Prolog
Satu
periuk batu kujadikan waktu
Angin
memapahku menangkap gemericik lagu
Matahari
di tangan kanan adalah belati
Bulan
di kanan tangga langit menuju wangi
Satu
periuk daun gugur kujadikan pintu
Ranting-ranting
kering pena bernyawa
Pergi
ke laut melukis karang dan ikan
Ikan-ikan
menjelma doa di lambung ibuku
Satu
periuk kata diam sebelum masa
Diam
di sela jari kaki yang senyum dan luka
Mencipta
batu ikan daun dan karang jadi puisi
Tanganku
deras air sungai tak berhenti mengalir
Memento Mori
Lalu, sebuah belut besar menemuimu di malam yang berdenting
bulir-bulir kata tak lagi hening mengoyak tanah
merah
menghamili benih ingatan yang tumbuh di sudut
ranjang perjalanan
kau pun melihat bagaimana seiris garis membentuk
lingkaran-
lingkaran menerbangkanmu ke langit ketujuh
keringat basah melepaskan segala beban yang
mencengkeram dan kau sebut itu wahyu, atau
mungkin setan
Lalu, di malam yang lain, malam putih ketika jibril pernah
mengakhiri tugasnya, kau benar-benar melihat setan
dia tergantung di sebuah pohon pisang yang tak
punya umur
namun subur tandan buahnya tumbuh di tubuhmu
setidaknya kau tahu ketika kau beranjak dewasa
hanya pohon yang punya akar dan manusia tidak
karenanya mengapa kau tak punya sejarah
Lalu, musim pun basah melebihi segala basah seribu sungai
dan lautan dan kau berdiri di sebuah trotoar
mengutuk hujan
melukai tangan sendiri ketika kau tahu betapa
bodoh
melepaskan kekasih dengan jari berdarah
sejak saat itu kau tak lagi bisa membedakan mana
hujan,
air mata dan genangan di lubang aspal hingga
akhirnya kau sadar
tulang rusuk dan hujan hanyalah basah belaka
Lalu, sejak saat itu kau pun mulai menyembah belut besar
di kepalamu, mematahkan garis demi garis
lingkaran
yang sempat datang padamu suatu waktu lantas
menggubahnya
menjadi syair, lagu, atau bahkan rengekan yang
sesungguhnya
tak pernah kau kenal dan tak pernah pula
mengenalmu
kau pun hanya semacam kau sebagaimana sebuah
garis
hanyalah pikiran yang mengendur dan meregang
di antara urat syaraf yang bakal menyelesaikan
tugasnya
Lalu, di sebuah malam yang tak pernah kau duga
kau dapati sebuah belut besar di atas piring
lingkaran
menatapmu dalam-dalam tanpa nyawa, tanpa bahasa
sedang di luar sana tetesan hujan bagai duri
berjatuhan
membasahi tanah dan ingatan, menusuk bumi dan
kenangan
sesaat setelah seorang perempuan menumpahkan
hidupmu
di atas pinggan hidupnya yang putih seputih senja
saat kau
menemukannya di bawah naungan rumah putih satu
bintang
dalam pelukan bulan
Lalu, bersamanya, kau pun menanam pohon pinus dan
bukan pisang. memulainya dengan doa agar tak
dihinggapi setan
seraya berjanji jika pada saatnya nanti
kau tak akan memetik buahnya lagi
Rosida Maulani
Aku menemukanmu di saat kuredakan gelombang di
tubuhku sedang tiga kelahiran matahari menyisakan
gelap
yang tak bisa aku usap dengan ucap serta segala
kata
yang tak juga menumbuhkan buah dan kerinduan
Kembali aku belajar pada garis dan tungkai kaki—
sahabat dari segala jejak pada darah tanah
pada awan yang menghamili sejuta dendam
nafsu dan kesumat untuk langitku yang tak biru
Anginkah yang mengecup ubun-ubunku
atau malam yang sengaja singgah di belakang
telingaku?
kulihat engkau memeluk bulan meski tak purnama
seperti di saat kau berkata bahwa cahayanya telah
menjadi tetesan darah yang membadai seluruh hidup
Aku pun diam di sudut halaman seraya
menyaksikan sepasang sepatu tanpa kaki dan
sebelah matahari yang kau sebut sebagai senja—
kelakar tua yang diucap-ulang ibarat telenovela
Tiba-tiba aku merasa betap doa telah menjadi
ancaman:
garis tangan tak terbaca di antara urat yang
menegang
dan pikiran yang dipaksa mengeras menerjemahkan
ayat-ayat
tercipta dari keangkuhan juga kebodohanku
Rumah putih pun menaungi segala yang baik
walau tak pernah aku mengerti apa maksudnya
hanya saja aku tahu bagaimana cara memahami
detak jantung yang bersahabat dengan bumi
dan semua yang lahir juga tumbuh di atasnya
Tak kuguratkan doa-doa di atas telapak tangan—
benih-benih selalu menagih keyakinan dan denyut
jantung
sebagaimana pikiran yang tak lagi menembus
lorong-
lorong gelap menuju puncak cahaya karena itu pun
tak lantas bisa menjanjikan sebuah kepalan atau
tinju
Maka dengan riak air pantai aku berjalan menuju
ibu
menuju samudera dimana kata-kata kutabur bersama
kembang yang mencantumkan namamu di setiap
helainya
kurelakan tubuku menjadi gelombang atau buih
menjadi bagian dari laut dan langitmu yang belum
kutahu
entah hanya untuk menerima badai atau mungkin
mengikhlaskan biru sebagai warna dimana kita
tercipta
Purwakarta, Juli 2012
Pendakian
Setelah Canggah*, kudaki gunung-gunung di tubuhmu
yang pasrah dan menyerah. awan jadi madu. langit
biru hanya sehasta di mata kakiku. dalam tengadah
penuh rasa bunga tiba-tiba aku terpelest,
tertusuk
ranting dan ilalang di antara palung tubuhmu yang
bidang
bimbang. haruskah pendakian ini kuteruskan;
air hujan belumpun menyiram benih dan membasuh
wajah kita yang perawan sedang surga bukanlah
milik kita? betapa aku tahu kau tak inginkan
badai menjadi tubuh di awal perjalanan di
puncak gunung tempat dimana kita tegak berdiri
menunggu senja tiba. maka kulemaskan tubuhku
yang meregang, telunjukku yang tegang, menuntut
langit yang sememangnya belum milik kita
*) Salah satu nama gunung di kota Subang.
Setelah Nenek
Setelah nenek, apa lagi yang harus dikunjungi?
aku pun bertanya pada batu, kandang ayam dan
jemuran. matahari di sudut mata kiriku
memanggang ingatan di antara bau cuaca
yang tak juga kukenal. seperti kolam ikan,
dan kakek berenang di dalamnya
sedang aku harus berenang di antara waktu
yang tak pernah menjejakkan kakinya di tanganku
seandainya. tapi aku tahu bagaimana pintu
diketuk bidadari bersayap mawar
bersepuhkan intan di keningnya suatu waktu
menjelang malam, kusaksikan bagaimana
magis cahaya bulan menyelimuti tubuhnya
menebarkan aroma surga ketika tiba-tiba
hati kecilku berkata: “akukah pemilik semesta
raya?”
mungkin hanya nisan yang bisa kupeluk sekarang
di saat nenek tengah begitu senyum berbaring
di sudutnya, setelah kata-katanya menjadi
kenangan, menjadi pintu yang kubuka daunnya
Subang, Juni 2012
Seperti Nabi
Seperti
menelanjangi hari di malam yang putih
Barangkali
seperti itu pula aku mengupas kulit jati diri
Ketika
setiap tatap jatuh di muka dinding atau
sudut
ranjang dimana kita menemukan mimpi
yang
begitu asing meninggalkan basah airmata
Mata
air awal kita tercipta. Entah, harus kuberi
nama
apa lagu perjalanan ini? Buket bunga dan
seserahan
dalam sebuah upacara hanya menghantar-
kan
kita pada kegelisahan yang lain di antara
detik-detik
jarum yang berjalan lambat di muka
dinding
itu di saat kita terbangun dan terjaga.
Menangkap
rencana demi rencana seperti
menangkap
gemericik air di kamar mandi atau
desiran
sapu pada lantai juga rintih pintu yang
kadang
tertutup kadang terbuka. Barangkali
seperti
itu pula aku menjadi nabi. Kembali belajar
membaca
alif ba ta tsa di kamar mandi seperti
halnya
menulis wahyu yang tercantum
di
dinding pasir hatiku, seperti puisi
Subang, Juli 2012
No comments:
Post a Comment