Kenyataan
bahwa saya senang berpikir, itu penting. Akan tetapi kenyataan untuk
mengungkapkan pikiran, itu lebih penting. Mungkin hanya berupa bunyi dari suara
yang hanya sebatas lewat mulut dan semua anggota alat ucap yang melancarkan
buah pikiran itu. Atau hanya sebatas kata-kata imajiner dalam kepala yang
bersliweran, yang kadang tidak sistematis dan lebih sering abai dengan EYD. Sekalipun
yang kedua ini lebih baik mengingat tak ada alat ucap yang mampu menghambat
lalu lintas pikiran berupa kata-kata itu. Hanya dibutuhkan kinerja syaraf yang
lebih hingga pada akhirnya kata-kata itu bisa membentuk sebuah rangkaian
kalimat yang etis dan logis meski tidak fisis.
Akan
tetapi permasalahannya adalah, apakah harus dengan bahasa? Maksud saya, apakah
jalan pikiran harus selalu membutuhkan bahasa sebagai alatnya? Hampir setengah
tahun semenjak saya mempelajari logika. Lewat sebuah buku dengan judul yang
sama, diungkapkan jika bahasa adalah buah dari pikiran, karena dia adalah
bentuk paling wujud (baca: konkret) dari pikiran. Seiring itu pula, saya pun
mempelajari serta lebih mendalami perihal bahasa. Sungguh sebuah paduan yang
harmonis! Namun demikian, dalam buku itu, termasuk buku-buku yang membahas tentang
logika, tidak disebutkan apakah ada pikiran yang tidak membutuhkan bahasa
sebagai alat(ungkap)nya.
Kenyataan
sesungguhnya adalah, bahwa logika benar-benar sulit untuk dipelajari. Seperti
halnya bahasa, saya mendapati fakta bahwa ia adalah alat yang tidak mumpuni
untuk mengungkapkan semua pengalaman empiris manusia di dunia ini, apa lagi
transendenstal. Di tengah keinginan saya untuk mengetahui lebih dalam soal bahasa,
pernyataan ini sempat menumbangkan semangat untuk melanjutkan
keinginan-tahuan saya itu. Bahasa yang tidak adekuat, melingkar-lingkar bagai labirin
yang menghubungkan yang satu dan membutuhkan yang lain, percis sebuah kata yang
diterjemahkan dan terjemahannya itu membutuhkan definisi lain untuk
mendukungnya. Walau, ini pun menjadi cambuk untuk menangkap bahasa yang seperti
binatang liar itu.
Bahasa
tidak bisa mampu mengungkapkan bagaimana rasa galau atau senang yang tengah saya rasakan. Bahasa tidak bisa mengungkapkan peristiwa dimana awan mendung dan
seperti apa bentuk awan itu secara detil. Tidak juga bisa menerjemahkan bagaimana
pengkondensasian awan menciptakan air yang jatuh ke bumi. Bahasa tidak bisa
merekam proses bagaimana air hujan itu jatuh, melayang, jatuh ke tanah kering
dan meruapkan baunya—sebuah fenomena yang sangat saya gemari. Hingga akhirnya
bahasa tidak juga bisa mengungkapkan bagaimana bau kering tanah itu menyeruak
ke udara, mengabut, dan masuk ke sela-seal rambut di hidung saya. Yang lebih
fantastis, bahasa tidak bisa menyatakan bagaimana kenikmatan saya mencium
keringnya tanah basah yang terhirup itu. Bagaimana saya bisa mengungkapkannya?
Pertanyaan klise pun muncul: “Susah diungkapkan dengan kata-kata.”
Terlepas
dari ketidakadekuatan bahasa, justru ada pernyataan yang mengganggu yang saya temukan yang berkata bahwa berpikir tidak harus selalu menggunakan bahasa. Jika tanpa bahasa lalu dengan apa akal bisa
melakukan pekerjaannya: berpikir?
Beberapa
bulan saya terdiam tanpa bahasa, kecuali memang sedang dibutuhkan. Diam saya ini
pun acapkali membuat apa yang saya katakan tidak beraturan, seperti dalam kalimat:
“Tolong, pintu gerah saya buka.”
Maksudnya, “saya gerah. Tolong pintunya dibuka!” Atau kalimat yang
berputar-putar: “Bapak ingin seperti yang kalian tadi perhatikan berpartisipasi
dalam pelajaran agar mudah untuk nilai remedial tidak ada pengganti karena
dengan begitu mudah buat Bapak untuk memberi pada nilai kalian.” Yang mestinya:
"Seperti yang sudah kalian perhatikan tadi, Bapak ingin kalian berpartisipasi
dalam pelajaran untuk mengganti nilai remedial. Dengan begitu Bapak bisa lebih mudah
memberi nilai pada kalian.” Bukan sulap bukan sihir, tapi mereka yang
mendengarkan sempat bingung apa yang sebenarnya saya katakan. Sungguh dosa yang
tak termaafkan, batin saya berkata.
Bukan
tanpa alasan keadaan saya seperti itu. Tapi pada saat saya tengah bergelut dengan pikiran (sku memikirkan pikiran saya), saya memikirkan bahasa yang akan dipakai untuk
membahasakan pikiran itu. Kenyataannya, bahasa tak bisa saya tangkap melainkan
pikiran yang kosong bagai lorong gelap dan tak satu pun ada yang mengalir.
Sampai pada suatu waktu, di saat saya tengah terdiam, berkontemplasi dalam ruang
tak berujung tak berkata dengan masalah yang tengah saya hadapi, tiba-tiba slide demi slide memenuhi
pikiran. Percis sebuah layar putih yang ditimpah gambar-gambar dari sebuah
bayangan maya lewat sebuah proyektor. Entah seperti apa cara kerjanya, tapi
yang saya tahu, gambar-gambar itu berjejalan di kepala sedang proyektor yang
terbentuk dari syaraf otak terus berputar menghidangkan gambar demi gambar: bayangan
sebuah kamar hitam di sebuah kota yang padat; jalan raya yang panjang
dengan kebun teh di kanan kiri yang menyampaikan saya ke kota lain; tempat tinggal
baru dengan cat dindingnya yang biru; langit biru dengan panas matahari yang
terik saat saya terduduk di depan lanskap sawah dengan air sungai mengalir di
bawah kaki; pengalaman pertama melintasi sebuah plang menuju tempat kerja
di kota yang saya singgahi ini; dan masih banyak gambar-gambar berjejalan silih
berganti mengisi kepala.
Tanpa
sadar, sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan pikiran saya itu sesungguhnya
sudah teramat biasa saya lakukan, dulu ketika saya masih di kota Bandung. Dan
kebiasaan ini ternyata masih ada dan saya bawa di kota yang baru ini, Subang. Dari
dulu, memang sudah menjadi kebiasaan saya membayangkan setiap pengalaman yang
sempat aku lalui berupa gambar-gambar baik itu tempat maupun kejadian yang
terekam dalam neuron-neuron syaraf. Gambar-gambar itu seakan berbicara dengan
bahasa yang berbeda tanpa harus menggunakan kata-kata. Tak hanya itu, saya pun
sempat punya kebiasaan membayangkan apa yang akan terjadi untuk apa yang bakal saya hadapi di hadapan, seperti bagaimana saya membayangkan berjalan ke kampus
dengan gagah menggunakan jas dan dasi seraya terempit di ketiak saya berkas-berkas skripsi yang bakal disidangkan, dan bayangan lainnya sampai pada
akhirnya saya lulus ujian sidang. Sayang, bayangan seringkali tak selaras dengan
kenyataan. Dan itulah yang paling menyakitkan.
Sesaat
menginjakkan kaki di kota ini (Subang), kebiasaan itu saya hapus. Saya tidak lagi
(mau) membayangkan apa yang bakal terjadi di kemudian—sesuatu yang memang muskil
untuk terjadi. (Sebuah analog yang indah ketika suatu hari saya sempat berkata
pada kawan-kawan ormawa di sebuah rapat persiapan pemilihan bakal calon
presiden himpunan jika hidup seperti menatap gelas bening berisi air. Kau tak
bisa mengetahui apa yang bakal terjadi nanti. Kita tidak pernah tahu apa yang
bakal kita alami kemudian. Jangan sebut satu tahun, satu bulan atau satu hari.
Untuk lima menit saja pun kita tidak tahu apa yang akan sedang kita lakukan). Di
kota ini, saya tidak lagi bergelut dengan angan-angan atau fantasi, bayang-bayang
semu yang hanya sebatas jadi penghibur meski kenyataan sebenarnya bisa jadi tak
cukup bisa dibanggakan. Sebaliknya, justru kekecewaan yang didapat dari
kebiasaan itu. Pada saat yang sama, saya tak lagi berdoa, meminta, dan berharap
terlalu penuh pada apa dan pada siapa pun. Hemat kata, saya hanya menjalani apa
yang tengah saya jalani saat itu juga tanpa tahu dan tak juga mau tahu apa yang
bakal saya dapat dan alami nanti. Begitulah.
Karena
realita adalah apa yang tengah saya lakukan, alami dan rasakan sekarang, bukan
besok atau nanti. Selebihnya, hanya sejarah dari apa yang ada di ingatan, yang
masih menjadi sebuah puzzle hidup besar yang harus saya susun. Ya, pada saat
itu, tak berapa lama ketika tulisan ini dibuat, saya mendapati sebuah temuan
bahwa ternyata, pikiran bisa “berbicara” tanpa bahasa sekalipun. Tanpa harus
dengan kata-kata. Pikiran bisa berbuat apa saja dan bisa mengungkapkan apa saja,
meski tanpa bahasa. Dan gambar-gambar ingatan itu, semua pengalaman empiris
yang sudah lalu dan rekaman-rekaman gambar atas ruang dan waktu yang masih bertalian
dengan keadaan saya sekarang ini adalah “bahasa” yang cukup (untuk tidak menyebutnya mumpuni) untuk bisa
dijadikan sebagai alat berpikir. Tak perlu ada kalimat atau subtitle di setiap gambar yang tersorot di layar
pikiran. Karena gambar saja sudah cukup untuk bisa berbicara tentang dirinya
sendiri. Sementara, saya tinggal menjadi penonton dari slide-slide
yang ditayangkan oleh pikiran saya sendiri. Selebihnya, sikap atas kesimpulan yang
saya ambil setelah menontonnya.
Maka,
saya tetap senang bisa berpikir. Dan, saya juga senang jika ternyata pikiran tak
harus selalu menggunakan bahasa sebagai alatnya; karena gambar ingatan, berbicara
lebih banyak dari kata-kata yang justru dibutuhkan lebih banyak lagi untuk
menerjamahkan gambar-gambar yang berlarian di layar pikiran lewat akal
proyektor saya itu. [FA]
No comments:
Post a Comment