Tahun Pelajaran baru artinya sekolah baru. Barangkali itulah yang terbesit di kepala para guru khususnya guru honorer, setidaknya yang berada di wilayah Subang Selatan ini. Setiap tahun pelajaran tiba, tidak sedikit guru yang pindah dari satu atau lebih sekolah ke sekolah lainnya.
Perilaku nomaden sekaligus "selingkuh" ini jelas bukan tanpa alasan. Beberapa orang beralasan bahwa dasar kepindahan mereka adalah soal kenyamanan. Tapi yang paling santer terdengar dan menjadi sangat signifikan adalah soal kebutuhan, ya, apa lagi kalau bukan masalah kesejahteraan?
Mereka berpendapat jika sekolah yang ditinggalkannya ternyata tidak cukup bijak untuk memperjuangkan dirinya setelah dirinya memperjuangkan sekolah. Dalam artian, guru-guru yang berbakti dan mengabdi kepada sekolah selama bertahun-tahun, ternyata tidak cukup diperhitungkan ketika dirinya punya kesempatan untuk bisa--sebut saja--mendapat sertifikasi: sebuah pembaiatan dimana seorang guru telah benar-benar dinyatakan sebagai guru profesional hingga dirinya tidak lagi seperti ikan yang bernapas dalam lumpur. Walau, kenyataan di lapangan, begitu banyak guru yang disertifikasi tapi masih tidak layak disebut profesional.
Pil pahit yang setiap tahun harus ditelan oleh guru-guru honorer di banyak sekolah ini terkait oleh pembawaam kepemimpinan. Karakter pemimpin sekolah yang--dalam kasus di wilayah Subang Selatan ini-- kebanyakan berada di bawah naungan yayasan, sangat kental dengan sikap subjektif, oteriter dan nepotisme. Barangkali karena dia adalah pemilik yayasan, maka dia bisa seenak dan semaunya bersikap dan bertindak untuk yayasan sekaligus sekolah yang dimilikinya. Hal ini jelas sudah menjadi pengetahuan umum di wilayah ini. Sabiwir hiji, begitu kata peribahasa Sunda. Meski begitu, tidak semua memang para pemimpin yayasan punya sikap dan sifat demikian. Yang lurus-lurus saja pun ada, walau tidak banyak.
Alih-alih untuk menciptakan suasan KBM yang kondisuf diiringi dengan sistem yang mumpuni, atau yang lebih jauh lagi, yang barangkali menjadi dasar kenapa harus ada sekolah dan pendidikan di negara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, yang justru kecipratan jeleknya adalah manajemen sekolah. Dan siapa lagi kalau bukan guru (honorer) yang harus merasakan akibatnya? Sungguh sebuah ironis: ketika para guru kerja siang malam mengurus sekolah, mengajar dan mengerjakan seabreg tugas kependidikan, dengan kara lain mencoba memintarkan bangsa ini, kenyataan yang ada justru merekalah yang seringkali dibodohi dan dibohongi oleh para pemilik kebijakan--untuk tidak menyebut pemerintah. Bukankah itu yang disebut namanya "Air susu dibalas dengan air tuba?" Air susu diberikan oleh guru, tapi justru racun yang didapatkannya.
Entah samapai kapan guru-guru honorer yang kecewa dan dikecewakan, yang tetap memegang prinsip dan motivasi sebagai seorang pendidik dan pengajar dalam hatinya, harus jor-joran bergelut dengan keadaan seperti ini dari waktu ke waktu. Hanya berusaha mencoba untuk mendapatkan penghargaan dan sedikit saja pengakuan dirinya sebagai guru, lagi-lagi mereka harus mencari tempat mengajar lagi, memulai dari nol lagi, serta berharap dan berharap lagi, entah untuk ke berapa ribu kali. [FA]
*) sebuah celoteh sebagai teman minum kopi.
No comments:
Post a Comment