Sejauh ini, kebanyakan dari kita memandang sejarah hanya diartikan sebagai sebuah peristiwa yang sudah terjadi. Pernyataan ini menyiratkan bahwa sejarah adalah sesuatu yang diterima sebagai yang benar dan seakan tidak perlu dipertanyakan bahkan diragukan lagi kebenarannya. Efek lain adalah –dan ini yang perlu diperhatikan, banget!—bahwa sejarah, baik yang sudah dan yang akan terjadi, adalah sebuah garis linear yang lurus yang berawal dari satu titik dan akan berakhir di titik yang lain.
Sejarah berulang, begitu kata pepatah. Setiap hari setiap waktu, di berbagai media, di planet bernama bumi ini, peristiwa atau kejadian muncul dan pergi. Tentunya, peristiwa itu tidaklah benar-benar baru adanya. Artinya, peristiwa itu adalah pengulangan dari peristiwa yang sebelumnya sudah terjadi. Tidak aneh kiranya jika ada pepatah lain yang berkata bahwa hidup adalah roda yang berputar. Jika hidup adalah roda dan sejarah adalah putaran yang ada di atasnya; maka, masih dapatkan sejarah ditemukan titiknya?
Kita harus beranjak pada arti sebenarnya dari kata ‘sejarah’. Sebagaimana yang kita tahu, kata sejarah berasal dari bahasa Arab (syajarah) yang berarti pohon. Arti lainnya adalah: silsilah, asal-usul dan riwayat, serta skema yang dapat digambarkan layaknya sebuah pohon dimana terdapat cabang, ranting dan daun. Sebagai pohon, tampak pula tersirat makna pertumbuhan dalam sebuah sejarah. Dan, inilah yang seringkali kita lupakan!
Sampai sekarang, kebanyakan orang hanya melihat sejarah dari dalam artian riwayat, asal-usul, dan silsilah saja. Bukanlah hal yang asing jika sejarah pun hanya dimaknai sebagai apa yang sudah terjadi di masa lampau lantas diamini bersama-sama. Tidak perlu dipertanyakan, bahkan diperdebatkan.
Belajar pada pohon sebagai sebuah amsal (pengibaratan), kita dapat melihat bagaimana sebuah “batang” peristiwa menumbuhkan “cabang” dan cabang ini pun menumbuhkan “ranting” yang tak terhitung banyaknya. Hingga, jadilah ia sebagai “daun” peristiwa yang pada akhirnya orang-orang ketahui sebagaimana adanya. Permasalahan adalah, kita acapkali lupa jika sebuah daun sekalipun pasti gugur dan tergantikan oleh daun yang lain. Pun dengan peristiwa yang menisbatkannya dirinya sebagai sejarah. Oleh karena itu, bagaimanapun, kata ‘sebagaimana adanya’ itu harus dibuang jauh-jauh. Jika tidak, kebenaran tidak akan terungkap, tidak akan sebagaimana mestinya.
Masalah yang muncul sekarang adalah, siapa yang menggugurkan daun itu? Daun yang sudah kering dan berganti baru itu? Pertanyaan selanjutnya adalah, daun yang mana yang bakal kita percaya? Ini yang penting!
Tisaprak (semenjak) manusia mengenal pengetahuan, pada saat itu pula pikiran kita –tanpa harus dikomando lagi—akan langsung menghubungkannya dengan peradaban Barat, baik dari segi bahasa maupun dari segi sumbernya. Lebih tepatnya, Yunani, karena dari sanalah asal muasal ilmu pengetahuan. Lihat saja buku-buku pelajaran yang kita baca di sekolah, juga buku-buku umum serta ilmiah yang bertebaran di toko-toko. Sebuah definisi ilmu (etimologi), tak ayal menjadikan akar kata dari bahasa Yunani.
Bukan salah Plato jika dia mendirikan Academia bagi murid-muridnya untuk belajar. Karena dari dirinya pulalah kita mengenal sekolah dan kita sama-sama belajar di dalamnya. Yang salah adalah, ketika kita sekoyong-koyong mengultuskan bahwa ilmu pengetahuan berasal dari peradabannya. Hasilnya adalah “penghambaan” terhadap segala produk kebudayaan yang mereka ciptakan. Yang lebih parah lagi adalah di saat kita seutuhnya berpijak pada segala bentuk produk kebudayaan serta peradabaanya dan tidak (sempat) membuka diri terhadap sumber produk kebudayaan dan peradabaan yang lain. Bahkan, kebudayaan dan peradaban kita sendiri!
Dengan kata lain, kita menjadi peniru (pengekor) yang tidak mawas diri terhadap produk kebudayaan yang sebenarnya telah kita miliki bersama. Sebut saja salah satunya, bahwa bangsa ini lebih lekat sejarahnya dengan kebudayaan dan peradaban Hindu juga bahasa(Sanskerta)-nya. Tapi kita tidak pernah menggunakannya sebagai rujukan atau sumber acuan. Padahal, kurang besar apa kebudayaan dan peradaban itu? Bukankah katanya bangsa ini adalah pusat kebudayaan dunia?
Apakah ada bangsa yang memiliki adat istiadat, mulai dari upacara, bahasa (daerah), pakaian, kuliner, dan lain sebagainya, yang sama dengan bangsa kita? Begitulah. Secara tidak disadari kita sudah dikontrol oleh mereka lewat produknya. Bahkan cara berpikir pun sudah diarahkan sedemikan rupa. Dan hal ini sudah berlangsung pada abad ke-19 dimana peradaban Barat telah begitu cakrawati (menghegemoni dunia) dalam segala aspek kehidupan baik politk ekonomi, militer, sosial maupun budaya.
Kembali kepada masalah sejarah. Tidak bisa dimungkiri jika pencatatan sejarah mengandung berbagai kepentingan bagi “si pencatat sejarah”. Sebagaimana yang kita tahu bahwa sejarah lebih banyak ditulis oleh mereka yang punya kuasa. Seobjekif apa pun sebuah sejarah, tetap saja ada sisi subjektif di dalamnya –sebuah pertimbangan akan baik dan buruk serta untung dan rugi. Yang di luar pengetahuan kita, pengungkapan kebenaran sejarah bisa jadi ancaman jika sekiranya hal itu dilakukan oleh si pencatat sejarah. Ini tidak terlepas dari nilai primordial manusia yang selalu merasa dirinya paling benar atas nama data dan fakta lewat akal sebagai penafsirnya.
Seorang pencatat sejarah mungkin akan bertutur seperti ini atas sesuatu. Sebagian orang mungkin akan setuju dengan apa yang diungkapkannya. Sementara, sebagian yang lain bukan tidak mungkin mempertanyakan, apakah benar seperti itu? Maka daun, dimana sebuah kenyataan (sejarah) dicatatkan, tinggal menunggu tanggalnya setelah sebelumnya mengering. Jika sudah seperti itu, muncullah pencatat-pencatat lain yang menumbuhkan daun kenyataan (sejarah) baru yang lebih kuat dan lebih bisa dipercaya. Dan, demikian seterusnya.
Pertanyaannya sekarang adalah: mana yang mesti kita percaya? Seperti yang diungkapkan di atas, pencatatan kebenaran sebuah sejarah tidaklah terlepas dari siapa pencatatnya –latar belakang dan seabreg faktor lain yang menjadikan identitas bagi dirinya. Di dunia ilmu pengetahuan, kita mengenal adanya kaum intelektual. Mereka inilah yang atas nama kata ilmiah menuturkan bagaimana sebenarnya sebuah sejarah terjadi. Mereka inilah, sejauh pengamatan kita, memiliki hak atau wewenang penuh terhadap kebenaran sejarah dan sekaligus pencatatannya.
Dengan dalih metode yang rasional dan sistematis lewat data dan fakta yang, katanya, akurat, dengan cara induktif yang ilmiah, mereka beserta kebenaran sejarah yang diungkapkannya bagai mercusuar yang tidak bisa dikalahkan gelombang. Ironisnya, kebanyakan dari kita hanya bisa mengiyakan dan setuju-setuju saja dengannya –penulis dan apa yang dituliskannya. Hal itu seakan berkata bahwa orang lain dengan latar belakang yang lain pula, tidak punya “suara” untuk berbicara soal (sebuah) sejarah.
Pada hakikatnya, sejarah bersifat open-book dimana siapa pun bisa menuliskan apa saja di dalamnya. Tentunya, tulisan itu harus didasarkan pada landasan yang kuat dan kokoh, meski tidak berarti tidak bisa diperdebatkan. Kenyataannya sekarang –anggap saja—pencatatan sebuah sejarah hanya muncul di bangku-bangku ilmiah oleh kaum-kaum intelektual saja: doktor, profesor, bahkan guru besar. Di luar titel selain itu, tidak mungkin –untuk tidak menyebutnya tidak bisa sama sekali—kebenaran sejarah bisa dianggap bergengsi untuk bisa diyakini. Padahal, semuanya itu hanya jatuh pada satu kata: kebenaran!
Daun-daun akan terus tumbuh selama makhuk bernama manusia hidup di muka bumi ini. Di atas daun itu sejarah memaparkan kisahnya sebagaimana manusia terus menerus mencari kebenaran yang dituliskan di setiap helainya. Ada daun yang tegak menunjuk langit tapi tidak sedikit juga daun yang gugur diterpa angin, badai juga hujan. Pun dengan sejarah. Dia akan akan terus berulang selama manusia masih belum bisa mengambil pelajaran dan memperbaiki apa yang semestinya diperbaiki. Belum menemukan kebenaran yang sebenarnya. Belum menjadi sesuatu. [NS]
Sejarah berulang, begitu kata pepatah. Setiap hari setiap waktu, di berbagai media, di planet bernama bumi ini, peristiwa atau kejadian muncul dan pergi. Tentunya, peristiwa itu tidaklah benar-benar baru adanya. Artinya, peristiwa itu adalah pengulangan dari peristiwa yang sebelumnya sudah terjadi. Tidak aneh kiranya jika ada pepatah lain yang berkata bahwa hidup adalah roda yang berputar. Jika hidup adalah roda dan sejarah adalah putaran yang ada di atasnya; maka, masih dapatkan sejarah ditemukan titiknya?
Kita harus beranjak pada arti sebenarnya dari kata ‘sejarah’. Sebagaimana yang kita tahu, kata sejarah berasal dari bahasa Arab (syajarah) yang berarti pohon. Arti lainnya adalah: silsilah, asal-usul dan riwayat, serta skema yang dapat digambarkan layaknya sebuah pohon dimana terdapat cabang, ranting dan daun. Sebagai pohon, tampak pula tersirat makna pertumbuhan dalam sebuah sejarah. Dan, inilah yang seringkali kita lupakan!
Sampai sekarang, kebanyakan orang hanya melihat sejarah dari dalam artian riwayat, asal-usul, dan silsilah saja. Bukanlah hal yang asing jika sejarah pun hanya dimaknai sebagai apa yang sudah terjadi di masa lampau lantas diamini bersama-sama. Tidak perlu dipertanyakan, bahkan diperdebatkan.
Belajar pada pohon sebagai sebuah amsal (pengibaratan), kita dapat melihat bagaimana sebuah “batang” peristiwa menumbuhkan “cabang” dan cabang ini pun menumbuhkan “ranting” yang tak terhitung banyaknya. Hingga, jadilah ia sebagai “daun” peristiwa yang pada akhirnya orang-orang ketahui sebagaimana adanya. Permasalahan adalah, kita acapkali lupa jika sebuah daun sekalipun pasti gugur dan tergantikan oleh daun yang lain. Pun dengan peristiwa yang menisbatkannya dirinya sebagai sejarah. Oleh karena itu, bagaimanapun, kata ‘sebagaimana adanya’ itu harus dibuang jauh-jauh. Jika tidak, kebenaran tidak akan terungkap, tidak akan sebagaimana mestinya.
Masalah yang muncul sekarang adalah, siapa yang menggugurkan daun itu? Daun yang sudah kering dan berganti baru itu? Pertanyaan selanjutnya adalah, daun yang mana yang bakal kita percaya? Ini yang penting!
Tisaprak (semenjak) manusia mengenal pengetahuan, pada saat itu pula pikiran kita –tanpa harus dikomando lagi—akan langsung menghubungkannya dengan peradaban Barat, baik dari segi bahasa maupun dari segi sumbernya. Lebih tepatnya, Yunani, karena dari sanalah asal muasal ilmu pengetahuan. Lihat saja buku-buku pelajaran yang kita baca di sekolah, juga buku-buku umum serta ilmiah yang bertebaran di toko-toko. Sebuah definisi ilmu (etimologi), tak ayal menjadikan akar kata dari bahasa Yunani.
Bukan salah Plato jika dia mendirikan Academia bagi murid-muridnya untuk belajar. Karena dari dirinya pulalah kita mengenal sekolah dan kita sama-sama belajar di dalamnya. Yang salah adalah, ketika kita sekoyong-koyong mengultuskan bahwa ilmu pengetahuan berasal dari peradabannya. Hasilnya adalah “penghambaan” terhadap segala produk kebudayaan yang mereka ciptakan. Yang lebih parah lagi adalah di saat kita seutuhnya berpijak pada segala bentuk produk kebudayaan serta peradabaanya dan tidak (sempat) membuka diri terhadap sumber produk kebudayaan dan peradabaan yang lain. Bahkan, kebudayaan dan peradaban kita sendiri!
Dengan kata lain, kita menjadi peniru (pengekor) yang tidak mawas diri terhadap produk kebudayaan yang sebenarnya telah kita miliki bersama. Sebut saja salah satunya, bahwa bangsa ini lebih lekat sejarahnya dengan kebudayaan dan peradaban Hindu juga bahasa(Sanskerta)-nya. Tapi kita tidak pernah menggunakannya sebagai rujukan atau sumber acuan. Padahal, kurang besar apa kebudayaan dan peradaban itu? Bukankah katanya bangsa ini adalah pusat kebudayaan dunia?
Apakah ada bangsa yang memiliki adat istiadat, mulai dari upacara, bahasa (daerah), pakaian, kuliner, dan lain sebagainya, yang sama dengan bangsa kita? Begitulah. Secara tidak disadari kita sudah dikontrol oleh mereka lewat produknya. Bahkan cara berpikir pun sudah diarahkan sedemikan rupa. Dan hal ini sudah berlangsung pada abad ke-19 dimana peradaban Barat telah begitu cakrawati (menghegemoni dunia) dalam segala aspek kehidupan baik politk ekonomi, militer, sosial maupun budaya.
Kembali kepada masalah sejarah. Tidak bisa dimungkiri jika pencatatan sejarah mengandung berbagai kepentingan bagi “si pencatat sejarah”. Sebagaimana yang kita tahu bahwa sejarah lebih banyak ditulis oleh mereka yang punya kuasa. Seobjekif apa pun sebuah sejarah, tetap saja ada sisi subjektif di dalamnya –sebuah pertimbangan akan baik dan buruk serta untung dan rugi. Yang di luar pengetahuan kita, pengungkapan kebenaran sejarah bisa jadi ancaman jika sekiranya hal itu dilakukan oleh si pencatat sejarah. Ini tidak terlepas dari nilai primordial manusia yang selalu merasa dirinya paling benar atas nama data dan fakta lewat akal sebagai penafsirnya.
Seorang pencatat sejarah mungkin akan bertutur seperti ini atas sesuatu. Sebagian orang mungkin akan setuju dengan apa yang diungkapkannya. Sementara, sebagian yang lain bukan tidak mungkin mempertanyakan, apakah benar seperti itu? Maka daun, dimana sebuah kenyataan (sejarah) dicatatkan, tinggal menunggu tanggalnya setelah sebelumnya mengering. Jika sudah seperti itu, muncullah pencatat-pencatat lain yang menumbuhkan daun kenyataan (sejarah) baru yang lebih kuat dan lebih bisa dipercaya. Dan, demikian seterusnya.
Pertanyaannya sekarang adalah: mana yang mesti kita percaya? Seperti yang diungkapkan di atas, pencatatan kebenaran sebuah sejarah tidaklah terlepas dari siapa pencatatnya –latar belakang dan seabreg faktor lain yang menjadikan identitas bagi dirinya. Di dunia ilmu pengetahuan, kita mengenal adanya kaum intelektual. Mereka inilah yang atas nama kata ilmiah menuturkan bagaimana sebenarnya sebuah sejarah terjadi. Mereka inilah, sejauh pengamatan kita, memiliki hak atau wewenang penuh terhadap kebenaran sejarah dan sekaligus pencatatannya.
Dengan dalih metode yang rasional dan sistematis lewat data dan fakta yang, katanya, akurat, dengan cara induktif yang ilmiah, mereka beserta kebenaran sejarah yang diungkapkannya bagai mercusuar yang tidak bisa dikalahkan gelombang. Ironisnya, kebanyakan dari kita hanya bisa mengiyakan dan setuju-setuju saja dengannya –penulis dan apa yang dituliskannya. Hal itu seakan berkata bahwa orang lain dengan latar belakang yang lain pula, tidak punya “suara” untuk berbicara soal (sebuah) sejarah.
Pada hakikatnya, sejarah bersifat open-book dimana siapa pun bisa menuliskan apa saja di dalamnya. Tentunya, tulisan itu harus didasarkan pada landasan yang kuat dan kokoh, meski tidak berarti tidak bisa diperdebatkan. Kenyataannya sekarang –anggap saja—pencatatan sebuah sejarah hanya muncul di bangku-bangku ilmiah oleh kaum-kaum intelektual saja: doktor, profesor, bahkan guru besar. Di luar titel selain itu, tidak mungkin –untuk tidak menyebutnya tidak bisa sama sekali—kebenaran sejarah bisa dianggap bergengsi untuk bisa diyakini. Padahal, semuanya itu hanya jatuh pada satu kata: kebenaran!
Daun-daun akan terus tumbuh selama makhuk bernama manusia hidup di muka bumi ini. Di atas daun itu sejarah memaparkan kisahnya sebagaimana manusia terus menerus mencari kebenaran yang dituliskan di setiap helainya. Ada daun yang tegak menunjuk langit tapi tidak sedikit juga daun yang gugur diterpa angin, badai juga hujan. Pun dengan sejarah. Dia akan akan terus berulang selama manusia masih belum bisa mengambil pelajaran dan memperbaiki apa yang semestinya diperbaiki. Belum menemukan kebenaran yang sebenarnya. Belum menjadi sesuatu. [NS]
No comments:
Post a Comment