Persepsi seseorang terhadap sikap tak
nyaman orang lain lebih dominan dari pada sikap yang membuat nyaman dirinya.
Mengapa? Jelas ada yang salah di sana. Mungkin harus ada waktu untuk
mempertimbangkan kemungkinan atau faktor-faktor apa saja yang membuat seseorang
bersikap demikian. Hal-hal seperti latar belakang pendidikan, keluarga, adat
istiadat, warisan pergaulan dan sebagainya.
Di dunia pekerjaan, atau bahkan di
dunia mana pun yang memungkinkan terjadinya adaptasi sosial, persepsi semacam
ini kerapkali muncul. Seorang yang baru masuk wilayah baru jika tidak bersikap
introvert maka dia akan bersikap ekstrovert, walau yang terakhir ini pun bukan
berarti tanpa hambatan. Sungguh, bisakah seseorang menerima sosok baru yang bersikap
sok kenal dan sok dekat (SKSD) terhadap dirinya? Jika sifat orang yang
dihadapinya tak jauh beda dengan orang itu, tak lantas menjadi masalah. Tapi
jika benar-benar berbeda, sikap seperti itu hanya akan membuat dirinya malu
bahkan dianggap menyedihkan.
Lantas sikap seperti apa yang harusnya
seseorang lakukan untuk masalah seperti ini? Masalah yang barangkali dirasakan
oleh semua orang di mana pun. Masalah tentang bagaimana manusia beradaptasi
dengan manusia lain di lingkungan yang baru, khususnya di dunia pekerjaan.
Sejatinya, tulisan ini lahir dari ketidakmengertian
penulis tentang bagaimana dan seperti apa adaptasi itu sesungguhnya. Pada
beberapa kesempatan, di lingkungan baru yang dimasukinya, penulis mendapati
bagaimana dia mendapatkan kesulitan untuk berkenalan, berinteraksi, dan
berkomunikasi dengan orang-orang baru hingga akhirnya tercipta sebuah hubungan.
Hubungan yang didasarkan atas pekerjaan yang mau tidak mau akan pula menjadi
hubungan personal pada akhirnya.
Tak seperti dulu, berkenalan sepertinya
telah menjadi hal yang aneh. Dulu, ketika seseorang masuk sebuah lingkungan
yang baru, dia akan memperkenalkan diri pada orang lain. Atau, sekiranya dia
menjadi orang kedua, maka dia akan diperkenalkan.
Sekarang, sepertinya bersalaman telah
menjadi sangat cukup untuk dilakukan. Tak ada nama yang disebutkan pada lawan
bicara sebagaimana lawan bicara pun tak menyebutkan namannya. Seakan bertemu
orang baru, atau sebut saja silaturahmi, adalah hal yang asing—untuk tidak
menyebutnya aneh sama sekali—untuk dilakukan semua orang.
Mungkinkah prinsip “sewang-sewang” alias masing-masing yang
sebenarnya berakar dari Barat dengan istilah individualis, telah pula menggerogoti
akar kebudayaan dan identitas manusia Indonesia? Prinsip yang dalam prakteknya
menyiratkan bahwa kehadiran seseorang yang baru bukanlah urusan lawan bicaranya.
Seolah sikap “tak mau ambil pusing” telah tertanam di benak lawan bicara serta
orang baru yang setelah beberapa waktu akan pula menyadari hal itu.
Penulis berasumsi, mungkin fenomena
seperti ini hanya terjadi di kotanya saja dan tidak di kota yang lain. Jika ya,
bagus. Artinya, ada faktor lain seperti halnya sejarah atau mungkin genetika
yang bisa dipertimbangkan. Jika tidak, bukan tidak mungkin ini menjadi petaka semacam
darurat keamanan dan pertahanan bangsa.
Lain ladang lain belalang mungkin bukan
peribahasa yang tepat untuk mengamsalkan masalah ini. Pasalnya, ladangnya masih
sama, yaitu negeri Indonesia ini, dan belalangnya pun tak pernah beda yakni
manusia Indonesia itu sendiri. Mungkin peribahasa Sunda ini lebih tepat, berbunyi:
Ngindung ka waktu mibapak ka mangsa.
Artinya adalah, seseorang harusnya bias menyesuaikan diri dengan keadaan zaman.
Sayang seribu sayang, peribahasa ini
pun gagal untuk bisa menggambarkan isu pokok masalah ini. Pasalnya, tulisan ini
tidak berbicara soal zaman, melainkan soal identitas dan jati diri manusia
Indonesia yang seakan telah luntur untuk bisa mempertahankan nilai dari sebuah
sikap yang baik yang berakar dari kebudayaan asli Nusantara. Kebudayaan yang
banyak macamnya tapi bisa erat dan menjadi satu kekuatan dan kebanggaan. Kekuatan
yang terantum dalam ideologi bangsa berjudul Pancasila yang berbunyi Persatuan
Indonesia.
Hemat kata, mungkinkan persatuan bisa
tercipta manakala berkenalan dan memiliki prasangka positif terhadap orang lain,
tepa selira dalam perspektif senasib seperjuangan saja betapa susah minta
ampunnya? Lagi penulis berasumsi, mungkinkah orang-orang kita ini memang tak a
a bakat untuk bekerja dan bersama? Sudah sebegitu rendahnya sikap empati dan
simpati, saling menghormati, menghargai, memiliki, dan rasa juang setiap orang
di kota atau bahkan—dalam scope yang
luas—bangsa ini?
Kembali ke soal beradaptasi di tempat
kerja dengan orang-orang baru. Setelah jabatan tangan yang tak berarti apa-apa
karena tak ada kata apa-apa, terlepas pikiran dari masing-masing orang yang
saling berkenalan, tahap selanjutnya pun terjadi. Ini bisa berupa adaptasi terhadap
beban dan wilayah kerja sesuai tugas pokok, fungsi dan peran Si Freshfish ini—Si “Anak Baru.” Sejalan
waktu, mau tak mau, dia juga harus tetap “membaca” bagaimana orang-orang
bekerja—berpikir dan bersikap—karena hubungan interpersonal terjadi pula di
tempat kerjanya. Maka dari itu, mengapa dia atas disebutkan bahwa hubungan
kerja berbanding lurus dengan hubungan personal.
Untuk beberapa waktu, dia akan
mendapatkan data berupa siapa saja yang bisa didekati dan diajaknya bicara.
Orang-orang mana saja yang membuka diri dengannya, yang memiliki latar belakang
lingkungan yang sama seperti halnya wilayah tempat tinggal atau riwayat
pendidikan. (Bukankah kebanyakan orang melakukan hal semacam ini di tempat
kerja yang baru dimasukinya? ) Singkat kata, yang baik menurut kacamatanya,
hingga akhirnya hubungan pun menjadi sangat dekat, bahkan bukan tak mungkin
istilah teman dan sahabat tersirat dalam hubungan itu.
Adaptasi semacam ini biasanya terjadi dalam
3-6 bulan, tergantung apakah seseorang memiliki kemampuan “membaca” yang baik
atau tidak. Dia yang ekstrovert dengan tujuan untuk mencari data, mungkin bisa
dengan cepat meneksekusi hasil akhir dari keputusannya dalam hal seperti apa
dia harus bersikap pada orang-orang di lingkungan barunya itu. Akan tetapi,
untuk mereka yang introvert, waktu satu tahun bisa saja harus dihabiskan.
Dalam kenyataan dan pengalamannya,
penulis adalah satu dari orang yang ekstrovert itu. Sebagian keputusan sudah
dieksekusi dan sebagiannya lagi belum. Melakukan trial and error berkali-kali ada kalanya masih tak juga
menghasilkan data. Jika sudah seperti itu, maka memasukan data itu pada data
yang cakupannya lebih besar agar eksekusi tak lama.
Pada saat eksekusi data inilah penulis
menemukan bagaimana perlakuan berbeda pada seseorang justu memperlihatkan
gambaran umum orang tersebut. Beberapa kesempatan terjadi dan “BAM!” data pun
tak berubah, justru masalah makin menegaskan kepribadian yang bersangkutan. Di
lain sisi, tumbuh persepi lain dari penulis terhadap “lawan” mainnya itu. Hal
ini diambil dari sikap dominan atas perlakuan yang berbeda dari penulis
terhadapnya. Hasilnya cukup mencengangkan. Lawan bicara itu justru mengambil
sikap defensif terhadap penulis oleh sebab satu-dua sifat dan sikapnya yang tak
sesuai dengannya.
Berbeda dengan sikap penulis yang
justru sebagian besar kooperatif terhadap lawannya itu. Ada stigma seumpama
kertas putih dengan titik hitam di tengahnya. Kebanyakan orang justru lebih
cenderung menilai titik hitam itu ketimbang kertas putih sekalipun lebarnya
segambreng. Penulis pikir fenomena ini sudah menglobal dan terjadi di mana-mana
yang sampai detik ini penulis sendiri tak pernah tahu apa penyebabnya?
Ilmu neurologi mungkin harus ambil
bagian untuk membantu bidang psikologi untuk kasus semacam jika belum ada dan
belum banyak penelitinya. Tapi jika sudah, betapa tanggapan pembaca yang
budiman terjadap tulisan ini menjadi harta yang sangat berharga bagi penulis,
dan bagi siapa saja yang membacanya.
Sebagai seseorang yang sempat merasa
aneh menemukan dan memikirkan sosok bernama manusia, penulis ada kalanya
mengamati pula tingkah lakunya, meski bulan psikolog atau psikiator. Pertanyaannya
masih sama: Makhluk apa manusia itu sebenarnya? Apakah definisinya ditentukan
oleh bagian-bagian yang membentuk dirinya sepenuhnya, atau sebaliknya? Apakah
manusia itu jiwanya atau fisiknya, atau keduanya? Sayang, sampai detik ini dua
hal itu masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Bahkan semata untuk mengetahui
keobjektifan nilai manusia, penuli sempat bertanya pada mahasiswa psikolog. Di
akhir pembicaraan bersamanya lewat sebuah perkenalan, penulis berkata:
“Apakah mungkin menilai orang dengan
objektif?”
“Jelas mungkin. Maka dari itu, ada
Jurusan Psikologi. Memang kenapa?” tanyanya.
“Bagaimana mungkin kita bisa menilai
seseorang dengan objektif sedang penilainya, yakni manusianya itu adalah
manusia yang subjektif?”
Mahasiswa itu pun hanya mengangguk, tak
lagi bicara.[Saswaloka/Fim Anugrah]
No comments:
Post a Comment