Menurut KBBI (2008), mencuri adalah mengambil milik orang
lain tanpa izin. Perbuatan ini acapkali dilakukan tanpa sepengetahuan dan izin
dari si pemilik. Sementara, orangnya sendiri disebut pencuri, dan peristiwanya
disebut pencurian.
Secara etimologi, mencuri memiliki banyak kata. Ini
tergantung pada apa, seberapa besar/banyak dan cara barang itu diambil. Pada
umumnya, mencuri berarti stealing
dalam bahasa Inggris. Namun ditengarai oleh motif dan sifatnya, perbuatan yang
termasuk ke dalam kejahatan kriminal ini pun dibedakan namanya menjadi larceny. Definisinya sendiri tak jauh
beda, yakni kejahatan pengambilan properti (uang atau barang) seseorang menjadi
milik seorang lain.
Larceny digunakan
untuk membedakannya dengan istilah robbery,
yang dalam bahasa Indonesia berarti perampokan atau pencolengan. Istilah ini biasanya
melibatkan tak hanya pencurian, tapi juga kekerasaan seperti pemaksaan,
ancaman, penganiayaan bahkan intimidasi, terhadap mereka yang diambil uang atau
barangnya. Tak ayal, ketiga sikap itu membuat si korban terluka.
Ada beberapa elemen yang menisbatkan bahwa perbuatan
tersebut dibilang larceny. Yang
pertama, pencuri mengambil kepemilikan properti dari si pemilik. Kedua, si
pencuri membawa atau memindahkan barang yang dicurinya itu. Ketiga, adanya
penyalagunaan, yakni pencuri mempunyai kepemilikan mutlak atas properti tanpa
seizin dari pemilik sebenarnya. Keempat, properti haruslah merupakan barang
yang nyata, seperti uang, perhiasaan dan pakaian, serta bisa dijadikan bukti.
Kelima, properti menjadi kepemilikan orang lain yang secara penuh menjadi tertuduh
bagi si pemilik mutlak. Keenam, harus adanya maksud dalam mencuri, yakni niat
sengaja seseorang untuk mencuri baik dengan niatan untuk menghilangkan barang
dari si pemiliknya, maupun dari ketertarikan barang itu sendiri (Dreisbach,
2009).
Kendati demikian, pencurian yang dilakukan dengan cara
membongkar rumah dan mengambil barang-barangnya tidaklah disebut larceny, akan tetapi burglary. Padanan kata yang biasa
digunakan untuk pencurian atau perampokan atau peroncean jenis ini adalah,
penggasakan atau pembobolan. Kejahatan seperti ini biasanya dilakukan di malam
hari. Tak hanya si pencuri mengetahui target sasarannya, akan tetapi dia pun
merencanakannya. Dengan kata lain, kejahatan sepert ini kerap kali
terorganisir.
Dewasa ini, perampokan tak hanya dilakukan di malam hari,
tetapi juga di siang hari. Malah, tak sedikit kasus dimana orang dalam pun
terlibat di dalam kejahatan ini. Orang dalam bisa jadi pembantu, karyawan dan
lain sebagainya. Pencurian pada awal dan umumnya hanyalah sebatas trial (percobaan). Tapi ketika dirasa trial ini tak mendapat hambatan, maka
berubahlah dia menjadi habit
(kebiasaan). Akan lebih parah lagi jika dia mengubah dirinya menjadi custom (adat). Jelas, hal ini tidak
muncul dengan sendirinya tanpa ada orang-orang yang sengaja mentradisikannya.
Jika sudah seperti itu, kejahatan ini pun dilakukan secara terang-terangan (di
siang hari). Pencurian, entah dengan mengambil dan menyalahgunakan properti
yang diambil, yang dilakukan oleh orang dalam atau orang yang diberi kepercayaan,
disebut penggelapan (blackout) atau
penipuan (fraud). Inilah istilah baru
berkedok penyediaan akan jasa dan layanan.
Hal ini dengan cantik dicontohkan lewat kasus seorang
karyawan cantik bank yang telah bekerja selama 20 tahun. Seiring pekerjaannya, ia
menggelapkan uang dengan cara mentransfer uang nasabahnya ke rekening miliknya.
Sebut saja Kasus Melinda Dee, salah seorang karyawan bank yang namanya terkenal
di seluruh dunia. Dengan demikian, tertuduh tak hanya berkhianat kepada tempat
dimana ia bekerja, akan tetapi ia juga
telah melakukan tindakan pidana yang tergolong berat.
Pencurian pun berubah namanya jika dilakukan di
tempat-tempat tertentu. Jika pencurian dilakukan di kapal laut, maka disebut
perompakan. Jika dilakukan di pesawat terbang maka disebut pembajakan. Walau,
ada kalanya kedua istilah ini bisa digunakan di kedua tempat. Contohnya saja,
pencuri yang melakukan kejahatannya di kapal laut biasa disebut bajak laut atau
perompak. Meski, tak ada pencuri yang melakukan kejahatannya di pesawat terbang
disebut bajak udara, melainkan pembajak saja.
Perompakan atau pembajakan dalam bahasa Inggris disebut Hijacking. Kejahatan ini dilakukan di
kendaraan-kendaraan yang sedang berada dalam perjalanan (transit). Istilah hijacking sendiri sebenarnya digunakan
hanya untuk kejahatan yang ada di darat (jalan raya). Sedang untuk yang di
udara (pesawat terbang), lebih tepat disebut skyjacking atau air piracy.
Tak hanya mencuri dari penumpang, pembajak pun kerap kali meminta uang tebusan.
Saat ini, bangsa kita tercinta pun harus menghadapi kenyataan serupa. Warga
negara Indonesia yang saat ini berada di kapal laut, harus menghadapi kejahatan
bajak laut Somalia.
Beda halnya dengan pencurian biasa yang termasuk tindak
pidana ringan, hijacking adalah
satu-satunya kejahatan kelas kakap. Sejarah mencatat dimana hijacking yang terjadi pada tanggal 11
September 2001, tak hanya berdampak politis, tapi juga psikologis, sosiologis
bahkan religius. Peristiwa yang menjatuhkan sekira 3000 orang korban meninggal
akibat hantaman dua pesawat jet ke sebuah gedung bernama WTC (World Trade
Center) itu, serta merta mengubah pandangan warga dunia terhadap sebuah
kepercayaan, khususnya agama Islam.
Efek lain yang muncul dari peristiwa ini adalah lahirnya
istilah teroris. Sayangnya, pengalamatan istilah ini pun selalu jatuh pada
agama yang bersimbolkan bintang dan bulan ini. Kiranya, kenyataan itu pun masih
bisa dirasakan sampai sekarang.
Terakhir, ada juga pencurian yang sebenarnya tidak diniatkan
untuk mencuri. Orang yang melakukan pencurian ini tak melihat barang yang
dicurinya sebagai sesuatu yang bernilai. Bahkan, ada kalanya barang-barang yang
diambil hanya dikarenakan bentuknya yang unik dan menarik. Orang-orang semacam
ini merasa tegang ketika melakukan perbuatannya dan merasa lega ketika bisa
menyelesaikannya. Mereka akan puas jika sudah mendapat apa yang diinginkannya.
Perbuatan ini bukanlah kejahatan, akan tetapi penyakit yang dikarenakan tidak bisa mengontrol diri
untuk memiliki barang yang sebenarnya bisa dibeli, bahkan seringkali kurang
berharga. Penyakit ini disebut kleptomania.
Sesungguhnya, tanpa harus mempertanyakan mengapa mencuri itu
dilarang dan juga termasuk perbuatan tidak terpuji, kita bisa menyaksikan
sendiri kenyataannya. Pasalnya, bukan hanya masalah merugikan-dirugikan; tapi,
lebih pada efek yang ditimbulkannya. Barang yang dicuri adalah suksesi yang tak
sampai pada tujuannya. Orang yang dicuri adalah mereka yang harus membayar
“harga” yang mestinya tak ditanggungnya. Tentunya, tak hanya masalah finansial
saja yang bermasalah di sini, tapi juga sisi psikologi, sosiologi bahkan
religiusnya.
Orang yang mencuri adalah mereka yang tak bertanggung jawab
atas perbuatannya, yang menyalahgunakan sesuatu tak pada tempatnya, yang lepas
tangan terhadap “harga” yang mesti dibayarnya. Dalam hal ini, ada “mata rantai”
yang hilang, yang ditinggalkan oleh pencuri dan yang dicuri. Sedang kita tahu,
barang yang tercuri tak bisa berkata-kata apa-apa. Dia tak lagi berada di
posisinya sebagaimana sedikala karena memang telah kehilangan “jabatannya.”
Hemat kata, pencurian merusak kesetimbangan harga (ekonomi), eskosistem, hidup,
dunia.
Bagaimanapun, tak ada satu pun manfaat dari perbuatan
mencuri dalam bentuk apa pun. Kecuali satu, mencuri sebagai gerakan manuver
dalam permainan olah raga, seperti mencuri bola dari lawan untuk menciptakan
goal! (Fim Anugrah/"Saswaloka")
Catatan:
Tulisan ini dibuat di Purwakarta pada tanggal 21 April 2011. Ada sesuatu hal yang kurang di sana. Tapi jika hal itu harus dipertanyakan, maka pertanyaan itu akan berbunyi demikian: "Lalu, bagaimana dengan korupsi?" Semoga dugaan saya tidak salah.
No comments:
Post a Comment