Monday, January 2, 2012

Selamat Tahun Baru Hutan

Sepertinya, tidak ada keadaan dan kenyataan yang benar-benar berbeda antara perilaku manusia terhadap hutan, baik di kota maupun di desa. Kenyataannya adalah, bahwa tidak ada hutan yang benar-benar terjaga dari ulah tangan manusia. Malah, sekalipun sudah dijaga, bukannya terjaga agar tetap alami, yang ada hutan malah makin rusak saja. Itu yang saya tahu ketika suatu hari hiking ke Tangkuban Perahu di tahun 2010. Padahal lima tahun sebelumnya jalan setapak masih jalan setapak. Sekarang jalan setapak malah jadi jalan motor cross bahkan jalan mobil rally. Bukannya memudahkan, keadaan ini justru malah menyusahkan para pencinta alam yang akan hiking ke TP. Walhasil, mereka pun jadi "tersingkirkan" sehingga mau tidak mau harus membuat jalan baru yang sebenarnya tak benar-benar jauh dari ancaman peradaban.

Keadaan serta kenyataan yang sama juga terjadi di Subang, tepatnya di Gunung Canggah dan bukit yang berderet memanjang dari Curug Cileat hingga ke Gardusayang. Di bukit itu, meski cukup terjal, hutan seperti pitak di kepala orang. Kehilangan rambut yang tidak pada tempatnya. Yang lebih parah, ada bukit di daerah Darmaga, tak jauh dari pabrik air minum kemasan ternama, yang sudah benar-benar gundul. Satu bukit penuh gundul, dimana pohon-pohon hutan sudah digantikan dengan tanaman komoditas pangan seperti singkong, ketela dan pohon jeungjing yang kebetulan menjadi favorit orang-orang Subang. Barangkali pohon jeungjing atau pohon albasia atau sengon ini bisa ditemukan juga di perkebunan teh di mana saja jika Anda melihatnya. (Sebagai catatan: pohon yang satu ini selain kuat juga terbilang mahal.) Atas nama kebutuhan (baca: perut), maka orang-orang pun menanam pohon yang satu ini. Mereka membabat dan membakar pohon-pohon hutan dan menggantinya dengan pohon dan tanaman yang mereka suka, yang tentunya harus menghasilkan imbalan bagi mereka. 

Sabtu (31/11) lalu saya sempat hiking ke Curug Cileat dekat wilayah Bukanagara lantas melanjutkan perjalanan ke Gunung Canggah. Saya pikir saya akan menemukan hutan yang alami di atas gunung yang tingginya 4000 mdpl. Tapi, tidak! Bahkan di ketinggian 3500 mdpl saya masih bisa menemukan petak-petak sawah hampir mengelilingi gunung dan bukit itu. Dengan kata lain, saya masih menemukan peradaban, manusia yang sangat manusiawi dengan "kemampuannya" untuk menjelajahi hutan dan membuat lahan untuk kebutuhan pangan. Bukannya tidak boleh, tapi apa jadinya jika orang-orang jadi sangat seenaknya menebang pohon membabat hutan lantas membuat pula batas-batas untuk tanah yang diaku-akunya? Kadang saya berpikir, apakah mereka memikirkan apa jadinya hutan dan gunung itu jika semuanya di gunduli? Jawabannya hanya satu: longsor. 

Manusia memang hebat bisa menaklukan alam, semata atas dasar kebutuhan. Sayangnya, manusia tidak punya pengetahuan kecuali sedikit saja. Mereka tidak berpikir panjang untuk apa yang bakal terjadi nanti. Tidak usahlah menunggu nanti, toh saya sudah menyaksikan sendiri beberapa bukit yang nyata-nyatanya longsor sampai-sampai menutupi jalan. Sedih rasanya melihat kenyataan itu. Rencana menjelajah mengunjungi hutan dan gunung jadi terganggu karena kenyataan ini, sampai pada akhirnya saya pun pulang dan terbesit kata-kata di bawah ini: 

Sopan/Objektif: "Di muka bumi ini, hanya manusia yang merusak hutan."
Kasar/Subjektif: "Manusia tidak merusak hutan; mereka hanya merusak kesadaranya."

Subang, 01.01.2012

1 comment:

  1. kalu anda tahu sejarah, areal persawahan di cimuncang dekat curug cileat itu memang dulunya adalah perkampungan, yang ditinggalkan oleh penghuninya dengan dalih urbanisasi dan era globalisasi. saya rasa gunung canggah dan curug cileat alamnya masih sangat alami (perawan).

    ReplyDelete