Setelah lebih dari satu jam berjalan-jalan di sebuah toko
buku, kuputuskan untuk sejenak istirahat di pintu pelataran pertokoan yang
tertutup. Sebatang rokok dan sebotol minuman jadi teman di tingkah kota yang
telah menjadi sesak.
Motor-motor terpakir di depan
trotoar berjajar memanjang diapit mobil di sisi kiri dan kanan. Di jalan, kendaraan
itu mengular berdesakan. Sesekali lalu lintas dibuat macet karena ulah tukang
parkir yang kemudian disambut oleh suara klakson yang tak sabar. Sayangnya, itu
semua bukan urusanku.
Kuhisap
asap rokok penuh dendam. Kuhirup napas panjang membuat dadaku yang kembang,
kempis dalam sekali embusan. Dan aku mulai memikirkan hari minggu ini.
Sudah jadi kebiasaan setiap hari minggu aku dan keluargaku keluar rumah untuk sekadar berjalan-jalan cari angin. Ini sudah menjadi rutinitas semenjak dua tahun yang lalu aku memutuskan pindah dari rumah mertua di kota sebelah dan menetap di rumah orang tuaku. Kota kelahiranku. Menemani ibu, karena ayah sudah tiada lima tahun yang lalu.
Sudah jadi kebiasaan setiap hari minggu aku dan keluargaku keluar rumah untuk sekadar berjalan-jalan cari angin. Ini sudah menjadi rutinitas semenjak dua tahun yang lalu aku memutuskan pindah dari rumah mertua di kota sebelah dan menetap di rumah orang tuaku. Kota kelahiranku. Menemani ibu, karena ayah sudah tiada lima tahun yang lalu.
Di hari
inilah aku menghabiskan waktu, uang dan tenagaku untuk keluargaku. Istri dan
anakku. Apa pun kulakukan yang penting mereka betah tinggal di kota ini. Kota
yang berkembang dengan pesat sepesat pertambahan penduduknya. Sampai-sampai tak
lagi bisa dibedakan mana pribumi mana pendatang.
Ah, dari dulu memang seperti itu.
Entah sejak kapan, tapi ketika aku tahu bahwa kota ini adalah tempat yang
strategis bagi para investor asing menanam modal perusahaannya, sejak itu pula
kota ini diinvasi pendatang. Pabrik-pabrik tekstil berdiri di pelosok-pelosok
desa tak jauh dari bendungan. Asramanya pun tak kurang banyaknya.
Sempat ketika aku kecil aku
bertandang ke asrama pabrik itu ketika kakakku sedang pacaran dengan salah
seorang karyawannya. Cantik rupanya, kemayu sikapnya, asli Jawa. Dua tahun
pacaran akhirnya berkeluarga dan punya anak dua. Dua saja. Sekarang wanita yang
biasa kupanggil “”Mbak itu menjadi bagian dari keluarga orangtuaku, dan dia
masih datang ke asrama itu sebagai pedagang kredit pakaian.
Hari menjelang siang tapi orang-orang
masih lalu lalang di depanku, di atas trotoar dengan kepentingannya
masing-masing. Tak kuhiraukan. Istri dan anakku kutinggal di depot makanan di
samping toko buku itu menikmati jajanan. Meski rutintias ini tak berjalan mulus
tiga bulan terakhir ini, tapi toko buku ini tak pernah hilang dari daftar
kunjungku. Terlebih, memang tak banyak toko buku di kota ini.
Sekiranya harus mengacungkan
jari, maka cukuplah jari telunjuk dan jari tengah yang mewakili jumlah toko yang
orientasi sebenarnya hanyalah pada alat tulis belaka, bukan buku. Di sini buku
tidak dikenal, surat kabar pun tak lebih dari sekadar iklan di kios kecil di
atas trotoar. Beda halnya dengan toko elektronik, toko pakaian, peralatan rumah
tangga, dan toko-toko lainnya termasuk supermarket. Toko-toko itu melimpah
bukan mainan.
Kadang aku berpikir, benar sudah
majukah kota ini? Pembangunan, dengan kata lain bangunan, kok masih saja
menjadi indikator perkembangan dan kemajuan kota? Bagaimana dengan pembangunan
dan kualitas manusianya? Intelektualnya? Sejak masuk SD orang-orang belajar
agar bisa membaca dan menulis. Tapi kenyataannya, terlebih untuk menulis,
membaca pun masih api yang jauh dari panggang. Lalu, buat apa orang capek-capek
sekolah dan menuntut ilmu kalau begitu? Tidakkah itu namanya sia-sia belaka?
Mungkin atas dasar itu pula
mengapa sekalipun anakku baru tiga tahun, kusediakan banyak bacaan.
Dongeng-dongeng, cerita rakyat, fabel, termasuk buku lain yang mendukung
ketertarikannya pada buku, tak terkecuali buku menggambar dan mewarnai. Syukur,
buku-buku semacam ini masih murah, untuk beberapa penerbit tertentu, dan memang
harusnya seperti itu. Jika tidak, bagaimana bisa bangsa ini punya generasi
penerus yang pintar dan cerdas?
Seorang pengamen di sebelah kananku,
dekat gerobak kecil tempat aku membeli dua batang rokok, menyentak kesadaranku.
Dia mulai memainkan gitar dan menyanyi lagu lama soal penguasa yang dimintainya
uang. Sayup-sayup terdengar, “Berilah hambamu uang. Beri hamba uang!” Masih
saja lagu lama dengan penyanyi lama yang namanya entah ke mana. Sedang di
depan, suara klakson terdengar lagi. Angkutan umum berhenti seenaknya di tengah
jalan menurunkan penumpang. Mobil silver di belakangnya tampak kesal tapi tak
ada yang menghiraukan.
Tak ada yang menegur, karena
petugas parkir sibuk menunggu uang dari motor yang hendak keluar dari barisan
motor parkirannya. Tiba-tiba aku ingat dengan pemikiran sinis yang berkata jika
adat istiadat dan kebudayaan membuat
manusia jatuh pada sikap mencari enaknya sendiri. Konvensi sosial, walau tidak
seluruhnya jelek, bagi kaum sinis seringkali dianggapnya tak masuk akal (absurd) dan karenanya pantas dicemooh.
Aku jadi ingat draft naskah Filsafat Sinisku yang belum usai. Filsafat
yang mengajarkan kebijaksanaan, kemandirian, hidup tanpa nafsu dengan berpegang
pada adanya alasan (reason) yang
mengajarkan manusia berpikir dengan akal yang sehat dengan tujuan mencapai
kebahagiaan hidup. Mungkin, kekacauan lalu lintas di depanku itulah buktinya. Kemanusiaan
saling sengkarut, rusak, dan hilang karena orang bukannya tidak tahu, tapi
tidak peduli. Itu sumber kehancuran. Sayangnya, sekali lagi, kemacetan di
depanku itu bukan urusanku.
Hal yang sama, sialnya terjadi padaku. Semenjak aku hengkang dari
tempat kerjaku enam bulan yang lalu, aku dipaksa menjadi seorang yang tidak peduli.
Lembaga tempat aku bekerja menuntutku untuk peduli pada hal-hal berbau
manajemen dan organisasi ketimbang pada konsumen yang justru menjadi target eksis
dan kuatnya lembaga. Oleh sebab idealisme, aku pun resign.Tiga bulan pengangguran dan sekarang, tiga bulan setelahnya,
aku bekerja sebagai tenaga harian lepas di sebuah instansi pemerintahan. Bangga?
Tidak sama sekali. Karena instansi ini belum juga memberikan hak dari kewajiban
yang aku lakukan selama ini. Pengangguran terselubung, itulah judul
pekerjaanku.
Mau tak mau, aku harus hidup dengan uang tabungan dan uang yang
kupinjam dari saudara-saudaraku. Dengan itu aku bertahan dan entah sampai
kapan. Hanya saja dan walau demikian, tak berarti aku harus merenggut
kebahagiaan keluargaku. Dengan gila aku memporak-porandakan lemari dan
laci-laci rumahku semata agar anakku bisa membeli buku. Agar istriku bisa
jalan-jalan dan jajan makanan kesukaannya. Tiba-tiba pikiranku berkata: Kota
ini mungkin istimewa, tapi apa artinya jika aku masih pengangguran? Tetanggaku
tak bisa melanjutkan sekolahnya. Para pemuda di kampungku masih saja
mengandalkan pemasukannya dengan menjadi tukang ojeg.
Kota ditata-tata, ruang dibenah-benah, gapura, air mancur, hiasan di
mana-mana, apa artinya semua itu jika kenyataannya masih banyak warga
pribuminya jauh dari kata sejahtera. Sisi lain kota yang mungkin tak banyak
orang tahu, karena publikasi hanya menuntut dan menginginkan hal-hal yang
indah-indah dan bahagia saja. Sedang semiskinan dan penderitaan, seolah jadi
barang haram untuk ditayangkan sebagai komoditi. Seandainya aku jadi pemimpin
kota ini. Jadi bupati. Sungguh pikiran yang konyol
Rokokku habis sebatang, minumanku juga. Maka kuhisap rokok kedua dan
sebuah permen rasa asam. Minggu menjelang siang, dan hiruk-pikuk pun
menjadi-jadi. Kembali aku memikirkan diriku dan keluargaku. Memikirkan
rutinitas ini.
Sekiranya harus jujur, ada alasan
lain mengapa aku memilih merokok sendiri di trotoar ketimbang menemani istri
dan anakku menikmati jajanannya. Jujur, dua hari ini adalah dua hari yang
menyebalkan bagiku, termasuk ketika tadi pagi kami memutuskan jalan-jalan ke pusat
kota.
Dari dulu aku selalu ingin tahu
bagaimana rasanya hidup di usia 30-an dan berkeluarga. Kenyataannya,
berkeluarga tak lantas mengubahku. Bagaimana seseorang bisa tahan berjalan di
jalan yang sama dengan dua pikiran yang berbeda? Istriku mungkin bukan
navigator yang baik. Tak kreatif dan tanpa inisiatif. Seakan-akan semua urusan
keluarga hanya ada di pundakku.
Ketika aku mulai mengubah sifat
dan sikapku pada anggota keluargaku, khususnya anakku, aku justru tidak melihat
itu pada istriku. Sungguh peristiwa yang sepele sebenarnya, peristiwa yang aku
pikir semua keluarga sempat mengalaminya.
Kemarin, ketika aku membetulkan dua
dispenser orangtuaku yang bocor dan
milikku yang korselt, aku harus mengerjakannya sendiri ditemani kesal terpendam.
Aku tak meminta banyak dari istriku. Malah, aku berpikir mungkin dia bisa
menyediakanku sebatang rokok dan segelas kopi. Akan tetapi, secangkir air pun
tak kutemukan ada di dekatku. Setengah hari kuhabiskan untuk membetulkan dispenser sampai bisa dipergunakan lagi.
Dan aku menyaksikan bagaimana istriku dengan enaknya tidur-tiduran dengan smartphone-ku bermain facebook dan toko online. Siapa yang
tidak berang?
Pada malam harinya, masih saja
aku bertanya apakah jadi besok (hari ini) jalan-jalan ke kota. Peristiwa yang
sama terulang lagi. Ketika aku memeriksa dan membersihkan motor, istriku
mengulangi hal yang sama. Sekiranya dia memang ingin jalan-jalan, pikirku, minimal
dia bisa menyiapkan apa yang aku butuhkan: sarapanku, pakaianku, dan lainnya. Tapi
kenyataannya? Lagi aku dibuat kesal.
Jadi ingat aku dengan nenek
temanku yang berkata bahwa pintar dan cerdas itu tak ada artinya jika seseorang
tak pengertian. Dan itulah yang sedang aku hadapi sekarang. Jangan tanya apakah
aku sudah memberi tahu soal ngerti-mengerti ini. Cara halus sudah, kasar pun juga.
Bahkan sampai bosan aku dibuatnya. Tapi kenyataannya, istriku masih saja
manusia yang dulu. Yang manja, ingin enaknya sendiri, dan selalu minta
dimengerti.
Mau sampai kapan ini harus
terjadi? Haruskan aku membuat rencana? Membuat janji sekiranya istriku tidak
juga berubah sampai batas waktu tertentu, maka lebih baik aku pulangkan saja
pada orang tuanya lagi? Jalan ini jalan kita. Kitalah yang mestinya
merencanakannya dan bekerja bersama.
Kuhisap asap terakhir rokokku yang tinggal setengah batang. Kutatap
keramaian. Kudongakan kepala melihat langit berawan. Langit minggu yang
menggelisahkn dan menyebalkan. [FN/"Saswaloka"]
Udug-udug, 26 Februari 2017
No comments:
Post a Comment