Sunday, January 29, 2012

Dhandhaka

Mata Kiri

biru langit hijau pohonan
dan kuning bulir padi
mungkin sebatas detik waktu
ketika ekor mataku menyergapmu

sedang di belakang telinga
mulut perut berkumandang
dengan perih yang tak juga hilang

mengancam langit
pohonan dan tanah tegalan
lewat deru tubuh tembaga

Des 2011


Mata Kanan

malam hanya hitam
ruang lengang tanpa lampu
napas berdiam di jarum jam
pergi pulang dan kembali datang

di bawah pudar cahaya bulan
rencana terus dikumandangkan
bagai azan bagai waktu

memapah mataku
mengunjungi garis tangan
dan mengecupnya dengan rindu

Des 2011


Mencium Daun

apa yang diajarkan akar pada daun
selain bertasbih?
ranting-ranting tak pernah menagih
janji menyanyikan lagu hari
pucuk-pucuk pun menunjuk langit
memanjatkan puja puji

apa yang aku tunjuk
selain matahari yang selalu terbit
di dada kiri penuh bulu
lantas mengembangkan langkah
membuat jejak kaki
sedang basah hujan menghapusnya
tanah longsor menguburnya
dalam sebuah upacara?

berdiri di depanmu  
aku seakan tak punya arti
membisu dalam lemah tubuh
tak tegak dan acap bercagak
tak hijau selain hitam rambut
sehitam hatiku

maka, kucium lembar tubuhmu
yang senantiasa memberi napas waktu
sungguh, belum bisa aku bertasib
kecuali hati yang ingin kurendam
selalu di air selasih

2009/2011


Bermakmum di Sebuah Mesjid

kusetel frekuensi
pada Satu gelombangmu
astaga! bunyi ringtone itu
ternyata lebih fasih
ketimbang bunyi hatiku

2009/2011


Luka senja

betapa susah menelan ludah
ketika sumpah dilanggar
bibir pun gemeletuk bulir-bulir tegar
terukir bersama catatan ingatan
mengurainya di antara deru hujan

Djati, Des 2011


Tanda

seorang bocah dan sesobek malam
sebatang kapur dan sehelai kertas hitam
dibuatnya titik-titik di atas kertas itu
seraya berkata, “ini bintang
tanda hari masih malam!”

Djati, Jan 2012

Angin 

atas nama hidup
kaurelakan angin diam di tubuhmu
menggariskan warna merah
di balik punggungmu

Djati, Jan 2012 

Wednesday, January 18, 2012

Discourse Analysis: Sebuah Pendekatan & Gugatan

http://mrqualitative.com/2008/11/14/discourse-analysis/
Oleh: Firman Nugraha

Di balik keterguliran istilah Discourse Analysis (Analisis Wacana), ternyata ada beberapa statement dilematik yang ‘menggugat’–atau bahkan menampik Discourse Anaysis sebagai sebuah ranah ilmu di bidang linguistik. Ada yang berpendapat bahwa Dicourse Analysis (Analisis Wacana) merupakan linguistik “banci” (Nurjanah, 2006). Pasalnya istilah ini -termasuk bidang kajian di dalamnya- merupakan comotan-comotan dari ilmu-ilmu yang sudah ada seperti pragmatik, semantik, dll. Ada pula yang berpendapat bahwa kajian yang dilakukan oleh analisis wacana itu tidak mapan, dalam artian kurangnya ranah-ranah yang mendukung sebuah kajian jika dikaitkan sementara sebetulnya ilmu-ilmu yang ada sebelum analisis wacana sudah cukup mengakomodir. Bahkan penulis sendiri dengan tanpa tedeng aling-aling berpendapat bahwa analisis wacana sendiri hanyalah sebuah istilah (ilmu bidang) yang dimunculkan dengan tujuan untuk mengakomodir temuan kajian-kajian baru dari hasil penelitian bahasa. Terkait itu semua, sebenarnya, tak ada maksud untuk mematahkan ilmu ini karena laiknya hidup, bahasa itu dinamis. Ia akan terus berevolusi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. 

Unfold The College Archives

It should be no hiatus in this blog. I wish. So, in order to wait for all the works given to the editor desk until they are published in the newspaper, I hereby that for a moment Saswaloka blog will present all the works that I've done in the college long long time ago. They may be old; but, I'm sure that knowledge is never old, as you never old to learn that is worth to be learned.[FN]  

Into A Writing Society

By: Firman Nugraha

Writing, as one of the competence, holds significant role in many fields. It is not only aimed for expressing feelings but also for documenting knowledge, history and so on. And it becomes valuable as form of humankind’s development. In addition, writing seems cover necessity for all people regarding to information due to globalization in this world of parallelism. Koentjaraningrat (1985) stated that writing as an opus has possibility in preserving live and positioning one in a great honour that in turn demand him of her to create more and more work.

Saturday, January 14, 2012

Uma #8

Lingkungan hidup itu BUKAN UNTUK PARA PENGHUNINYA, melainkan TERDIRI ATAS PARA PENGHUNINYA.

Saleh Danasasmita (1933-1986)
Ahli Sejarah Sunda & Sastrawan

Monday, January 9, 2012

Steve Jobs and I (and L.L.)

I came to one of the bookstores in Bandung this morning and found a large picture-banner of Steve Jobs hangin' on the wall. What does actually make different between me and him? Nothing, except that in one circumstance we are likely the same. Steve had passed away, literally. While I? My hope or dream had it. My dream had passed away following Steve. A dream to possess a beneficence of affection with The One I love but like or not must ends in grave. However, it's not a grief --one that probably I have take no remorse or condemnation or even curse. Why have to? I used to be like this, dealing with failures day by day over plans I made, stepping thorn that always hurts my feet till I feel no pain. The worst, I don't even recognize which one is pain and which one is not. I know that there's lesson beyond this incident, misfortune, or, should I call, disaster. A great one. At least, I know that everything has its own sacrifice in its acquisition, a way that demands tenacious intention to be struggled with, because it's valuable, it's worth. Moreover, it examines me to be a patience person in dealing with anything; that in final it determines who I really am as a human being. Last but not least, thanks to her, The One, that has already gave me this priceless lesson of life more than everything I've got. And because of this, it's not too poetic to say that 'I Love You, Dear.' God Bless You Always :)

_a sketch of heart presented to L.L._ 

Monday, January 2, 2012

Selamat Tahun Baru Hutan

Sepertinya, tidak ada keadaan dan kenyataan yang benar-benar berbeda antara perilaku manusia terhadap hutan, baik di kota maupun di desa. Kenyataannya adalah, bahwa tidak ada hutan yang benar-benar terjaga dari ulah tangan manusia. Malah, sekalipun sudah dijaga, bukannya terjaga agar tetap alami, yang ada hutan malah makin rusak saja. Itu yang saya tahu ketika suatu hari hiking ke Tangkuban Perahu di tahun 2010. Padahal lima tahun sebelumnya jalan setapak masih jalan setapak. Sekarang jalan setapak malah jadi jalan motor cross bahkan jalan mobil rally. Bukannya memudahkan, keadaan ini justru malah menyusahkan para pencinta alam yang akan hiking ke TP. Walhasil, mereka pun jadi "tersingkirkan" sehingga mau tidak mau harus membuat jalan baru yang sebenarnya tak benar-benar jauh dari ancaman peradaban.

Keadaan serta kenyataan yang sama juga terjadi di Subang, tepatnya di Gunung Canggah dan bukit yang berderet memanjang dari Curug Cileat hingga ke Gardusayang. Di bukit itu, meski cukup terjal, hutan seperti pitak di kepala orang. Kehilangan rambut yang tidak pada tempatnya. Yang lebih parah, ada bukit di daerah Darmaga, tak jauh dari pabrik air minum kemasan ternama, yang sudah benar-benar gundul. Satu bukit penuh gundul, dimana pohon-pohon hutan sudah digantikan dengan tanaman komoditas pangan seperti singkong, ketela dan pohon jeungjing yang kebetulan menjadi favorit orang-orang Subang. Barangkali pohon jeungjing atau pohon albasia atau sengon ini bisa ditemukan juga di perkebunan teh di mana saja jika Anda melihatnya. (Sebagai catatan: pohon yang satu ini selain kuat juga terbilang mahal.) Atas nama kebutuhan (baca: perut), maka orang-orang pun menanam pohon yang satu ini. Mereka membabat dan membakar pohon-pohon hutan dan menggantinya dengan pohon dan tanaman yang mereka suka, yang tentunya harus menghasilkan imbalan bagi mereka. 

Sabtu (31/11) lalu saya sempat hiking ke Curug Cileat dekat wilayah Bukanagara lantas melanjutkan perjalanan ke Gunung Canggah. Saya pikir saya akan menemukan hutan yang alami di atas gunung yang tingginya 4000 mdpl. Tapi, tidak! Bahkan di ketinggian 3500 mdpl saya masih bisa menemukan petak-petak sawah hampir mengelilingi gunung dan bukit itu. Dengan kata lain, saya masih menemukan peradaban, manusia yang sangat manusiawi dengan "kemampuannya" untuk menjelajahi hutan dan membuat lahan untuk kebutuhan pangan. Bukannya tidak boleh, tapi apa jadinya jika orang-orang jadi sangat seenaknya menebang pohon membabat hutan lantas membuat pula batas-batas untuk tanah yang diaku-akunya? Kadang saya berpikir, apakah mereka memikirkan apa jadinya hutan dan gunung itu jika semuanya di gunduli? Jawabannya hanya satu: longsor. 

Manusia memang hebat bisa menaklukan alam, semata atas dasar kebutuhan. Sayangnya, manusia tidak punya pengetahuan kecuali sedikit saja. Mereka tidak berpikir panjang untuk apa yang bakal terjadi nanti. Tidak usahlah menunggu nanti, toh saya sudah menyaksikan sendiri beberapa bukit yang nyata-nyatanya longsor sampai-sampai menutupi jalan. Sedih rasanya melihat kenyataan itu. Rencana menjelajah mengunjungi hutan dan gunung jadi terganggu karena kenyataan ini, sampai pada akhirnya saya pun pulang dan terbesit kata-kata di bawah ini: 

Sopan/Objektif: "Di muka bumi ini, hanya manusia yang merusak hutan."
Kasar/Subjektif: "Manusia tidak merusak hutan; mereka hanya merusak kesadaranya."

Subang, 01.01.2012