Showing posts with label the journal. Show all posts
Showing posts with label the journal. Show all posts

Thursday, March 1, 2018

Pelayanan, Masih Jadi Nomor Wahid Masalah Bisnis

theservicecoach.com
Sebelumnya, izinkan saya ingin menggunakan kata saya, dan saya menulis ini di blog. Biar hidup. Biarlah Facebook punya bagiannya sendiri, juga akun lain seperti IG, dan media sosial yang udah ga keitung lagi jumlahnya. Faktanya, terlalu banyak menggunakan medsos ternyata cukup bikin ribet juga. Apa lagi kalau bicara bisnis pake aplikasi belanja online. Nguras energi dan waktu. Alih-alih produktif dan fokus, ini malah sibuk hilir mudik buka tutup aplikasi. Waktu juga yang menjawab. Facebook masih bertahan; orang-orang pindah ke IG dan Twitter ditinggalkan. Sedang blog, ah, jangan tanya ada berapa ratus atau mungkin ribu yang pake media satu ini di negeri yang gemah ripah loh jenawi ini. Lha wong, masyarakt Indonesia itu lebih suka yang pendek-pendek,cepat-cepat dan instan-instan. Sedang ngurus blog itu butuh kesabaran tingkat dewa Zewa dari tatanan 14 kuil yang harus dilewari Saint Seiya. Mangkanya harus telaten. Satu lagi masalah adalah penyakit bisa membuat atau memulai tapi tidak bisa mengurus dan menyelesaikan. Sebab ini yang bikin kita ga pernah bisa jadi apa-apa. Terlalu banyak memilih dan terlalu banyak pindah-pindah channel. Maka dari itu, setialah pada channel pilihan Anda. Cukup satu tapi komit dan konsisten. Susah memang, karena saya pun sempat seperti itu. Tapi saya coba usahakan untuk bisa menjalani ini semua. 

Pengantar yang sangat panjang. Tapi ya sudahlah, saya bakal masuk ke inti tulisan ini sekarang.


Sunday, January 28, 2018

Karakter Orang Kota (Yang Katanya) Istimewa

Akhir-akhir ini aku sering memikirkan tentang karakter orang kota ini. Kota yang katanya istimewa ini. Hal itu sering aku lakukan khususnya ketika aku berada di mesjid dekat rumah setiap kali aku melaksanakan solat Magrib. Sehabis solat, sering aku bertanya, apakah karakter orang kotaku ini pada hakikatnya memang tak punya bakat untuk memiliki rasa kepedulian dan solidaritas yang erat, punya bakat untuk bekerja sama alih-alih berkata “masing-masing” saja?  
Tak hanya pengalaman hidup memperlihatkan bukti-buktinya, akan tetapi justru orang kotaku ini sendiri, tetanggaku sendiri yang berkata demikian. Dengan lantang dia berkata demikian ketika aku tengah memarahi anak-anak yang ributnya minta ampun ketika aku dan jamaah yang lain sedang melaksanakan solat Magrib. Aku marah bukan hanya anak-anak itu sudah menjadi sangat keterlaluan dengan tingkahnya dan seperti tak lagi menganggap saranku agar mereka segera masuk mesjid ketika iqomat sudah diserukan. Berulang-ulang kali sampai aku sendiri bosan jadinya. Aku marah karena tak ada jamaah lain yang “mengurus” dan mewanti-wanti anak-anak itu, tak terkecuali Ustaz bahkan RT sekalipun. Mereka punya mata dan telinga tapi seolah tak dipergunakannya, dan mengetahui kelakuan anak-anak itu mereka pun tak memedulikannya. Dengan entengnya mereka berkata jika “anak-anak memang seperti itu. Nakal, susah dikasih tahu.” Hanya itu yang mereka ucapkan, tak lebih.


Friday, June 10, 2016

Remeh Temeh Soal Tulis-Menulis

Walau sudah lama tak menulis (puisi), dua buah sajak dalam buku antologi "Riak Sajak" kembali menjadi pelecut bagi apa pun yang berhubungan dengan dunia tulis-menulis saya. Kembali membaca, kembali menulis.

Entah disengaja atau tidak, dan memang tidak pernah sedikit pun diniatkan, berada di komunitas Sanggar Sastra Purwakarta--Sangsastra, begitu saya menyebutnya suatu hari yang pada akhirnya diamini oleh Rudy Aliruda--membuat saya kembali urun rembug perihal sajak-menyajak ini. Entah apa dasarnya.

Pasalnya, saya selalu merasa tidak pernah cocok untuk berorganisasi apa dan di mana pun, sekalipun dulu saya sempat sangat aktif di organisasi di Himpunan Mahasiswa Bahasa Inggris UPI (English Students' Association). Saya pribadi bukan tipe orang yang mainstream di dalam ke-antimainstreaman-nya sebuah organisasi sastra. Saya tidak menyukai keramaian termasuk segala atribut yang melekat padanya, organisasi itu. Bagi Si Sinis, budaya itu nonsense. Ia adalah buatan, artifisial, dan kadang irasional. Dan sebuah organisasi atau komunitas sastra, hal itu tak jauh berbeda.


Sunday, September 14, 2014

Waktu Terbaik Untuk Menulis

Judul di atas mungkin memunculkan beberapa pertanyaan. Apa ada waktu terbaik untuk menulis? Jika ada, kapan? Tapi bukan tidak mungkin judul itu pun hanyalah mitos belaka. Kenyataannya, orang bisa menulis kapan saja, di mana saja, dan dalam kondisi apa pun.
Seorang pelajar bisa menulis materi pelajaran di ruang kelas. Sekretaris bisa menulis selama dirinya bekerja di kantor. Bahkan seorang kasir sebuah mini market pun bisa menulis selama dia bekerja, entah siang, entah malam. Setiap orang bisa menulis tulisan yang dibuatnya, kapan pun dia harus dan ingin menulis. 
            Mungkin akan lebih baik jika kita spesifikasikan bentuk tulisannya. Bukan tulisan sekadar tulisan atau corat-coret belaka seperti halnya daftar belanjaan. Akan tetapi, tulisan bergenre sastra, baik itu puisi atau pun prosa.
            Bukan perkara yang mudah memang membuat tulisan genre ini. Sekalipun pernah juga menjadi perdebatan tatkala seorang Arswendo Atmowiloto berkata bahwa “Mengarang Itu Gampang”. Jika benar perkataan beliau ini, lalu kenapa juga orang Indonesia masih saja susah untuk menulis/mengarang. Tapi setidaknya kita belajar bahwa ternyata yang namanya gampang itu relatif, yang jelas tidak susah kecuali malas.
            Berkaca dari pengalaman, Penyair Sapardi Djoko Damono punya waktu khusus untuk menulis. Dalam testominya dia berkata bahwa dia acapkali menulis menjelang fajar, mungkin sebelum waktu subuh, di ruang pribadinya yang kecil berkawankan buku-buku di raknya. Pada saat inilah beliau biasa mencipta puisi dengan tingkat kekhusyuan yang cukup tinggi. Baginya bisa jadi kesunyian menjadi sangat penting di tengah hingar bingar kota yang hidup. 
Belum lagi menyebut para prosais yang kebanyakan memang lebih suka menulis di malam hari. Tidak hanya karena malam itu magis, tapi juga pada saat seperti inilah keadaan sunyi dan tenang justru menjadi kawan yang menguntungkan para penulis/pengarang. Ketika siang hari waktu dipenuhi dengan berbagai macam kesibukan, pada malam harinya para penulis akan masuk ke dalam ruang pribadinya, menyalakan komputernya sebagaimana dia menyalakan pikirannya untuk mulai menulis.
Ada semacam paradigma yang muncul di tahun 90-an dimana penulis, atau tepatnya penyair adalah sosok yang jauh dari yang namanya bersosialisasi. Mereka lebih memilih untuk diam di “guanya” bersama tulisannya. Hal ini bisa benar, bisa juga tidak. Tidak benar karena bagaimanapun penulis juga manusia. Mereka butuh bersosiali sebagai medianya untuk membaca sebelum pada akhinrya pembacaan itu berbentuk rangkaian kata-kata. Benar karena pada kenyataannya, penulis memang butuh konsentrasi tingkat dewa. Kesibukan di siang hari jelas tidak bisa membuat para penulis leluasa untuk berpikir untuk menulis. Maka dari itu mengapa mereka butuh malam, butuh ruang pribadi dan ketenangan.
Selain itu pula, membuat tulisan bergenre sastra memang menuntut banyak faktor. Tentunya selain privacy dan ruang. Para penulis yang memang butuh konsentrasi agar bisa fokus untuk tulisannya, juga tubuh yang prima. Itu artinya kondisi pikiran dan tubuh pun sedikit banyak memengaruhi tulisan yang dibuatnya. Sebuah penelitian membuktikan bahwa pikiran akan lebih jernih dan tenang dan bisa bekerja lebih baik apabila otak masih fresh. Artinya, otak belum benar-benar dipergunakan untuk memikirkan soal pekerjaan, tugas, utang dan tetek bengek lainnya. Dan keadaan itu bisa didapatkan manakala otak baru saja diaktifkan. Dengan kata lain, tak lama setelah bangun tidur.
Pada saat-saat seperti inilah pikiran memiliki potensi untuk bekerja dengan sangat baik. Otak bisa lebih fokus dan pikiran bisa lebih konsen secara maksimal. Berbeda halnya ketika otak sudah terlalau banyak digunakan untuk memikirkan banyak hal. Alih-alih bisa fokus dan konsentrasi, tulisan yang diciptakan pun malah jauh dari sempurna. Urat-urat syaraf di otak sudah tegang karena sudah banyak digunakan. Energi yang dimiliki otak pun sudah kekurangan nutrisinya. Tak jauh beda dengan tubuh yang sudah lelah bekerja tapi malah dipaksa untuk bekerja lagi. Sedang kita tahu kalau bekerja dengan otak justru lebih melelahkan ketimbang fisik. Setidaknya ada satu hal sama yakni, jika sudah lelah maka keduanya butuh istirahat.
Kembali ke judul tulisan di atas. Jadi, tidak masalah kapan waktu yang paling baik untuk menulis. Setiap orang punya kebiasaa, cara dan metodenya sendiri dalam hal menulis. Satu yang pasti, tulisan yang baik tentulah harus didukung pula oleh kondisi pikiran dan tubuh yang prima. Karena tanpanya tulisan yang dihasilkan tanpa syarat-syarat tadi bukan tidak mungkin justru malah tak jelas arahnya. Kata-katanya, strukturnya, amanat yang hendak disampaikannya, dan nya-nya yang lainnya. Demikian. [FA]

Friday, March 14, 2014

Bahasa Bayi

Baru saja saya ngobrol dengan istri saya tentang kemampuan anak kami yang saat ini berusia sembilan bulan. Usia dimana seorang batita sudah mulai mengenal alat-alat ucap yang dimilikinya, dan mulai mengeksplorasinya. 

Alih-alih untuk mengetahui kapan seorang anak sudah mumpuni untuk bisa berbicara, kami, lebih tepatnya saya, justru mengamati perkembangan putri kami yang satu ini. Dan janganlah ini disebut sebagai penelitian, karena tidak ada metode ilmiah yang digunakan dalam prosedur penganalisisannya. Ini hanya semacam pengamatan perkembangan kami terhadap putri kami yang bernama Kirana Ismi Nurlatifah. Lagi pula ini hanya naluri seorang orang tua saja pada anaknya.

Untuk usia delapan tahun, putri kami sudah mulai bisa mengucapkan beberapa frase tak bermakna seperti yayah, mamah, bebe, titit, nenen, dan beberapa frase yang cukup susah untuk mentranlantasikannya pada huruf latin yang ada. Hal ini kami waspadai semenjak Kiran menginjak usia delapan tahun. Dan yang lebih menarik adalah ketika ternyata untuk usia yang sangat masih muda, Kiran sudah tanggap dan respon terhadap bahasa yang diucapkan oleh orang tuanya. Semisal ketika kami memanggilnya dengan panggilan Neng Kiran, dengan sangat sadar dia menolah terhadap si pemanggil. Dan ini, sebuah keniscayaan. Maksud saya, artinya bahwa ternyata putri kami sudah memiliki pengertian untuk dua kata yang dimaksud, dimana kata Neng Kiran sudah menjadi alaram baginya untuk menengok kepada si pemanggil. Mungkinkah si anak sudah mawas terhadap lingkungannya?

Meski begitu, dikarenakan belum sepenuhnya tahu bahasa dan mengenal alat ucap yang dimilikinya, kadang Kiran pun tidak bisa mengungkapkan suatu keinginan dengan kata-kata. Tentunya. Semisal, ketika tubuhnya menelungkup dengan kedua tangan  terangkat ke atas sambil dikepalkan dan kaki yang ditegang-regangkan sedemikian rupa, itu artinya dia ingin bangun dari tempatnya. Ingin digendong atau ingin jalan-jalan. 

Terkadang, ada-ada saja ulahnya. Semisal dalam keadaan tengah senang, dia acapkali berceloteh dengan frase-frase yang telingapun susah untuk menangkap apa huruf yang diucapkannya. Mungkin seperti kata mama, baba, yaja, baya, dan yang lainnya. Dan, sebagai orang tua, hal itu cukup menyenangkan sekaligus membahagiakan. Itu artinya dia mulai mengolah alat-alat ucapnya meski belum sepenuhnya diwaspadai.

Awalnya saya menyangka jika perkembangan bahasa Kiran adalah ketika ia tengah berusia tiga bulan. Bagaimana tidak, betapa kagetnya ketika suatu waktu di kala saya tengah duduk di ruang tengah dan Kiran terbangun dari tidurnya seraya berkata, ng-ging, ng-ge, mbi, mbe. Empat frase itu diucapkannya secara berurutan dan dengan jelas sekali! Akan tetapi ternyata itu hanya sebatas ekspresi. Barangkali belum ada kesadaran akan kepemilikan alat ucap, akan tetapi itulah sepertinya pertama kali alat ucapnya bekerja.

Dari pengamatan dan ternyata dibuktikan juga oleh beberapa literatur yang saya baca, pada usia tiga bulan sebenarnya seorang bayi sudah bisa memproduksi suara. Adapun huruf-huruf yang diucapkannya adalah huruf-huruf gutural (tekak) yakni huruf 'g', labial yakni huruf "m" dan "b", serta huruf cerebral yakni huruf "ng". Dan hal ini akan terus berkembang seiring usia dengan berbagai macam faktor seperti keterlibatan lingkungan yang menengarai kondisi psikologis anak. 

Sampai sekarang, memang ada perkembangan alat ucap putri kami dengan berkembangnya alat ucap yang diperlihatkan dari begitu banyak suara yang dihasilkannya, meski belum tentu huruf latin bisa mentranslasikannya. Bahasa alien, begitulah kadang kami menyebutnya. Karena kami memang tidak bisa mengetahui huruf apa yang diucapkannya. Sejauh ini, Kiran sudah mengeluarkan huruf-huruf yang jika kami harus memetakannya pada huruf yang kami tahu, adalah huruf konsonan "b", "d", "g", "m", n", "y" dan tiga huruf vokal yakni "a", "e" dan "i". Untuk huruf konsonan, dalam ilmu fonologi, barangkali hanya sebatas pada huruf gutural, cerebral, labial, semivowel, dan dental. 

Barangkali sebuah kebiasaan, ketika bangun tidur, ketika tengah bermain, atau ketika sesudah malam tiba, Kiran akan melihat beberapa poster di dekat tempat tidurnya. Poster bergambar binatang, buah-buahan, bahkan huruf hijaiyah itu kadang kami bacakan untuknya. Sambil melihat gambar dan menunjukknya, saya dan istri membacakannya untuknya. Seperti gambar kucing, tikus, kuda, sapi, apel, jeruk, mangga, dan kata-kata yang memiliki dua suku kata. Bahkan dari perkataan istri saya, ketika dia berkata ngaos (mengaji), secara spontan, Kiran akan mendekati poster huruf-huruf hiijaiyah dan istriku pun membacanya. Kedua tangan kiran akan menempel pada poster itu dan kadang memukul-mukulkannya.

Percakapan kami pun sampai pada bahasa apa yang akan kami gunakan sebagai sarana komunikasi dan interaksi untuk dan dengan Kiran. Karena saya pikir hal ini penting sekali. Bahasa daerah barangkali tak harus diajarkan secara formal--lingkungan sudah cukup mumpuni untuknya berbicara dan memahaminya. Bahsa Indonesia barangkali menjadi pilihan karena di dunia yang serba cepat ini, hanya bahasa inilah yang tak mengenal undak-usuk dan tak mengenal pula strata serta kasta. Tapi saya juga ingin agar Kiran mahir juga bahasa Inggris pada nantinya. 

Obrolan kami ini sebenarnya ditengarai oleh rasa prihatin atas banyaknya bahasa yang tidak tepat digunakan akhir-akhir ini di masyarakat. Saya pikir jika seseorang ingin hidup dengan baik dan benar, maka terlebih dahulu yang harus dipersiapkan adalah bahasanya dulu. Karena bahasa menentukan pribadi seseorang. Jangan sampai karena kesalahan berbahasa maka pikiran dan perilaku seseorang menjadi salah, hanya karena bahasa yang digunakannya itu ambigu, tidak bermakna dan sebagainya. Itu yang penting! Saya berharap semoga putri kami memiliki kemawasan terhadap bahasa,sebab itu adalah citra dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki akal pikiran dan budi serta daya. [FA]

Saturday, October 26, 2013

Berharap Mencipta Waktu


Apa yang harus aku ceritakan, selain kesibukan yang terus belanjut kulakukan. Setelah sibuk dengan segala macam tetek bengek UTS di sekolah kedua (GRAMI), kembali aku kembali ke sekolah pertama (Pagelaran 3) tanpa sedikit pun membawa harapan atau sekaligus berharap jika di tempat ini aku bisa bernapas panjang. Tak sebatas mengajar tapi juga bisa “hidup” menghidupi hidupku. Walau, aku tahu betapa sia-sia berkata seperti ini karena semua itu sudah berlalu, dan sungguh tak pantas untuk dipertanyakan lagi. 

Beberapa bulan di sekolah kedua, telah bisa kurasakan perbedaan. Perbandingan yang pada akhirnya memengaruhi keadaan diriku, jalan hidupku dan hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan dan cita-citaku. Dua kran ternyata memang cukup membuatku aman ketimbang satu. Tapi cita-cita, sekali lagi aku bersengketa dengan waktu yang belum sampai aku miliki. Sampai kapan aku bisa memiliki waktu untuk duduk, berpikir dan menohok-nohokkan jari jemariku menguntai kata mencipta kalimat demi kalimat, paragraf, cerita yang utuh bernama novel itu. Novel yang membuatku terus-terusan membuat mimpi tentang kasih pertama. Aku melahirkan “bayi” dan kuberikan untuknya. Betapa mimpi yang abrusbd, aneh, abstrak dan sungguh teramat surealis. Aku mungkin tak mengerti apa maksudnya, tapi aku paham jika hal ini akan menyampaikanku pada sesuatu. Entah apa. Yang pasti ada. Hanya waktu—bukan untuk ditunggu—yang harus aku buat. Aku harus membuat waktuku sendiri untuk itu. Untuk cita-cita ini.

Aku takut. Bukan karena aku tak bisa melakukan hal yang seperti ini: menulis. Tapi karena aku sudah tak lagi bisa berbicara. Bicara yang lancar dan baik di depan orang-orang. Entah karena otakku bekerja lebih cepat, atau karena lidahku terlalu terlambat (atau mungkin terlalu cepat?) bergerak, sehingga aku tak lagi bisa berbicara dengan rapi dan teratur. Tata bahasa sudah hilang dari lidahku. Dan karenanya aku seakan tak bisa mengenal dunia. Ketika kalimat teramat kacau, maka bukan tak mungkin persepsiku atas dunia (atau bahkan duniaku itu sendiri) memang sudah kacau, tak bisa diungkapkan dengan sistematika yang baik oleh perangkat yang bernama bahasa itu. Jika sudah sepert itu, apakah mungkin aku bisa menulis dan bercerita, menulis cerita dengan baik jika keadaanku seperti ini?

Pernah aku menyangsikan kata dan bahasa, suatu hari ketika di bangku kuliah telah aku baca banyak buku. Bukan karena di buku itu penulis menggunakan persona pertama atau bahkan persona ketiga, atau bahkan seabreg metode penyampaian lainnya. Tapi aku yakin jika para penulis itu hanya tahu apa yang mereka tahu—lantas menceritakannya dalam sebuah tulisan—dan tak pernah benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi sebagai sebuah pengetahuan. Lihat saja buku-buku sejarah. Banyak penulis menulis tentang sejarah karena mereka tahu, entah dari buku atau dari narasumber lainnya, yang artinya apa yang mereka tulis berasal dari “katanya” orang. Tapi jika harus ditanya apakah sejarah itu sendiri berbicara sesuai dengan apa yang orang tuliskan tentangnya? Kita tak pernah tahu. Dan memang, sangat tidak mungkin sebuah Sejarah berbicara kata ia hanya fakta yang terbentang dimana mata manusialah yang harus menerjemahkan dan menuliskannya. Sayangnya, kita juga tahu, jika mata adalah media yang tidak bisa dipercaya. Ia gampang dimanipulasi.

Jika tidak, bagaimana mungkin ada fenomena dimana seorang manusia bisa melihat realita sedang yang lainnya bisa melihat dunia lain yang tak semua orang bisa lihat. Indigo, begitulah orang-orang menyebut mereka. Seandainya aku seorang indigo, atau bahkan mungkin anda, mungkinkah orang-orang akan percaya dengan apa yang aku atau anda lihat? Seandainya aku harus menceritakan kebenaran sedang orang-orang tak lantas percaya dengan apa yang aku ceritakan, apa yang harus aku lakukan? Jawabnya: Aku akan terus mencoba. Mungkin itulah jawaban terbaik, sebagaimana yang diungkapkan Denzel Washington di filmnya yang berjudul De Javu.  

Tapi kembali kepada masalah bahasa, makhluk yang satu ini sempat aku tak percaya. Meski jika harus dipertanyakan, di antara banyak hal yang ada di alam semesta ini, apa yang lalu harus percaya selain bahasa? Jawabannya tak ada. Tak harus kita membuat alasan karena hidup dengan banyak alasan adalah hidup yang tak nikmat untuk dijalani, begitu ucap Protagoras. Dan demikian pula aku terhadap bahasa. Aku cinta bahasa karena aku cinta. Dan itu sudah menjadi sangat cukup bagiku.[Saswaloka/FA]

Pic: http://learntoembracethestruggle.com/you-do-have-time/

Tuesday, August 20, 2013

Wednesday, February 6, 2013

Writer's Block

Sudah lebih dari lima kali asap rokok keluar masuk hidung dan mulutku. Tapi, tidak satu kalimat pun bisa aku buat. Bukan masalah merangkai kata sebenarnya, melainkan pikiran yang sampai detik ini tidak juga menemukan idenya, inspirasinya. Entah mengapa? Akhir-akhir ini otakku benar-benar tumpul. Ide seakan habis dari muka bumi walau kata-kata banyak tersedia dalam bahasa apa saja. Aku yakin itu.
Sudah lebih dari setengah tahun aku tak menulis. Maksudku, benar-benar menulis sesuatu yang memang serius yang berasal dari akal pikiranku. Sebuah ide yang genial, yang orisinal. Yang aku ingat, terakhir kali aku menulis pelajaran bahasa Sanskerta dan bahasa Sunda dengan pengantar Sunda, dan sebuah tulisan tentang teknik belajar yang aku sendiri kurang bisa membanggakannya. Tapi aku pikir, aku hanya menulis saja, menulis sebuah pengetahuan dari pengetahuan yang aku sempat tahu. Aku tidak menulis (mengarang) sebuah tulisan dari tulisan yang aku buat sendiri. Dengan kata lain, aku mandul saat ini.

Wednesday, August 8, 2012

Antara Kentut dan Cinta

Akhir-akhir ini rumah dipenuhi dengan kentut. Pagi kentut, siang kentut, malam kentut. Bahkan, ketika sedang tidur pun masih bisa kentut. Sungguh bukan kesalahan yang memang disengaja, tapi kentut nyatanya bisa mewarnai cinta.

Entah di mana dan sejak kapan kegiatan kentut-mengentut ini berawal, saya tidak tahu pasti.  Hanya saja, kentut menjadi sesuatu yang monumental sekaligus menjadi bumbu tersendiri terlebih ketika saya kentut di depan istri saya, atau sebaliknya. Sungguh, kentut tidak lantas membuat kami saling tuduh apa lagi sampai bikin marah. Justru sebaliknya, kentut membuat kami tambah dekat: tertawa mendengar suara kentut masing-masing--kebanyakan dari suaranya yang khas, terlebih jika istri saya yang kentut--sungguh momen yang sangat langka saya bahkan kebanyakan pria dengar.

Dulu, ada saat dimana saya menahan kentut terlebih di depan istri. Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa juga harus jaim (jaga image) segala? Bukankah istri itu bukan siapa-siapa lagi bagi saya? Dia adalah orang yang paling dekat dengan saya yang mestinya tahu seluk beluk tentang saya, dan begitu juga sebaliknya. Dan salah satu dari seluk beluk itu adalah kebiasaan kentut saya. 

Awalnya, saya sedikit agak malu bahkan harus meminta izin dulu sama istri kalau saya hendak kentut. Bahkan lebih dari itu, saya sempat juga mengobrolkan masalah kentut, seperti sebuah pertanyaan tentang: Kapan sih seorang perempuan kentut? Kok kayaknya dunia sepi banget tanpa kentut perempuan? Padahal saya yakin, tidak ada satu makhluk pun yang tidak kentut. Ini namanya manusiawi sekaligus hewani (saya sempat mendengar kucing saya sendiri kentut). 

Saya pun sempat berkata kalau kentut itu adalah tanda orang sehat. Untuk masalah ini, saya sempat menyaksikan pengalaman kakak. Dulu Kakak sempat dioperasi karena usus buntu. Tak lama setelah operasi, setiap ada pemeriksaan, dokter selalu bertanya: Apa sudah keluar anginnya? Mengapa juga orang yang sudah dioperasi harus ditanya sudah kentut atau belum. Kata Kakak, kentut itu tanda apakah sirkulasi udara di dalam perut lancar atau tidak. Jika tidak kentut berarti ada masalah dengan perut, dan itu bisa jadi bahaya.

Seiring waktu, saya pun tidak perlu lagi harus meminta izin jika ingin kentut di depan istri, begitu juga istri terhadap saya. Walau begitu, ada saat-saat dimana saya harus memberi tahu jika saya hendak kentut, biasanya ketika sedang makan. Pada saat itu saya akan berkata "punten," tanda kalau saya akan kentut sehingga istri saya tahu dan maklum. Selain itu, ada kalanya juga saya harus memberi kewaspadaan kepada istri atau sebaliknya, khawatir jika gas kentut yang dikeluarkan berbau busuk, dan itu bisa bahaya untuk kesehatan kami berdua.

Syukurnya, sejauh ini kentut kami masih bisa dimaklumi. Alih-alih berbau busuk, kentut kami justru lebih ramai karena suara yang dihasilkannya sungguh sangat bervariasi. Dan setiap kali mendengarnya, tak jarang kami tertawa terpingkal-pingkal, bahkan sempat-sempatnya membahas seperti apa suaranya. Suara kencang, bulat, besar meledak, kecil mendecit, melepes (Sunda), dan lain sebagainya.

Betapa berwarnanya hidup kami, tidak hanya karena kami saling mengasihi dan saling cinta, tapi juga karena ada kentut dimana kami bisa tertawa bersama-sama. Dan pagi ini, betapa nikmatnya saya mendengar istri saya kentut dengan lucu dan manjanya. (FA) :)

Pic: http://lyricallywaxing.blogspot.com/2010/10/farting-behind-closed-butt-cheeks.html

Monday, May 21, 2012

Tetangga Wartawan Kerajaan Sumedang

Ingin kuceritakan seperti apa tetanggaku ketika aku masih di kamar yang dulu. Kamar kecil kedua dari kanan dan tak cukup indah dipandang itu. Bukan tetangga yang berada di kananku –mereka adalah sebuah keluarga muda: bapak yang berasal dari Jawa dan Ibu yang berasal dari desa perbatasan, dengan balita perempuannya yang masih kecil.

Tentunya, mereka sekarang sudah tidak ada lagi di sini. Mereka pindah ke rumah keluarga asalnya, entah di mana. Sedang kamarnya, sudah didiami oleh keluarga yang lain. Seorang istri muda dan seorang suami gagah berbadan kekar. Tapi, bukan mereka yang bakal aku ceritakan. Aku ingin menceritakan tetangga yang dulu sempat tinggal di sebelah kiri kamarku. Sebuah keluarga yang sedikit lebih memiliki keunikan menurutku.

Sebetulnya, tak sampai satu minggu setelah kedatanganku ke kontrakan ini, sebuah keluarga mengisi kamar itu. Kamar yang si empunya tidak pernah menawarkannya padaku, entah apa alasanya. Aku tak mengetahui secara langsung bagaimana keluarga itu pindah, karena pada saat itu aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di Djati di rumah temanku, dan di sekolah. Yang aku tahu, sebuah sepeda motor sudah berada di depan kamar itu dengan seorang bapak yang entah mengerjakan apa pada motornya itu.

The Curtain Is Falling Down

I've deleted two posts at a  time. Posts that are not necessarily significant as my hypothesis results the fact. The fact that occurred several hours ago when I was in the class teaching my students. At the beginning, I knew that this community was flawed. The intention for making this community was actually great. Unfortunately, the man behind it made no clear concept bout it. I've delivered some suggestion due this, but rigidity became the acceptance I've got. Moreover, each person seemed walk in their own path. No schedule, no routines, nothing but hunted for one pleasure by himself only and not for the community. What kind of community is that? It's not a community, it's only a forum. Gather in a time and then dismiss after the gathering is done. 

It's not one or two times I've dealt within this kind of situation. The number were countless. Until, when I was teaching in the class, a text delivered by one of them said that there were going to track the road. Didn't they think the others who in that time was in a such busy regarding their job, the other friend and my job? Easily,  they said that I've to catch them up while I don't even know the route, surely, cause I am new here in this neighborhood. They just want to track without thinking much bout community, or how to built it, to expand it. They're just fond in asking and seek their own pleasure, each person, but don't really fond of building the true community. What can I be proud of it? Nothing. 

At last, as the conclusion, I made my own "track" as I commit to my hobby: reading, writing, blogging, and everything I like. All by myself, and don't think that I have to give my focus, energy, and time upon this community. This flaw community which by itself that the curtain is sinking down. The truth occurs and I have to face the reality under protest. 

Hah! Just, another (pathetic) phase of life.