Tidak bisa
dimungkiri jika sastra, dengan seabreg embel-embel yang tertera di belakangnya,
selalu menyimpan kekuatan politis. Kekuatan itu tentu saja tidak diutarakan
secara eksplisit lewat kalimat yang bernas. Kita tahu bagaimana kajaiban
kata-kata bisa tampak seperti bunga sekalipun yang dimaksudkan adalah belati.
Cukup melalui alur atau plot saja di mana cerita itu dituliskan. Kekuatan
politis itu setidaknya tampak dari konsekuensi logis ketika karya sastra itu
sudah memiliki dampak dalam kehidupan sosial.
Kita mungkin masih ingat bagaimana Laskar Pelangi-nya Andrea
Hirata sekonyong-konyong membuat dunia pendidikan kita berubah. Dari mulai
televisi, radio bahkan koran serta merta meliput gedung-gedung sekolah yang
bisa dibilang jauh dari kata layak. Sekolah Reyot, Sekolah Hampir Rubuh, Sekolah
Kandang Kambing, dan banyak lagi sekolah lainnya. Lewat novelnya, Andrea tidak
berkata dengan langsung jika jauh di sudut-sudut negeri ini, betapa banyak bangunan
yang tidak pantas untuk digunakan sebagai tempat belajar. Dengan kata lain,
pemerintah ternyata masih juga belum memikirkan pendidikan warga negaranya.
Permasalahannya adalah, hanya karena kenyataan akan pengalaman ini
dituliskan lewat sebuah novel yang kebetulan best seller, maka Laskar
Pelangi tiba-tiba mampu mengubah wajah pendidikan bangsa ini(?) Dalam kasus demikian,
cerita ternyata tidak hanya sebatas cerita (l’art pour l’art); akan
tetapi, cerita sudah berubah menjadi–meminjam kata-kata Penyair Widji
Thukul—peluru. Namun demikian, benarkah kita tahu wajah pendidikan kita yang
sebenarnya hanya karena membacanya dari sebuah novel? Seandainya kita tahu,
betapa banyak realita yang lebih parah ketimbang yang diceritakan Laskar
Pelangi.
Bagaimanapun, ketika kita berbicara pendidikan bangsa, maka kata yang
sejatinya harus ada di belakangnya adalah Indonesia. Bukan hanya Jakarta,
Bandung, apalagi Belitung! Setidaknya kita bisa berterima kasih pada Laskar
Pelangi yang sudah menimbulkan pengaruh masif terhadap pendidikan di negeri
ini. Entah, fenomena apakah kita harus menyebutnya.
Terkait pengaruh ini, lewat “pembacaan” yang sudah kita lakukan,
semestinya pikiran kita sudah harus bersih dari warisan nenek moyang. Leluhur
kita yang senang sekali membuat kasta dalam kehidupan sosialnya, termasuk dalam
hal hasil budaya. Sebut saja Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, Sepatu
Dahlan-nya Krishna Pabichara, bahkan jauh sebelum itu ada Ronggeng
Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari. Tak lupa, puisi Karangan Bunga-nya
Taufik Ismail. Sekalipun tokoh yang berbicara di sana adalah anak-anak, tidak
berarti karya-karya itu bisa disebut Sastra Anak.
Adalah anomali seandainya sebuah cerita bertokohkan seorang anak maka
tanpa tedeng aling-aling kita menyebutnya Sastra Anak. Kenyataannya, toh
apresiatornya bukanlah anak-anak, dan memang target pembacanya pun bukan
anak-anak. Berbeda halnya dengan Korrie Layun Rampan yang sempat membuat
antologi puisi untuk anak-anak. Untuk kasus seperti ini, tak salah jika
puisinya pun disebut Puisi Anak di bawah naungan Sastra Anak.
Memang samar-samar garis batas antara sastra anak-anak dan sastra orang
dewasa. Tidak mudah untuk berkata bahwa buku anak-anak bisa disebut sebagai
sastra anak, pun dengan buku-buku orang dewasa. Tetapi, ada kalanya buku
anak-anak menarik perhatian orang dewasa begitu juga sebaliknya. Sindrom
nostalgia, begitu istilahnya. Untuk masalah ini, Tarigan (1995) mengungkapkan
jika buku anak-anak biasanya mencerminkan masalah masa kini. Masalah di
rumah, di sekolah, di permainan. Masa lalu hanya terbatas pada kemarin karena
nostalgianya belum banyak.
Selain itu, lanjutnya, warna pengalaman dan pemahaman akan isi ceritanya
pun masih sangat terbatas. Hal demikian bisa dilihat dari nilai-nilai yang
terkandung dalam karya sastra yang dimaksudkan semata untuk bisa: memberi
kesenangan dan hiburan; memupuk dan mengembangkan imajinasi; memberi pengalaman
baru; mengembangkan wawasan menjadi perilaku insani; memperkenalkan kesemestaan
pengalaman, dan; memberi harta warisan sastra dan generasi terdahulu, pada
anak-anak. Fabel, legenda, mitos, puisi rakyat, dan dongeng, adalah beberapa
genre yang termasuk dalam Sastra Anak.
Nilai-nilai tersebut jelas tidak bisa disamakan dengan nilai-nilai karya
sastra sebagaimana disebutkan di atas. Sekalipun tokoh dalam semua karya itu
adalah anak, tetap saja penuturnya (penulis) adalah orang dewasa. Kita tahu itu
bahkan sebelum membaca ceritanya. Ada pun kemungkinan mengapa para penulis itu
menjadikan anak sebagai tokoh adalah, karena anak-anak itu bersih, suci, belum
punya banyak dosa seperti orang dewasa. Anak-anak juga polos, selalu meminta
belas pada orang dewasa agar kata-katanya didengar. Di dunia ini, adakah orang
dewasa yang tidak peduli pada anak-anak?
Dengan demikian, tokoh cerita itu bukanlah anak-anak yang sebenarnya.
Tokoh cerita itu (baca: penulisnya) hanya tengah bersikap kekanak-kanakan. Sejujurnya,
selain simpati yang didapat dari pembacanya, penulis pun tidak harus
repot-repot membuat excuse baik untuk dirinya maupun ceritanya. Walau,
untuk mereka yang benar-benar memikirkan karakter yang diperankan si tokoh
cerita, mestinya bisa pandai membuat garis di dahi sambil berkata: Mungkinkah
seorang anak punya begitu hebat pengertian, pemahaman, dan pengetahuan yang
seusia mereka masih jauh panggang dari api? Secepat kita bertanya, secepat itu
pula kita menjawab: “Ah, namanya juga anak-anak!”
Kehati-hatian barangkali yang kita butuhkan untuk
masalah ini. Tidak sedikit orang yang terperangkap dengan dikotomi sastra anak
dan sastra kekanak-kanakan. Mereka yang baru tahu mungkin bisa lebih waspada
untuk menisbatkan sesuatu; yang terlanjur mudah-mudahan bertobat. Karena, bukan
tidak mungkin, ketika kita tahu dunia sudah parah, untuk masalah ini perilaku
kita malah jadi salah kaprah. [Fim Anugrah/”Saswaloka”]
Picture: Life by mytineke
No comments:
Post a Comment