Friday, June 10, 2016

Remeh Temeh Soal Tulis-Menulis

Walau sudah lama tak menulis (puisi), dua buah sajak dalam buku antologi "Riak Sajak" kembali menjadi pelecut bagi apa pun yang berhubungan dengan dunia tulis-menulis saya. Kembali membaca, kembali menulis.

Entah disengaja atau tidak, dan memang tidak pernah sedikit pun diniatkan, berada di komunitas Sanggar Sastra Purwakarta--Sangsastra, begitu saya menyebutnya suatu hari yang pada akhirnya diamini oleh Rudy Aliruda--membuat saya kembali urun rembug perihal sajak-menyajak ini. Entah apa dasarnya.

Pasalnya, saya selalu merasa tidak pernah cocok untuk berorganisasi apa dan di mana pun, sekalipun dulu saya sempat sangat aktif di organisasi di Himpunan Mahasiswa Bahasa Inggris UPI (English Students' Association). Saya pribadi bukan tipe orang yang mainstream di dalam ke-antimainstreaman-nya sebuah organisasi sastra. Saya tidak menyukai keramaian termasuk segala atribut yang melekat padanya, organisasi itu. Bagi Si Sinis, budaya itu nonsense. Ia adalah buatan, artifisial, dan kadang irasional. Dan sebuah organisasi atau komunitas sastra, hal itu tak jauh berbeda.



Lagi pula, sastra, berapa banyak orang yang tahu dan mengerti kata itu? Dunia itu? Di tengah arus di mana negara ini lebih sibuk dengan politik dan ekonominya, hasil budaya yang satu ini memang selalu jauh panggang dari api. Sifatnya yang tidak praktis-fungsional membuatnya tambah jauh dari kata populer, disukai banyak orang dan digemari masyarakat bangsanya. Terlebih komoditi sastra abad ini, sebut saja buku, hanya menjadi hegemoni kaum-kaum kapitalis-materialistis semacam penerbit-penerbit besar dengan harganya yang mahal.

Menerbitkan buku seperti halnnya menerbitkan tulisan di sebuah surat kabar bangganya tak seperti dulu lagi. Di era yang serba digital, orang bisa menulis dan menerbitkan tulisan atau buku semau dia suka. Menjadi penulis buku pun tak lagi menjadi masalah, dan bukan pula menjadi prestasi yang prestius yang bisa dibanggakan. Cukup rogoh kocek sendiri dan siapa pun bisa menerbitkan bukunya sendiri secara onani.

Hal ini barangkali terjadi di kota-kota besar. Di kota kecil seperti kota saya ini, bisa melihat tulisan sendiri nampang di sebuah surat kabar atau buku antologi bersama tetap menjadi kebanggaan. Semacam penisbatan sekiranya dia adalah seorang manusia, maka dia akan berkata: "Selamat! Sekarang Anda sudah jadi seorang penulis!" Pertanyaannya sekarang adalah, sebegitu gampangkah seseorang bisa dan bisa disebut sebagai penulis hanya karena Anda menulis satu-dua buah puisi, cerpan, esei, yang notabene Anda pun buat di blog Anda sendiri?

Lain dari pada itu, menjadi seorang penulis buku tetap menjadi kebanggaan tersendiri di tengah masyarakat yang masih mengagungkan tradisi lisan. Bukan untuk sastra, melainkan untuk ekonomi, politik, teknologi bahkan gosip.

Tapi bagaimanapun, benar adanya jika menulis adalah perjuangan berat. Butuh modal kesabaran yang tinggi bagi seseorang untuk bisa dan terus menulis sekalipun tulisannya tak pernah dilirik. Tak pernah bergaung dan terdengar di telinga kecuali dia punya takdirnya sendiri, percis sastra populer yang beberapa waktu lalu booming dan sekarang kehilangan syahwatnya. Berahinya. Sastra instan yang ditulis oleh penulis-penulis instan yang bisa dengan hebat melempar karya dan melempar diri setelahnya dalam keheningan alamat popularitas sudah diraihnya. Cukup uang, cukup makan, walau tidak bisa dibilang cukup iman dalam hal menjadi seorang penulis yang tetap dan terus menulis. Dia dikenal, disanjung, diingat tapi secepat itu pula dilupakan. Apa yang bisa dibanggakan dari itu? Tak ada!

Maka cukuplah saya menjadikan menulis sebagai obat ingatan. Dan jika mungkin, menulis untuk menulis itu sendiri dan bukan untuk tujuan yang lain. Itu sudah menjadi konsekuensi logis dari sebuah ikhtiar yang sudah dilakukan setelah menulis. Setidaknya, dua buah sajak saya di buku antologi Riak Sajak bisa menjadi kredit, semacam prestasi alias alarm bahwa saya masih bisa menulis, percis seperti apa yang saya lakukan saat ini di tulisan ini.

Jujur, saya belum bisa menemukan sahabat sejati ketimbang tulisan. Dia adalah kawan lama sekaligus baru yang tak pernah mengeluh, sekaligus juga tak pernah pernah peduli pada penciptanya. Karena seperti halnya gosip atau iklan di koran dan di televisi, tulisan, pun halnya membaca tak lebih dari sekadar interupsi. Intermezo yang panjang dan tak berkesudahan kecuali saya sendiri yang menyudahinya.

Maka, biarlah tulisan ini menjadi remeh-temeh belaka. Semoga, ada berkah dan hikmah yang bisa saya temukan di sana. Semoga.*** (FA)


No comments:

Post a Comment