Wednesday, April 21, 2021

Model Aksara Buda (Bagian 1)

Oleh Firman Nugraha*

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian pengantar, aksara Buda juga memiliki beberapa jenis atau model, sama halnya dengan aksara lain yang ada di Nusantara, khususnya pulau Jawa.

        Model pertama adalah sebagaimana yang tampak pada naskah Kunjarakarna (LOr 2266), Arjunawiwaha (L 641), Sanghyang Siksakandang Karesian (L 630), Sanghyang Hayu yang mencakup Serat Catur Bumi (L 634), Serat Buana Pitu (L 636), Serat Sewaka Darma (L 637)dan Serat Dewa Buda (L 638), lalu Sanghyang Raga Dewata, Bima Swarga (L 623), Tatwa Ajnyana (L 1099), dan Dharma Patanjala.

L630 Lempir 33

Friday, April 9, 2021

Aksara Buda: Sebuah Pengantar

Dalam khazanah pernaskahan kuno khususnya yang ada di pulau Jawa, setidaknya dikenal beberapa macam aksara yang digunakan sebagai sebuah sistem tulisan. Beberapa di antaranya adalah aksara Sunda Kuno, Jawa (Carakan), Cacarakan (Jawa-Sunda), Jawi, Arab Pegon, dan Buda. Tidak seperti aksara lainnya, aksara Buda bisa dibilang tidak terlalu populer. Ketidakpolueran itu, nahasnya, tampak pula dari sudut pandang pernaskahan Jawa klasik (Jawa Tengah & Jawa Timur), Sunda Klasik[1] dan Bali. Di antara jenis aksara yang subur di ketiga kubu itu, aksara Buda dalam kacamata Willem van der Molen (2001) tampil sebagai aksara yang terabaikan dari sebuah koleksi naskah yang nasibnya tidak jauh beda.

History of Java (1830)
Aksara Buda sebagai sebuah istilah, pertama kali disebutkan oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817: 403). Merujuk pada jenis aksara yang ditampilkan, dia mendeskripsikan jika Tabel Nomor 2 mengandung huruf persegi/kuadrat di mana (aksara) Kawi biasanya ditulis dan ditemukan terpahat pada batu dan perunggu dalam inskripsi-inskripsi yang berbeda dengan bahasanya itu. Sedang Nomor 3 disebutnya sebagai contoh variasi aksara dalam kurun waktu yang berbeda, sebagaimana diasumsikan dan disusun berdasarkan penilaian penulis pribumi, menurut hubungannya yang kuno.

Tuesday, April 6, 2021

Kembalinya Si Anak Hilang

Tiga tahun sudah blog ini saya tinggalkan. Setelah menikah, banyak hal memang yang menjadi distraksi untuk mengurus hal-hal pribadi, termasuk nge-blog. Walau begitu, sampai detik ini saya masih penasaran, terlepas dari begitu banyak komentar yang masuk dan harus dimoderasi, saya masih mempertanyakan, masih adakah orang yang nge-blog? 

Blog ini  secara serius saya persiapkan dan saya isi dengan tulisan-tulisan yang tak kurang seriusnya. Akan tetapi, tampaknya tidak ada orang yang membacanya, kecuali orang-orang Barat yang dengan seenak udelnya memberi komentar di bawah postingan sementara postingannya itu sendiri berbahasa Indonesia. Atau apakah mungkin mereka menggunakan fitur google translate? Saya tidak tahu. 

Yang saya tahu, sampai detik ini blog ini sepi pengunjung, apa lagi dari tanah air sendiri, dan juga sepi komentar. Walau begitu, ada juga yang mengutip isi dari blog Saswaloka ini. Sebagian yang mencantumkan sumbernya, saya ucapkan terima kasih banyak. Sebagian lagi yang dengan sembarangan mencatut tanpa mencantumkan sumbernya, sepertinya harus berlajar lagi bagaimana cara mengapresiasi (menghargai karya milik orang lain) itu. Biar tidak dikata tidak berliterasi. Sudah susah berliterasi, miskin apresiasi juga. Haduh haduh!

Tapi, ya sudahlah. Lagi pula bukan urusan saya untuk lagi-lagi mengomentari hal-hal yang susah untuk dikomentari. Susah bicara sama orang yang gak ngerti mah. Urusan saya cuma satu, yaitu menulis. Bukan untuk hal atau tujuan lain, tapi untuk menulis itu sendiri. Demikian. [FA]