Saturday, October 26, 2013

Berharap Mencipta Waktu


Apa yang harus aku ceritakan, selain kesibukan yang terus belanjut kulakukan. Setelah sibuk dengan segala macam tetek bengek UTS di sekolah kedua (GRAMI), kembali aku kembali ke sekolah pertama (Pagelaran 3) tanpa sedikit pun membawa harapan atau sekaligus berharap jika di tempat ini aku bisa bernapas panjang. Tak sebatas mengajar tapi juga bisa “hidup” menghidupi hidupku. Walau, aku tahu betapa sia-sia berkata seperti ini karena semua itu sudah berlalu, dan sungguh tak pantas untuk dipertanyakan lagi. 

Beberapa bulan di sekolah kedua, telah bisa kurasakan perbedaan. Perbandingan yang pada akhirnya memengaruhi keadaan diriku, jalan hidupku dan hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan dan cita-citaku. Dua kran ternyata memang cukup membuatku aman ketimbang satu. Tapi cita-cita, sekali lagi aku bersengketa dengan waktu yang belum sampai aku miliki. Sampai kapan aku bisa memiliki waktu untuk duduk, berpikir dan menohok-nohokkan jari jemariku menguntai kata mencipta kalimat demi kalimat, paragraf, cerita yang utuh bernama novel itu. Novel yang membuatku terus-terusan membuat mimpi tentang kasih pertama. Aku melahirkan “bayi” dan kuberikan untuknya. Betapa mimpi yang abrusbd, aneh, abstrak dan sungguh teramat surealis. Aku mungkin tak mengerti apa maksudnya, tapi aku paham jika hal ini akan menyampaikanku pada sesuatu. Entah apa. Yang pasti ada. Hanya waktu—bukan untuk ditunggu—yang harus aku buat. Aku harus membuat waktuku sendiri untuk itu. Untuk cita-cita ini.

Aku takut. Bukan karena aku tak bisa melakukan hal yang seperti ini: menulis. Tapi karena aku sudah tak lagi bisa berbicara. Bicara yang lancar dan baik di depan orang-orang. Entah karena otakku bekerja lebih cepat, atau karena lidahku terlalu terlambat (atau mungkin terlalu cepat?) bergerak, sehingga aku tak lagi bisa berbicara dengan rapi dan teratur. Tata bahasa sudah hilang dari lidahku. Dan karenanya aku seakan tak bisa mengenal dunia. Ketika kalimat teramat kacau, maka bukan tak mungkin persepsiku atas dunia (atau bahkan duniaku itu sendiri) memang sudah kacau, tak bisa diungkapkan dengan sistematika yang baik oleh perangkat yang bernama bahasa itu. Jika sudah sepert itu, apakah mungkin aku bisa menulis dan bercerita, menulis cerita dengan baik jika keadaanku seperti ini?

Pernah aku menyangsikan kata dan bahasa, suatu hari ketika di bangku kuliah telah aku baca banyak buku. Bukan karena di buku itu penulis menggunakan persona pertama atau bahkan persona ketiga, atau bahkan seabreg metode penyampaian lainnya. Tapi aku yakin jika para penulis itu hanya tahu apa yang mereka tahu—lantas menceritakannya dalam sebuah tulisan—dan tak pernah benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi sebagai sebuah pengetahuan. Lihat saja buku-buku sejarah. Banyak penulis menulis tentang sejarah karena mereka tahu, entah dari buku atau dari narasumber lainnya, yang artinya apa yang mereka tulis berasal dari “katanya” orang. Tapi jika harus ditanya apakah sejarah itu sendiri berbicara sesuai dengan apa yang orang tuliskan tentangnya? Kita tak pernah tahu. Dan memang, sangat tidak mungkin sebuah Sejarah berbicara kata ia hanya fakta yang terbentang dimana mata manusialah yang harus menerjemahkan dan menuliskannya. Sayangnya, kita juga tahu, jika mata adalah media yang tidak bisa dipercaya. Ia gampang dimanipulasi.

Jika tidak, bagaimana mungkin ada fenomena dimana seorang manusia bisa melihat realita sedang yang lainnya bisa melihat dunia lain yang tak semua orang bisa lihat. Indigo, begitulah orang-orang menyebut mereka. Seandainya aku seorang indigo, atau bahkan mungkin anda, mungkinkah orang-orang akan percaya dengan apa yang aku atau anda lihat? Seandainya aku harus menceritakan kebenaran sedang orang-orang tak lantas percaya dengan apa yang aku ceritakan, apa yang harus aku lakukan? Jawabnya: Aku akan terus mencoba. Mungkin itulah jawaban terbaik, sebagaimana yang diungkapkan Denzel Washington di filmnya yang berjudul De Javu.  

Tapi kembali kepada masalah bahasa, makhluk yang satu ini sempat aku tak percaya. Meski jika harus dipertanyakan, di antara banyak hal yang ada di alam semesta ini, apa yang lalu harus percaya selain bahasa? Jawabannya tak ada. Tak harus kita membuat alasan karena hidup dengan banyak alasan adalah hidup yang tak nikmat untuk dijalani, begitu ucap Protagoras. Dan demikian pula aku terhadap bahasa. Aku cinta bahasa karena aku cinta. Dan itu sudah menjadi sangat cukup bagiku.[Saswaloka/FA]

Pic: http://learntoembracethestruggle.com/you-do-have-time/

Friday, September 6, 2013

Puisi: Teringat Kakek


Lama tidak menulis puisi. Setelah mencoba menulis, jadinya seperti ini:

Teringat Kakek
            -D. Zawawi Imron

Setelah gagal menangkap suara air
Aku teringat seorang kakek yang senang
menanam puisi di puncak gunung dan pucuk daun
Airmata dan ombak mencatat kisahnya
pada sebuah celurit yang kugunakan untuk menyabit
Bukan rumput, tapi kepala orang-orang buangan
yang hidup di penjuru hutan
berbajukan angin dan ketakutan
Entah sudah berapa lembah aku kunjungi
Tapi ceracau burung telah mengubur biji mata mereka
Sembilan  matahari pun bangkit dari balik bukit
Memangsa kepala orang-orang yang tak lagi bicara
pada tangan dan kakinya sendiri
Tepat ketika aku mendapati angin menampar kembali
wajahku dengan cerita seorang perempuan
yang mengandung mendung
dari langit yang tak sudi menurunkan hujan

Subang, 03 September 2013


Kalimat Sempurna

Adakah namamu tertulis
di kalimatku ketika kata-kata
dibawa angin sedang tak kutemukan
benih dari kasih yang kusemai
di kaki langit hatiku
Barangkali aku bukanlah pawang
yang pandai membaca tanda awan
di atas lanskap yang membentang
selain hanya menjadi angin
yang terus berpusing dan berjalan
dari kata ke kata hingga tiba
Kalimat Sempurna memanggilku pulang

Subang, Juni 2013

Tuesday, August 20, 2013

Sunday, May 12, 2013

Classification Of Friends


Since we were a child, the surroundings demanded us to recognize and appreciate friends, moreover a new friend. There are three different kinds of friends in this life. We can classify them according to how well we know them and how well they know us.
We encounter each of them everyday, whether in school, home, or at the gym. However, we rarely spend much time actually thinking about and classifying these people. First, there are THE GENERAL ACQUAINTANCES. Second, there are THE SOCIAL PARTNERS. Lastly, we have The Best Friends—our true friends.
The first type of friend is SIMPLY an ACQUAINTANCE. This means that you basically only KNOW their NAME. You might NOT even REMEMBER what they look like if you go away for a holiday. Usually, you meet these types of friends in school, on the public transportation, in the gym, or anywhere else you might be. You normally would not mind having a chat with them, but if anything else came up, you usually would have NO PROBLEM PARTING COMPANY. You normally DON’T MISS them when they are elsewhere.
The second category is THE SOCIAL PARTNERS. This is because they are closer than acquaintances, but not as close as a true friend. Social partners are usually acquaintances who EVOLVE into "GUEST FRIENDS" through increased extracurricular activities. You know their name, a little of what they like or dislike, a little of their family history, and usually have SEVERAL THINGS IN COMMON. So too the social partners have to have several things in common with you.
The "guest friends" usually don’t CONVERSE about anything SUBSTANTIAL or deep, such as their innermost desires and fears. Usually, "guest friends" keeps the topic of CONVERSATION HAPPY and LIGHT. They would NOT OPEN UP to you how they are really feeling. They are still preoccupied with "SAVING FACE." You still do ENJOY hanging out with them. But when the GOING GETS TOUGH, they are not there for you.
The last type of friend is THE BEST FRIEND. Normally, you know them the LONGEST. You probably grew up together as children. He or she KNOWS EVERYTHING about you. Likewise, you know everything about him or her. They are basically FAMILY-LIKE. You know each others attitude and habits and can ALWAYS TELL when there is something wrong. You would NOT HESITATE to SHARE your deepest feelings or thoughts with them.
A TRUE FRIEND has no problem correcting you when you are wrong. Likewise, a true friend WILL LOVE you like a member of his own family. He or she will always be there for you. They are NOT PERFECT, but at least they WILL ALWAYS LOOK OUT for you and never do anything intentionally to “hurt” you.
On a final note, we should always remember to keep in mind what kind of a friend we are to other people. We are all SURROUNDED BY ACQUAINTANCE, guest, and best friends. We should always strive to be the best friends, which we can be.
Also, as the saying goes, "YOU CAN’T USE YOUR FRIENDS AND HAVE THEM TOO." We should APPRECIATE and VALUE all FRIENDSHIPS that come into our lives, no matter how deep or superficial. We should always remember that all BEST FRIENDS STARTED OUT as just ACQUAINTANCES. (Fim Anugrah/”Saswaloka”)

Sastra Kekanak-Kanakan

Tidak bisa dimungkiri jika sastra, dengan seabreg embel-embel yang tertera di belakangnya, selalu menyimpan kekuatan politis. Kekuatan itu tentu saja tidak diutarakan secara eksplisit lewat kalimat yang bernas. Kita tahu bagaimana kajaiban kata-kata bisa tampak seperti bunga sekalipun yang dimaksudkan adalah belati. Cukup melalui alur atau plot saja di mana cerita itu dituliskan. Kekuatan politis itu setidaknya tampak dari konsekuensi logis ketika karya sastra itu sudah memiliki dampak dalam kehidupan sosial.
Kita mungkin masih ingat bagaimana Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata sekonyong-konyong membuat dunia pendidikan kita berubah. Dari mulai televisi, radio bahkan koran serta merta meliput gedung-gedung sekolah yang bisa dibilang jauh dari kata layak. Sekolah Reyot, Sekolah Hampir Rubuh, Sekolah Kandang Kambing, dan banyak lagi sekolah lainnya. Lewat novelnya, Andrea tidak berkata dengan langsung jika jauh di sudut-sudut negeri ini, betapa banyak bangunan yang tidak pantas untuk digunakan sebagai tempat belajar. Dengan kata lain, pemerintah ternyata masih juga belum memikirkan pendidikan warga negaranya.
Permasalahannya adalah, hanya karena kenyataan akan pengalaman ini dituliskan lewat sebuah novel yang kebetulan best seller, maka Laskar Pelangi tiba-tiba mampu mengubah wajah pendidikan bangsa ini(?) Dalam kasus demikian, cerita ternyata tidak hanya sebatas cerita (l’art pour l’art); akan tetapi, cerita sudah berubah menjadi–meminjam kata-kata Penyair Widji Thukul—peluru. Namun demikian, benarkah kita tahu wajah pendidikan kita yang sebenarnya hanya karena membacanya dari sebuah novel? Seandainya kita tahu, betapa banyak realita yang lebih parah ketimbang yang diceritakan Laskar Pelangi.
Bagaimanapun, ketika kita berbicara pendidikan bangsa, maka kata yang sejatinya harus ada di belakangnya adalah Indonesia. Bukan hanya Jakarta, Bandung, apalagi Belitung! Setidaknya kita bisa berterima kasih pada Laskar Pelangi yang sudah menimbulkan pengaruh masif terhadap pendidikan di negeri ini. Entah, fenomena apakah kita harus menyebutnya.
Terkait pengaruh ini, lewat “pembacaan” yang sudah kita lakukan, semestinya pikiran kita sudah harus bersih dari warisan nenek moyang. Leluhur kita yang senang sekali membuat kasta dalam kehidupan sosialnya, termasuk dalam hal hasil budaya. Sebut saja Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, Sepatu Dahlan-nya Krishna Pabichara, bahkan jauh sebelum itu ada Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari. Tak lupa, puisi Karangan Bunga-nya Taufik Ismail. Sekalipun tokoh yang berbicara di sana adalah anak-anak, tidak berarti karya-karya itu bisa disebut Sastra Anak.
Adalah anomali seandainya sebuah cerita bertokohkan seorang anak maka tanpa tedeng aling-aling kita menyebutnya Sastra Anak. Kenyataannya, toh apresiatornya bukanlah anak-anak, dan memang target pembacanya pun bukan anak-anak. Berbeda halnya dengan Korrie Layun Rampan yang sempat membuat antologi puisi untuk anak-anak. Untuk kasus seperti ini, tak salah jika puisinya pun disebut Puisi Anak di bawah naungan Sastra Anak.
Memang samar-samar garis batas antara sastra anak-anak dan sastra orang dewasa. Tidak mudah untuk berkata bahwa buku anak-anak bisa disebut sebagai sastra anak, pun dengan buku-buku orang dewasa. Tetapi, ada kalanya buku anak-anak menarik perhatian orang dewasa begitu juga sebaliknya. Sindrom nostalgia, begitu istilahnya. Untuk masalah ini, Tarigan (1995) mengungkapkan jika buku anak-anak biasanya mencerminkan masalah masa kini. Masalah di rumah, di sekolah, di permainan. Masa lalu hanya terbatas pada kemarin karena nostalgianya belum banyak.
Selain itu, lanjutnya, warna pengalaman dan pemahaman akan isi ceritanya pun masih sangat terbatas. Hal demikian bisa dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra yang dimaksudkan semata untuk bisa: memberi kesenangan dan hiburan; memupuk dan mengembangkan imajinasi; memberi pengalaman baru; mengembangkan wawasan menjadi perilaku insani; memperkenalkan kesemestaan pengalaman, dan; memberi harta warisan sastra dan generasi terdahulu, pada anak-anak. Fabel, legenda, mitos, puisi rakyat, dan dongeng, adalah beberapa genre yang termasuk dalam Sastra Anak.
Nilai-nilai tersebut jelas tidak bisa disamakan dengan nilai-nilai karya sastra sebagaimana disebutkan di atas. Sekalipun tokoh dalam semua karya itu adalah anak, tetap saja penuturnya (penulis) adalah orang dewasa. Kita tahu itu bahkan sebelum membaca ceritanya. Ada pun kemungkinan mengapa para penulis itu menjadikan anak sebagai tokoh adalah, karena anak-anak itu bersih, suci, belum punya banyak dosa seperti orang dewasa. Anak-anak juga polos, selalu meminta belas pada orang dewasa agar kata-katanya didengar. Di dunia ini, adakah orang dewasa yang tidak peduli pada anak-anak?
Dengan demikian, tokoh cerita itu bukanlah anak-anak yang sebenarnya. Tokoh cerita itu (baca: penulisnya) hanya tengah bersikap kekanak-kanakan. Sejujurnya, selain simpati yang didapat dari pembacanya, penulis pun tidak harus repot-repot membuat excuse baik untuk dirinya maupun ceritanya. Walau, untuk mereka yang benar-benar memikirkan karakter yang diperankan si tokoh cerita, mestinya bisa pandai membuat garis di dahi sambil berkata: Mungkinkah seorang anak punya begitu hebat pengertian, pemahaman, dan pengetahuan yang seusia mereka masih jauh panggang dari api? Secepat kita bertanya, secepat itu pula kita menjawab: “Ah, namanya juga anak-anak!”
Kehati-hatian barangkali yang kita butuhkan untuk masalah ini. Tidak sedikit orang yang terperangkap dengan dikotomi sastra anak dan sastra kekanak-kanakan. Mereka yang baru tahu mungkin bisa lebih waspada untuk menisbatkan sesuatu; yang terlanjur mudah-mudahan bertobat. Karena, bukan tidak mungkin, ketika kita tahu dunia sudah parah, untuk masalah ini perilaku kita malah jadi salah kaprah. [Fim Anugrah/”Saswaloka”]
 
Picture: Life by mytineke

Tulisan Eksentrik

Ayas tangas nikay ikaj adna kidat isab acabmem tamilak ini, ilaucek atak id nepad amok idat. Dengan usaha yang keras anda akan mencari tahu apa isi dari kalimat pertama itu. Anda akan mencari kamus atau membuka Mbah Google untuk mencari tahu barangkali ada bahasa yang merepresentasikan kalimat tersebut. Walau sebenarnya Anda tidak harus repot-repot karena kalimat itu sesungguhnya terdiri dari kata-kata bahasa Indonesia yang ditulis secara kilabter (terbalik) sesuai urutan hurufnya. Kalau pun harus ditranslasikan, maka kalimat itu berbunyi: Saya sangat yakin jika anda tidak bisa membaca kalimat ini, kecuali kata di depan koma tadi. Tapi dengan demikian, hal ini malah jadi bertentangan karena sudah jelas Anda sekarang bisa membaca kalimat tersebut. Jika sudah seperti itu maka kata-kata itu tidak lagi benar karena sudah bertentangan dengan realita yang sesungguhnya.
Tetapi tulisan ini tidak akan membahas soal benar tidaknya sebuah pernyataan dengan realitasnya. Saya pikir itu adalah pekerjaan para ahli-ahli bahasa dan ahli-ahli lain yang berhubungan dengan bahasa. Di sini saya hanya ingin mengetengahkan tentang bahasa tulisan yang eksentrik, yang keluar dari pakem dan dari segala aturan bahasa yang digembar-gemborkan merupakan ejaan yang baik dan benar juga disempurnakan. Walau, saya juga yakin jika kita masih belum menyelesaikan PR tentang seperti apakah yang baik dan benar itu. Mengapa? Karena bahasa adalah makhluk. Selama makhluk itu tumbuh, selama itu pula bahasa akan terus berkembang sehingga tak ayal kita kalah dan gagal untuk bisa mengerti Si Bahasa dan segala perilakunya itu.
Okay! Sekarang, apa yang kita tahu tentang bahasa tulis? Apakah bahasa tulis hanya terdapat pada sebatas buku-buku, koran, pamlfet, dan brosur saja? Jika ingin tahu bagaimana bahasa tulis, cobalah lihat anak-anak yang sedang belajar bahasa di SD atau mungkin SMP. Lihat bagaimana mereka menulis di buku catatannya. Setidaknya ini adalah kasus yang saya temui di banyak buku catatan anak-anak. Janganlah menyebut jika bahasa Indonesia sudah benar-benar dikuasai oleh anak-anak pembelajar ini. Di kota-kota besar yang pendidikannya maju, mungkin Anda tidak akan melihat kasus seperti ini. Berbeda dengan di kota-kota atau desa-desa kecil yang kualitas pendidikannya masih rendah. Masih belum mempertimbangkan pentingnya pendidikan.  
Suatu hari saya melihat beberapa anak menulis kata “senal”, “senok”, “popo” dan banyak lagi. Setelah dilselidiki ternyata kata itu sebenarnya adalah “sandal” (sandal), “sendok” dan “bobo”. Mengapa mereka itu menulis kata-kata itu dengan cara demikian? Setelah diselidiki, ternyata pengaruh bahasa lisan begitu kuat dalam bahasa tulisan anak-anak. Mereka menuliskan kata-kata sesuai dengan apa yang mereka dengar dan bukan dengan apa yang mereka tahu. Di lingkungan rumahnya, anak-anak ini memang mengucapkan kata “sandal” dengan kata “senal”, pun dengan kata-kata lainnya.
Secara pengetahuan, mereka tahu dan kenal abjad ABC sampai Z. Tetapi hal itu tidak berlaku jika dihubungkan dengan kehidupan sosialnya. Kenyataannya, masyarakat di lingkungan di mana anak berada memang sudah terbiasa mengucapkan sebuah kata dengan kata yang sudah menjadi konvensi bersama. Entah apa yang salah. Tapi saya pikir memang tidak ada yang salah. Haruskah kita menyalahkan si anak hanya karena dia salah menulis sebuah kata sedang faktanya bahwa bahasa yang digunakan oleh anak memang dibentuk oleh masyarakat di sekitarnya. Dalam kasus seperti ini, pengetahuan apa pun tentang bahasa dan segala tetek bengeknya tidak berlaku jika dihadapkan pada kenyataan seperti ini. Dengan kata lain, bahasa memang tidak dan bukan diciptakan oleh para pakar bahasa. Pada umumnya masyarakat memang tidak tahu dan tidak juga mau tahu tentang hal-hal remeh temeh seperti itu. Bagi mereka yang penting mereka masih bisa membajak sawah, berkebun dan bisa makan dari apa yang ditanamnya.
Jauh panggang dari api. Jauh pendidikan dari kehidupan. Orang-orang pintar berpikir jika bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan dan orang Indonesia sudah tentu harus bisa berbahasa ini. Sayangnya, tidak semua daerah sudah benar-benar menguasai bahasa Indonesia. Apa yang kita tonton, kita dengar, kita baca di banyak media hanya sepersekian persen yang merepresentasikan bahasa Indonesia yang sesungguhnya, yang katanya baik dan benar itu. Tapi kita tahu jika Indonesia itu luas. Indonesia tidak hanya Bali, Jakarta, Bandung atau Yogyakarta. Banyak daerah-daerah lain yang justru luput dari perhatian bahasa Indonesia (baca: pemerintah dan media). Di daerah-daerah ini, orang-orang masih “bangga” dengan bahasa daerahnya, termasuk anak-anak yang sedang menuntut ilmu. Mereka tumbuh dengan bahasa daerah yang kental dalam penggunaannya sehari-hari di rumah, di sawah juga di sekolah. Pelajaran bahasa Indonesia pun tak lantas bisa mencairkan ketaklidan mereka dalam berbahasa. Percis kasus yang saya sebutkan di atas.
Tapi, benarkah kita sudah berbahasa dan sudah pula menguasai bahasa Indonesia sepenuhnya? Jika jawabannya adalah “ya”, lalu mengapa pula kita masih mempelajarinya bahkan di tingkat Perguruan Tinggi? Iklan rokok pun berkata: “Tanya kenapa?”
Dari pada bingung mencari solusinya, saya pun terus mengajari anak-anak berbahasa Indonesia yang baik dan benar sebelum mereka belajar bahasa asing sekalipun saya memang mengajar bahasa Inggris. Pikir saja, bagaimana mungkin anak-anak bisa berbahasa asing sedang berbahasa Indonesia saja mereka masih mengeja kata? Saya hanya berusaha mencoba agar anak-anak bisa bertahan hidup dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar itu dalam mengarungi hari-harinya. Sejenak terhibur ketika melihat tulisan anak-anak yang lucu dan lugu itu. Seorang anak menulis: I laik English lenguij because it fun. I can sing and playing game. Wan day, I hop I can speak with English lenguij. Hehe. [Fim Anugrah/”Saswaloka”]