Sunday, May 12, 2013

Sastra Kekanak-Kanakan

Tidak bisa dimungkiri jika sastra, dengan seabreg embel-embel yang tertera di belakangnya, selalu menyimpan kekuatan politis. Kekuatan itu tentu saja tidak diutarakan secara eksplisit lewat kalimat yang bernas. Kita tahu bagaimana kajaiban kata-kata bisa tampak seperti bunga sekalipun yang dimaksudkan adalah belati. Cukup melalui alur atau plot saja di mana cerita itu dituliskan. Kekuatan politis itu setidaknya tampak dari konsekuensi logis ketika karya sastra itu sudah memiliki dampak dalam kehidupan sosial.
Kita mungkin masih ingat bagaimana Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata sekonyong-konyong membuat dunia pendidikan kita berubah. Dari mulai televisi, radio bahkan koran serta merta meliput gedung-gedung sekolah yang bisa dibilang jauh dari kata layak. Sekolah Reyot, Sekolah Hampir Rubuh, Sekolah Kandang Kambing, dan banyak lagi sekolah lainnya. Lewat novelnya, Andrea tidak berkata dengan langsung jika jauh di sudut-sudut negeri ini, betapa banyak bangunan yang tidak pantas untuk digunakan sebagai tempat belajar. Dengan kata lain, pemerintah ternyata masih juga belum memikirkan pendidikan warga negaranya.
Permasalahannya adalah, hanya karena kenyataan akan pengalaman ini dituliskan lewat sebuah novel yang kebetulan best seller, maka Laskar Pelangi tiba-tiba mampu mengubah wajah pendidikan bangsa ini(?) Dalam kasus demikian, cerita ternyata tidak hanya sebatas cerita (l’art pour l’art); akan tetapi, cerita sudah berubah menjadi–meminjam kata-kata Penyair Widji Thukul—peluru. Namun demikian, benarkah kita tahu wajah pendidikan kita yang sebenarnya hanya karena membacanya dari sebuah novel? Seandainya kita tahu, betapa banyak realita yang lebih parah ketimbang yang diceritakan Laskar Pelangi.
Bagaimanapun, ketika kita berbicara pendidikan bangsa, maka kata yang sejatinya harus ada di belakangnya adalah Indonesia. Bukan hanya Jakarta, Bandung, apalagi Belitung! Setidaknya kita bisa berterima kasih pada Laskar Pelangi yang sudah menimbulkan pengaruh masif terhadap pendidikan di negeri ini. Entah, fenomena apakah kita harus menyebutnya.
Terkait pengaruh ini, lewat “pembacaan” yang sudah kita lakukan, semestinya pikiran kita sudah harus bersih dari warisan nenek moyang. Leluhur kita yang senang sekali membuat kasta dalam kehidupan sosialnya, termasuk dalam hal hasil budaya. Sebut saja Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, Sepatu Dahlan-nya Krishna Pabichara, bahkan jauh sebelum itu ada Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari. Tak lupa, puisi Karangan Bunga-nya Taufik Ismail. Sekalipun tokoh yang berbicara di sana adalah anak-anak, tidak berarti karya-karya itu bisa disebut Sastra Anak.
Adalah anomali seandainya sebuah cerita bertokohkan seorang anak maka tanpa tedeng aling-aling kita menyebutnya Sastra Anak. Kenyataannya, toh apresiatornya bukanlah anak-anak, dan memang target pembacanya pun bukan anak-anak. Berbeda halnya dengan Korrie Layun Rampan yang sempat membuat antologi puisi untuk anak-anak. Untuk kasus seperti ini, tak salah jika puisinya pun disebut Puisi Anak di bawah naungan Sastra Anak.
Memang samar-samar garis batas antara sastra anak-anak dan sastra orang dewasa. Tidak mudah untuk berkata bahwa buku anak-anak bisa disebut sebagai sastra anak, pun dengan buku-buku orang dewasa. Tetapi, ada kalanya buku anak-anak menarik perhatian orang dewasa begitu juga sebaliknya. Sindrom nostalgia, begitu istilahnya. Untuk masalah ini, Tarigan (1995) mengungkapkan jika buku anak-anak biasanya mencerminkan masalah masa kini. Masalah di rumah, di sekolah, di permainan. Masa lalu hanya terbatas pada kemarin karena nostalgianya belum banyak.
Selain itu, lanjutnya, warna pengalaman dan pemahaman akan isi ceritanya pun masih sangat terbatas. Hal demikian bisa dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra yang dimaksudkan semata untuk bisa: memberi kesenangan dan hiburan; memupuk dan mengembangkan imajinasi; memberi pengalaman baru; mengembangkan wawasan menjadi perilaku insani; memperkenalkan kesemestaan pengalaman, dan; memberi harta warisan sastra dan generasi terdahulu, pada anak-anak. Fabel, legenda, mitos, puisi rakyat, dan dongeng, adalah beberapa genre yang termasuk dalam Sastra Anak.
Nilai-nilai tersebut jelas tidak bisa disamakan dengan nilai-nilai karya sastra sebagaimana disebutkan di atas. Sekalipun tokoh dalam semua karya itu adalah anak, tetap saja penuturnya (penulis) adalah orang dewasa. Kita tahu itu bahkan sebelum membaca ceritanya. Ada pun kemungkinan mengapa para penulis itu menjadikan anak sebagai tokoh adalah, karena anak-anak itu bersih, suci, belum punya banyak dosa seperti orang dewasa. Anak-anak juga polos, selalu meminta belas pada orang dewasa agar kata-katanya didengar. Di dunia ini, adakah orang dewasa yang tidak peduli pada anak-anak?
Dengan demikian, tokoh cerita itu bukanlah anak-anak yang sebenarnya. Tokoh cerita itu (baca: penulisnya) hanya tengah bersikap kekanak-kanakan. Sejujurnya, selain simpati yang didapat dari pembacanya, penulis pun tidak harus repot-repot membuat excuse baik untuk dirinya maupun ceritanya. Walau, untuk mereka yang benar-benar memikirkan karakter yang diperankan si tokoh cerita, mestinya bisa pandai membuat garis di dahi sambil berkata: Mungkinkah seorang anak punya begitu hebat pengertian, pemahaman, dan pengetahuan yang seusia mereka masih jauh panggang dari api? Secepat kita bertanya, secepat itu pula kita menjawab: “Ah, namanya juga anak-anak!”
Kehati-hatian barangkali yang kita butuhkan untuk masalah ini. Tidak sedikit orang yang terperangkap dengan dikotomi sastra anak dan sastra kekanak-kanakan. Mereka yang baru tahu mungkin bisa lebih waspada untuk menisbatkan sesuatu; yang terlanjur mudah-mudahan bertobat. Karena, bukan tidak mungkin, ketika kita tahu dunia sudah parah, untuk masalah ini perilaku kita malah jadi salah kaprah. [Fim Anugrah/”Saswaloka”]
 
Picture: Life by mytineke

No comments:

Post a Comment