Tak lama setelah
Jailani mendengar kebenaran berita itu, dia pun menangis sejadi-jadinya. Dia
tak menyangka bagaimana bisa anak-anaknya, keturunannya, justru menjadi manusia
yang tamak, rakus dan malah mengagung-agungkan keduniawian. Padahal, tidak
sedikit bekal agama dititipkannya dan pengertian akan hidup diberikan padanya.
Masih
terngiang di kepalanya bagaimana dia membesarkan anak-anaknya dalam bimbingan
agama di pondok pesantren yang memang sengaja didirikannya. Dengan ponspes
dibawah naungan yayasan itu pula dia bisa menyekolahkan anak-anaknya ke
perguruan tinggi, baik yang ada di dalam maupun luar negeri. Dan bagai sebuah
ketentuan yang tidak tertulis di buku manapun, tentunyalah ponpes itu bakal
pula dipimpin oleh anak-anaknya sepeninggal dirinya.
Mengingat
anak-anaknya belum besar dan masih menuntut ilmu, ponpes dan beberapa sumber
usaha yayasannya sempat dipimpin oleh orang lain yang tak lain adalah muridnya
sendiri, tangan kanannya. Beberapa generasi datang dan pergi silih berganti,
dan di bawah pusara, Jailani masih bisa tersenyum bangga dan bahagia. Syukur
yang tak ada habisnya. Derap-derap langkah dibarengi dengan perbincangan soal
keagamaan seringkali didengarnya dari orang-orang yang melintasi kuburannya. Bahkan
tak sedikit para jamaah merindukan kehadirannya. Jalinai yang soleh dan pintar yang
menjadi tumpuan orang-orang bertanya, bagaimana menjalani hidup yang bermanfaat
berpegang pada agama yang selamat.
Saking
terlenanya Jailani dengan berita bahagia, dia pun tak ambil pusing. Dengan
tenang dan nyaman Jailani menikmati kenikmatan surga atas jerih payah yang
telah dilakukannya di dunia. Dan Jailani pun berjalan-jalan. Meneguk air susu
surga yang tak ada surutnya ditemani para bidadari yang tetap perawan. Setelah
merasa puas, dia pun pergi untuk beristirahat di bawah pohon rindang surga. Akan
tetapi, baru saja Jalinai hendak memejamkan mata, tiba-tiba saja seseorang
datang padanya dan berkata:
“Pak
Kiai, Pak Kiai… apa Bapak sudah mendengar kabar terbaru dari ponpes?” napasnya
terengah-engah.
“Kabar?
Kabar apa, wahai Pemuda?” tanyanya kepada pemuda yang kebetulan muridnya ketika
di dunia, dan yang kebetulan juga mati muda karena penyakit diabetes.
“Memangnya
Bapak belum tahu? Bapak belum dengar kabar lagi? Memang, sudah berapa lama Bapak
istirahat di sini?” tanyanya bertubi-tubi.
“Saya…
belum pun satu menit duduk di sini.”
“Ya,
seperti yang bapak tahu, satu detik di surga saja sudah 100 tahun di dunia. Dan dunia sekarang memang lebih cepat
dari biasanya. Semua serba instan.”
“Ya,
ya… jadi berita apa yang hendak kau beritahukan padaku sebenarnya?”
“Apakah
Bapak tahu jika ponpes bapak akan berulang tahun? Putra Bapak sendiri yang
menyelenggarakannya.”
“Ya.
Lalu, memang, ada masalah apa dengan itu?”
“Sebenarnya,
masalahnya bukan ulang tahunnya, tapi….” pemuda itu terdiam. Ragu berbicara.
Kehilangan kata.
“Hai,
anakku, bicaralah. Tidak apa. Bapak mendengarkan,” pintanya.
“Mmm…
sebaiknya, Bapak dengar langsung sendiri saja,” sarannya, “barangkali jika
Bapak mendengar langsung, Bapak akan mendapatkan berita pastinya.”
Jailani
terdiam, bukan karena pemuda itu, tapi karena kepenasaran tentang berita yang
sesungguhnya bakal dia dengar.
Jailani
pun beranjak dari tempatnya, berjalan seraya mengucapkan salam perpisahan pada
pemuda itu. Pemuda yang saat ini wajahnya memperlihatkan nada kegelisahan.
Dengan
langkah sedikit terburu-buru, dia menyusuri jalan setapak dengan rumput dan
ilalang di kanan kirinya. Beberapa orang yang beristirahat di rumah-rumah emas,
di taman-taman bunga dan di pinggir-pinggir kolam susu, menjatuhkan tatapannya
pada Jailani. Bukan senyum dan sapaan ramah yang didapat Jaliani seperti biasa,
melainkan ucapan: “Semoga engkau baik-baik saja wahai Kiai! Semoga!”
Bingung
bukan mainan Jailani dibuatnya. Sungguh tidak biasa apa yang dia dapat di
sepanjang jalan menuju bawah pusaranya itu. Ada apa gerangan sebenarnya? Hatinya
terus bertanya-tanya dalam kemelut kepenasaran.
Setibanya
Jailani di bawah pusara, dia pun berdiri tegak sambil mendongak. Ditangkap-tangkapnya
suara-suara di dunia-atas yang melintasi kuburannya. Ingin sekali dia tahu apa
yang sedang terjadi dengan ponpesnya, pun dengan orang-orangnya. Tak berapa
lama, terdengar suara samar yang makin lama makin jelas kata-katanya.
“Oya,
kau tahu kalau ponpes bakal berulang tahun?”
“Oya?”
“Ya.
Aku dengar pihak ponpes akan merayakannya dengan sangat mewah dan meriah.”
“Memang
apa saja acaranya?”
“Banyak-lah.
Ada lomba keagamaan, makan bersama, dan tentunya ceramah.”
“Apa
kita diundang?”
“Diundang?
Huh, memangnya kita ini siapa di mata mereka. Terlebih untuk acara-acara besar,
untuk acara-acara kecil saja mereka cuek-bebek, sekalipun kita ini tetangganya
juga.”
“Betul
juga sih. Ponpes sekarang sudah berubah. Tidak seperti dulu ketika ada Kiai
Jailani. Dulu ponpes sangat sayang dengan warga sekitar, begitu juga
sebaliknya. Kebanggaan jadi milik bersama. Keberadaan ponpes benar-benar terasa
manfaatnya bagi kita. Tapi sekarang? Alih-alih untuk bisa hidup bersama,
orang-orang di ponpes saja sudah tidak lagi tengok kiri tengok kanan ke warga sekitarnya
sendiri.”
“Bagaimana
tidak? Lha wong, yang ngurus ponpesnya saja masih anak-anak. Pikiran dan
kelakuannya sudah teracuni oleh orang-orang barat yang individualis, yang cuma
mikirin diri sendiri. Ya, begitulah kalau orang kampung belajar di kota besar. Dikira
bakal bener, eh, malah keblinger.”
Jailani
tertunduk malu mendengar percakapan itu. Dia tak menyangka jika keadaan ponpes
sudah sebegitu berubahnya. Mending jika berubah ke arah yang lebih baik.
Kenyataannya…? Tapi tidak! Jailani tidak secepat itu menyimpulkan perkara. Dia
ingin mendengar lagi yang lainnya. Barangkali saja ada berita yang lebih enak
didengar olehnya.
Tak
berapa lama kemudian, samar-samar suara kembali terdengar.
“Sekarang,
gedungnya sudah bagus, Bu. Lebih besar dari yang dulu,” seorang ibu
membanggakan ponpes itu.
“Iya
sih Bu, bayarannya juga bagus, dan besar!” napas terdesah berat.
“Ada
apa, Bu?” seorang ibu muda bertanya.
“Tidak.
Hanya saja, saya lagi bingung. Kemarin anak saya bilang kalau dia harus bayar
iuran untuk ulang tahun ponpes. Saya pikir uang SPP sudah cukup untuk biaya
ulang tahun. Entah ke mana saya harus pinjam uang lagi. Akhir-akhir ini,
ada-ada saja pengeluaran buat anak saya itu.”
“Kalau
masalah itu, betul juga sih, Bu. Tidak tahu kenapa, ponpes sekarang malah jadi
lahan bisnis. Ibu lihat saja, tidak sedikit ponpes yang punya banyak tempat
usaha. Mulai dari toko, pertanian, bahkan sekolah. Ya, seperti ponpes itu saja.
Kata orang sih banyak proyek. Makin banyak proyeknya, ya makin repot kita,”
kata-katanya menepis kebanggaan tadi.
“Saya
pikir pendidikan sekarang sudah gratis, tapi nyatanya tetap saja mahal,” ketiga
ibu itu pun terdiam, seakan menelan kekecewaan.
Jailani
terpekur lagi mendengar percakapan-percakapan soal ponpesnya. Tak pernah dia
menyangka kalau ponpes yang didirikannya itu, yang sekarang diurus oleh
anak-anaknya itu, malah jadi sumber penyusah rakyat. Agama seperti telah
benar-benar hanya jadi kedok belaka. Tapi yang paling menyedihkanya sebenarnya
adalah sikap anak-anaknya itu. Sesumbar Jailani berkata: “Kerasukan setan apa
anak-anakku itu, ya Tuhan?”
Jailani
merasa baru sebentar saja berdiri di bawah pusaranya, tapi terasa benar betapa
banyak percakapan-percakapan negatif soal ponpes terdengar dari orang-orang
yang lewat di kuburannya. Semakin banyak dia mendengar, semakin pilulah
hatinya. Air mata pun menetes, tumpah menderas, dan bedah menjebol bandungan
kebanggannya.
Suatu
hari, tepat di hari ponpes berulang tahun, sebuah peristiwa menggemparkan terjadi.
Kuburan Jailani sudah dikerubuti oleh hampir seluruh warga. Mereka
berdesak-desakan ingin menyaksikan peristiwa yang tak masuk di akal itu.
“Ada
apa ini?” seorang ustad berusaha melewati kerubutan warga yang sudah mengelilingi
kuburan Jailani.
“Lubang,
Pa Ustad!” jawab seorang pemuda.
“Lubang?
Lubang apa?” teriaknya.
“Lubang
kuburan Kiai Jailani, Pak!”
Ketika
Ustad itu berhasil masuk, nyatalah. Sebuah lubang besar percis sebuah sumur tampak
di kuburan Jailani yang sudah tidak lagi berbentuk pusara. Lubang itu terlihat
sangat dalam dan hanya menyisakan kain kafan putih yang harum dan bersih menutupi
batu nisan Jailani.
Ustad
itu terheran-heran melihat peristiwa ini, lalu berkata: “Sudah kau beri tahu
anak-anaknya? tanyanya kepada si pemuda.
“Sudah,
Pak!” sejenak terdiam, “tapi… mereka sekarang sedang makan-makan di ponpes.
Mereka bilang, nanti saja kalau acaranya sudah beres, baru mereka kemari.” (FA)
Babakankondang-Subang,
19.09.2012
Pic: http://www.nisanworld.com/
No comments:
Post a Comment