Sunday, July 30, 2017

Belajar Emosi dari "The Bélier Family"

Menjadi minoritas memang tak menyenangkan, bahkan bisa jadi menyebalkan. Luput dari pengamatan, jauh dari popularitas dan tak menutup kemungkinan untuk direndahkan. Dari sudut kacamata “normal” pandangan semacam ini mungkin muncul. Dari dari sudut pandang kaum minoritas sendiri, siapa peduli?
Tak ada habisnya jika kita terus membandingkan sesuatu dari kacamata yang berbeda dengan ukuran yang macam-macam. Lagi pula, ukuran normal adalah ukuran manusia. Sesuatu bisa jadi normal tergantung pada apa dan seperti apa sesuatu itu dipandang. Tapi yang lebih hebat adalah bagaimana “ketidaknormalan” itu luluh-lanak tatkala ia dikemas lewat hasil karya budaya manusia yang mendobrak pandangan mengenai ukuran itu. Selain musik dan sastra, film adalah salah satunya.
Tidak bisa tidak, manusia sekarang memang terbawa sekaligus digiring oleh arus populritas dan tren tiga bentuk karya budaya yang sifatnya universal ini. Lewat sastra kita bisa mengenal budaya manusia tanpa menjadikan suku dan bangsa sebagai batasannya. Demikian halnya juga nada dari lantunan musik dan lagu. Tak peduli apakah kita mengerti bahasa liriknya, sebuah lagu jika musiknya ciamik punya kemampuan untuk menyihir pendengarnya.


[Cerpen] Minggu

Setelah lebih dari satu jam berjalan-jalan di sebuah toko buku, kuputuskan untuk sejenak istirahat di pintu pelataran pertokoan yang tertutup. Sebatang rokok dan sebotol minuman jadi teman di tingkah kota yang telah menjadi sesak.
Motor-motor terpakir di depan trotoar berjajar memanjang diapit mobil di sisi kiri dan kanan. Di jalan, kendaraan itu mengular berdesakan. Sesekali lalu lintas dibuat macet karena ulah tukang parkir yang kemudian disambut oleh suara klakson yang tak sabar. Sayangnya, itu semua bukan urusanku.
            Kuhisap asap rokok penuh dendam. Kuhirup napas panjang membuat dadaku yang kembang, kempis dalam sekali embusan. Dan aku mulai memikirkan hari minggu ini.


Wednesday, February 1, 2017

Adaptasi Sosial: Tentang Perkenalan dan Setelahnya




Persepsi seseorang terhadap sikap tak nyaman orang lain lebih dominan dari pada sikap yang membuat nyaman dirinya. Mengapa? Jelas ada yang salah di sana. Mungkin harus ada waktu untuk mempertimbangkan kemungkinan atau faktor-faktor apa saja yang membuat seseorang bersikap demikian. Hal-hal seperti latar belakang pendidikan, keluarga, adat istiadat, warisan pergaulan dan sebagainya. 

Di dunia pekerjaan, atau bahkan di dunia mana pun yang memungkinkan terjadinya adaptasi sosial, persepsi semacam ini kerapkali muncul. Seorang yang baru masuk wilayah baru jika tidak bersikap introvert maka dia akan bersikap ekstrovert, walau yang terakhir ini pun bukan berarti tanpa hambatan. Sungguh, bisakah seseorang menerima sosok baru yang bersikap sok kenal dan sok dekat (SKSD) terhadap dirinya? Jika sifat orang yang dihadapinya tak jauh beda dengan orang itu, tak lantas menjadi masalah. Tapi jika benar-benar berbeda, sikap seperti itu hanya akan membuat dirinya malu bahkan dianggap menyedihkan.

Tuesday, January 31, 2017

Perbedaan Itu Berkah (?)

Ada yang salah dengan otak kita, atau tepatnya cara berpikir kita. Tak bisa dimungkiri jika otak adalah alat ukur manusia dalam melihat, memetakan, menilai, menimbang, mengevalusi, dan menyimpulkan sesuatu. Dia menjadi tempat bagi mengalirnya buah pikiran yang deras, tak bisa dihambat, dan ada kalanya digunakan semena-mena, sedang kata-kata menjadi wujud nyata dari pikiran itu sendiri. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah akal pikiran—cara bekerjanya otak—sudah digunakan dengan cara yang baik dan benar?

Pertanyaan di atas mungkin takkan muncul sekiranya otak kita sudah beres. Kenyataannya, fakta membuktikan bagaimana otak kita ini teramat sering menerima proposisi yang telah menjadi sangat umum dibicarakan meski tanpa pertimbangan dan pemikiran lebih lanjut. Salah satu contohnya adalah proposisi yang berbunyi: Perbedaan itu berkah—sebuah kalimat yang begitu popular di abad milenium ini.

Ditengarai oleh kenyataan hidup dan kehidupan berbudaya yang banyak ragamnya, termasuk pemikiran dan hasilnya, tak sedikit dari kita yang memiliki sikap berseberangan atau bertolak belakang atas satu atau lain hal. Tentu sikap ini sendiri tak lantas sekonyong-konyong ada tanpa adanya pengaruh, baik itu internal maupun eksternal. Bagaimanapun, setiap sikap pasti punya landasan se-nonsense apa pun itu. Hanya saja, dan ini yang paling penting, atas nama kerukunan, kebaikan dan ketentraman, kita acapkali tak memperuncing sikap kita atas permasalahan itu, perbedaan itu, dan kebanyakan dari kita menjadikan kalimat ajaib “perbedaan itu berkah”—alih-alih dipahami—sebagai tedeng aling-aling—untuk tak berkata bahwa memang tak ada lagi penyelamat lain selain kalimat ini. Dan permasalahan pun selesai, tanpa harus kita besar-besarkan.

Akan tetapi, apa artinya? Apa arti dari proposisi itu sebenarnya? Berkata bahwa perbedaan itu berkah?