Ada yang salah dengan otak kita,
atau tepatnya cara berpikir kita. Tak bisa dimungkiri jika otak adalah alat
ukur manusia dalam melihat, memetakan, menilai, menimbang, mengevalusi, dan
menyimpulkan sesuatu. Dia menjadi tempat bagi mengalirnya buah pikiran yang deras,
tak bisa dihambat, dan ada kalanya digunakan semena-mena, sedang kata-kata menjadi
wujud nyata dari pikiran itu sendiri. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah
akal pikiran—cara bekerjanya otak—sudah digunakan dengan cara yang baik dan benar?
Pertanyaan di atas mungkin takkan
muncul sekiranya otak kita sudah beres. Kenyataannya, fakta membuktikan
bagaimana otak kita ini teramat sering menerima proposisi yang telah menjadi
sangat umum dibicarakan meski tanpa pertimbangan dan pemikiran lebih lanjut.
Salah satu contohnya adalah proposisi yang berbunyi: Perbedaan itu
berkah—sebuah kalimat yang begitu popular di abad milenium ini.
Ditengarai oleh kenyataan hidup
dan kehidupan berbudaya yang banyak ragamnya, termasuk pemikiran dan hasilnya, tak
sedikit dari kita yang memiliki sikap berseberangan atau bertolak belakang atas
satu atau lain hal. Tentu sikap ini sendiri tak lantas sekonyong-konyong ada tanpa
adanya pengaruh, baik itu internal maupun eksternal. Bagaimanapun, setiap sikap
pasti punya landasan se-nonsense apa pun itu. Hanya saja, dan ini yang paling
penting, atas nama kerukunan, kebaikan dan ketentraman, kita acapkali tak
memperuncing sikap kita atas permasalahan itu, perbedaan itu, dan kebanyakan
dari kita menjadikan kalimat ajaib “perbedaan itu berkah”—alih-alih
dipahami—sebagai tedeng aling-aling—untuk tak berkata bahwa memang tak ada lagi
penyelamat lain selain kalimat ini. Dan permasalahan pun selesai, tanpa harus
kita besar-besarkan.
Akan tetapi, apa artinya? Apa
arti dari proposisi itu sebenarnya? Berkata bahwa perbedaan itu berkah?
Sejatinya perbedaan akan selalu
ada di muka bumi ini, tidak bisa tidak. Sebagian berkata bahwa ia benar adanya;
sebagian lagi—mereka berbicara lebih lantang—berkata bahwa ia adalah musuh
bersama yang harus dihancurkan. Pasalnya, sampai saat ini pun perbedaan masih
saja menjadi biang keladi, kambing hitam dan sumber pertikaian di belahan bumi
mana pun. Jika memang benar demikian—berkata bahwa perbedaan itu berkah,
akankah kita juga setuju dengan kalimat yang berbunyi bahwa kejahatan juga
berkah? Jika tidak, bukan tak mungkin, dan bisa jadi, kita tidak benar-benar paham
maksud dari judul tulisan ini—untuk tidak berkata bohong sama sekali. Kita
hanya pura-pura tahu, menjadikannya sebagai kawan tapi tak pernah mengenalnya
secara mendalam.
Tapi karena tanpa keduanya, hidup
dan kehidupan takkan berjalan dengan seimbang. Lagi pula, bagaimana mungkin
kebaikan akan ada tanpa ada kejahatan yang menjadi lawannya?
Sayangnya, kita terlanjur
meyakini bahwa kebaikan itu baik untuk kita, dan harus berasal dari hal-hal
yang baik saja. Kita lupa menyebutkan kejahatan atau keburukan yang juga punya peranan
penting bagi terciptanya kebaikan di muka bumi. Begitu pun manusia sebagai
tokoh utama yang menjadi “pelaksana teknis” akan keduanya. Berkata bahwa kebaikan
lebih penting dari pada kejahatan, sama saja artinya dengan berkata bahwa perbedaan
itu tidak berkah. Sementara berkah, karunia Tuhan yang mendatangkan
kebaikan bagi kehidupan manusia (KBBI), kebanyakan tak berasal dari hal-hal dan
pengaruh yang baik saja. Bukankah kita mendapat pelajaran dan pada akhirnya
berbuat baik dan menegakkan kebaikan justru kebanyakan dari kejahatan,
keburukan, luka, derita, musibah, bencana atau kata-kata lain yang senada
dengan itu semua?
Analoginya, jika tidak ada
koruptor mana mungkin ada KPK? Jika tidak ada penjahat mana mungkin ada polisi?
Jika Amerika tidak melakukan kejahatan dengan cara menjatuhkan bom atom di
Nagasaki dan Hirshoma, mana mungkin Jepang bangkit dan berjaya? Jika Indonesia
tidak dijajah, mana mungkin negara ini merdeka? Jika tidak ada peperangan, mana
mungkin ada perdamaian. Dengan kata lain, jika tidak ada kejahatan, mana
mungkin ada kebaikan? Artinya, mana mungkin kita bisa mendapatkan berkah hidup
dan kehidupan sekiranya perbedaan itu tak ada—kebaikan dan kejahatan?
Penjelasan akan arti “pentingnya”
kejahatan di sini tidak berarti bahwa
kita harus melakukan kejahatan. Tanpa dilakukan pun kejahatan akan selalu ada,
pun kebaikan. Masalahnya sekarang adalah, sejauh mana kita, manusia, tokoh yang
diganjar-ganjar menjadi pelaku utama hidup dan kehidupan ini punya peranan
untuk melakukan dan mewujudkan rasa aman dan selamat sebagai wujud dari
kebaikan?
No comments:
Post a Comment