Menjadi minoritas memang tak menyenangkan, bahkan bisa jadi
menyebalkan. Luput dari pengamatan, jauh dari popularitas dan tak menutup
kemungkinan untuk direndahkan. Dari sudut kacamata “normal” pandangan semacam
ini mungkin muncul. Dari dari sudut pandang kaum minoritas sendiri, siapa
peduli?
Tak ada habisnya jika kita terus membandingkan
sesuatu dari kacamata yang berbeda dengan ukuran yang macam-macam. Lagi pula,
ukuran normal adalah ukuran manusia. Sesuatu bisa jadi normal tergantung pada
apa dan seperti apa sesuatu itu dipandang. Tapi yang lebih hebat adalah
bagaimana “ketidaknormalan” itu luluh-lanak tatkala ia dikemas lewat hasil karya
budaya manusia yang mendobrak pandangan mengenai ukuran itu. Selain musik dan
sastra, film adalah salah satunya.
Tidak bisa tidak, manusia
sekarang memang terbawa sekaligus digiring oleh arus populritas dan tren tiga
bentuk karya budaya yang sifatnya universal ini. Lewat sastra kita bisa
mengenal budaya manusia tanpa menjadikan suku dan bangsa sebagai batasannya.
Demikian halnya juga nada dari lantunan musik dan lagu. Tak peduli apakah kita
mengerti bahasa liriknya, sebuah lagu jika musiknya ciamik punya kemampuan
untuk menyihir pendengarnya.
Sayangnya dan kenyataannya, kita
sudah terlalu terlenda dengan trend an popularitas. Kualitas karya sastra dan
musik kita sudah berada di titik kritis yang kebangetan. Seolah sebuah proses
yang alih-alih dinikmati dengan dalih mengejar target pasar, karya sastra dan
musik kita menjadi sangat rendah—untuk tak menyebutnya hilang sama sekali. Hidup
segan, mati tak mau. Begitulah kira-kira.
Maka, manusia pencari kebahagiaan
lewat bentuk-bentuk kebudayaan ini pun mau tak mau harus mencari yang baru.
Sesuatu yang anti-mainstream, yang indie, yang minoritas itu. Tidak dengan
tujuan untuk keluar dari jalur “normal”, manusi setidaknya bisa membuka diri
hingga akhirnya terbuka pandangan dan wawasannya atas hal-hal yang kebanyakan
dari mereka anti-mainstream itu. Membaca buku-buku stensilan, mendengarkan
lagu-lagu indie, dan menonton film-film jauh dari istilah box office atau rating pesanan yang punya daya jebak dari deretan
bintangnya yang bersinar. Dan film itu salah satunya adalah “The Bélier Family.”
Film bergenre drama berbahasa
Perancis besutan Éric
Lartigau ini bisa jadi satu dari film yang membawa penontonnya keluar dari
kotak “normalnya”. Meminta penonton membuka diri tanpa harus memberi iba pada tokoh-tokohnya,
dan membuka cakrawala kemanusiaan. Sebuah film yang tidak biasa, yang ketika
ditonton justru menjadi “biasa” meski tidak bisa disebut biasa-biasa saja. Menonton
film ini, penonton akan diperlihatkan bagaimana sebuah keluarga difabel
menjalani kehidupannya.
Hidup sebagai peternak, keluarga Béliér
terdiri atas Gigi (Karin Viard), Rodolphe (Francois Damiens), Paula (Louane
Emera), dan Quentin(Luca Gelberg) yang memiliki perannya masing-masing. Gigi,
seorang ibu yang sayang dan perhatian pada
anak-anaknya. Rodolphe, seorang ayah yang mencalonkan diri sebagai walikota
sekalipun tahu dia bisu. Quentin, adik yang punya kepenasaran akan seks. Dan
Paula, seorang mahasiswa yang ingin memiliki jalan hidup sendiri dengan melanjutkan
kuliah di Paris dan menjadi penyanyi. Ya, selain ketiga anggota keluarga, hanya
Paula-lah yang bisa berbicara. Dia tak hanya menjadi jembatan komunikasi antara
tokoh di film itu tapi juga jembatan bagi penonton, dan itu bagus. Bisa
dibilang dialah tokoh utama di film ini.
Awal konflik terjadi ketika Paula
memilih eksul—sebut saja begitu—paduan suara di kampusnya. Meski diberkati
dengan suara yang bagus, Pula ragu dalam menjalani aktivitas paduan suaranya itu
sekalipun pada suatu waktu terbukalah gorden kenyataan. Kenyataan bahwa sang instruktur
bernama Thommasson mengetahui talenta vokal Soprano Paula. Pada awalnya dia
diminta Thomasson duet bersama Gabriel, cowok ganteng yang selidik punya
selidik ditaksir oleh Pula meski sempat dicampakkannya. Hingga suatu waktu,
sang instruktur merekomendasikannya untuk ikut kompetisi menyanyi di Paris.
Meski begitu, tidak mudah untuk
Paula. Ibunya berharap Pula selalu ada di antara kelurga, sedang ayahnya sibuk
dengan aktivitas kampanyenya sebagai walikota. Terlebih hanya Paula-lah yang
mengerti bisnis keluarganya dengan berjualan produk olahan dari sapi-sapi yang
diternakkannya. Di sinilah Paula merasa dilema antara menggapai cita-citanya
dan tetap berada di keluarga dengan bisnis yang harus di-handle-nya.
Sebagai film yang mengetengahkan
kaum difable, penonton disuguhkan dengan bahasa isyarat Francis dari awal
sampai akhir. Tak seperti film difable lainnya, terlebih keluaran negeri gemah
ripah repeh rapi yang tampak sekali mencari iba penontonnya, film yang satu ini
justru menjadikan difabel sebagai sesuatu yang tampak biasa dan normal saja. Bahkan
kenyataannya bahasa isyarat di sepanjang film ini tak lantas menjadi hambatan
sama sekali bagi tokoh juga penonton untuk mengetahui emosi setiap pemain
difablenya.
Dengan kata lain, bahasa isyarat sama
sekali tak lantas jadi penghambat alur cerita dan pesan yang hendak
disampaikannya. Seakan tersirat, bukan bahasa isyarat atau bahasa apa pun yang
ada di sana, melainkan bahasa manusia dengan kemanusiannya. Hal ini tampak
sekali ketika dalam satu adegan Ibu Paula yang mabuk “berkata” bahwa dia
bukanlah ibu yang baik. Dia berusaha untuk mengajarkan nilai-nilai keluarga
tapi gagal karena dia tuli dan bisu. Dia mempertanyakan mengapa Paula ingin ke
Paris padahal dia berharap bisa bersama dengan Pula sampai akhir. Dan betapa
dia tidak paham sama sekali.
Gigi menangis hebat ketika
mengetahui bahwa Paula bisa mendengar ketika kelahirannya dan dia tidak bisa
menghadapi kenyataan itu. Bahkan ayahnya “berkata” jika Paula akan bisa dalam
kepalanya. Mereka akan membesarkan Paula sebagai seorang tuli. Kenyataannya Paula justru tidak hanya bisa bicara, tapi
juga dia bernyanyi. Yang tersisa selebihnya hanya Pula yang punya alergi
terhadap susu sapi sekalipun dialah yang harus mengurus sapi-sapi dan menjual
olahannya.
Betapa orangtua Paula berharap
penuh padanya, tapi kenyataannya? Di sinilah Paula merasa dilema. Haruskah dia
melanjutkan latihan-latihannya bersama Thomasson semata agar dia bisa ikut
kompetisi, atau tetap bersama keluarganya mengurus bisnis yang sudah
dijalaninya sejak lama? Pertanyaan ini terjawab manakala, pada akhirnya Paula
ikut audisi di Radio France. Sambil menyanyikan lagu berjudul “I Fly” milik
Michael Sardou diiringi dentingan piano Thommasson instrukturnya, Paula
membahasa-isyaratkan liriknya. Bahasa isyaratnya itu lantas membuat
keluarganya, ayah, ibu dan adiknya menitikan air mata, (bukan tak mungkin
penonton juga.)
Untuk mengetahui seperti
apa jawabannya, tentu akan lebih lengkap jika kita menonton filmnya. Sangat
direkomendasikan untuk siapa pun penikmat drama keluarga, apa lagi mereka yang
difable dan punya ketertarikan pada difabilitas. [Fim Anugrah/”Saswaloka”]B
No comments:
Post a Comment