“Saya ini bukan orang baik!” Setidaknya, itulah yang dikatakannya padaku. Dalam gelimang dosa yang dilakukannya semasa muda dulu, saat ini dia hanya bisa menjalani apa adanya. Tak mau banyak nuntut, tak ingin banyak mau.
Hanya, ada hal yang sampai detik ini disesalinya. “Kalau saja dulu saya menerima tawarannya, mungkin hidupku takkan seperti ini. Melarat, tiap hari mencari rezeki, mencari nikmat,” ucapnya dengan penyesalan yang tergambar di raut wajahnya.
Aku bertemu dengannya tak lama setelah satu bulan bekerja di tempat baru. Sebuah sekolah swasta milik sebuah yayasan yang harum namanya, tapi tidak orang-orangnya. Baju safari membungkus tubuhnya yang kecil. Kacamata nongkrong di atas hidungnya. Tak seutas rambut pun menempel di kepalanya. Sambil menghirup-hembuskan asap rokok, dia tertawa begitu renyah. Dia bercerita tentang pengalamannya mengajar di sekolah bertaraf internasional di ibu kota.
Aku sendiri berkenalan denganya tak langsung. Saat itu, tak lama setelah sekolah memiliki alat musik band, kami main bersama. Tangan Kanan sekolah yang sengaja membeli alat musik itu mengajakku dan mengajaknya. Saat itulah aku mengenalnya dengan tanpa bersalaman. Dan, saat itu pula, hampir sehari dalam satu minggu kami bermain musik. Dengan notasi tak teratur dan lirik yang terbentur-bentur. Ingatan memang tak bisa dipercaya.
Makin lama makin dekat aku dengannya. Meski begitu, ada kalanya aku tak mendapatinya mengajar di kelas. Batang hidungnya memang langka, selangka kehadirannya. Mungkin sekolah yang lain lebih membutuhkannya. Kenyataannya, hampir pengajar di sini memiliki dua pekerjaan yang sama di tempat yang berbeda. Sumber penghasilan yang kecil membuat mereka memilih jalan seperti itu. Lagi pula, di kota kecil ini semuanya serba kecil. Dan aku memang tak berharap banyak untuk bisa menggantungkan hidupku lewat pekerjaan yang aku miliki ini.
Dengan modal nekat dan cita-cita yang diucapkan dengan sumpah serapah, aku datang ke kota ini. Seorang teman membawaku kemari. Untuk beberapa bulan, kami sempat bekerja di sebuah perusahaan konstruksi bangunan di sudut lain kota. Kecuali temanku, tak lantas aku tergiur dengan gaji yang besar selain hanya ingin mencari hidup di kota lain, setelah sebelumnya aku tinggalkan ibu kota yang makin ramai saja.
Sayang, titel sarjana tak lantas membuat kami berpikir jernih. Bukannya mendapat gaji, kami malah ditipu habis-habisan oleh pemilik perusahaan. Tidak hanya aku, tapi juga seluruh pegawainya. Dengan iming-iming gaji besar, perusahaan merekrut pegawai sebanyak-banyaknya dengan prasyarat memberikan jaminan senilai satu hingga dua juta rupiah, begitu juga dengan temanku. Dia memberikan jaminan itu dengan alasan satu bulan gaji pun cukup untuk bisa kembali modal. Aku sendiri tidak. Jaminanku adalah temanku itu. Bersama surat lamaran, aku hanya bisa menawarkan keahlianku sebagai alumni yang sempat kuliah di jurusan Public Relations. Dan Marketing, adalah termasuk bidang yang aku kuasai.
Tak sampai setengah tahun pada akhirnya kami harus menggigit jari sendiri. Pemilik perusahaan membawa kabur semua uang jaminan, sedang para pegawainya ditinggalkannya tak peduli. Ditinggalkannya kantor sewaan, furniture, pesanan seragam karyawan dan catering yang dari awal belum lunas dibayar. Selebihnya, hanya pegawai yang terusir dari keberadaannya sambil menanam dendam kesumat akibat ulah bosa perusahaan. Sebuah kesimpulan, setidaknya kami berdua: sarjana ternyata bisa juga ditipu oleh anak lulusan SMA.
Terluna-lunta aku di kota kecil ini. Di sebuah rumah kontrakan yang belum bisa aku bayar, bersama barang-barang yang kubawa langsung dari ibu kota. Tak mungkin aku hidup tanpa pekerjaan. Setidaknya, penghasilan yang kudapat bisa untuk sekadar membayar kamar dan makan tiap hari. Aku pun memutuskan mencari kerja di Kota Pelajar. Dua bulan aku menjadi backpacker. Tidur di mana bisa, makan di mana suka, mandi di mana air ada. Tapi, bukannya mendapat pekerjaan, aku malah benar-benar jadi gembel. Dengan sisa uang yang hanya cukup untuk membeli tiket kereta api sekali jalan, aku pun kembali pulang menjenguk kamar kontrakkanku.
Kaget aku dibuatnya. Temanku memutuskan untuk bekerja di kota seberang, meninggalkanku bersama gamang. Tapi sebelumnya, dia menawarkanku untuk tinggal di rumahnya sebelum dia berangkat. Setelah itu, sarannya, baru aku bisa berpikir untuk mencari pekerjaan lagi. Tak lama, aku pun memutuskan melamar ke sebuah sekolah swasta tak jauh dari rumah temanku. Aku putuskan untuk mengajar saja, walau tidak punya sama sekali aku background soal kependidikan. Hanya niatan untuk bekerja sungguh-sungguh saja yang aku punya. Selebihnya, tawakal.
Begitulah. Aku mulai hidup di lingkungan baru dengan orang-orang baru, yang harus aku kenal. Jujur, aku tak punya siapa-siapa di kota ini, kecuali temanku (?) yang meninggalkanku sendirian di sini. Tak seperti dulu di ibu kota, aku bisa menemukan banyak orang dan berteman dengen mereka meski hanya berbekal status yang sama: alumni perguruan tinggi. Tak penting apa perguruannya. Yang penting adalah, nasib kami. Sama-sama memulai hidup di dunia nyata dan berusaha berdiri di atas kaki sendiri.
Di sini, hal itu tak lantas menjadi sebuah simpati. Setiap orang berjalan sendiri-sendiri dengan titel yang yang dimilikinya sendiri. Aku sendiri baru benar-benar mengenal mereka beberapa bulan kemudian. Sungguh, butuh banyak waktu untukku beradaptasi dengan mereka. Dengan orang-orang yang memiliki kesibukannya masing-masing, dengan latar belakang pendidikan yang tak aku tahu, dengan kebiasaanku yang berbeda dari sebelumnya. Walau, aku tahu, pada hakikatnya, manusia itu, sama saja.
Merasa tak cukup bebas tinggal satu atap dengan keluarga temanku, kuputuskan untuk keluar dari rumahnya. Kucari-cari kamar kontrakan dan tinggal di dalamnya secepat aku menemukannya.
Menjalani hidup dengan keadaan lingkungan yang ala kadarnya, menyambung hidup tetap saja tidak jadi mudah. Desa yang hanya satu dari banyak desa di kota ini bukanlah desa yang bisa dibanggakan. Betapa tidak? Baru pukul sembilan saja desa ini sudah ditinggal penduduknya. Sepi tak hanya ada di sekitarku, tapi juga di pasar yang tak jauh jaraknya dari kontrakanku. Desa yang hanya merupakan perlintasan antar satu kota dengan kota yang lain, apa yang bisa dibanggakan? Desa yang susah maju, susah berkembang, selama hampir sepuluh tahun. Itu yang aku tahu dari percakapanku bersama tukang nasi goreng yang sudah mangkal selama duapuluh tahun di pasar itu.
Mencoba tabah dalam menjalani kenyataan ini; lagi, aku hanya bisa pasrah. Kukunjungi setiap magrib tiba sebuah surau kecil di samping kamarku. Kesejukannya menenangkan hatiku. Aku yakin, aku tahu, Dia bakal tetap ada bersamaku, di mana saja dan kapan saja aku berada. Karena selain memasrahkan segalanya pada-Nya, pada siapa lagi aku bisa mengadukan hidup?.
Suatu magrib, tiba-tiba aku bertemu dengannya. Dengan peci rajutan di kepalanya, kacamata di hidungnya, kaos di tubuhnya, dan sarung menutupi bagian bawah, kami saling terkejut.
“Lho, kok ada di sini?” kagetnya, “memang tinggal di mana, Pak?” sapanya padaku walau aku belum jadi seorang Bapak.
“Di belakang masjid ini, Pak!” tunjukku melingkarkan tanganku.
“Saya kira di mana. Atuh dekat, ya?”
“Memang, rumah Bapak di mana?” tanyaku.
“Tuh, tidak jauh dari empang itu!” menunjukkan jarinya entah ke mana.
Sejak saat itu, orang itu jadi sering bertamu ke kontrakan kecilku. Dia bercerita, mulai dari masalah pekerjaan sampai masalah mistik segala, dari A sampai Z.
“Saya ini orangnya apa adanya, Pak! Saya terbuka dengan siapa saja. Apa lagi istri saya. Mulai dari yang buruk sampai yang baik dia tahu semua. Dia tahu kalau saya itu dulunya tukang mabok, tukang kelahi, tukang adu ayam. Ah, dunia hitam yang mana sih yang belum saya rasakan? Bahkan jadi preman pun saya pernah. Cuma dua hal yang tidak saya lakukan: narkotika dan zina.”
“Tapi saya sadar, tidak mungkin saya harus hidup terus-terusan seperti itu. Saya memang bukan orang baik, Pak, bukan orang bener. Orang-orang di kampung ini juga sudah tahu seperti apa saya dulu. Siapa sih yang tidak kenal sama saya? Tapi saya merasa dosa saya itu sudah gak ketulungan. Makanya, saya pengen tobat, Pak! Apalagi kalau saya lihat istri dan anak saya yang masih kecil. Duh, Pak! Sedih hati saya. Sekarang mah saya pengen hidup yang lurus-lurus saja. Hidup bener dengan pekerjaan yang halal.”
“Sebenarnya, saya dulu pernah ditawari pekerjaan oleh kepala perhutani dan dirjen pendidikan pas saya manggung di Jakarta. Tapi mungkin karena saya bodoh, masih mahasiswa, belum bisa mikir, ya, saya tolak. Saya cuma pengen ngeberesin kuliah. Itu saja. Teman-teman saya yang nekat ikut-ikut event, terus ninggalin kuliah, sekarang justru sudah jadi orang. Ada yang punya rumah mewah, mobil, malah ada yang sudah tinggal di Amerika segala. Kalau dipikir-pikir, kenapa dulu saya ga terima saja tawarannya? Mungkin keadaan saya tidak seperti sekarang ini. Serba susah, serba pas-pasan. Nasib nasib…. Ya, saya sih mikir baiknya saja. Bisa jadi ini akibat dari dosa-dosa saya yang dulu. Tapi, tetap saja, sedih, Pak, kalau saya inget kejadian itu. Nyesel pokoknya!”
Diam aku mendengar kata-katanya. Belum pun lama kami berkenalan, tapi dia benar-benar apa adanya. Terbuka. Seterbuka hati dan mulutnya yang menceritakan apa pun yang ada di kepalanya. Salah satunya cerita tentang seseorang di sekolah, yang sempat bermain musik kami.
“Cuma omdo, Pak. Omong doang. Lagaknya saja seperti suka seni, tapi apa buktinya? Kalau memang dia orang seni, mestinya dia tuh peka, Pak, punya perasaan dan ngerti sama orang lain. Bulan kemarin, saya latihan prosesi upcara buat pernikahan sama anak-anak di sekolah. Itu pun karena dia minta ke saya. Orderan katanya. Tapi, Pak, gak tau ke mana otaknya. Masa kita lagi haus-hausnya, eh, petantang-petenteng dia masuk sambil minum teh botol sendirian. Nawarin kek atau apa, ini enggak, Pak! Boro-boro saya, anak-anak juga kesel. Malah pas acaranya sudah beres, dia lupa ngasih bayaran. Sekalinya dibayar, itu pun telat. Watir pokoknya, Pak. Tahu dia ngasih berapa? Empat puluh ribu perak. Bayangi! Padahal saya tau orederan kayak gitu tuh pasti gede duitnya. Padahal Bapak tahu sendiri kan, seni itu mahal!”
“Ga akan ada habisnyalah kalau ngomongin orang itu mah, Pak. Cuma bikin kesal orang kerjanya tuh. Bikin ini nih!” tunjuknya mengepalkan tangan, “harusnya kan dia ngerti, yang namanya orang kerja itu bawa perut kosong. Datang kosong, pulang mesti isi. Memang mau dikasih makan apa anak-istri saya? Mau dikasih makan terima kasih? Sorry! Pokoknya, Pak, gak maulah… gak sudi saya harus kerja kayak gituan lagi walau dia maksa. Yang penting buat saya, saya masih bisa ngajar. Beres ngajar, ya sudah pulang. Ngapain lama-lama di sekolah?”
Kepalaku mengangguk-angguk mendengar kata-katanya. Bukan mengiyakan, hanya tanda kalau aku memperhatikannya. Malam demi malam pun kami lalui hingga suatu waktu dia tak lagi bertamu. Entah karena aku jarang di kamar, atau karena yang lain. Aku tak tahu.
Beberapa hari yang lalu, setelah cukup lama aku menyibukkan diri dengan pekerjaan lain, aku kembali lagi ke sekolah. Aku mengajar anak-anak seperti biasa. Tak lama setelah selesai aku pun pulang. Selain tidak suka membuang-buang waktu untuk ngobrol dengan pengajar lain yang memang tidak dekat satu sama lain, aku pun tidak suka keramaian. Lagipula, niat awalku ke sini memang hanya untuk mengajar dan bukan yang lain.
Baru saja aku hendak melangkahkan kaki keluar dari ruang pengajar, terdengar suara tak asing di seberang. Kutanya salah satu staff:
“Ada acara apa, Pak?”
“Itu? Oh, Pak Yoga lagi ngelatih anak-anak disuruh sama Pak Tisna”
“Latihan? Buat apa?” tanyaku penasarn.
“Kan nanti ada lomba nyanyi siswa se-kabupaten. Kebetulan kita ikut. Jadi, Pak Yoga mesti ngelatih dulu anak-anak biar nanti juara.”
“Oh,” aku mengangguk terdiam.
Mei 2012
No comments:
Post a Comment