Friday, June 10, 2016

Barasuara: Ketika Taifun Tak Menyuarakan Bara


BARASUARA baru saja meluncurkan album perdana. Taifun namanya. Berbeda halnya dengan acara wara-wiri yang terlebih dulu dilakukan di berbagai macam kegiatan termasuk live performance yang bisa dilihat di kanal kapitalis Youtube; di album ini, Barasuara justru seperti kehilangan geregetnya. Sebut dia seekor macan. Maka di album ini, dia adalah macan yang kehilangan raung predatornya. (Mudah-mudahan tak cepat-cepat kehilangan belangnya.)  

Tak perlu dimungkiri seperti apa kualitas band breakthrough yang satu ini dalam hal bermusik. Untuk masalah aransemen akibat dari mature-nya kontemplasi setelah si pemilik akal kesebelas—Iga Massardi—melakukan kontemplasi-eksplorasi selama dua tahun setelah hengkang dari The Trees and The Wild dan beberapa band-project lainnya, Barasuara punya segalanya. Tonton live performance-nya yang dirilis oleh Sounds From The Corner di kanal dengan nama yang sama. Hanya dengan sekali menyaksikan, seseorang dijamin langsung manggut-manggut seraya berkata: “Ini baru namanya musik. Ajib!”

Dan setelah menemukan Barasuara, serta merta dia akan merasa seolah-olah telah menemukan sumber air baru. Bukan! Tapi air terjun yang meluncur dari ketinggian lima meter dan menghujam tepat di atas ubun-ubun. Segar. Hidup. Bebas. Air baptis juga yang meluncur di kepalanya itu. Merasa diselamatkan dari hegemoni kaum kapitas industri musik bangsa yang memang sudah tidak sehat, tercemar, dan murahan, beberapa waktu lalu.

Dunia Musik Yang Miris

Setelah dunia kaset hilang, CD terancam, bahkan toko kaset ternama gulung tikar; setelah semua musik dan lagu dikomersilkan, termasuk pelantunnya; digantikan oleh era serba dijital—dunia ada di sekali tekan telunjuk yang terhormat—kekhawatiran pecinta musik meradang. Mereka jenuh sekaligus jengah dengan musik-musik cengeng dari band-band cengeng yang sengaja disuguhkan oleh label-label mayor semata karena tuntutan pasar. Padahal, dengan lantang Efek Rumah Kaca berkata: “Pasar bisa diciptakan.”

Band yang satu dengan yang lain, pun musik-musik yang diciptakannya, tak hanya banal tapi juga tak punya identitas, karena semua sama saja. Sama-sama pasaran, cengeng, jalang. Putus cinta, jatuh cinta jadi tema besar generasi alay yang diproduksi massal dan dikonsumsi besar-besaran oleh penduduk negeri ini. Nada yang sama dengan judul-judulnya yang tak jauh beda. Lalu dimana letak perkembangannya? Di manakah letak musik sebagai hasil budaya artistik yang kreatif dan dinamik? Ah, tidak. Sepertinya dunia yang satu ini berjalan di tempat saja. Sebuah euforia acara kembang api yang meletus di malam Tahun Baru dan esoknya semua orang pun tertidur lelap. Kenyang telinga dengan lantunan lagu-lagu yang tak lagi berdiam di kepala. Dunia tanpa suara. Karena yang lantang adalah mereka yang berhasil mengumpulkan pundi-pundi uang hasil proyekan. Label-label utama.

Tak percaya? Tengok Letto sedang apa, mungkinkah mereka sudah letoy? Hijaudaun, mungkinkah kehabisan udara dan memilih menjadi ulat saja? Lalu, ck, Kangen Band, untuk apa pula membicarakan band yang sibuk dengan rambutnya ini? The Titan, memilih menjadi buih setelah Cronus menguasai Zaman Keemasan. Hanya sang pinoir yang sekarang ongkang-ongkang kaki menikmati hasilnya karena telah pula berhasil mengubah dunia permusikan di negeri yang tentram ini. Tapi, mau sampai kapan mereka bertahan kecuali kualitas yang tetap harus mereka punya dan pertahankan? Tanpa itu semua, kita akan kembali ke titik nol di mana manusia menyanyikan mantra-mantra, merapal puja-puji sebagai persembahan pada alam yang penuh misteri dan tak terjelaskan. Warisan nenek moyang bernama tradisi yang harus diselamatkan.  

Hemat kata, semua itu tak lebih dari sekadar air yang menguap ke udara, tak bersisa dan tak menyisakan apa-apa. Jauh dari kata kreatif, khas dan filosofis, serta semata menjadi hiburan yang ditengarai oleh pikiran licik dari apa yang kita sebut sebagai peluang atau kesempatan. Musim melayu juallah lagu mendayu; musim cengeng juallah air mata. Strategi, bukankah itu urutan kedua setelah pembacaan terhadap alam lingkungan dan sosial?

Rumput-Rumput Bernyanyi

Orang itu mungkin juga berkata bahwa ternyata musik Indonesia masih ada. Lebih dari itu: masih hidup. Tak terlalu mengecewakan meski hanya ada satu atau dua. Rumah Sakit atau Pure Saturday, Efek Rumah Kaca atau Barasuara, Payung Teduh atau Danilla, Bangkutaman atau Angsa dan Srigala, Pandai Besi atau Sarasvati, Stars and Rabbit atau Banda Neira, Melancholic Bitch atau Frau, Sore atau Silampukau, dan banyak lagi.

Begitulah, nama-nama ini hampir asing terdengar di telinga. Pasalnya, selama ini mungkin kebanyakan orang hanya melihat pohon besar di tengah keramaian ilalang. Padahal, rumput adalah padang yang berkembang dan tumbuh subur di halaman belakang. Lagi pula, siapa juga yang kenal dengan nama-nama itu, yang nyaris tak pernah hadir di chart list musik di televisi atau radio? Tak ada kekuatan besar sebesar kekuatan pemilik modal perihal marketing dan distribusi melainkan sebatas tumbuh dan berkembang.

Jumput-jumput rumput yang berubah jadi padang yang menyejukkan akan tetapi luput dari perhatian khalayak ramai. Tapi, peduli apa mereka dengan pasar dan tuntutan? Mereka hanya tahu bahwa hidup lebih dari soal keberlanjutan tapi soal kemampuan untuk terus berkembang. Bagaimanapun, bumi dan apa pun yang bergerak di atasnya, sebagai penyedia inspirasi bagi para musisi, telah banyak memberikan kontribusi pada hasil karyanya. Dan barangkali, inilah saatnya bagi mereka untuk membalas jasa. Menikmati interaksi dan simbiosis mutualisme ini senikmat kita mendengarkan bagaimana suara-suara rumput itu lebih merdu ketimbang burung yang bertengger dan berkicau di dahan pohon. Dan ini namanya keselarasan.

Suara Yang (Coba) Membara

Sekali lagi. Barasuara memang suara raungan air terjun yang meluncur dari kanal tersembunyi. Musiknya menggebrak orang-orang yang sudah terlalu lama tak mendongak. Menghentak. Alunan tempo yang mengalir, kadang cepat kadang lambat, dibarengi dengan petikan gitar dengan suara elektriknya yang natural disokong suara distori, menghidupkan tujuh nada yang ada. Tujuh nada yang sedari awal sebenarnya sama namun menjadi berbeda di tangan Barasuara.

Nyala Suara” misalnya, sekalipun dimulai dengan suara gitar Iga yang terkesan kasar, tapi komposisi musik menjadi sangat harmonis ketika gebukan drum Marco Steffiano masuk mengiringinya disusul petikan lead guitar TJ Kusuma. Terlebih ketika senar bass segede-gede jempolnya Gerald Situmorang ikut ambil bagian memulai hajatan. Vokal pun tak kurang garangnya sekalipun dibawakan oleh Iga Massardi dan Asteriska Widiantini yang pandai menempatkan range dan warna suaranya.

Bagi para pemuja single atau lagu jagoan untuk diperdengarkan di publik, orang mungkin takkan terlalu hirau dengan lagu pertama sebuah penampilan. Tapi bagi Barasuara, “Nyala Suara” seakan menjadi letusan pistol di pesta ulang tahun. Sekiranya Iga dan kawan-kawan masuk dan berdiri panggung bersenjatakan alat musiknya masing-masing, mungkin dia akan berkata: “Perhatian! Kami mau tampil.” Dan benarlah, dengan “Nyala Suara”, Barasuara telah berhasil mencuri perhatian kita.

Lalu, petikan melodi dan kesan oriental pun terdengar lebih kentara di “Sendu Melagu.” Di lagu ini kita disuguhkan dengan aransemen piawai musisinya. Sesuatu yang jarang terdengar di lagu-lagu pada umumnya. Terlebih, dentuman drum Marco yang berhasil memadu-madankan vokal dan instrumen lainnya dengan tempo diramu sedemikian rupa. Power pun menjadi sesuatu yang terjaga dari awal sampai akhir lagu. Dan ini, diulang terus dan terus di lagu-lagu berikutnya, termasuk “Bahas Bahasa.”

Api dan Lentera” mungkin menjadi lagu highlight dari penampilan keseluruhan mereka. Dia adalah center alias lagu jagoan Barasuara. Tak hanya dari kacamata musikalitas mereka mengukuhkan genre dan jati dirinya, tapi juga dari lirik yang dilantunkannya.

Lepaskan rantai yang membelenggu
Nyalakan api dan lenteramu
Sampaikan mereka bara dan suara

Begitu mereka berkata, menyampaikan larik-larik beraroma sastra pada diri orang-orang dan mungkin pada diri Barasuara sendiri. Setidaknya, kita bisa melihat ini menjadi semacam penisbatan bahwa seseorang mesti(nya) keluar dari tali kekang (rantai yang membelenggu) dan menyalakan api semangat dan memanarkan cahaya lenteranya, mungkin keyakinan atau prinsip. Hanya penulis lirik yang tahu makna sebenarnya. Setelahnya, sampaikan pada orang-orang tentang benih-benih semangat itu (bara), suara itu.

Sebagaimana kita tahu, bara adalah sumber nyala api yang panas dan biasanya berwarna merah. Bara adalah simbol pertumbuhan, kelahiran, dan bukan api. Dia akan tetap dan berusaha menyala sekalipun api sudah padam. Sedangkan merah, menurut J.E. Chirlot dalam bukunya A Dictionary of Symbol (2001), adalah simbol kekuatan, selain pengorbanan. Mungkinkah atas dasar pemaknaan ini mengapa nama band ini adalah Barasuara? Suara yang akan terus untuk membara dan menyala?

Anomali Lirik

Jika benar adanya, maka tak aneh mengapa komposisi dan aransemen ditengarai jiwa musikalitas yang tinggi menjadi jagoan atas lagu-lagu Barasuara. Petikan sangat gitar, dengungan bass, dan gebukan drum hampir seluruhnya mendominasi keselurhan lagu. Salah? Tidak! Justru sebaliknya. Akan tetapi, sebagaimana orang-orang kali pertama mendengarkan lagu-lagunya, mereka mungkin akan mengernyitkan dahinya.

Bagaimanapun, musik dan lagu tak pernah benar-benar bisa dipisahkan. Dia adalah ruh dan tubuh yang saling mengisi dan saling melengkapi. Pasalnya, sekalipun kita dibuat mabuk oleh aransemen musiknya, tapi pengkodifikasian kita terhadap lirik lagu menjadi suatu persoalan yang tak mudah untuk dipecahkan. Bagi mereka yang terbiasa mendengar lirik lagu yang bersifat naratif—yang banal sekalipun—jelas ini menjadi masalah.

Kiranya lirik sastrawi ini bisa kita dapati di lagu “Nyala Suara”, “Sendu Melagu” dan “Menunggang Badai”. Walau demikian, tak berarti pada lagu-lagunya tak ada. Mungkin ini hanya masalah intensitas pemilihan diksi saja.

Baramu padam, baramu padam
Lara menyala tanpa suara
Bara dalam sekam
Kala merdeka ada suara
Riak melebur, peluh membaur
Karam dalam diam
Karam dalam bara dalam sekam

Sejatinya, tak mudah untuk kita membaca arti atau makna lirik ini. Baramu padam, katanya. Bara yang mana? Dan, siapa “mu” di sini? Lara atau duka atau gundah atau sedih menyala tanpa suara. Sebuah ambiguitas. Mungkinkah kelaraan atau kesedihan bisa bersuara? Tidakkah kebanyakan awam tahu bahwa kesedihan acapkali tak berbahasa melainkan diam dalam hening?

Dalam kacamata logika, bara dalam sekam tentunya akan menghasilkan api. Dan di saat merdeka atau bebas, baru kita bisa bersuara, berbicara. Kemudian riak melebur. Tak tahu kita apa makna kata “riak” di sini karena memang tak ada referent baik sebelum mau pun sesudahnya. Tahu-tahu peluh (keringat) sudah membaur (menyatu). Mungkinkah dengan api yang sudah menyala tadi? Tenggelam dalam diam. Diam melulu dalam bara dalam sekam. Diam tapi bara. bara tapi tenggelam; menyala, tapi dalam sekam pula. Hematnya, hendak lahir, hidup dan “menyala”, tapi diam. Tidakkah ini sebuah anomali?

Jangan kau anggap aku mati, kata Gekirin dalam film Fish Story (2009), karena /musik yang ditumpuk bagai bongkahan kayu/adalah satu-satunya penyelamat. Barangkali itu yang hendak disuarakan oleh lagu ini. Sayang, the lyric is flawed. Tak sampai maknanya ke pendengarnya.

Semua yang kau rindu//Semua menjadi abu//Langkahmu tak berkawan//Kau telah sia-siakan//Waktu yang kau tahu//Waktu yang berlalu//Ingatmu kau merayu//Ingatnya kau berlalu//Sendu melagu, lantun lagu bertajuk “Sendu Melagu” ini. Terasa betapa liriknya puitis dengan rima yang teratur: rindu-abu, berkawan-sia-siakan, dan seterusnya.

Tapi “waktu yang kau tahu” jelas sebuah subjek dengan penjelas yang masih membutuhkan kata kerja untuk menyempurnakan kalimatnya. Maka, waktu yang kau tahu, yang sudah berlalu itu, kau ingat bagaimana kau merayu; dan kau, mengingatnya—mungkin laki-laki atau perempuan—berlalu . Hingga pada akhirnya, setelah semua telah menjadi abu dan kau sendiri lagi, kau hanya bisa merindu seraya melagu (bernyanyi) dalam/atau dengan sendu.

Tak mudah untuk bisa memaknai arti lagu ini, kecuali penulis lirik yang tahu, juga pada lirik-lirik lagu yang lainnya. Bagaimanapun, lirik-lirik lagu Barasuara yang hampir puitis, sebagaimana halnya puisi itu sendiri, memang bersifat prismatis. Tak pahamnya kita atas lirik lagu itu, bukan tak mungkin puisi ini tak lebih dari sekedar bunyi yang tak ada artinya sama sekali.

Lain dari pada itu, licentia poetica juga ikut andil dalam lirik-lirik lagu yang lain. Sebut saja “keras serapa” dalam lagu “Tarintih”. “Keras serapah” dan bukan “sumpah serapah” yang lebih umum terdengar di publik. Lalu ada frase “serap seram” di lagu “Api dan Lentera”. Perlakuan aksi “serap” atau isap, resap, biasanya digunakan untuk sesuatu yang bersifat cair. Tapi verba ini justru dilakukan terhadap sesuatu yang abstrak, sebuah kata sifat, yakni seram. Bagaimana caranya ketakutan diisap?

Juga frase “pedih bersulang” dan “diam memburu” dalam “Menunggang Badai,” dan yang lainnya yang bertebaran di lirik-lirik lagu Barasuara, adalah sesuatu yang bisa disebut sebagai PR tambahan bagi mereka yang memang ingin memahami arti lagu-lagu itu sesungguhnya. Salahkah dengan itu semua? Tidak sama sekali! Musisi, pencipta lirik lagu dan pencipta susunan nada punya hak untuk melakukan apa pun yang dia mau. Hanya saja barangkali, bagaimanapun dan tetap, dia tak bisa abai dengan publik, terlebih yang awam. Tak bisa mengesampingkan yang satu (lirik lagu) dengan yang lainnya (nada) sehingga tercipa musik yang padu dan paripurna.

Seusai Album

Live performance, jangan ditanya. Sayang, dalam album Taifun yang dirilis Oktober 2015 ini kesan garang dan powerfull Barasuara seolah kehilangan auranya. Tempo ketukan yang melambat. Suara mendengung terdengar bagai lebah di beberapa lagu. Lengkingan vokal yang tak perlu dibuat sedemikian rupa hingga lebih mirip teriakan seorang pawang hujan merapal mantra. Suara terompet dan orgel yang menjadikan sebuah lagu terkesan disko ketimbang rock.

Konfigurasi suara instrumen pun disuguhkan dalam level yang sama sebagaimana hal ini dilakukan oleh band-band di negeri Sakura. Terlebih masalah mixing, untuk masalah musikalitas pun jelas Indonesia berbeda dengan Jepang. Mungkinkah ini adalah alamat latar belakang Iga yang memang menikmati band-band Jepang sedari dulu? Entahlah.

Tak seperti ketika tengah live performance di posting di kanal Youtube, kesan kosong dalam jeda segemen bait dan musik pun terasa sekali di album ini. Gitar hanya sebagai pengiring, drum hanya sebatas ketukan atau tempo—bahkan suara gebukannya pun tak senatural ketika di panggung, dan vokal Iga juga Asteriska pun tak seperti biasanya. Terlalu banyak magic trick di sana sini, yang akhirnya, bagi mereka yang sudah membandingkannya, mungkin akan memilih yang live performance tinimbang albumnya, lebih natural dan tak artifisal. Entah masalah setingan instrumen atau mixing, tak ada yang tahu. Setidaknya dari sana kita bisa berkata jika Barasuara tampak terlalu asyik dengan musiknya ketimbang dengan lagu dan komposisi antara keduanya. Berharap bara menyala, sayang angin(taifun)nya tak ada dan kembara.

Oke Barasuara meniatkan lagu-lagunya meledak, mengentak dan terdengar eksotis. Tapi di album ini, ledakannya lebih mirip petasan basah yang dibakar. Alih-alih meledak, ia malah meletup. Bagi yang sudah menyaksikan penampilannya di Sound From The Corner, bukan tidak mungkin alamat sayang dihantarkan. Bagaimanapun, seorang pencipta tak bisa abai terhadap detail. Menggubah yang ada dengan yang baru dan mengabaikan apa yang telah menjadi sangat lekat dengan penikmatnya. Sejatinya, tradisi tak bisa dengan mudah diubah ketika dia sudah menjadi milik publik. Dengan dirilisnya “Taifun” ini, mestikah kita berkata: “Sudahlah, Barasuara live perform aja dan ga usah bikin album segala!?” Barangkali, hanya dua malaikat yang menjadi penyelamat di album ini, yakni “Haiga” dan “Taifun”. Dua lagu yang memang belum banyak terdengar di kanal Youtube.

Satu yang pasti, biaralah Barasuara membara dan bersuara dengan karyanya. Karya yang tidak hanya sekadar mengisi hidup atau meramaikan khazanah musik negeri karena itu sudah biasa. Sudah saatnya musik Indonesia punya visi, punya misi, yang semoga tak cuma interupsi. Tentu, dengan terus belajar dan memperbaiki diri. Karena sebagaimana peribahasa yang sudah sering terdengar di telinga: Bakat itu tak ada artinya; sementara pengalaman diperoleh dari kerendahan hati dan kerja keras. Tabik!***(Fim Anugrah)

*) Penulis adalah pekerja sastra, pembelajar bahasa, dan penikmat musik progressive & alternatif.

No comments:

Post a Comment