Wednesday, February 1, 2017

Adaptasi Sosial: Tentang Perkenalan dan Setelahnya




Persepsi seseorang terhadap sikap tak nyaman orang lain lebih dominan dari pada sikap yang membuat nyaman dirinya. Mengapa? Jelas ada yang salah di sana. Mungkin harus ada waktu untuk mempertimbangkan kemungkinan atau faktor-faktor apa saja yang membuat seseorang bersikap demikian. Hal-hal seperti latar belakang pendidikan, keluarga, adat istiadat, warisan pergaulan dan sebagainya. 

Di dunia pekerjaan, atau bahkan di dunia mana pun yang memungkinkan terjadinya adaptasi sosial, persepsi semacam ini kerapkali muncul. Seorang yang baru masuk wilayah baru jika tidak bersikap introvert maka dia akan bersikap ekstrovert, walau yang terakhir ini pun bukan berarti tanpa hambatan. Sungguh, bisakah seseorang menerima sosok baru yang bersikap sok kenal dan sok dekat (SKSD) terhadap dirinya? Jika sifat orang yang dihadapinya tak jauh beda dengan orang itu, tak lantas menjadi masalah. Tapi jika benar-benar berbeda, sikap seperti itu hanya akan membuat dirinya malu bahkan dianggap menyedihkan.

Lantas sikap seperti apa yang harusnya seseorang lakukan untuk masalah seperti ini? Masalah yang barangkali dirasakan oleh semua orang di mana pun. Masalah tentang bagaimana manusia beradaptasi dengan manusia lain di lingkungan yang baru, khususnya di dunia pekerjaan.

Sejatinya, tulisan ini lahir dari ketidakmengertian penulis tentang bagaimana dan seperti apa adaptasi itu sesungguhnya. Pada beberapa kesempatan, di lingkungan baru yang dimasukinya, penulis mendapati bagaimana dia mendapatkan kesulitan untuk berkenalan, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan orang-orang baru hingga akhirnya tercipta sebuah hubungan. Hubungan yang didasarkan atas pekerjaan yang mau tidak mau akan pula menjadi hubungan personal pada akhirnya.

Tak seperti dulu, berkenalan sepertinya telah menjadi hal yang aneh. Dulu, ketika seseorang masuk sebuah lingkungan yang baru, dia akan memperkenalkan diri pada orang lain. Atau, sekiranya dia menjadi orang kedua, maka dia akan diperkenalkan.

Sekarang, sepertinya bersalaman telah menjadi sangat cukup untuk dilakukan. Tak ada nama yang disebutkan pada lawan bicara sebagaimana lawan bicara pun tak menyebutkan namannya. Seakan bertemu orang baru, atau sebut saja silaturahmi, adalah hal yang asing—untuk tidak menyebutnya aneh sama sekali—untuk dilakukan semua orang.

Mungkinkah prinsip “sewang-sewang” alias masing-masing yang sebenarnya berakar dari Barat dengan istilah individualis, telah pula menggerogoti akar kebudayaan dan identitas manusia Indonesia? Prinsip yang dalam prakteknya menyiratkan bahwa kehadiran seseorang yang baru bukanlah urusan lawan bicaranya. Seolah sikap “tak mau ambil pusing” telah tertanam di benak lawan bicara serta orang baru yang setelah beberapa waktu akan pula menyadari hal itu.

Penulis berasumsi, mungkin fenomena seperti ini hanya terjadi di kotanya saja dan tidak di kota yang lain. Jika ya, bagus. Artinya, ada faktor lain seperti halnya sejarah atau mungkin genetika yang bisa dipertimbangkan. Jika tidak, bukan tidak mungkin ini menjadi petaka semacam darurat keamanan dan pertahanan bangsa.

Lain ladang lain belalang mungkin bukan peribahasa yang tepat untuk mengamsalkan masalah ini. Pasalnya, ladangnya masih sama, yaitu negeri Indonesia ini, dan belalangnya pun tak pernah beda yakni manusia Indonesia itu sendiri. Mungkin peribahasa Sunda ini lebih tepat, berbunyi: Ngindung ka waktu mibapak ka mangsa. Artinya adalah, seseorang harusnya bias menyesuaikan diri dengan keadaan zaman.

Sayang seribu sayang, peribahasa ini pun gagal untuk bisa menggambarkan isu pokok masalah ini. Pasalnya, tulisan ini tidak berbicara soal zaman, melainkan soal identitas dan jati diri manusia Indonesia yang seakan telah luntur untuk bisa mempertahankan nilai dari sebuah sikap yang baik yang berakar dari kebudayaan asli Nusantara. Kebudayaan yang banyak macamnya tapi bisa erat dan menjadi satu kekuatan dan kebanggaan. Kekuatan yang terantum dalam ideologi bangsa berjudul Pancasila yang berbunyi Persatuan Indonesia.

Hemat kata, mungkinkan persatuan bisa tercipta manakala berkenalan dan memiliki prasangka positif terhadap orang lain, tepa selira dalam perspektif senasib seperjuangan saja betapa susah minta ampunnya? Lagi penulis berasumsi, mungkinkah orang-orang kita ini memang tak a a bakat untuk bekerja dan bersama? Sudah sebegitu rendahnya sikap empati dan simpati, saling menghormati, menghargai, memiliki, dan rasa juang setiap orang di kota atau bahkan—dalam scope yang luas—bangsa ini?

Kembali ke soal beradaptasi di tempat kerja dengan orang-orang baru. Setelah jabatan tangan yang tak berarti apa-apa karena tak ada kata apa-apa, terlepas pikiran dari masing-masing orang yang saling berkenalan, tahap selanjutnya pun terjadi. Ini bisa berupa adaptasi terhadap beban dan wilayah kerja sesuai tugas pokok, fungsi dan peran Si Freshfish ini—Si “Anak Baru.” Sejalan waktu, mau tak mau, dia juga harus tetap “membaca” bagaimana orang-orang bekerja—berpikir dan bersikap—karena hubungan interpersonal terjadi pula di tempat kerjanya. Maka dari itu, mengapa dia atas disebutkan bahwa hubungan kerja berbanding lurus dengan hubungan personal.

Untuk beberapa waktu, dia akan mendapatkan data berupa siapa saja yang bisa didekati dan diajaknya bicara. Orang-orang mana saja yang membuka diri dengannya, yang memiliki latar belakang lingkungan yang sama seperti halnya wilayah tempat tinggal atau riwayat pendidikan. (Bukankah kebanyakan orang melakukan hal semacam ini di tempat kerja yang baru dimasukinya? ) Singkat kata, yang baik menurut kacamatanya, hingga akhirnya hubungan pun menjadi sangat dekat, bahkan bukan tak mungkin istilah teman dan sahabat tersirat dalam hubungan itu.

Adaptasi semacam ini biasanya terjadi dalam 3-6 bulan, tergantung apakah seseorang memiliki kemampuan “membaca” yang baik atau tidak. Dia yang ekstrovert dengan tujuan untuk mencari data, mungkin bisa dengan cepat meneksekusi hasil akhir dari keputusannya dalam hal seperti apa dia harus bersikap pada orang-orang di lingkungan barunya itu. Akan tetapi, untuk mereka yang introvert, waktu satu tahun bisa saja harus dihabiskan.

Dalam kenyataan dan pengalamannya, penulis adalah satu dari orang yang ekstrovert itu. Sebagian keputusan sudah dieksekusi dan sebagiannya lagi belum. Melakukan trial and error berkali-kali ada kalanya masih tak juga menghasilkan data. Jika sudah seperti itu, maka memasukan data itu pada data yang cakupannya lebih besar agar eksekusi tak lama.

Pada saat eksekusi data inilah penulis menemukan bagaimana perlakuan berbeda pada seseorang justu memperlihatkan gambaran umum orang tersebut. Beberapa kesempatan terjadi dan “BAM!” data pun tak berubah, justru masalah makin menegaskan kepribadian yang bersangkutan. Di lain sisi, tumbuh persepi lain dari penulis terhadap “lawan” mainnya itu. Hal ini diambil dari sikap dominan atas perlakuan yang berbeda dari penulis terhadapnya. Hasilnya cukup mencengangkan. Lawan bicara itu justru mengambil sikap defensif terhadap penulis oleh sebab satu-dua sifat dan sikapnya yang tak sesuai dengannya.

Berbeda dengan sikap penulis yang justru sebagian besar kooperatif terhadap lawannya itu. Ada stigma seumpama kertas putih dengan titik hitam di tengahnya. Kebanyakan orang justru lebih cenderung menilai titik hitam itu ketimbang kertas putih sekalipun lebarnya segambreng. Penulis pikir fenomena ini sudah menglobal dan terjadi di mana-mana yang sampai detik ini penulis sendiri tak pernah tahu apa penyebabnya?

Ilmu neurologi mungkin harus ambil bagian untuk membantu bidang psikologi untuk kasus semacam jika belum ada dan belum banyak penelitinya. Tapi jika sudah, betapa tanggapan pembaca yang budiman terjadap tulisan ini menjadi harta yang sangat berharga bagi penulis, dan bagi siapa saja yang membacanya.

Sebagai seseorang yang sempat merasa aneh menemukan dan memikirkan sosok bernama manusia, penulis ada kalanya mengamati pula tingkah lakunya, meski bulan psikolog atau psikiator. Pertanyaannya masih sama: Makhluk apa manusia itu sebenarnya? Apakah definisinya ditentukan oleh bagian-bagian yang membentuk dirinya sepenuhnya, atau sebaliknya? Apakah manusia itu jiwanya atau fisiknya, atau keduanya? Sayang, sampai detik ini dua hal itu masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.

Bahkan semata untuk mengetahui keobjektifan nilai manusia, penuli sempat bertanya pada mahasiswa psikolog. Di akhir pembicaraan bersamanya lewat sebuah perkenalan, penulis berkata:

“Apakah mungkin menilai orang dengan objektif?”

“Jelas mungkin. Maka dari itu, ada Jurusan Psikologi. Memang kenapa?” tanyanya.

“Bagaimana mungkin kita bisa menilai seseorang dengan objektif sedang penilainya, yakni manusianya itu adalah manusia yang subjektif?”

Mahasiswa itu pun hanya mengangguk, tak lagi bicara.[Saswaloka/Fim Anugrah]

No comments:

Post a Comment