Baru saja saya ngobrol dengan istri saya tentang kemampuan anak kami yang saat ini berusia sembilan bulan. Usia dimana seorang batita sudah mulai mengenal alat-alat ucap yang dimilikinya, dan mulai mengeksplorasinya.
Alih-alih untuk mengetahui kapan seorang anak sudah mumpuni untuk bisa berbicara, kami, lebih tepatnya saya, justru mengamati perkembangan putri kami yang satu ini. Dan janganlah ini disebut sebagai penelitian, karena tidak ada metode ilmiah yang digunakan dalam prosedur penganalisisannya. Ini hanya semacam pengamatan perkembangan kami terhadap putri kami yang bernama Kirana Ismi Nurlatifah. Lagi pula ini hanya naluri seorang orang tua saja pada anaknya.
Untuk usia delapan tahun, putri kami sudah mulai bisa mengucapkan beberapa frase tak bermakna seperti yayah, mamah, bebe, titit, nenen, dan beberapa frase yang cukup susah untuk mentranlantasikannya pada huruf latin yang ada. Hal ini kami waspadai semenjak Kiran menginjak usia delapan tahun. Dan yang lebih menarik adalah ketika ternyata untuk usia yang sangat masih muda, Kiran sudah tanggap dan respon terhadap bahasa yang diucapkan oleh orang tuanya. Semisal ketika kami memanggilnya dengan panggilan Neng Kiran, dengan sangat sadar dia menolah terhadap si pemanggil. Dan ini, sebuah keniscayaan. Maksud saya, artinya bahwa ternyata putri kami sudah memiliki pengertian untuk dua kata yang dimaksud, dimana kata Neng Kiran sudah menjadi alaram baginya untuk menengok kepada si pemanggil. Mungkinkah si anak sudah mawas terhadap lingkungannya?
Meski begitu, dikarenakan belum sepenuhnya tahu bahasa dan mengenal alat ucap yang dimilikinya, kadang Kiran pun tidak bisa mengungkapkan suatu keinginan dengan kata-kata. Tentunya. Semisal, ketika tubuhnya menelungkup dengan kedua tangan terangkat ke atas sambil dikepalkan dan kaki yang ditegang-regangkan sedemikian rupa, itu artinya dia ingin bangun dari tempatnya. Ingin digendong atau ingin jalan-jalan.
Terkadang, ada-ada saja ulahnya. Semisal dalam keadaan tengah senang, dia acapkali berceloteh dengan frase-frase yang telingapun susah untuk menangkap apa huruf yang diucapkannya. Mungkin seperti kata mama, baba, yaja, baya, dan yang lainnya. Dan, sebagai orang tua, hal itu cukup menyenangkan sekaligus membahagiakan. Itu artinya dia mulai mengolah alat-alat ucapnya meski belum sepenuhnya diwaspadai.
Awalnya saya menyangka jika perkembangan bahasa Kiran adalah ketika ia tengah berusia tiga bulan. Bagaimana tidak, betapa kagetnya ketika suatu waktu di kala saya tengah duduk di ruang tengah dan Kiran terbangun dari tidurnya seraya berkata, ng-ging, ng-ge, mbi, mbe. Empat frase itu diucapkannya secara berurutan dan dengan jelas sekali! Akan tetapi ternyata itu hanya sebatas ekspresi. Barangkali belum ada kesadaran akan kepemilikan alat ucap, akan tetapi itulah sepertinya pertama kali alat ucapnya bekerja.
Dari pengamatan dan ternyata dibuktikan juga oleh beberapa literatur yang saya baca, pada usia tiga bulan sebenarnya seorang bayi sudah bisa memproduksi suara. Adapun huruf-huruf yang diucapkannya adalah huruf-huruf gutural (tekak) yakni huruf 'g', labial yakni huruf "m" dan "b", serta huruf cerebral yakni huruf "ng". Dan hal ini akan terus berkembang seiring usia dengan berbagai macam faktor seperti keterlibatan lingkungan yang menengarai kondisi psikologis anak.
Sampai sekarang, memang ada perkembangan alat ucap putri kami dengan berkembangnya alat ucap yang diperlihatkan dari begitu banyak suara yang dihasilkannya, meski belum tentu huruf latin bisa mentranslasikannya. Bahasa alien, begitulah kadang kami menyebutnya. Karena kami memang tidak bisa mengetahui huruf apa yang diucapkannya. Sejauh ini, Kiran sudah mengeluarkan huruf-huruf yang jika kami harus memetakannya pada huruf yang kami tahu, adalah huruf konsonan "b", "d", "g", "m", n", "y" dan tiga huruf vokal yakni "a", "e" dan "i". Untuk huruf konsonan, dalam ilmu fonologi, barangkali hanya sebatas pada huruf gutural, cerebral, labial, semivowel, dan dental.
Barangkali sebuah kebiasaan, ketika bangun tidur, ketika tengah bermain, atau ketika sesudah malam tiba, Kiran akan melihat beberapa poster di dekat tempat tidurnya. Poster bergambar binatang, buah-buahan, bahkan huruf hijaiyah itu kadang kami bacakan untuknya. Sambil melihat gambar dan menunjukknya, saya dan istri membacakannya untuknya. Seperti gambar kucing, tikus, kuda, sapi, apel, jeruk, mangga, dan kata-kata yang memiliki dua suku kata. Bahkan dari perkataan istri saya, ketika dia berkata ngaos (mengaji), secara spontan, Kiran akan mendekati poster huruf-huruf hiijaiyah dan istriku pun membacanya. Kedua tangan kiran akan menempel pada poster itu dan kadang memukul-mukulkannya.
Percakapan kami pun sampai pada bahasa apa yang akan kami gunakan sebagai sarana komunikasi dan interaksi untuk dan dengan Kiran. Karena saya pikir hal ini penting sekali. Bahasa daerah barangkali tak harus diajarkan secara formal--lingkungan sudah cukup mumpuni untuknya berbicara dan memahaminya. Bahsa Indonesia barangkali menjadi pilihan karena di dunia yang serba cepat ini, hanya bahasa inilah yang tak mengenal undak-usuk dan tak mengenal pula strata serta kasta. Tapi saya juga ingin agar Kiran mahir juga bahasa Inggris pada nantinya.
Obrolan kami ini sebenarnya ditengarai oleh rasa prihatin atas banyaknya bahasa yang tidak tepat digunakan akhir-akhir ini di masyarakat. Saya pikir jika seseorang ingin hidup dengan baik dan benar, maka terlebih dahulu yang harus dipersiapkan adalah bahasanya dulu. Karena bahasa menentukan pribadi seseorang. Jangan sampai karena kesalahan berbahasa maka pikiran dan perilaku seseorang menjadi salah, hanya karena bahasa yang digunakannya itu ambigu, tidak bermakna dan sebagainya. Itu yang penting! Saya berharap semoga putri kami memiliki kemawasan terhadap bahasa,sebab itu adalah citra dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki akal pikiran dan budi serta daya. [FA]