Sebuah kalimat berbunyi: Jika seseorang
ingin mengubah hidupnya, maka ia harus terlebih dulu mengubah bahasanya.
Peribahasa Sunda berkata “Hade goreng ku basa.” Seyogianya, bahasa adalah
representasi jati diri sesorang. Pada bahasalah seseorang memperlihatkan
identitasnya. Ia menjadi tolak ukur keber-adaban manusia.
Kesadaran akan bahasa merupakan
indkotrinasi. Ia dicapai bukan melulu lewat jalur akademik yang mengumbar
begitu banyak teori. Bahkan ada kalanya teori-teori itu pun tidak bisa
membendung bahasa sebagai makhluk yang terus berevoulsi—sesuatu yang berbanding
lurus dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia itu sendiri.
Kesadaran pun bukan sesuatu yang final.
Sejauh manusia dan bahasanya berkembang, sejauh itu pula kesadaran dibutuhkan. Permasalahannya
sekarang adalah, apakah kesadaran itu berwarna positif atau negatif. Tentu, di
tengah rongrongan multimedia yang gencar, selalu ada kesempatan bagi bahasa
untuk menampakkan kelemahan-kelemahannya. Sayangnya, tidak ada filter atau
penyaring mana dari wujud pikiran itu (bahasa) yang benar dan baik dengan yang
sebaliknya. Di sinilah logika punya peran.
Sampai sekarang masih kita temukan dan
dengar ungkapan-ungkapan yang tidak tepat. Kalimat seperti “pada kesempatan
yang berbahagia ini,” “buku gudang ilmu,” dan beberapa istilah yang
penjelasanya dirasa tidak tepat, semisal arti kata wajib dan sunah. Wajib diartikan
sebagai sesuatu perkara yang harus dikerjakan jika tidak berdosa. Sedang sunah
diartikan sesuatu perkara yang jika dikerjakan mendapat pahala, jika tidak
dikerjakan tidak mengapa.
Untuk kasus terakhir, kebanyakan dari
kita menerimanya begitu rupa (taken for granted). Alih-alih
memikirkannya, kita justru mengamininya. Secara psikologis, apakah ada orang
yang senang dengan ancaman, sebagaimana diperlihatkan pada penjelasan kata
wajib. Dan, barangkali sebuah keniscayaan jika orang cenderung memilih yang
ringan ketimbang yang berat. Maka, alih-alih dilaksanakan, ibadah sunah justru
malah disepelekan.
Seandainya kita berkata jika wajib itu adalah
perkara yang mesti dikerjakan. Sedang sunah, diartikan sebagai suatu perkara yang
lebih baik untuk dikerjakan, barangkali orang akan taat aturan dan
berlomba-lomba untuk melakukan perbaikan diri dan kebaikan.
Hal yang sama pun tampak pada kalimat “buku
gudang ilmu.” Mungkinkah kalimat ini juga berefek pada kenyataan jika manusia
Indonesia pada hakikatnya tidak suka membaca? Mengapa? Karena dari awal—entah siapa
yang membuat pernyataan itu—buku diibaratkan sebuah gudang. Kita sendiri tahu
seperti apa rupa gudang. Sebuah tempat yang menyimpan barang rongsokan, gelap,
dan penuh sarang laba-laba. Mungkinkah seseorang suka dengan tempat semacam itu?
Alih-alih membuat betah, mendengarnya saja kita sudah malas terlebih dulu.
Lalu, bagaimana mungkin kita bisa suka membaca jika buku saja sudah dianggap
gudang, bukan rumah, apalagi istana.
Kasus terakhir yang ditulis lebih dulu
pun tak jauh beda. Frase “kesempatan yang berbahagia” jelas sudah salah secara
tata bahasa. Hampir di setiap acara kita mendengarnya. Sayang seribu sayang,
tidak ada yang memperbaikinya. Sebenarnya, kesempatankah yang berbahagia itu,
atau manusia yang berada di dalam acara itu?
Begitu banyak istilah dan ungkapan yang
kita dengar setiap hari. Itu semua tentu tidak sekedar berurusan dengan alat
ucap, kebiasaan, dan komunikasi yang dianggap sambil lalu. Lebih dari itu,
semua itu berhubungan dengan pikiran manusia. Pramoedya berkata jika adil itu
harus dimulai dari pikiran. Dan bahas sebagai wujud pikiran, tentunya
memperlihatkan hal itu. Sudahkah kita adil dengan pikiran kita? Dengan bahasa
kita? Atau, kita lebih memilih untuk menerima segalanya tanpa ambil pusing,
yang dengan kata lain, tidak terlalu memikirkan apakah pikiran kita dalam wujud
bahasa itu sudah benar, baik, adil atau tidak?
Seandainya bahasa menjadi indikator
tata hidup dan kelakuan (peradaban) manusia, barangkali kita tidak harus
merasakan betapa kacaunya dunia ini. Dengan bahasa kita lebih suka menyembunyikan
yang sebenarnya dan membenarkan yang tersembunyi. Manipulasi. Dan, barangkali
kita pun tidak harus terus-terusan menjadi makhluk yang pandir karena
ketidakpedulian kita dengan bahasa, termasuk pikiran yang menjadi sumbernya.
Jika benar bahasa adalah makhluk
sebagaimana peribahasa Arab, entah makhluk macam apa sebenarnya yang tengah
kita ciptakan. Bermata-satukah? Berlengan sepuluhkan? Berekorkah? Atau, mungkin
berbulukah? Meski begitu tidak ada kata terlambat untuk berbenah dan
memperbaiki diri. Hal itu tentu tergantung pada kemauan diri. Karena tidak
mungkin kan kita terus-menerus bersikap tidak peduli; ketidakpedulian
yang menjadi akar dari kebodohan diri dan bangsa ini?
Seseorang yang baik dan benar hanya menerima,
melakukan dan memberi yang baik dan benar pula. Ibarat EYD (Ejaan Yang
Disempurnakan dan bukan EYD yang lain (Ejaan Yang Di-alay-kan). Mereka
yang menerima yang baik akan melakukan dan memberi yang baik pula. Begitu pula
bahasa. Bahasa apa yang kita terima dan pikirkan—sekali lagi,
pikirkan—tentu akan berpengaruh juga
pada apa yang kita ucapkan nantinya. Hingga pada akhirnya, tanpa harus
ditunggu, kita akan merasakan sendiri perubahan pada diri kita sendiri. Sebuah
hasil dari proses pribadi yang kritis dan tertata sebagaimana bahasa yang
bersumber dari sebuah keteraturan pikiran.
Karena bagaimananpun, bahasa tetap
menjadi identitas dan jati diri seseorang, yang pada akhirnya terakumulasi
sebagai jati diri bangsa pula. Tinggal kita sendiri yang menentukan, bakal
seperti apa kita membentuk identitas dan jati diri itu, yang sadar dan
pedulikah, atau yang masa bodo sajakah? Andalah yang menentukan! [Fim
Anugrah/“Saswaloka”]
No comments:
Post a Comment