Lama tidak menulis puisi. Setelah
mencoba menulis, jadinya seperti ini:
Teringat Kakek
-D. Zawawi Imron
Setelah gagal menangkap suara air
Aku teringat seorang kakek yang senang
menanam puisi di puncak gunung dan
pucuk daun
Airmata dan ombak mencatat kisahnya
pada sebuah celurit yang kugunakan
untuk menyabit
Bukan rumput, tapi kepala orang-orang
buangan
yang hidup di penjuru hutan
berbajukan angin dan ketakutan
Entah sudah berapa lembah aku kunjungi
Tapi ceracau burung telah mengubur biji
mata mereka
Sembilan matahari pun bangkit
dari balik bukit
Memangsa kepala orang-orang yang tak
lagi bicara
pada tangan dan kakinya sendiri
Tepat ketika aku mendapati angin
menampar kembali
wajahku dengan cerita seorang perempuan
yang mengandung mendung
dari langit yang tak sudi menurunkan
hujan
Subang, 03 September 2013
Kalimat Sempurna
Adakah namamu tertulis
di kalimatku ketika kata-kata
dibawa angin sedang tak kutemukan
benih dari kasih yang kusemai
di kaki langit hatiku
Barangkali aku bukanlah pawang
yang pandai membaca tanda awan
di atas lanskap yang membentang
selain hanya menjadi angin
yang terus berpusing dan berjalan
dari kata ke kata hingga tiba
Kalimat Sempurna memanggilku pulang
Subang, Juni 2013
Dua puisi di atas begitu impresif, renyah, sekaligus kontemplatif.
ReplyDeleteanjing banget (memakai istilah jaman di pentagon mah gening hehe)
If that makes you happy. I can speak nothing.
ReplyDelete