Entah akan kau
bawa lagi ke mana aku. Jujur, aku sudah lelah. Baru saja kau bawa aku lari ke
tempat kerjamu, membayangkan orang-orang dengan pikirannya yang sakit
sebagaimana kau membayangkan jawaban apa yang akan kau berikan untuk pertanyaan
yang akan mereka tanyakan, kau sudah membawaku lagi terbang ke rumah di lembah
itu. Rumah yang kau anggap akan menjadi jawaban terbaik untuk menyelesaikan
permasalahanmu mengenai jarak, akses, atau apalah namanya.
Barangkali
karena aku tidur terlalu lama hingga tiba-tiba saja kau bangunkan aku dan—bukan
sebuah prestasi yang bisa dibanggakan—hanya dalam hitungan detik kau sudah
menyuruhku berlari. Kau hantam aku bertubi-tubi dengan segala macam hipotesis,
angan-angan ini-itu, dan segala bayangan yang kau sendiri belum tahu bakal
seperti apa jadinya. Seandainya saat itu kau tak membawaku menemui Si Tua yang
bercerita tentang sumur berhantu dan tentang bagaimana dia hidup di zaman
penjajahan seraya kau membenahi barang-barangmu, mungkin aku takkan selamat.
Mungkin aku sudah sekarat.
Mungkin
aku tidur terlalu nyenyak karena selain pekerjaan, kau tak benar-benar
menemuiku, menghiburku dengan kebiasaanmu membaca puisi, cerita pendek,
menggumamkan syair yang diulang -ulang, atau pun membawaku ke puncak gunung
melihat pemandangan terbentang begitu hijaunya. Betapa rutinitas telah
membuatmu seperti robot, seperti mesin, dan aku, harus rela mendapatkan hal
yang sama setiap harinya. Hanya pada saat itu aku sendiri merasa kasihan untukmu.
Tak saja karena kau tak memiliki diri sendiri, tapi juga kau tak memilikiku
seutuhnya. Bagimu, aku sekadar urat syaraf yang harus memikirkan kebiasaan yang
biasa kaupikirkan. Rutinitas itu. Tapi kau tak permah memikirkanku. Memikirkan
pikiranmu sendiri.
Ada
suatu saat ketika kau membaringkan diri dan seperti halnya aku meredakan
ketegangan-ketegangan neuron-neuron di saraf tulang belakang yang tertutup, kau
menemuiku dengan sangat ramah. Mengetuk pintuku dengan ucapan salam seraya
berkata: “Selamat malam, pikiran! Apa kabarmu? Mungkinkah kita bisa berbicara
soal kegiatan apa yang bagus untuk mengisi liburan akhir pecan?” aku begitu
sangat senang. Akhirnya, setelah satu minggu kau perbudak aku dengan pekerjaanmu,
aku bisa juga mendapatkan hiburan, kesenangan.
Kau
membawaku di sepanjang jalan menuju perbukitan teh sedang sepeda balapmu
tersenyum riang memandangku. Akhirnya aku bisa merasakan bagaimana angin
menerpa wajahmu, menyejukkanku, dan segala kebaikan alam terasa benar-benar
menyelimutiku. Tentu saja, pemandangan, gunung-gunung hijau yang terpancang
sebagai ciptaan Tuhan, selalu menjadi penghiburku, penenangku. Dan aku
bersyukur untuk itu, untukmu. Aku berterima kasih bahkan pada malam hari
sebelum akhirnya kita bisa benar-benar melaksanakan rencana ini. Seandainya.
Tapi
belum pun matahari berjalan setengah lingkaran bumi, tiba-tiba aku merasa
menggigil. Di tengah keramaian sekaligus kelelahan yang kau istirahatkan setelah
kita melewati perbukitan teh dimana gunung-gunung tegak berdiri mengelilinginya,
kau tarik aku ke lubang hitam persoalan. Sungguh tidak adilnya kau! Di tengah
kesenangan kita ini, tiba-tiba saja kau memberikan keringat tubuhmu itu padaku.
Dalam lemas kau peras aku. Kau kosongkan matamu walau di depanmu kawan-kawanku terlihat
senang mengikuti acara bersepeda bersama itu. Aku pikir kau setangguh itu
menghadapi masalah yang pada suatu saat kau menitipkannya dengan enteng padaku.
Aku salah jika mengganggapmu bisa jumawa dan tabah mengusap dada meski
persoalan itu acapkali menarik ekor sarafku. Bibirmu mungkin tersenyum pada
saat itu. Tapi kenyataannya…? Sudah kubilang, jangan kaubicarakan lagi masalah
itu!
Sekarang,
aku telah benar-benar sakit. Dua hari dua malam kauperkosa aku sebagaimana
persoalan itu memperkosamu. Kau pikir itu baik? Kau pikir itu adil? Tidak sama
sekali! Tidak untukmu terlebih untukku. Awalnya aku pikir aku bisa enyah dari
persoalan itu, darimu yang mempersoalkan soal itu. Buktinya, sekalipun kau
tinggalkan pekerjaan terkutuk itu sebagaimana pikiran terkutuk yang
menjahatimu, aku tetap saja jadi korban. Dan entah kapan, tapi kau melakukan
kegalauanmu lagi. Kau berjalan di sepanjang jalan yang entah tanpa tujuan yang
jelas. Sedang aku? Terusan-terusan kau suruh aku berlari. Dan kau baru tersadar
ketika tubuhmu lelah, dan aku sendiri tersungkur tak berdaya. Megap-megap
mulutmu mengantarkan udara yang tersendat-sendat masuk ke tubuhku. Aku sakit.
Parah! Aku butuh oksigen!
Kau
sering berkata padaku jika kita mestinya membuat jarak dengan masalah. Jadikan
masalah itu sebagai objek agar tak ada emosi memancingku. Karena kau yakin
bahwa ada yang lebih besar dari masalah itu. Yang Maha Besar. Kau rasionalkan pesoalan
itu, kau kuat-kuatkan dadamu menerimanya. Akan tetapi bawah sadarmu lebih besar
ketimbang manifestasi lahiriah yang kau punya. Dengan kata lain, kau bisa
mempekerjakanku, mempekerjakan korteks untuk mengubahku sehingga aku tak harus
tersulut emosi. Tapi apa yang bisa dikata? Bukannya kau mengendalikanku,
menjalankan fungsi-fungsi eksekutifku, kau malah menimbun dan terus menimbun
kecemasan dan kegelisahan itu padaku. Emosi negatif–jijik, takut, marah, rasa
muak—pun menjadi milikku seutuhnya. Tak hanya cuping depan kananku yang jadi
korban, tapi juga bagian kiri, tempat dimana kebahagian mestinya hidup. Jika
sudah seperti ini, apalagi yang kau punya, yang aku punya?
Aku tak menyangkal jika emosi memang tidak
bertolak belakang dengan akal sehat. Maksudku, aku tak berkata jika hanya
karena emosi negatif itu kau lantas kusebut gila, atau aku yang gila (?) Hanya
saja kau masih belum bisa mengendalikan diri. Kau terlalu membenamkan dan
menenggelamkanku dengan persoalan dan emosi negatif itu. Cuping depan kanan benar-benar telah
membelengguku. Dan cuping kiri? Oh cuping kiri, barangkali hanya kebahagiaan
yang saat ini sudah benar-benar tenggelam bahkan hilang. Berhenti menggigiti
kuku jari tanganmu. Lihat! Di sini aku sedang memikirkanmu, memikirkan diriku
sendiri bagaimana caranya agar kau tak secemas ini. Seandainya aku bisa keluar
dari kepalamu lantas menamparmu agar kau sadar dan menyadariku.
Cobalah
untuk sejenak saja membuatku sehat walau hanya satu menit. Jangan tekankan
masalahnya, melainkan cari solusinya.
Sungguh, aku butuh keputusan. Dan kau! Ya, kau harus dengan segera
melaksanakannya. Mari kita lihat sekali lagi duduk persoalannya.
Mmm…
Hhm….
Hmmm…
Ya,
ya. Bagus begitu.
Aku
harap kau dan aku sudah benar-benar membulatkan tekad ini, menguatkan niatan
kita untuk rencana itu. Tapi ingat, kita tak bisa menjamin kalau yang kita
putuskan ini bakal bakal baik pada akhirnya. Tak satu pun. Tapi setidaknya, kita
telah benar-benar menetapkan keputusan, dan aku tak harus kau buat sakit lagi.
Sekarang,
aku benar-benar lelah. Kau pun begitu, bukan? Saat ini aku hanya butuh REM dan
sedikit senyumanmu. Ketika tidur nanti, aku pun berharap bisa mendapatkan
kolinergik. Tapi jangan berlebihan! Aku tak mau menjadi seorang skizofrenia!
(FA)
Babakankondang-Subang,
18.09. 2012
Catatan:
1.
REM = Rapid Eye Movement (suatu fase dalam tidur
normal dengan bola mata bergerak cepat di balik kelopak mata yang tertutup)
2.
Kolinergik = zat kimia dalam otak yang berinteraksi
dengan reseptor asetilkolin yang dapat merangsang syaraf otak (neuron) untuk
memaknai citra-citra yang dihasilkan oleh mimpi, membuat seseorang bisa
mendapatkan pengalaman mimpi yang berkaitan dengan erotisme, kemarahan, dan
kegembiran yang meningkat.
Pic: http://www.getthedream.com/more_info.php
No comments:
Post a Comment