BARASUARA
baru saja meluncurkan album perdana. Taifun namanya. Berbeda halnya dengan acara
wara-wiri yang terlebih dulu dilakukan di berbagai macam kegiatan termasuk live performance yang bisa dilihat di kanal
kapitalis Youtube; di album ini, Barasuara justru seperti kehilangan geregetnya.
Sebut dia seekor macan. Maka di album ini, dia adalah macan yang kehilangan
raung predatornya. (Mudah-mudahan tak cepat-cepat kehilangan belangnya.)
Tak
perlu dimungkiri seperti apa kualitas band breakthrough
yang satu ini dalam hal bermusik. Untuk masalah aransemen akibat dari mature-nya kontemplasi setelah si
pemilik akal kesebelas—Iga Massardi—melakukan kontemplasi-eksplorasi selama
dua tahun setelah hengkang dari The Trees
and The Wild dan beberapa band-project
lainnya, Barasuara punya segalanya. Tonton live
performance-nya yang dirilis oleh Sounds
From The Corner di kanal dengan nama yang sama. Hanya dengan sekali
menyaksikan, seseorang dijamin langsung manggut-manggut seraya berkata: “Ini
baru namanya musik. Ajib!”
Dan
setelah menemukan Barasuara, serta merta dia akan merasa seolah-olah telah menemukan
sumber air baru. Bukan! Tapi air terjun yang meluncur dari ketinggian lima
meter dan menghujam tepat di atas ubun-ubun. Segar. Hidup. Bebas. Air baptis
juga yang meluncur di kepalanya itu. Merasa diselamatkan dari hegemoni kaum
kapitas industri musik bangsa yang memang sudah tidak sehat, tercemar, dan
murahan, beberapa waktu lalu.
Dunia Musik Yang Miris
Setelah
dunia kaset hilang, CD terancam, bahkan toko kaset ternama gulung tikar;
setelah semua musik dan lagu dikomersilkan, termasuk pelantunnya; digantikan
oleh era serba dijital—dunia ada di sekali tekan telunjuk yang terhormat—kekhawatiran
pecinta musik meradang. Mereka jenuh sekaligus jengah dengan musik-musik
cengeng dari band-band cengeng yang sengaja disuguhkan oleh label-label mayor
semata karena tuntutan pasar. Padahal, dengan lantang Efek Rumah Kaca berkata:
“Pasar bisa diciptakan.”
Band
yang satu dengan yang lain, pun musik-musik yang diciptakannya, tak hanya banal
tapi juga tak punya identitas, karena semua sama saja. Sama-sama pasaran,
cengeng, jalang. Putus cinta, jatuh cinta jadi tema besar generasi alay yang diproduksi
massal dan dikonsumsi besar-besaran oleh penduduk negeri ini. Nada yang sama
dengan judul-judulnya yang tak jauh beda. Lalu dimana letak perkembangannya? Di
manakah letak musik sebagai hasil budaya artistik yang kreatif dan dinamik? Ah,
tidak. Sepertinya dunia yang satu ini berjalan di tempat saja. Sebuah euforia acara
kembang api yang meletus di malam Tahun Baru dan esoknya semua orang pun tertidur
lelap. Kenyang telinga dengan lantunan lagu-lagu yang tak lagi berdiam di
kepala. Dunia tanpa suara. Karena yang lantang adalah mereka yang berhasil
mengumpulkan pundi-pundi uang hasil proyekan. Label-label utama.
Tak
percaya? Tengok Letto sedang apa, mungkinkah mereka sudah letoy? Hijaudaun, mungkinkah kehabisan udara dan memilih menjadi
ulat saja? Lalu, ck, Kangen Band, untuk apa pula membicarakan band yang sibuk
dengan rambutnya ini? The Titan, memilih menjadi buih setelah Cronus menguasai
Zaman Keemasan. Hanya sang pinoir yang sekarang ongkang-ongkang kaki menikmati
hasilnya karena telah pula berhasil mengubah dunia permusikan di negeri yang
tentram ini. Tapi, mau sampai kapan mereka bertahan kecuali kualitas yang tetap
harus mereka punya dan pertahankan? Tanpa itu semua, kita akan kembali ke titik
nol di mana manusia menyanyikan mantra-mantra, merapal puja-puji sebagai
persembahan pada alam yang penuh misteri dan tak terjelaskan. Warisan nenek
moyang bernama tradisi yang harus diselamatkan.
Hemat
kata, semua itu tak lebih dari sekadar air yang menguap ke udara, tak bersisa
dan tak menyisakan apa-apa. Jauh dari kata kreatif, khas dan filosofis, serta semata
menjadi hiburan yang ditengarai oleh pikiran licik dari apa yang kita sebut
sebagai peluang atau kesempatan. Musim melayu juallah lagu mendayu; musim
cengeng juallah air mata. Strategi, bukankah itu urutan kedua setelah pembacaan
terhadap alam lingkungan dan sosial?
Rumput-Rumput Bernyanyi
Orang
itu mungkin juga berkata bahwa ternyata musik Indonesia masih ada. Lebih dari
itu: masih hidup. Tak terlalu mengecewakan meski hanya ada satu atau dua. Rumah Sakit atau Pure Saturday, Efek Rumah
Kaca atau Barasuara, Payung Teduh atau Danilla, Bangkutaman atau
Angsa dan Srigala, Pandai Besi atau Sarasvati, Stars and Rabbit
atau Banda Neira, Melancholic Bitch atau Frau, Sore atau Silampukau, dan banyak lagi.
Begitulah,
nama-nama ini hampir asing terdengar di telinga. Pasalnya, selama ini mungkin
kebanyakan orang hanya melihat pohon besar di tengah keramaian ilalang.
Padahal, rumput adalah padang yang berkembang dan tumbuh subur di halaman
belakang. Lagi pula, siapa juga yang kenal dengan nama-nama itu, yang nyaris
tak pernah hadir di chart list musik di televisi atau radio? Tak ada kekuatan
besar sebesar kekuatan pemilik modal perihal marketing dan distribusi melainkan
sebatas tumbuh dan berkembang.
Jumput-jumput
rumput yang berubah jadi padang yang menyejukkan akan tetapi luput dari
perhatian khalayak ramai. Tapi, peduli apa mereka dengan pasar dan tuntutan? Mereka
hanya tahu bahwa hidup lebih dari soal keberlanjutan tapi soal kemampuan untuk
terus berkembang. Bagaimanapun, bumi dan apa pun yang bergerak di atasnya, sebagai
penyedia inspirasi bagi para musisi, telah banyak memberikan kontribusi pada
hasil karyanya. Dan barangkali, inilah saatnya bagi mereka untuk membalas jasa.
Menikmati interaksi dan simbiosis mutualisme ini senikmat kita mendengarkan
bagaimana suara-suara rumput itu lebih merdu ketimbang burung yang bertengger
dan berkicau di dahan pohon. Dan ini namanya keselarasan.
Suara Yang (Coba) Membara
Sekali
lagi. Barasuara memang suara raungan air terjun yang meluncur dari kanal
tersembunyi. Musiknya menggebrak orang-orang yang sudah terlalu lama tak
mendongak. Menghentak. Alunan tempo yang mengalir, kadang cepat kadang lambat,
dibarengi dengan petikan gitar dengan suara elektriknya yang natural disokong
suara distori, menghidupkan tujuh nada yang ada. Tujuh nada yang sedari awal
sebenarnya sama namun menjadi berbeda di tangan Barasuara.
“Nyala Suara” misalnya, sekalipun dimulai
dengan suara gitar Iga yang terkesan kasar, tapi komposisi musik menjadi sangat
harmonis ketika gebukan drum Marco Steffiano masuk mengiringinya disusul
petikan lead guitar TJ Kusuma.
Terlebih ketika senar bass segede-gede jempolnya Gerald Situmorang ikut ambil
bagian memulai hajatan. Vokal pun tak kurang garangnya sekalipun dibawakan oleh
Iga Massardi dan Asteriska Widiantini yang pandai menempatkan range dan warna suaranya.
Bagi
para pemuja single atau lagu jagoan untuk diperdengarkan di publik, orang mungkin
takkan terlalu hirau dengan lagu pertama sebuah penampilan. Tapi bagi
Barasuara, “Nyala Suara” seakan
menjadi letusan pistol di pesta ulang tahun. Sekiranya Iga dan kawan-kawan
masuk dan berdiri panggung bersenjatakan alat musiknya masing-masing, mungkin
dia akan berkata: “Perhatian! Kami mau tampil.” Dan benarlah, dengan “Nyala Suara”, Barasuara telah berhasil
mencuri perhatian kita.
Lalu,
petikan melodi dan kesan oriental pun terdengar lebih kentara di “Sendu Melagu.” Di lagu ini kita
disuguhkan dengan aransemen piawai musisinya. Sesuatu yang jarang terdengar di
lagu-lagu pada umumnya. Terlebih, dentuman drum Marco yang berhasil
memadu-madankan vokal dan instrumen lainnya dengan tempo diramu sedemikian
rupa. Power pun menjadi sesuatu yang terjaga dari awal sampai akhir lagu. Dan
ini, diulang terus dan terus di lagu-lagu berikutnya, termasuk “Bahas Bahasa.”
“Api dan Lentera” mungkin menjadi lagu highlight
dari penampilan keseluruhan mereka. Dia adalah center alias lagu jagoan
Barasuara. Tak hanya dari kacamata musikalitas mereka mengukuhkan genre dan
jati dirinya, tapi juga dari lirik yang dilantunkannya.
Lepaskan
rantai yang membelenggu
Nyalakan
api dan lenteramu
Sampaikan
mereka bara dan suara
Begitu
mereka berkata, menyampaikan larik-larik beraroma sastra pada diri orang-orang
dan mungkin pada diri Barasuara sendiri. Setidaknya, kita bisa melihat ini menjadi
semacam penisbatan bahwa seseorang mesti(nya) keluar dari tali kekang (rantai
yang membelenggu) dan menyalakan api semangat dan memanarkan cahaya lenteranya,
mungkin keyakinan atau prinsip. Hanya penulis lirik yang tahu makna sebenarnya.
Setelahnya, sampaikan pada orang-orang tentang benih-benih semangat itu (bara),
suara itu.
Sebagaimana
kita tahu, bara adalah sumber nyala api yang panas dan biasanya berwarna merah.
Bara adalah simbol pertumbuhan, kelahiran, dan bukan api. Dia akan tetap dan
berusaha menyala sekalipun api sudah padam. Sedangkan merah, menurut J.E.
Chirlot dalam bukunya A Dictionary of
Symbol (2001), adalah simbol kekuatan, selain pengorbanan. Mungkinkah atas
dasar pemaknaan ini mengapa nama band ini adalah Barasuara? Suara yang akan
terus untuk membara dan menyala?
Anomali Lirik
Jika
benar adanya, maka tak aneh mengapa komposisi dan aransemen ditengarai jiwa
musikalitas yang tinggi menjadi jagoan atas lagu-lagu Barasuara. Petikan sangat
gitar, dengungan bass, dan gebukan drum hampir seluruhnya mendominasi
keselurhan lagu. Salah? Tidak! Justru sebaliknya. Akan tetapi, sebagaimana
orang-orang kali pertama mendengarkan lagu-lagunya, mereka mungkin akan
mengernyitkan dahinya.
Bagaimanapun,
musik dan lagu tak pernah benar-benar bisa dipisahkan. Dia adalah ruh dan tubuh
yang saling mengisi dan saling melengkapi. Pasalnya, sekalipun kita dibuat
mabuk oleh aransemen musiknya, tapi pengkodifikasian
kita terhadap lirik lagu menjadi suatu persoalan yang tak mudah untuk
dipecahkan. Bagi mereka yang terbiasa mendengar lirik lagu yang bersifat
naratif—yang banal sekalipun—jelas ini menjadi masalah.
Kiranya
lirik sastrawi ini bisa kita dapati di lagu “Nyala Suara”, “Sendu Melagu”
dan “Menunggang Badai”. Walau demikian, tak berarti pada lagu-lagunya tak ada.
Mungkin ini hanya masalah intensitas pemilihan diksi saja.
Baramu padam, baramu padam
Lara menyala tanpa suara
Bara dalam sekam
Kala merdeka ada suara
Riak melebur, peluh membaur
Karam dalam diam
Karam dalam bara dalam sekam
Sejatinya,
tak mudah untuk kita membaca arti atau makna lirik ini. Baramu padam, katanya.
Bara yang mana? Dan, siapa “mu” di sini? Lara atau duka atau gundah atau sedih
menyala tanpa suara. Sebuah ambiguitas. Mungkinkah kelaraan atau kesedihan bisa
bersuara? Tidakkah kebanyakan awam tahu bahwa kesedihan acapkali tak berbahasa
melainkan diam dalam hening?
Dalam
kacamata logika, bara dalam sekam tentunya akan menghasilkan api. Dan di saat
merdeka atau bebas, baru kita bisa bersuara, berbicara. Kemudian riak melebur.
Tak tahu kita apa makna kata “riak” di sini karena memang tak ada referent baik sebelum mau pun sesudahnya.
Tahu-tahu peluh (keringat) sudah membaur (menyatu). Mungkinkah dengan api yang
sudah menyala tadi? Tenggelam dalam diam. Diam melulu dalam bara dalam sekam.
Diam tapi bara. bara tapi tenggelam; menyala, tapi dalam sekam pula. Hematnya,
hendak lahir, hidup dan “menyala”, tapi diam. Tidakkah ini sebuah anomali?
Jangan kau anggap aku mati, kata Gekirin
dalam film Fish Story (2009), karena /musik
yang ditumpuk bagai bongkahan kayu/adalah
satu-satunya penyelamat. Barangkali itu yang hendak disuarakan oleh lagu
ini. Sayang, the lyric is flawed. Tak
sampai maknanya ke pendengarnya.
Semua yang kau rindu//Semua menjadi abu//Langkahmu
tak berkawan//Kau telah sia-siakan//Waktu yang kau tahu//Waktu yang berlalu//Ingatmu
kau merayu//Ingatnya kau berlalu//Sendu melagu, lantun lagu bertajuk “Sendu
Melagu” ini. Terasa betapa liriknya puitis dengan rima yang teratur: rindu-abu,
berkawan-sia-siakan, dan seterusnya.
Tapi “waktu
yang kau tahu” jelas sebuah subjek dengan penjelas yang masih membutuhkan kata
kerja untuk menyempurnakan kalimatnya. Maka, waktu yang kau tahu, yang sudah
berlalu itu, kau ingat bagaimana kau merayu; dan kau, mengingatnya—mungkin
laki-laki atau perempuan—berlalu . Hingga pada akhirnya, setelah semua telah
menjadi abu dan kau sendiri lagi, kau hanya bisa merindu seraya melagu
(bernyanyi) dalam/atau dengan sendu.
Tak mudah
untuk bisa memaknai arti lagu ini, kecuali penulis lirik yang tahu, juga pada
lirik-lirik lagu yang lainnya. Bagaimanapun, lirik-lirik lagu Barasuara yang
hampir puitis, sebagaimana halnya puisi itu sendiri, memang bersifat prismatis.
Tak pahamnya kita atas lirik lagu itu, bukan tak mungkin puisi ini tak lebih
dari sekedar bunyi yang tak ada artinya sama sekali.
Lain dari
pada itu, licentia poetica juga ikut
andil dalam lirik-lirik lagu yang lain. Sebut saja “keras serapa” dalam lagu “Tarintih”. “Keras serapah” dan bukan
“sumpah serapah” yang lebih umum terdengar di publik. Lalu ada frase “serap
seram” di lagu “Api dan Lentera”.
Perlakuan aksi “serap” atau isap, resap, biasanya digunakan untuk sesuatu yang
bersifat cair. Tapi verba ini justru
dilakukan terhadap sesuatu yang abstrak, sebuah kata sifat, yakni seram.
Bagaimana caranya ketakutan diisap?
Juga frase
“pedih bersulang” dan “diam memburu” dalam “Menunggang
Badai,” dan yang lainnya yang bertebaran di lirik-lirik lagu Barasuara,
adalah sesuatu yang bisa disebut sebagai PR tambahan bagi mereka yang memang
ingin memahami arti lagu-lagu itu sesungguhnya. Salahkah dengan itu semua?
Tidak sama sekali! Musisi, pencipta lirik lagu dan pencipta susunan nada punya
hak untuk melakukan apa pun yang dia mau. Hanya saja barangkali, bagaimanapun
dan tetap, dia tak bisa abai dengan publik, terlebih yang awam. Tak bisa mengesampingkan
yang satu (lirik lagu) dengan yang lainnya (nada) sehingga tercipa musik yang
padu dan paripurna.
Seusai Album
Live performance, jangan ditanya.
Sayang, dalam album Taifun yang
dirilis Oktober 2015 ini kesan garang dan powerfull
Barasuara seolah kehilangan auranya. Tempo
ketukan yang melambat. Suara mendengung terdengar bagai lebah di beberapa lagu.
Lengkingan vokal yang tak perlu dibuat sedemikian rupa hingga lebih mirip teriakan
seorang pawang hujan merapal mantra. Suara terompet dan orgel yang menjadikan
sebuah lagu terkesan disko ketimbang rock.
Konfigurasi
suara instrumen pun disuguhkan dalam level yang sama sebagaimana hal ini
dilakukan oleh band-band di negeri Sakura. Terlebih masalah mixing, untuk masalah musikalitas pun
jelas Indonesia berbeda dengan Jepang. Mungkinkah ini adalah alamat latar
belakang Iga yang memang menikmati band-band Jepang sedari dulu? Entahlah.
Tak seperti
ketika tengah live performance di posting
di kanal Youtube, kesan kosong dalam jeda segemen bait dan musik pun terasa
sekali di album ini. Gitar hanya sebagai pengiring, drum hanya sebatas ketukan
atau tempo—bahkan suara gebukannya pun tak senatural ketika di panggung, dan
vokal Iga juga Asteriska pun tak seperti biasanya. Terlalu banyak magic trick di sana sini, yang akhirnya,
bagi mereka yang sudah membandingkannya, mungkin akan memilih yang live performance tinimbang albumnya,
lebih natural dan tak artifisal. Entah masalah setingan instrumen atau mixing,
tak ada yang tahu. Setidaknya dari sana kita bisa berkata jika Barasuara tampak
terlalu asyik dengan musiknya ketimbang dengan lagu dan komposisi antara
keduanya. Berharap bara menyala, sayang angin(taifun)nya tak ada dan kembara.
Oke Barasuara
meniatkan lagu-lagunya meledak, mengentak dan terdengar eksotis. Tapi di album ini,
ledakannya lebih mirip petasan basah yang dibakar. Alih-alih meledak, ia malah
meletup. Bagi yang sudah menyaksikan penampilannya di Sound From The Corner, bukan tidak mungkin alamat sayang
dihantarkan. Bagaimanapun, seorang pencipta tak bisa abai terhadap detail. Menggubah yang ada dengan yang
baru dan mengabaikan apa yang telah menjadi sangat lekat dengan penikmatnya. Sejatinya,
tradisi tak bisa dengan mudah diubah ketika dia sudah menjadi milik publik. Dengan
dirilisnya “Taifun” ini, mestikah kita berkata: “Sudahlah, Barasuara live perform aja dan ga usah bikin album
segala!?” Barangkali, hanya dua malaikat yang menjadi penyelamat di album ini, yakni “Haiga”
dan “Taifun”. Dua lagu yang memang belum banyak terdengar di kanal Youtube.
Satu yang
pasti, biaralah Barasuara membara dan bersuara dengan karyanya. Karya yang
tidak hanya sekadar mengisi hidup atau meramaikan khazanah musik negeri karena
itu sudah biasa. Sudah saatnya musik Indonesia punya visi, punya misi, yang
semoga tak cuma interupsi. Tentu, dengan terus belajar dan memperbaiki diri.
Karena sebagaimana peribahasa yang sudah sering terdengar di telinga: Bakat itu
tak ada artinya; sementara pengalaman diperoleh dari kerendahan hati dan kerja
keras. Tabik!***(Fim Anugrah)
*) Penulis adalah pekerja sastra,
pembelajar bahasa, dan penikmat musik progressive & alternatif.
No comments:
Post a Comment