidup di sini
Menghirup udara segar, ongkang-ongkang
Kaki sambil baca koran dan minum kopi

Kau sayangi orang-orang dengan dadanya yang putih
Siang bekerja dan malam pun bertasbih
Tapi kau pun membiarkan mereka yang congkak
Melangkah dengan gontainya, merasa hidup
Miliknya semata. Kau biarkan hidup lembu berdasi
Tak hanya di kota tapi juga di sudut-sudut desa
Mereka makan dengan rakusnya
Merenggut semuanya bahkan tak sedikit
Mereka tindas dan mengorbankan sesamanya

Lembu di kota bekerja dengan topengnya
Lembu di desa bicara lewat ayat suci
Dengan mulutnya yang bau bangkai
Tak lagi ingat dari mana ia berasal
akan ke mana ia pulang menuntaskan perjalanan

Yang baik dan yang jahat
Yang iman dan yang laknat
Kau tempatkan semuanya hidup dan tinggal di bumi
Yang iman merasa dirinya belum menjadi hamba
Yang laknat merasa dirinya sudah di surga
Maka, mereka foya-foya, menambah lingkar
Perut dengan sesuatu yang mereka sebut harta
Semuanya tinggal bersama di dalam satu bahtera
Tak pernah Engkau sepeser saja menagih
Tak pernah sekalipun Engkau tiada pamrih
Padahal kau hanya menyewakannya pada kami
Kau hanya mengontrakannya pada kami

Tuhan,
Benarkah semua ini?
Benarkah rumah ini yang harus kami diami?
Bumikah rumah kami yang terus berotasi
walau harus terpolusi? Atau, rumahmukah
Yang suci tak boleh diinjak dengan alas kaki?
Betapa kami ingin tinggal di rumah milik kami sendiri
Rumah yang setiap saat bisa kami kunjungi
Selalu pintunya terbuka, dan tak pernah pergi
Kami tinggal di dalamnya. Kami hidup bersamanya
Kami bersihkan setiap saat, kami isi gemanya
dengan zikir dan shalat. Rumah putih
bagai sayap putih malaikat

Di manakah kami bisa mendapatkan rumah itu, Tuhan?
Di mesjidkah? Di majelis ta’limkah?
Atau mungkin, di dada kami sendiri?

Djati-Cisalak, 13 Maret 2012 
Fim Anugrah

Monday, March 12, 2012

Pawang Hujan

retrieved: http://www.mubarokonline.com
Cerpen : DAMHURI MUHAMMAD

Sudah berpuluh-puluh batang rokok dari lintingan daun Nipah dihisap Iwik sejak ia bertirakat menahan hujan. Sepanjang malam ia mengelilingi kompleks perumahan Griya Kemilau Asri sambil menghembus-hembuskan asap rokoknya ke langit sebelah utara. Dengan kepulan asap dari linting demi linting yang sudah dimantra-mantrai, Iwik menghalau gerakan angin, agar hujan deras tidak mengguyur wilayah itu. Sebenarnya sudah cukup lama Iwik tidak menggunakan kepandaiannya sebagai pawang hujan. Lagi pula, di kota besar ini siapa pula yang masih percaya bahwa ada orang yang sanggup menahan hujan?

Tapi, tidak disangka-sangka, pak Satmoko minta bantuan Iwik untuk menahan hujan di pemukiman yang tiap tahun menjadi langganan banjir. Ketua RW yang juga pensiunan tentara itu bisa memastikan rumah-rumah di wilayahnya bakal terendam banjir bila hujan lebat tiba. Tak perlu menunggu kali Cilesung meluap, tumpukan sampah yang menyumbat saluran pembuangan saja sudah cukup untuk bikin air comberan naik ke permukaan, lalu masuk ke rumah-rumah warga. Tahun lalu, banjir datang begitu tiba-tiba, di saat warga sedang tidur pulas. Air meninggi sampai tiga meter. Warga berhamburan keluar rumah. Mengungsi tanpa memikirkan mobil-mobil import, lukisan-lukisan dinding, kursi-kursi antik dan barang-barang elektronik yang tenggelam dan hanyut terseret arus.

Wednesday, March 7, 2012

Pok Ami-Ami

"CI-LUK-BA" by FA, Model: Dido
Cerpen: Lan Fang 

Namaku Pipin. Dulu aku tinggal di sebuah desa di Kecamatan Rongrong. Umurku delapan tahun, belum lulus sekolah dasar. Tetapi, aku sekarang tidak sekolah lagi karena yang kelihatan dari sekolahku cuma kerangka atap. Selebihnya, yang terlihat cuma genangan bubur mendidih yang menjadi kolam. Setiap hari bubur itu semakin meluber seakan-akan sudah tidak cukup tertampung panci. Sekarang, bahkan sudah mencapai jalan raya dan menggenangi rel kereta api.
Orang tuaku juga tidak bekerja lagi. Dulu ayahku punya sepetak sawah kecil yang ditanami padi. Cuma sepetak kecil, tetapi cukup untuk mengisi perut dan menyekolahkanku serta kedua kakakku. Kalau menjelang musim panen, sawah ayah kelihatan cantik sekali dengan bulir-bulir padi yang sarat menunduk berwarna keemasan. Padahal, daun padi cuma seperti ilalang. Ayah menyebut padi adalah buah ilalang. Ayah bilang, jangan meremehkan ilalang. Kelihatannya cuma seperti belukar, tetapi ada buah yang menjadi hidup manusia di sana.

Sunday, March 4, 2012

Alusio

"INTERMEZO" by FA
Cerpen: Fim Anugrah 

Aku membaca Taufik Ismail sambil ngemil. Aku membaca sebuah tragedi yang ditulisnya lewat anak kecil yang membawa karangan bunga. Aku membaca dua ratus juta manusia dengan mulut menganga. Aku membaca seseorang yang malu menjadi warga negaranya sendiri. Aku membaca Indonesia yang di dalamnya tinggal seorang penduduk yang malu dengan negaranya. Aku membaca kemaluan yang kosong seperti tong tapi nyaring bunyinya. Cukup menghibur sebagai pengantar sarapan.
Setelah itu, kusimpan buku dan nyalakan radio. Kuputar pemutar gelombang frekuensi yang berkejaran. Suara-suara terdengar mulai dari berita sampai suara Bang Haji yang masih saja mendendangkan Ani. “Ani, sungguh aku tahu kau rindu padaku. Ani, engkau juga tahu kurindu padamu. Tetapi untuk sementara, biarlah berpisah. Kupergi karena terpaksa demi cita-cita,” begitu katanya. Seperti aku yang juga pergi meninggalkan kampung halama dan diam di kota. Belajar dan mencari ilmu –ilmu memang seperti binatang liar, begitu kata Syafi’i, dan aku harus mencari dan mengejarnya. Satu hal yang menjadi pertanyaanku adalah apakah Bang Haji kembali untuk Ani setelah menggapai cita-citanya? Yang aku tahu, Bang Haji sudah duduk di kusinya yang empuk membaca dirinya yang sempat nongkrong di layar lebar di tahun 80-an. Kubiarkan Bang Haji menyala di dalam radio itu.