Thursday, March 1, 2018

Pelayanan, Masih Jadi Nomor Wahid Masalah Bisnis

theservicecoach.com
Sebelumnya, izinkan saya ingin menggunakan kata saya, dan saya menulis ini di blog. Biar hidup. Biarlah Facebook punya bagiannya sendiri, juga akun lain seperti IG, dan media sosial yang udah ga keitung lagi jumlahnya. Faktanya, terlalu banyak menggunakan medsos ternyata cukup bikin ribet juga. Apa lagi kalau bicara bisnis pake aplikasi belanja online. Nguras energi dan waktu. Alih-alih produktif dan fokus, ini malah sibuk hilir mudik buka tutup aplikasi. Waktu juga yang menjawab. Facebook masih bertahan; orang-orang pindah ke IG dan Twitter ditinggalkan. Sedang blog, ah, jangan tanya ada berapa ratus atau mungkin ribu yang pake media satu ini di negeri yang gemah ripah loh jenawi ini. Lha wong, masyarakt Indonesia itu lebih suka yang pendek-pendek,cepat-cepat dan instan-instan. Sedang ngurus blog itu butuh kesabaran tingkat dewa Zewa dari tatanan 14 kuil yang harus dilewari Saint Seiya. Mangkanya harus telaten. Satu lagi masalah adalah penyakit bisa membuat atau memulai tapi tidak bisa mengurus dan menyelesaikan. Sebab ini yang bikin kita ga pernah bisa jadi apa-apa. Terlalu banyak memilih dan terlalu banyak pindah-pindah channel. Maka dari itu, setialah pada channel pilihan Anda. Cukup satu tapi komit dan konsisten. Susah memang, karena saya pun sempat seperti itu. Tapi saya coba usahakan untuk bisa menjalani ini semua. 

Pengantar yang sangat panjang. Tapi ya sudahlah, saya bakal masuk ke inti tulisan ini sekarang.


Satu hal yang paling menyebalkan adalah ketika saya harus memikirkan terlalu banyak hal yang sebenarnya tidak pantas untuk saya pikirkan. Seperti beberapa jam yang lalu sebelum akhirnya saya membuat catatan ini. Saat itu saya memikirkan tentang kelakuan beberapa kurir ekspedisi yang bikin sempat bikin geram, males, dan kecewa beberapa hari yang lalu, juga jam delapan malam tadi. Jasa kurir memang saya butuhkan untuk bisnis online yang saya jalankan belum lama, tepatnya tiga bulan ke belakang. Mau tidak mau, saya bakal sering berhubungan dengan banyak ekspedisi untuk menyukseskan bisnis saya itu. Bisnis yang bergerak di bidang perbukuan dan barang antik.

Jadi, beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Senin (26/02) saya mendapat order dari konsumen yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Konsumen dengan inisial NR ini mengorder sebuah buku yang saya pajang di lapak saya di aplikasi online yang populer (baca: Bukalapak) berjudul "Metode dan Pengajaran Sastra". Saya menyangka NR adalah seorang mahasiswa karena sebelumnya kami sempat berkirim pesan. Malah NR sendiri berkata jika dia membutuhkan sekali buku itu. 

Dari awal saya niatkan jika lapak saya ini diniatkan tidak hanya untuk berbisnis saja, tapi juga membantu mereka yang memang membutuhkan, khususnya yang berhubungan dengan buku. Ini juga yang membuat saya mematok harga murah untuk produk buku yang saja pajang di etalase lapak. Lagi pula, sejauh ini produk saya ini memang koleksi pribadi yang memang saya jaga dan rawat dengan baik. Kondisi buku hampir semuanya original, bagus dan mulus, ga jauh beda dengan buku yang ada di toko buku besar sekalipun, kecuali dua hal: tidak ada pembungkus dan ada tulisan nama serta tanda tangan saya di setiap halaman pertama prelim buku. Selebihnya, OK-OK semua.

Selain itu, dalam berbisnis saya punya tiga hal utama yang saya pegang: 1. Kepuasan, 2. Pelayanan dan 3 Kepercayaan. Mudah menuliskannya, tapi tidak ketika menjalaninya. Setidaknya, sampai detik ini saya lumayan banyak mendapat feedback positif. Entah apakah memang proses transaksi hingga akhirnya buku itu sampai di tangan konsumen lancar, atau memang konsumen saya itu tahu seperti apa belanja online itu bekerja. Saya sih positif thinking saja. Pasalnya, konsumen itu memang raja, dalam artian bahwa mereka tidak mau tahu soal proses bagaimana buku itu akhirnya sampai ke tangan mereka. Mereka hanya ingin jika barang yang dipesan cepat sampai. Saya pikir, semudah apa pun seseorang menggunakan aplikasi online dan seinstan apa pun transaksi berjalan, semua tetap butuh proses yang tidak bisa diabaikan. Konsuman dengan usia dewasa mungkin paham, tapi kadang tidak untuk mereka yang muda. Di sinilah kadang kesabaran pelapak diuji. Sabar menghadapi keluh kesah, komplain bahkan cacian dari konsumen jika itu memang yang terjadi.

Atas dasar itu pula saya pun menerima order NR dan segera mungkin memproses barang yang dibeli di lapak saya. Sayang seribu sayang, cuaca pada hari itu tidak mendukung. Hujan sudah jatuh sejak pukul dua dan tak berhenti sampai Isya. Tidak hanya itu, pada saat ketika order masuk pun saya sedang di tempat kerja yang lain yang jauh dari produk saya itu. Hemat kata, buku saya ada di rumah sedang saya di kantor dinas. Bagaimanapun saya harus bikin rencana. Maka saya pun menghubungi salah satu kurir yang sempat saya temui di tempat kerjanya. Saya bilang, dengan nada yang sangat amat sopan, jika saya memerlukan jasa dia untuk mengambil paket di rumah saya pukul empat. 

Setengah empat saya geber motor saya berbasah-basahan semata untuk mengemas (packing) buku orderan NR. Jam empat lewat dan hari masih hujan deras luar biasa. Tak ada pesan masuk di WA. Saya tunggu setengah jam sampai pada akhirnya saya juga yang harus bilang kondisi saat itu. Saya bilan, "Hujan besar". Lalu, "Tapi kira-kira bisa diambil hari ini?" Lantas, "Kalau tidak bisa hari ini besok saja saya ke kantor." Diakhiri, "Tapi kira-kira bisa minta no-resinya saja dulu dua? Buat ke Kalimantan dan Banten, buat proses di BL?" Tanda biru tercentang dengan cepat tapi jawaban datang setengah jam kemudian. Sialan! Kurir yang digadang-gadang mengutamakan pelayanan karena punya metode jemput bola sebagai ciri khasnya itu baru setengah jam membalas pesan di WhatsApp saya. Dia bilang "Teu tiasa a enjing we nya (Ga bisa A, besok saja ya?" Dan, "Hujan A." Mungkinkah dia menganggap saya bodoh untuk mengetahui jika malam itu hujan atau tidak? Yang saya tahu, pukul setengah delapan hujan agak reda, tidak sebesar ketika pulang dari kantor ke rumah.

Tidak lama, ada kurir lain yang minta janjian untuk bertemu dengan saya. Pesannya tiba-tiba. Saya jawab: "Ya, bagaimana." Saya menyangka jika kedua kurir itu justru lebih dulu janjian. Yang satu malas, dan yang satu lagi terkompori walau kenyataannya, tidak ada balasan pesan lagi setelah pesan saya itu. Tidak kalah akal, saya gunakan nomor resi bekas, dengan tujuan agar ordean tidak dibatalkan secara otomoatis oleh BL. Alasannya, saya tidak ingin bikin repot konsumen jika harus mengorder lagi produk yang sama. Tahu sendiri, konsumen paling malas jika harus melakukan order dua kali, terlebih mereka yang masuk ke dalam tipe "ga mau tahu," yang penting barang sampai. 

Keesokan paginya, dengan paket yang sudah dingin, saya datang ke kantor itu, langsung. Saya serahkan paket untuk dicatat dan dikirim sesuai alamat yang saya tulis di paket. Di depan pintu saya lewat kurir itu tak peduli. Di depan admin kurir itu, setelah proses transaksi selesai, saya pun bercerita tentang kejadian semalam dengan dua orang kurir. Saya bicara banyak sebagaimana admin itu pun memberi banyak informasi tentang tugas kurir dan tentang perusahaan bergerak di bidang jasa itu. Lagi-lagi masalah pelayanan. Bukan perusahaan itu yang salah, tapi karyawannya. Selalu saja seperti itu. Saya tidak habis pikir bagaimana mungkin sebuah perusahaan jasa sebesar itu merekrut kurir yang tidak responsif, abai dengan konsumennya, dan memilih lari dari masalah. Dikira saya tidak tahu itu apa? Apa mungkin tes percobaan mereka sebagai kurir yang berlangsung selama dua tahun itu kurang? Atau sekarang malah justru waktu tes percobaan itu jadi tambah berkurang? Saya pikir, pelayanan yang baik tidak berkorelasi dengan besar atau kecilnya sebuah perusahaan. Pelayanan bisa dimiliki siapa saja jika benar orangnya punya komitmen.

Dari admin itu saya baru tahu jika ongkos kirim yang didapat dari pengambilan barangnya di konsumen itu untuk dia juga. (Ternyata saya salah selama ini memberi tips buat kurir macam itu). Mereka sendiri yang rugi, begitu kata admin berjawah cantik dan berhidung mancung, yang mengingatkan saya pada pacar saya jaman SMP itu. Dengan baik-baik saya ceritakan semuanya, hingga akhirnya admin itu sendiri yang memohon maaf atas kesalahan teman kurirnya itu. (Untuk ini, saya harus bilang jika kurir terciduk itu termasuk orang yang tidak tahu diri. Jenis kelamin lelaki, tapi mental bencong. Maaf). Tidak berapa lama, kurir yang sedari tadi ngobrol dengan temannya di depan kantor itu masuk mendekati admin tidak jauh dari saya. Dia bilang, "Kemarin itu hujan A." Saya hanya bilang "Hm" dengan sedikit mengangguk. Apa harus saya cerita tentang bagaimana saya harus jibrug (basah-basahan) menembus hujan besar semata hanya untuk mengejar waktu sebelum jam empat agar saya bisa mengemas paket saya itu? Buat apa penjelasan? Dia kan sudah dewasa. 

Kalau pun harus dia berbuat di saat saya duduk dan tak lagi bicara apa-apa itu adalah meminta maaf! Bukannya ngomong masalah hujan mulu! Anak kecil juga tahu. Yang jadi masalah, adalah jika memang dia bilang OK setelah saya meminta agar paket diambil di rumah pada jam empat, setidaknya dia memberi tahu keadaan dia dan apa solusi dia sebagai kurir menghadapi masalah itu. Bukan hanya bilang hujan A! "Saya kan konsumen nya? Masa saya juga yang harus ngasih solusi?" begitu ucap saya kepada admin nan cantik itu. Dan kembali dia meminta maaf. Dia bilang ya, kurir berinisial I  itu rugi sendiri. Nanti kan ada rapotnya, begitu kata admin yang belum saya tahu namanya. Rapot itu yang bakal diperiksa oleh supervisor. Baik atau tidak tugas mengambil paketnya, seberapa banyak kuantitasnya, dan lain-lainnya. 

Pelayanan, ternyata masih saja jadi nomor wahid masalah bisnis. Tak terkecuali bisnis jasa kurir ekspedisi. Mereka sibuk? Memang yang jualan tidak? Mereka ingin dimengerti? Memangnya yang jualan tidak? Apalagi konsumen. Mereka raja, mereka punya duit, mereka yang ngasih kita kesejahteraan, sekecil apa pun itu, Maka dari itu, mereka pantas mendapatkan pelayanan. Pada saat yang sama setiap orang di setiap keadaan bisa jadi produsen dan konsumen sekaligus. Bisa jadi penjual dan pembeli sekaligus. Saya penjual bagi lapak saya, tapi saya pun pembeli bagi perusahaan ekspedisi. Kalau mau untung, ya kerja sama. Tidak bisa tidak! Kalau egois, ya, jangan jadi semuanya. Ga usah jadi penjual, pelapak, pebisnis, pelayan jasa antar. Aman semua. Tapi, pantaskah hidup semacam ini dibanggakan? Lalu bagaimana orang bisa hidup tanpa kerja? Permasalahanna, apakah setiap orang bisa bekerja total dan bekerja ikhlas? Kalau kepalanya cuma isi duit, dan jika tidak ada duit dia tidak kerja, maka yang dia dapat hanya untung dan rugi. Sedang untung rugi itu masalah itung-itungan. Padahal dalam berbisnis adakalanya permasalahan tidak hanya masalah untung rugi. Jika benar demikian, setiap orang bisa dengan mudah mengambil mana yang menghasilkan dan mengabaikan yang tidak? Sekali lagi, bukankah itu egois namanya? Hanya butuh yang ada duitnya sedang yang tidak, ya tidak butuh? Ada yang namanya perkenalan, sopan santun, bertanya jika tidak mengerti, menjawab jika ditanya, memohon, berterima kasih. Nilai-nilai universal yang humanis yang tidak bisa dihargakan oleh rupiah bahkan dolar sekalipun. Timur itu beda sama Barat! Sekalipun dalam urusan customer service, ada kalanya Barat justru lebih unggul. Atau, apakah Timur sudah kehilangan identitasnya? Karakternya? Mengerikan jika jawabannya ya.


Akhirnya, seperti halnya peribahasa karena nilai setitik rusak susu sebelanga, citra sebuah perusahaan bisa jelek hanya karena satu orang karyawannya. Perusahaan, lembaga, institusi apa pun itu. Selamat buat saya, kurir ekspedisi yang saya banggakan, yang selalu saya rekomendasikan ke setiap konsumen dan setiap orang kantor tempat saya bekerja telah berhasil membuat saya kecewa. Menyebalkan memang, tapi ya begitulah adanya. Tidak ada yang sempurna memang, tapi lebih tidak sempurna lagi menjadi seorang pengecut apa lagi pecundang. Masalah apa pun itu harusnya dihadapi, bukannya lari. Memang setiap orang tidak pernah bisa memuaskan orang lain dengan memberikan pelayanan paripurna, tapi lebih tidak bisa diterima jika kepercayaan yang sudah dibangun, dihancurkan hanya gara-gara masalah sepele. Saya tidak apakah masalah saya ini sepele atau tidak. Bagi saya ini adalah pelajaran sekaligus dilema. Pasalnya, tidak hanya ekspedisi itu yang sempat bermasalah dengan saya. Beberapa hari setelah kejadian itu, saya menggunakan kurir ekspedisi yang lain. Dan ruar biasanya, kurir yang satu ini lebih parah dari sebelumnya. Jelas-jelas kurir ekspedisi yang katanya kilat ini bilang sendiri jika resinya akan dikirim malam hari via WhatsApp. Dan sialnya, lagi-lagi saya duluan yang jam setengah sembilan harus mengirim pesan, bertanya "Mana nomor resinya?" Dengan entengnya  kurir itu berkata, "Ketinggalan di kantor A!" Brengsek benar, bukan? Kesal bukan main saya marah besar saat itu juga. Betapa tidak, kasusnya tidak jauh beda dengan kurir ekspedisi yang saya ceritakan di atas itu. 

Kenyataannya sekarang saya dilema. Jadi apa yang harus saya lakukan? Pelayanan kurir terbukti parah semua. Benar kata beberapa teman saya, dan saya harus merasakannya juga sekarang. Apa harus saya bikin perusahaan ekspedisi sendiri, dengan konsep dan strategi yang bisa meminimalisis permasalahan seperti yang saya sebutkan tadi? Punya uang dari mana saya? Cita-cita bikin TV Iklan saya belum kesampaian, apa lagi bikin perusahaan ekspedisi yang bisa mengantar barang ke tempat terpencil sekalipun macam di gunung. Sekarang kepercayaan sudah hancur, mungkinkah bisa dibangun lagi? Bukankah manusia itu adalah makhluk pendendam, gampang terprovokasi dan mau menang sendiri? Kalau benar saya mau menang sendiri, buat apa saya bela-belain hujan-hujanan bawa motor cuma sekadar untuk membungkus paket dan menunggu kurir itu datang pukul empat? 

Tidakkah lebih baik saya diam saja di kantor sampai malam menunggu hujan benar-benar reda, dan paket tidak segera dikirimkan, dan orderan dibatalkan, dan akhirnya NR tidak bisa menyelesaikan tugas entah makalah atau skripsinya hingga akhirnya dia dimarahi dosennya karena sumber referensinya kurang, dan akhirnya dia tidak bisa menyelesaikan skripsinya itu tepat waktu, dan akhirnya dia terlambat untuk mengikuti sidang, hingga akhirnya dia harus menunggu sidang skripsi di bulan yang lain dan lulus terlambat sebagai sarjana, dan dia pun terlambat melamar pekerjaan yang harusnya dilamar beberapa bulan sebelumnya, dan akhirnya dia harus bekerja di perusahaan yang membayar rendah gajinya, dan karenanya dia harus menghemat gajinya itu selama satu bulan agar dia bisa hidup, dan kedaan itu membuat dia stress dan frustasi sedang tuntutan dan kerja dari perusahaan amat tinggi, hingga akhirnya dia pun jatuh sakit, dan dia tidak bisa berobat  karena tidak punya uang, banyak hingga akhirnya penyakitnya itu menghentikan dia untuk bernapas sebagai manusia, dan dia disemayamkan seadanya karena tidak ada orang yang mampu membayar penggali kuburnya, semua hanya gara-gara buku yang dipesannya di BL tidak pernah datang sesuai harapannya? Lebay, tidak sama sekali! Mungkin terjadi? Kenapa tidak! Bukankah satu saja kepakan kupu-kupu bisa mengubah begitu besar tatanan semesta? (FA)


No comments:

Post a Comment