Burung Garuda, sebagaimana yang kita tahu, merupakan lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mitologi nenek moyang kita, burung Garuda dianggap berdekatan dengan burung Elang Rajawali. Peradaban mencatat bahwa lambang Garuda telah ditemukan sejak abad ke-16 pada beberapa candi di negeri ini, diantaranya: Candi Dieng, Prambanan dan Penataran.
Penggambaran burung Garuda sendiri sebenarnya tidak seperti apa yang kita tahu sekarang, seperti yang terpampang di ruang kelas atau di kantor-kantor pemerintahan. Di Candi Dieng, burung yang satu ini dilukiskan sebagai manusia berparuh burung dan bersayap. Bahkan di candi-candi di Jawa Timur, penggambaran lebih aneh lagi, yakni berambut panjang, bercakar dan menyerupai manusia.
Sayangnya, penggambaran tersebut memperlihatkan beberapa keganjilan, sebagaimana yang tampak di Candi Sukuh yang terletak di Kabupaten Karanganyar, Jawa tengah. Beberapa patung menggambarkan manusia-burung dengan sayap yang terentang seperti sedang mengibaskan tangan. Kepala burung seperti menggunakan sesuatu entah apa. Sedang, kaki manusia-burung tersebut memiliki taji, semacam cakar, yang bertumpuk pada seekor gajah dan penyu. Kalaupun harus membandingkannya dengan gajah, betapa besar kiranya manusia-burung tersebut.
Jika kita amati beberapa artefak yang sama yang berada di belahan dunia lain, sosok manusia-burung ini memiliki banyak kesamaan. Sebut saja patung yang berasal dari peradaban Maya Kuno di Semenanjung Yukatan, Amerika tengah, juga patung dan relief peninggalan bangsa Sumeria, Babylonia dan Assyria. Airlangga (Erlangga), pendiri Kerajaan Kahuripan, menyebut manusa-burung itu Garudamukha; suku Maya menyebutnya Haggadah; suku Sumeria memanggilnya Annunaki, dan bangsa Babylonia melandinya Pazuzu. Terlebih Kaisar Jawa dan Sumatera pun menggunalan lambang yang sama sebagai lambang kerajaannya. Sekarang pertanyaanya adalah: Apakah ada hubungan manusia-burung di belahan negara itu? Apakah mungkin zaman dulu ada makhuk yang disebut manusia-butung itu? Mungkinkah mereka dewa atau semacamnya? Jika benar, apakah tidak itu artinya bahwa nenek moyang kita menyembah dewa-dewa? Menyembah manusia-burung itu?
Sejauh ini, kita hanya tahu jika raja-raja Nusantara sudah jauh hari menggunakan lambang manusia-burung tersebut sebagai lambang kerajaannya, tanpa kita mengetahui seperti apa asal-usul sebenarnya. Sejatinya, sebagai sebuah pelajaran, adalah baik untuk kita mengenal asal-usul kita sendiri, semata agar kita mengetahui identitas atau jati diri bangsa. Bagaimanapun, tak ada yang tak mungkin jika sesuatu yang tak mungkin itu saja bisa menjadi sangat mungkin. [NS]
Referensi:
[1] Gayo, Iwan. 1993. Garuda Pancasila. Jakarta: Upaya Warga Negara
[2] Sutejo, Agung Bimo & Hartadi, Timmy. 2009. Misteri di Candi Cetho dan Candi Penataran. Jakarta: Yayasan Turangga Seta
Gambar diambil dari makalah Misteri di Candi Cetho dan Candi Penataran, http://www.lakubecik.org/
No comments:
Post a Comment