Ayas tangas nikay ikaj adna kidat isab acabmem tamilak
ini, ilaucek atak id nepad amok idat. Dengan usaha yang keras anda akan mencari
tahu apa isi dari kalimat pertama itu. Anda akan mencari kamus atau membuka Mbah
Google untuk mencari tahu barangkali ada bahasa yang merepresentasikan kalimat
tersebut. Walau sebenarnya Anda tidak harus repot-repot karena kalimat itu
sesungguhnya terdiri dari kata-kata bahasa Indonesia yang ditulis secara kilabter
(terbalik) sesuai urutan hurufnya. Kalau pun harus ditranslasikan, maka kalimat
itu berbunyi: Saya sangat yakin jika anda tidak bisa membaca kalimat ini,
kecuali kata di depan koma tadi. Tapi dengan demikian, hal ini malah jadi
bertentangan karena sudah jelas Anda sekarang bisa membaca kalimat tersebut. Jika
sudah seperti itu maka kata-kata itu tidak lagi benar karena sudah bertentangan
dengan realita yang sesungguhnya.
Tetapi tulisan
ini tidak akan membahas soal benar tidaknya sebuah pernyataan dengan
realitasnya. Saya pikir itu adalah pekerjaan para ahli-ahli bahasa dan
ahli-ahli lain yang berhubungan dengan bahasa. Di sini saya hanya ingin
mengetengahkan tentang bahasa tulisan yang eksentrik, yang keluar dari pakem
dan dari segala aturan bahasa yang digembar-gemborkan merupakan ejaan yang baik
dan benar juga disempurnakan. Walau, saya juga yakin jika kita masih belum
menyelesaikan PR tentang seperti apakah yang baik dan benar itu. Mengapa?
Karena bahasa adalah makhluk. Selama makhluk itu tumbuh, selama itu pula bahasa
akan terus berkembang sehingga tak ayal kita kalah dan gagal untuk bisa
mengerti Si Bahasa dan segala perilakunya itu.
Okay! Sekarang,
apa yang kita tahu tentang bahasa tulis? Apakah bahasa tulis hanya terdapat
pada sebatas buku-buku, koran, pamlfet, dan brosur saja? Jika ingin tahu
bagaimana bahasa tulis, cobalah lihat anak-anak yang sedang belajar bahasa di
SD atau mungkin SMP. Lihat bagaimana mereka menulis di buku catatannya.
Setidaknya ini adalah kasus yang saya temui di banyak buku catatan anak-anak.
Janganlah menyebut jika bahasa Indonesia sudah benar-benar dikuasai oleh
anak-anak pembelajar ini. Di kota-kota besar yang pendidikannya maju, mungkin
Anda tidak akan melihat kasus seperti ini. Berbeda dengan di kota-kota atau
desa-desa kecil yang kualitas pendidikannya masih rendah. Masih belum
mempertimbangkan pentingnya pendidikan.
Suatu hari saya
melihat beberapa anak menulis kata “senal”, “senok”, “popo” dan banyak lagi.
Setelah dilselidiki ternyata kata itu sebenarnya adalah “sandal” (sandal), “sendok”
dan “bobo”. Mengapa mereka itu menulis kata-kata itu dengan cara demikian?
Setelah diselidiki, ternyata pengaruh bahasa lisan begitu kuat dalam bahasa
tulisan anak-anak. Mereka menuliskan kata-kata sesuai dengan apa yang mereka
dengar dan bukan dengan apa yang mereka tahu. Di lingkungan rumahnya,
anak-anak ini memang mengucapkan kata “sandal” dengan kata “senal”, pun dengan
kata-kata lainnya.
Secara pengetahuan,
mereka tahu dan kenal abjad ABC sampai Z. Tetapi hal itu tidak berlaku jika
dihubungkan dengan kehidupan sosialnya. Kenyataannya, masyarakat di lingkungan
di mana anak berada memang sudah terbiasa mengucapkan sebuah kata dengan kata
yang sudah menjadi konvensi bersama. Entah apa yang salah. Tapi saya pikir
memang tidak ada yang salah. Haruskah kita menyalahkan si anak hanya karena dia
salah menulis sebuah kata sedang faktanya bahwa bahasa yang digunakan oleh anak
memang dibentuk oleh masyarakat di sekitarnya. Dalam kasus seperti ini,
pengetahuan apa pun tentang bahasa dan segala tetek bengeknya tidak berlaku
jika dihadapkan pada kenyataan seperti ini. Dengan kata lain, bahasa memang
tidak dan bukan diciptakan oleh para pakar bahasa. Pada umumnya masyarakat memang
tidak tahu dan tidak juga mau tahu tentang hal-hal remeh temeh seperti itu. Bagi
mereka yang penting mereka masih bisa membajak sawah, berkebun dan bisa makan
dari apa yang ditanamnya.
Jauh panggang
dari api. Jauh pendidikan dari kehidupan. Orang-orang pintar berpikir jika
bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan dan orang Indonesia sudah tentu harus
bisa berbahasa ini. Sayangnya, tidak semua daerah sudah benar-benar menguasai
bahasa Indonesia. Apa yang kita tonton, kita dengar, kita baca di banyak media
hanya sepersekian persen yang merepresentasikan bahasa Indonesia yang
sesungguhnya, yang katanya baik dan benar itu. Tapi kita tahu jika Indonesia
itu luas. Indonesia tidak hanya Bali, Jakarta, Bandung atau Yogyakarta. Banyak daerah-daerah
lain yang justru luput dari perhatian bahasa Indonesia (baca: pemerintah dan
media). Di daerah-daerah ini, orang-orang masih “bangga” dengan bahasa
daerahnya, termasuk anak-anak yang sedang menuntut ilmu. Mereka tumbuh dengan
bahasa daerah yang kental dalam penggunaannya sehari-hari di rumah, di sawah
juga di sekolah. Pelajaran bahasa Indonesia pun tak lantas bisa mencairkan
ketaklidan mereka dalam berbahasa. Percis kasus yang saya sebutkan di atas.
Tapi, benarkah
kita sudah berbahasa dan sudah pula menguasai bahasa Indonesia sepenuhnya? Jika
jawabannya adalah “ya”, lalu mengapa pula kita masih mempelajarinya bahkan di
tingkat Perguruan Tinggi? Iklan rokok pun berkata: “Tanya kenapa?”
Dari pada bingung
mencari solusinya, saya pun terus mengajari anak-anak berbahasa Indonesia yang
baik dan benar sebelum mereka belajar bahasa asing sekalipun saya memang mengajar
bahasa Inggris. Pikir saja, bagaimana mungkin anak-anak bisa berbahasa asing
sedang berbahasa Indonesia saja mereka masih mengeja kata? Saya hanya berusaha
mencoba agar anak-anak bisa bertahan hidup dengan menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar itu dalam mengarungi hari-harinya. Sejenak terhibur ketika
melihat tulisan anak-anak yang lucu dan lugu itu. Seorang anak menulis: I laik
English lenguij because it fun. I can sing and playing game. Wan day, I hop I
can speak with English lenguij. Hehe. [Fim Anugrah/”Saswaloka”]
No comments:
Post a Comment