Sunday, May 12, 2013

Tulisan Eksentrik

Ayas tangas nikay ikaj adna kidat isab acabmem tamilak ini, ilaucek atak id nepad amok idat. Dengan usaha yang keras anda akan mencari tahu apa isi dari kalimat pertama itu. Anda akan mencari kamus atau membuka Mbah Google untuk mencari tahu barangkali ada bahasa yang merepresentasikan kalimat tersebut. Walau sebenarnya Anda tidak harus repot-repot karena kalimat itu sesungguhnya terdiri dari kata-kata bahasa Indonesia yang ditulis secara kilabter (terbalik) sesuai urutan hurufnya. Kalau pun harus ditranslasikan, maka kalimat itu berbunyi: Saya sangat yakin jika anda tidak bisa membaca kalimat ini, kecuali kata di depan koma tadi. Tapi dengan demikian, hal ini malah jadi bertentangan karena sudah jelas Anda sekarang bisa membaca kalimat tersebut. Jika sudah seperti itu maka kata-kata itu tidak lagi benar karena sudah bertentangan dengan realita yang sesungguhnya.
Tetapi tulisan ini tidak akan membahas soal benar tidaknya sebuah pernyataan dengan realitasnya. Saya pikir itu adalah pekerjaan para ahli-ahli bahasa dan ahli-ahli lain yang berhubungan dengan bahasa. Di sini saya hanya ingin mengetengahkan tentang bahasa tulisan yang eksentrik, yang keluar dari pakem dan dari segala aturan bahasa yang digembar-gemborkan merupakan ejaan yang baik dan benar juga disempurnakan. Walau, saya juga yakin jika kita masih belum menyelesaikan PR tentang seperti apakah yang baik dan benar itu. Mengapa? Karena bahasa adalah makhluk. Selama makhluk itu tumbuh, selama itu pula bahasa akan terus berkembang sehingga tak ayal kita kalah dan gagal untuk bisa mengerti Si Bahasa dan segala perilakunya itu.
Okay! Sekarang, apa yang kita tahu tentang bahasa tulis? Apakah bahasa tulis hanya terdapat pada sebatas buku-buku, koran, pamlfet, dan brosur saja? Jika ingin tahu bagaimana bahasa tulis, cobalah lihat anak-anak yang sedang belajar bahasa di SD atau mungkin SMP. Lihat bagaimana mereka menulis di buku catatannya. Setidaknya ini adalah kasus yang saya temui di banyak buku catatan anak-anak. Janganlah menyebut jika bahasa Indonesia sudah benar-benar dikuasai oleh anak-anak pembelajar ini. Di kota-kota besar yang pendidikannya maju, mungkin Anda tidak akan melihat kasus seperti ini. Berbeda dengan di kota-kota atau desa-desa kecil yang kualitas pendidikannya masih rendah. Masih belum mempertimbangkan pentingnya pendidikan.  
Suatu hari saya melihat beberapa anak menulis kata “senal”, “senok”, “popo” dan banyak lagi. Setelah dilselidiki ternyata kata itu sebenarnya adalah “sandal” (sandal), “sendok” dan “bobo”. Mengapa mereka itu menulis kata-kata itu dengan cara demikian? Setelah diselidiki, ternyata pengaruh bahasa lisan begitu kuat dalam bahasa tulisan anak-anak. Mereka menuliskan kata-kata sesuai dengan apa yang mereka dengar dan bukan dengan apa yang mereka tahu. Di lingkungan rumahnya, anak-anak ini memang mengucapkan kata “sandal” dengan kata “senal”, pun dengan kata-kata lainnya.
Secara pengetahuan, mereka tahu dan kenal abjad ABC sampai Z. Tetapi hal itu tidak berlaku jika dihubungkan dengan kehidupan sosialnya. Kenyataannya, masyarakat di lingkungan di mana anak berada memang sudah terbiasa mengucapkan sebuah kata dengan kata yang sudah menjadi konvensi bersama. Entah apa yang salah. Tapi saya pikir memang tidak ada yang salah. Haruskah kita menyalahkan si anak hanya karena dia salah menulis sebuah kata sedang faktanya bahwa bahasa yang digunakan oleh anak memang dibentuk oleh masyarakat di sekitarnya. Dalam kasus seperti ini, pengetahuan apa pun tentang bahasa dan segala tetek bengeknya tidak berlaku jika dihadapkan pada kenyataan seperti ini. Dengan kata lain, bahasa memang tidak dan bukan diciptakan oleh para pakar bahasa. Pada umumnya masyarakat memang tidak tahu dan tidak juga mau tahu tentang hal-hal remeh temeh seperti itu. Bagi mereka yang penting mereka masih bisa membajak sawah, berkebun dan bisa makan dari apa yang ditanamnya.
Jauh panggang dari api. Jauh pendidikan dari kehidupan. Orang-orang pintar berpikir jika bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan dan orang Indonesia sudah tentu harus bisa berbahasa ini. Sayangnya, tidak semua daerah sudah benar-benar menguasai bahasa Indonesia. Apa yang kita tonton, kita dengar, kita baca di banyak media hanya sepersekian persen yang merepresentasikan bahasa Indonesia yang sesungguhnya, yang katanya baik dan benar itu. Tapi kita tahu jika Indonesia itu luas. Indonesia tidak hanya Bali, Jakarta, Bandung atau Yogyakarta. Banyak daerah-daerah lain yang justru luput dari perhatian bahasa Indonesia (baca: pemerintah dan media). Di daerah-daerah ini, orang-orang masih “bangga” dengan bahasa daerahnya, termasuk anak-anak yang sedang menuntut ilmu. Mereka tumbuh dengan bahasa daerah yang kental dalam penggunaannya sehari-hari di rumah, di sawah juga di sekolah. Pelajaran bahasa Indonesia pun tak lantas bisa mencairkan ketaklidan mereka dalam berbahasa. Percis kasus yang saya sebutkan di atas.
Tapi, benarkah kita sudah berbahasa dan sudah pula menguasai bahasa Indonesia sepenuhnya? Jika jawabannya adalah “ya”, lalu mengapa pula kita masih mempelajarinya bahkan di tingkat Perguruan Tinggi? Iklan rokok pun berkata: “Tanya kenapa?”
Dari pada bingung mencari solusinya, saya pun terus mengajari anak-anak berbahasa Indonesia yang baik dan benar sebelum mereka belajar bahasa asing sekalipun saya memang mengajar bahasa Inggris. Pikir saja, bagaimana mungkin anak-anak bisa berbahasa asing sedang berbahasa Indonesia saja mereka masih mengeja kata? Saya hanya berusaha mencoba agar anak-anak bisa bertahan hidup dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar itu dalam mengarungi hari-harinya. Sejenak terhibur ketika melihat tulisan anak-anak yang lucu dan lugu itu. Seorang anak menulis: I laik English lenguij because it fun. I can sing and playing game. Wan day, I hop I can speak with English lenguij. Hehe. [Fim Anugrah/”Saswaloka”]



No comments:

Post a Comment