"MENJELANG" by FA |
Tuhan
Betapa baik Engkau menempatkan kami di sini
Di tempat di mana gunung-gunung bagai pancang
Mendamaikan daratan dan lautan sedang
Cakrawala adalah biru langit tanpa tiang
Ketika siang kau cantumkan awan yang berjalan
Dan malam bintang gemintang pun kelip terang
Penuh pesona tanpa benang membentang
Hijau rumahmu penuh pemandangan syahdu
Sehijau hatiku menyebut nama satu
Tapi Tuhan
Benarkah ini rumah kami?
Rumah yang melindungi walau seringkali kami habisi?
Kami kumpul-kumpulkan tanah-tanahnya
Kami tebang-tebangkan pohon-pohonnya
Bahkan air sumber segala hidup ini
Lebih sering kami beraki dan kencingi
Sungguh Permurah Engkau wahai Tuhan
Tak hanya hamba-Mu yang beriman
Yang Engkau simpan di bumi pertiwi ini
Tapi juga maling, pembunuh, orang sinting
Tukang teluh, penjilat, pemadat
Bahkan koruptor pun bisa hidup di sini
Menghirup udara segar, ongkang-ongkang
Kaki sambil baca koran dan minum kopi
Kau sayangi orang-orang dengan dadanya yang putih
Siang bekerja dan malam pun bertasbih
Tapi kau pun membiarkan mereka yang congkak
Melangkah dengan gontainya, merasa hidup
Miliknya semata. Kau biarkan hidup lembu berdasi
Tak hanya di kota tapi juga di sudut-sudut desa
Mereka makan dengan rakusnya
Merenggut semuanya bahkan tak sedikit
Mereka tindas dan mengorbankan sesamanya
Lembu di kota bekerja dengan topengnya
Lembu di desa bicara lewat ayat suci
Dengan mulutnya yang bau bangkai
Tak lagi ingat dari mana ia berasal
akan ke mana ia pulang menuntaskan perjalanan
Yang baik dan yang jahat
Yang iman dan yang laknat
Kau tempatkan semuanya hidup dan tinggal di bumi
Yang iman merasa dirinya belum menjadi hamba
Yang laknat merasa dirinya sudah di surga
Maka, mereka foya-foya, menambah lingkar
Perut dengan sesuatu yang mereka sebut harta
Semuanya tinggal bersama di dalam satu bahtera
Tak pernah Engkau sepeser saja menagih
Tak pernah sekalipun Engkau tiada pamrih
Padahal kau hanya menyewakannya pada kami
Kau hanya mengontrakannya pada kami
Tuhan,
Benarkah semua ini?
Benarkah rumah ini yang harus kami diami?
Bumikah rumah kami yang terus berotasi
walau harus terpolusi? Atau, rumahmukah
Yang suci tak boleh diinjak dengan alas kaki?
Betapa kami ingin tinggal di rumah milik kami sendiri
Rumah yang setiap saat bisa kami kunjungi
Selalu pintunya terbuka, dan tak pernah pergi
Kami tinggal di dalamnya. Kami hidup bersamanya
Kami bersihkan setiap saat, kami isi gemanya
dengan zikir dan shalat. Rumah putih
bagai sayap putih malaikat
Di manakah kami bisa mendapatkan rumah itu, Tuhan?
Di mesjidkah? Di majelis ta’limkah?
Atau mungkin, di dada kami sendiri?
Djati-Cisalak, 13 Maret 2012
Fim Anugrah
No comments:
Post a Comment