Walau sempat booming di tahun 2008, sebagai sebuah film propaganda global warming, Wall-E tetap menjadi salah satu karya terbaik untuk ditonton lagi dan lagi. Dengan banyak karakter yang unik sekaligus lucu, serta jalan cerita yang membuat kita betah untuk mengetahui akhirnya, film ini juga mengajarkan bagaimana kita mesti mencintai rumah (baca: bumi) yang hanya satu ini. Ada fungsi sosial yang dihantarkan lewat film ini. Setidaknya, hal itu bisa kita rasakan ketika kita sudah selesai menontonnya.
Terlepas dari berapa rangking yang kita berikan untuk film ini, ada hal yang secara tidak disadari telah memapah kita pada sebuah “kesepakatan” tanpa terlebih dahulu menuntut pemahaman-keras para penontonnya. Kesepakatan yang dimaksud di sini adalah semacam stereotip yang menjadi common sense dari pencantuman citra yang diperlihatkan lewat adegan-agenda (scene) yang ada di dalam film itu; dan hal ini, dihantarkan lewat simbol.
Simbol tidaklah muncul di tengah atau di akhir film, melainkan mulai dari awalnya. Jika Anda jeli memperhatikan Si Wall-E dengan pekerjaan yang harus dijalaninya; sebagai tokoh utama, ada pula “pekerjaan” lain dari misi untuk “mencuci” otak penontonya lewat simbol-simbol yang ada. Di awal scene, Anda akan mendapati bagaimana Si Wall-E melindas surat kabar bergambar presiden Amerika yang tidak lain dan tidak bukan adalah George Bush. (Perlu dicatat jika pada saat film ini diluncurkan, presiden yang tengah menjabat pada saat itu adalah George Bush, bukan Barrack Obama).
Penafsiran pertama dari tindakan Wall-E melindas gambar presiden dalam surat kabar yang kumal itu adalah, bahwa Rumah Produksi (PH) termasuk di dalamnya orang-orang yang mengerjakan film ini, tidak simpati (untuk tidak mengatakan tidak setuju) terhadap kebijakan Presiden Bush yang tidak mendukung aksi penyelamat bumi dalam bentuk apa pun. Sikap ini dipersembahkan terkait pembangakang Bush yang menolak menandatangani Protokol Kyoto sehubungan pengurangan emisi polusi tiap negara peserta dalam menyiasati global warming dewasa ini. Seyogianya, representasi simbol dalam scene ini adalah bentuk dari sikap tegas orang-orang di PH itu maupun “kaum hijau” yang berada di bawah naungan organisai lewat misi penyelamatan lingkungan.
Simbol selanjutnya, tak lama setelah scene itu diperlihatkan adalah, representasi kata Buy and Large. ‘Buy’ yang dalam bahasa Indonesia berarti membeli, adalah sikap konsumtif yang sedikit banyaknya merupakan perilaku yang mengedepankan kepuasan nafsu dan peng-eliminasian sikap peduli, khususnya peduli pada lingkungan. Dengan membeli, secara tidak disadari, sedikit demi sedikit, kita sudah mendukung kapitalisme untuk bisa bercokol di muka bumi. Efeknya, betapa banyak sampah yang dihasilkan dari sifat konsumerisme ini. Sampah plastik, perabotan, rongsokan alat-alat teknologi, adalah hasilnya yang tidak mungkin bisa dihindari. Semakin banyak kita membeli, semakin banyak sampah yang dihasilkan, pun semakin besar dan luas saja produsen mengekspansi produknya. Kata ‘Large’ selanjutnya, adalah cibiran sinis PH yang direpresentasikan lewat film ini.
Meski begitu, tidak berarti bahwa segala bentuk peradaban manusia menjadi tidak ada nilainya. Sekalipun kita tahu bahwa peradaban manusia-lah yang telah menciptakan bumi, hidup manusia dan kehidupan yang bergerak di atasnya menjadi lebih dinamis. Listrik misalnya, sebagai sebuah karya atas penemuan manusia, telah membuat kita bisa menikmati hidup. Malam menjadi terang dan alat-alat teknologi pun berkembang setelahnya. Hal ini tidak jauh beda ketika Si Wall-E memandang api yang meluncur dari mulut kriket yang dikumpulkannya. Dengan mata yang sayup terpancar perasaan kagum dan bangga. Bangga, betapa makhluk bernama manusia ini telah dengan hebat menciptakan sebuah karya yang mengubah hidup sepenuhnya. Api!
Simbol yang sangat kentara terlihat ketika kita menyaksikan betapa menyedihkannya tokoh-tokoh manusia yang ada di sana. Dengan perawakan gendut, manusia bukannya diperlihatkan kehebatannya; justru sebaliknya, yakni kelemahannya. Teknologi yang memudahkan hidup membuat manusia jatuh pada sifat malas. Duduk-duduk, nonton TV sambil ngembil dan basa-basi. Tak sadar jika dengan kebiasaannya itu, tubuhnya bertambah besar dan besar saja. Semua telah digerakan oleh produk teknologi yang sebagus dan sepraktis apa pun, telah turut serta mengikis interaksi sosial tanpa landasan hati. Bagaimana mungkin sebuah mesin memiliki perasaan? Di saat teknologi menguasai, di saat itulah manusia kehilangan hatinya, kehilangan rasa peduli, tenggang sama, dan sikap menghargai.
Tak hanya lewat tubuh tambun saja representasi simbol kemalasan dan kenaifan ini diperlihatkan, tapi juga lewat acting para tokohnya. Dan Wall-E, seorang manusia robot berhati hati, lewat suatu kesalahan, telah menyadarkan mereka. Ini tampak ketika Si Wall-E membantu seseorang yang jatuh di kursi berjalannya di saat dia tengah membuang gelas plastik bekas minumannya. Tak ada satu orang pun yang peduli, karena robot telah mengganti peran manusia seutuhnya, sebagaimana
Si Auto yang merupakan tokoh antagonis film ini, secara mengagetkan, telah menjad pengendali hidup manusia, pengontrol kebijakan Kaptennya.
Masih dalam scene yang sama, Si Wall-E bahkan memanusiakan kerobotannya. Ia berkenalan dengan orang yang terjatuh tadi seraya menyebut namanya. Selanjutnya, perkenalan itu pun sedikit demi sedikit mengubah sikap beberapa tokoh di film ini, dan sepertinya juga semua manusia di sana. Yang menarik adalah, ketika Si Wall-E melambaikan tangan ke arah robot penjaga. Barangkali kita tertawa memperhatikan bagaimana robot penjaga itu heran dengan gerakan tangan Si Wall-E yang dialamatkan padanya. Dan anehnya, ia malah menyukainya hingga ia pun balas melambaikan tangan pada Wall-E di adegan selanjutnya.
Kita tahu bahwa hanya manusia yang memberi salam pada sesamanya. Tidak binatang dan tidak pula robot. Representasi ini adalah bentuk lain dari ironi. Makhluk yang katanya manusia, zaman ini, justru malah menjadi saling tidak peduli. Dengan istilah bernama “privacy” mereka hidup menggunakan hak dengan batas-batas dunia yang diciptakannya sendiri. Sementara kita tahu bahwa, tidak ada satu pun manusia yang mampu hidup tanpa (bantuan) manusia lain. Istilah ini memang hanya ada di Amerika sana, bukan di Indonesia. Di negara adidaya ini, seseorang yang menghasilkan karya –contohnya saja pengarang yang mengasilkan buku—akan menganggap bahwa karya itu adalah hasil dirinya semata. Bukan hasil kolektif. Padahal kita tahu, betapa banyak orang-orang di belakang meja yang berkontribusi dalam penerbitan karyanya itu, mulai dari perancang sampul, penata letak, editor, distributor, penjual eceran; belum lagi, orang-orang yang menyediakan ketersedian kertasnya, tintanya, dan lain sebagainya. Dengan kenyataan seperti itu, bagaimana mungkin seseorang bisa berkata bahwa karyanya adalah hasil dirinya seorang, dirinya semata? Tak ada orang lain selain dirinya!
Yang lebih aneh, istilah ini justru sudah merasuk dam diam di dalam tulang sumsum manusia. Mereka ejawantahakan sikap itu di segala sendi-sendi kehidupan. Parahnya lagi, mereka membanggakan sikap itu. Seperti inikah manusia Indonesia itu, sementara kita tahu bahwa manusia ini terkenal dengan silaturahmi-nya? Jika memang bukan, mana mungkin ada tradisi “pulang kampung,” tradisi yang hanya ada satu-satunya di muka bumi? Tradisi yang niscayanya sudah menjadi pengetahuan masyarakat dunia yang tidak bisa dimungkiri? Sekarang, tidakkah aneh jika robot saja senang sekali berkenalan dan “silaturahmi” sedang manusia yang katanya humanis itu tidak? Robotkah yang manusia, atau manusiakah yang robot itu?
Entah berapa banyak simbol lagi yang muncul di film ini, hingga pada akhirnya umat manusia yang selama hidupnya mengapung-apung di angkasa raya itu pulang juga ke bumi, ke rumahnya sendiri. Hanya sampai pada scene ini, kita tahu bahwa menghargai alam itu adalah kewajiban setiap manusia. Karena, menghargai alam pada hakikatnya adalah menghargai dirinya sendiri. Lewat setunas pohon dengan dua helai daunnya kita tahu bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa alam dan lingkungan yang kondusif. Manusia membutuhkan alam sebagaimana alam membutuhkan manusia untuk menjaga, memelihara, dan melindunginya, kecuali jika memang manusia ingin menjadi robot –selain Wall-E yang punya hati—hanya sebatas mesin yang mengerjakan satu pekerjaan atas dasar intstruksi dan bukan hati. Bagaimanapun, bumi ini hanya satu dan tidak ada pilihan lain kecuali menjaga yang satu ini semata-mata untuk kelangsungan hidup dan kehidupan manusia yang dengannya ia bisa benar-benar menjadi manusiawi. (Fim Anugrah/*Saswaloka*)
Subang, 15 Maret 2012
No comments:
Post a Comment