solopracticeuniversity.com |
Bayangkan sebuah film
dengan plot sederhana, dengan permasalahan yang telah menjadi sangat biasa bisa
dihadapi siapa saja di kehidupan nyata.
Tokoh-tokohnya
membicarakan hal keseharian tanpa pretensi apa lagi dramatisasi. Tak ada tawa
paling bahak atau tangis paling bengis. Tak ada yang terluka dan dilukai
terlebih menderita atau dibuat sengsara. Tak pula ada konflik yang njelimet atau adegan yang mengantar perenungan
mendalam dialami tokoh-tokohnya.
Tokoh-tokoh yang
menerima kenyataan sebagai kenyataan. Apa adanya. Bahkan di akhir film, tak ada
perubahan nasib yang terjadi pada mereka. Semua berjalan biasa-biasa saja. Seperti
matahari yang terbit di pagi hari dan terbenam ketika senja tiba, dan semua
orang mengganggapnya sebagai hal yang biasa.
Film-film zaman sekarang
memang seperti itu. Penuh aksi dan ketegangan; menguras pikiran dan perasaan. Jika
sebuah film tak lantas bisa membuat penontonnya bertepuk tangan sambil menggangguk-anggukan
kepala, atau menahan napas dan menghembuskannya di akhir adegan, bisa
dipastikan film semacam ini takkan laku. Diri tak terpuaskan, bahkan bisa jadi
dikecewakan, pundi-pundi rupiah pun tak sampai ke tangan di produsen film.
Selebihnya, film semacam
pun takkan banyak direkomendasikan bahkan bisa jadi dilupakan. Tapi, sungguh,
benarkah film semacam ini tidak penting; dan benarkah harus film yang seru dan
memuaskan yang dibutuhkan manusia? Tidakkah film semacam ini yang justru tak
adil?
Bayangkan saja bagaimana
sebuah film justru harus hidup dari pikiran (intelektual) dan perasaan (emosi)
penontonnya. Pikiran dan perasaan penonton telah menjadi modal sekaligus
komoditi utama produsen film. Yang lebih aneh adalah, produsen tahu bagaimana
cara membuat film yang menguras pikiran dan perasaan; sedang penonton justru
menyukai film semacam ini. Sungguh pasangan yang serasi, bukan?
Akan tetapi, ya, akan
tetapi ada satu hal yang justru terbahak lantang pada si penonton penuh
kepuasaan bernama: realita. Dialah yang dalam kebisuannya menertawakan hidup si
manusia penonton. Mungkin tak ada kalimat selain sebuah kata yang tak bisa bicara
selain cukup tertulis saja: Kasihan!
Ya, kasihan si penonton
menonton film yang memuaskan dirinya tapi tidak bisa mengubah hidupnya sendiri.
Film yang tak lebih dari sekadar pengisi waktu luang, pemuas napsu, pemberi
harapan, inspirasi, dan motivasi, atau bahkan pelarian manakala si penonton jenuh
dengan kenyataan hidup yang ada yang tengah dijalaninya.
Pada beberapa hal, film
memang menyenangkan. Tapi pada lain hal dia pun menyesatkan. Kiranya hal ini
tak hanya ada pada film tapi pada produk kebudayaan manusia jenis apa pun. Film
lebih sering menuntut penontonnya mendongakkan kepala seakan berkata: “Ini
hidup! Gapailah cita-cita setinggi langit” atau “Hidup itu harus dperjuangkan.
Semangat!” atau “Berjuanglah sekuat tenaga dalam menjalani hidup dan tetaplah
menyimpan harapan!” dan kalimat-kalimat lain pendobrak kemalasan, penghancur
kegagalan dan dan penghantam kepapaan.
Pertanyaannya sekarang: Benarkah
hidup menuntut kita untuk seperti itu, menuntut untuk selalu semangat, terus
berharap, berhasil dan sukses? Benarkah hidup selalu menyuruh setiap orang jadi
pahlawan?
Bagaimana jika kenyataan
berkata bahwa ternyata hidup tak butuh orang-orang sukses dan berhasil? Hidup
tak butuh pahlawan seperti halnya di film-film? Bagaimana jika ternyata hidup
tak meminta tokohnya selalu harus menggapai mimpi dan cita-citanya? Bagaimana
jika seperti itu? Apa yang manusia bakal lakukan jika ternyata hidup hanya
meminta tokohnya untuk menjalani saja yang ada, tanpa pretensi tanpa
dramatisasi—tak masalah berusaha dan terus berjuang, tapi jangan minta lebih,
karena hasil bukan dia yang menentukan?
Menghadapi kenyataan, setelah semua perjuangan dan
pengorbanan dikerahkan, ada kalanya hidup memaksa manusia untuk menurunkan
dagunya
seakan sebuah kalimat berbunyi: Mengapa harus menatap bintang atau birunya
langit? Tidakkah tanah yang masih merah, air sungai yang masih mengalir di
sampingmu, juga pohon dan tanaman dengan bunganya yang berwarna-warni lebih
indah dan setia berada di sisimu, menemanimu?
Manusia memang makhluk yang
lupa daratan, percis bagaimana tatkala film diputar, si penonton melayangkan
tubuhnya mengambang dari tempat duduknya. Seolah bumi terlalu hina untuk dihuni
sedang bintang di langit lebih mulia untuk dijangkau.
Kenyataannya, hal-hal
yang teramat biasa, yang sangat mengenal kita dan selalu berada di samping kita
dari lahir hingga dewasa sebelum akhirnya meninggal dunia, justru menjadi hal
yang penting dan berarti untuk manusia perhatikan dan sayangi. Bukan hal-hal
yang hebat yang menemani pertumbuh-kembangan manusia, yang incidental atau yang
happening, tapi hal-hal yang justru
kita anggap biasa dan acapkali kita anggap sekadar remeh temeh belaka.
Sayangnya, seringkali
dan berkali-kali manusia mengabaikan keberadaannya. Padahal, sesuatu yang biasa
itu bukan tak mungkin menjadi sangat berarti ketika dia lagi tak ada.
Di sinilah manusia
membutuhkan film-film seperti itu. Film-film sederhana yang hanya sebatas
menampilkan suasana dari waktu ke waktu tanpa harus ada motif tertentu. Film
yang memperlihatkan bagaimana jalan setapak selalu mengantarkan tokohnya
berjalan keluar rumah dan bekerja; rumah yang menjadi saksi kelahirannya hingga
dewasa, halaman rumput penuh pohon dan tanaman bunga yang hanya bisa hidup
dengan siraman air hujan; tempat makan yang tetap eksis sedari kecil hingga
dewasa; tata kota yang mengingatkan kehidupan sekolah dari masa ke masa;
gedung-gedung yang menjadi saksi langkah kita; seorang tetangga yang hanya
menyapa dengan berkata “sedang apa?”;
seorang kakek pemarah yang acap dibenci; kehidupan yang bergerak sebagai
rutinitas keseharian; dan banyak lagi.
Karena suatu hari,
tatkala satu saja dari hal tadi itu berubah, maka yang tersisa tak lebih dari
sekadar kenangan. Dia hilang dalam realita dan muncul di kepala sebagai album
nostalgia. Pada saat itulah kita menyadari bahwa hal-hal yang biasa itu, yang
rutin itu, yang tak terlalu kita kenal dan perhatikan itu justru menjadi
berarti dari apa pun yang ada di dunia. Mengapa? Karena semua telah hilang.
Pada saat itulah kita
belajar bagaimana cara merawat dan menjaga. Mengapresiasi hal kecil dan biasa
bahkan yang bisa jadi kita benci. Pada saat itulah kita tahu bagaimana sebuah
film sederhana sekalipun menjadi pantas untuk mendapatkan perhatian kedua bola
mata, kecuali jika bola mata itu sudah tak ada lagi karena napas telah mengambilnya
menjadi Si Apa. (Pipin Saswa)
No comments:
Post a Comment