Saturday, March 17, 2018

Harga Sebuah Nilai Kecil


solopracticeuniversity.com
Bayangkan sebuah film dengan plot sederhana, dengan permasalahan yang telah menjadi sangat biasa bisa dihadapi siapa saja di kehidupan nyata.

Tokoh-tokohnya membicarakan hal keseharian tanpa pretensi apa lagi dramatisasi. Tak ada tawa paling bahak atau tangis paling bengis. Tak ada yang terluka dan dilukai terlebih menderita atau dibuat sengsara. Tak pula ada konflik yang njelimet atau adegan yang mengantar perenungan mendalam dialami tokoh-tokohnya.

Tokoh-tokoh yang menerima kenyataan sebagai kenyataan. Apa adanya. Bahkan di akhir film, tak ada perubahan nasib yang terjadi pada mereka. Semua berjalan biasa-biasa saja. Seperti matahari yang terbit di pagi hari dan terbenam ketika senja tiba, dan semua orang mengganggapnya sebagai hal yang biasa.

Film yang seperti ini mungkin tak pernah ada. Sekalipun ada, mungkin tak banyak orang yang menonton dan tak pula banyak penggemar apa lagi ratingnya. Siapa yang mau memproduksi film semacam itu, dan siapa juga yang mau menontonnya? Bukankah pengalaman mengajarkan bagaimana hidup adalah nikmat tak terhingga dan manusia adalah makhluk yang tak pernah merasa cukup—selalu meminta lebih dari apa yang ada?

Film-film zaman sekarang memang seperti itu. Penuh aksi dan ketegangan; menguras pikiran dan perasaan. Jika sebuah film tak lantas bisa membuat penontonnya bertepuk tangan sambil menggangguk-anggukan kepala, atau menahan napas dan menghembuskannya di akhir adegan, bisa dipastikan film semacam ini takkan laku. Diri tak terpuaskan, bahkan bisa jadi dikecewakan, pundi-pundi rupiah pun tak sampai ke tangan di produsen film.

Selebihnya, film semacam pun takkan banyak direkomendasikan bahkan bisa jadi dilupakan. Tapi, sungguh, benarkah film semacam ini tidak penting; dan benarkah harus film yang seru dan memuaskan yang dibutuhkan manusia? Tidakkah film semacam ini yang justru tak adil?

Bayangkan saja bagaimana sebuah film justru harus hidup dari pikiran (intelektual) dan perasaan (emosi) penontonnya. Pikiran dan perasaan penonton telah menjadi modal sekaligus komoditi utama produsen film. Yang lebih aneh adalah, produsen tahu bagaimana cara membuat film yang menguras pikiran dan perasaan; sedang penonton justru menyukai film semacam ini. Sungguh pasangan yang serasi, bukan?

Akan tetapi, ya, akan tetapi ada satu hal yang justru terbahak lantang pada si penonton penuh kepuasaan bernama: realita. Dialah yang dalam kebisuannya menertawakan hidup si manusia penonton. Mungkin tak ada kalimat selain sebuah kata yang tak bisa bicara selain cukup tertulis saja: Kasihan!

Ya, kasihan si penonton menonton film yang memuaskan dirinya tapi tidak bisa mengubah hidupnya sendiri. Film yang tak lebih dari sekadar pengisi waktu luang, pemuas napsu, pemberi harapan, inspirasi, dan motivasi, atau bahkan pelarian manakala si penonton jenuh dengan kenyataan hidup yang ada yang tengah dijalaninya.

Pada beberapa hal, film memang menyenangkan. Tapi pada lain hal dia pun menyesatkan. Kiranya hal ini tak hanya ada pada film tapi pada produk kebudayaan manusia jenis apa pun. Film lebih sering menuntut penontonnya mendongakkan kepala seakan berkata: “Ini hidup! Gapailah cita-cita setinggi langit” atau “Hidup itu harus dperjuangkan. Semangat!” atau “Berjuanglah sekuat tenaga dalam menjalani hidup dan tetaplah menyimpan harapan!” dan kalimat-kalimat lain pendobrak kemalasan, penghancur kegagalan dan dan penghantam kepapaan.

Pertanyaannya sekarang: Benarkah hidup menuntut kita untuk seperti itu, menuntut untuk selalu semangat, terus berharap, berhasil dan sukses? Benarkah hidup selalu menyuruh setiap orang jadi pahlawan?

Bagaimana jika kenyataan berkata bahwa ternyata hidup tak butuh orang-orang sukses dan berhasil? Hidup tak butuh pahlawan seperti halnya di film-film? Bagaimana jika ternyata hidup tak meminta tokohnya selalu harus menggapai mimpi dan cita-citanya? Bagaimana jika seperti itu? Apa yang manusia bakal lakukan jika ternyata hidup hanya meminta tokohnya untuk menjalani saja yang ada, tanpa pretensi tanpa dramatisasi—tak masalah berusaha dan terus berjuang, tapi jangan minta lebih, karena hasil bukan dia yang menentukan?

Menghadapi kenyataan, setelah semua perjuangan dan pengorbanan dikerahkan, ada kalanya hidup memaksa manusia untuk menurunkan dagunya seakan sebuah kalimat berbunyi: Mengapa harus menatap bintang atau birunya langit? Tidakkah tanah yang masih merah, air sungai yang masih mengalir di sampingmu, juga pohon dan tanaman dengan bunganya yang berwarna-warni lebih indah dan setia berada di sisimu, menemanimu?

Manusia memang makhluk yang lupa daratan, percis bagaimana tatkala film diputar, si penonton melayangkan tubuhnya mengambang dari tempat duduknya. Seolah bumi terlalu hina untuk dihuni sedang bintang di langit lebih mulia untuk dijangkau.

Kenyataannya, hal-hal yang teramat biasa, yang sangat mengenal kita dan selalu berada di samping kita dari lahir hingga dewasa sebelum akhirnya meninggal dunia, justru menjadi hal yang penting dan berarti untuk manusia perhatikan dan sayangi. Bukan hal-hal yang hebat yang menemani pertumbuh-kembangan manusia, yang incidental atau yang happening, tapi hal-hal yang justru kita anggap biasa dan acapkali kita anggap sekadar remeh temeh belaka.  
Sayangnya, seringkali dan berkali-kali manusia mengabaikan keberadaannya. Padahal, sesuatu yang biasa itu bukan tak mungkin menjadi sangat berarti ketika dia lagi tak ada.

Di sinilah manusia membutuhkan film-film seperti itu. Film-film sederhana yang hanya sebatas menampilkan suasana dari waktu ke waktu tanpa harus ada motif tertentu. Film yang memperlihatkan bagaimana jalan setapak selalu mengantarkan tokohnya berjalan keluar rumah dan bekerja; rumah yang menjadi saksi kelahirannya hingga dewasa, halaman rumput penuh pohon dan tanaman bunga yang hanya bisa hidup dengan siraman air hujan; tempat makan yang tetap eksis sedari kecil hingga dewasa; tata kota yang mengingatkan kehidupan sekolah dari masa ke masa; gedung-gedung yang menjadi saksi langkah kita; seorang tetangga yang hanya menyapa dengan berkata “sedang apa?”;  seorang kakek pemarah yang acap dibenci; kehidupan yang bergerak sebagai rutinitas keseharian; dan banyak lagi.

Karena suatu hari, tatkala satu saja dari hal tadi itu berubah, maka yang tersisa tak lebih dari sekadar kenangan. Dia hilang dalam realita dan muncul di kepala sebagai album nostalgia. Pada saat itulah kita menyadari bahwa hal-hal yang biasa itu, yang rutin itu, yang tak terlalu kita kenal dan perhatikan itu justru menjadi berarti dari apa pun yang ada di dunia. Mengapa? Karena semua telah hilang.

Pada saat itulah kita belajar bagaimana cara merawat dan menjaga. Mengapresiasi hal kecil dan biasa bahkan yang bisa jadi kita benci. Pada saat itulah kita tahu bagaimana sebuah film sederhana sekalipun menjadi pantas untuk mendapatkan perhatian kedua bola mata, kecuali jika bola mata itu sudah tak ada lagi karena napas telah mengambilnya menjadi Si Apa. (Pipin Saswa)

No comments:

Post a Comment