Foto: Kompas/Yuniadhi Agung @cabiklunik.blogspot.com |
Oleh: Firman Nugraha
Pada dasarnya puisi itu lisan. Nenek moyang kita biasa menyanyikannya dalam upacara-upacara ritual. Mereka menembangkannya dan mentransfer bentuk bunyinya lewat mantra-mantra yang kebanyakan berusaha untuk menerjemahkan gerak alam. Begitu yang penyair Sapardi Djoko Damono (SDD) ungkapkan dalam kuliahnya di kegiatan Workshop Sastra di Rumah Budaya TEMBI Yogyakarta bulan Juni tahun lalu.
Di bawah topi flat yang acapkali dikenakannya, beliau memaparkan hal-ihwal tentang puisi dengan penuh antusias kepada peserta workshop. Sikapnya ramah seperti biasa. Walau ketika sedang berbicara di depan forum, ada saja sentilan-sentilan yang membuat perserta tergelak dan tertawa. Entah berapa kali kata ‘sontoloyo’ meluncur dari mulutnya. Meski begitu, kesahajaan tetap menjadi aura dominan dirinya. Usia yang sudah renta tak lantas menjadi hambatan bagi beliau untuk terus berbagi ilmu soal sastra, khususnya puisi.
Sungguh, Sapardi adalah fenomena. Seperti yang sudah diketahui semua orang, ia muncul dengan puisi-puisinya yang sungguh sangat berbeda. Di kala para penyair segenerasinya tengah bergelut dengan pencarian pengungkapan gaya bahasa, penyair yang satu ini justru datang dengan kesahajaan puisi-puisinya yang sekalipun sederhana, akan tetapi mengejutkan serta melecutkan urat-urat syaraf pembacanya. Puisinya berbicara soal Perahu Kertas, Hujan Bulan Juni, Mata Pisau, Angin, Bunga bahkan Telinga. Semua dituturkannya dengan sangat estetis, tidak berlebihan dan tidak pula menjadi sangat berkekurangan. Puisi Aku Ingin bahkan menjadi sangat terkenal di kalangan remaja dari dulu hingga sekarang.
Berbeda dengan Si Celurit Emas D. Zawawi Imron dimana puisinya lebih banyak menggambarkan alam Madura dengan segala nativitasnya, Sapardi justru menggambarkan alam dengan segala rutinitasnya. Alam yang bukan berasal dari laut maupun dari gunung, melainkan alam yang berada sangat dekat dengan lingkungan manusia (kota). Angin berbisik kepada daun jatuh, katanya, yang tersangkut kabel telepon itu (Puisi Cat Air Untuk Rizki). Pendeskripsian angin tidak sebagaimana yang puisi-puisi lain ungkapkan, yang kerap jatuh dengan ornamen alam pada umumnya seperti halnya lembah, gunung dan segala bentuk entitas alamnya yang murni. "Anginnya" Sapardi justru yang tersangkut di kabel telepon, di tiang listrik, atau mungkin di atap-atap gedung. Bahkan lanjutnya, hujan pun meludah di ujung gang. Interaksi terjadi antara modernitas atas hasil karya manusia dengan elemen alam dan segala atributnya. Hal ini tidak mengganggu substansi ketiganya. Lebih dari itu, justru “mengganggu” kesadaran kenyataan zaman, “mengganggu” pembacanya.
Alam dalam puisi Sapardi adalah alam yang mengalir apa adanya. Karena ketika menulis, “saya tidak pakai teori,” begitu paparnya. Meski demikian, tidak berarti bahwa Sapardi punya intensitas tertentu untuk membicarakan alam dalam puisinya. Tidak seperti penyair Inggris William Wordsworth yang memang menyingkir dari kota dan hidup di desa di mana alam memang sengaja olehnya untuk dikunjungi serta diakrabi. “Come forth into the light of things/ Let Nature be your Teacher,” begitu ungkapnya dalam puisi baladanya yang berjudul The Tables Turned. Alam bukanlah alat propaganda sebagaimana yang ditulis (alm) WS. Renda (Ciliwung Yang Manis), atau menjadi elemen yang dikontaminasi seperti yang dipaparkan Sonny Farid Maulana (Gamelan Hati), dan banyak lagi yang lainnya.
Alamnya Sapardi tidak lebih dari sekadar metafora, meski secara tidak disadari justru telah memunculkan nilai-nilai tertentu, baik nilai terhadap apa pun yang bersinggungan dengan alam maupun dengan nilai alam itu sendiri. Alam bagi Sapardi hanyalah alat, “untuk mencari penjelasan atas sesuatu yang tidak diketahui,” semisal: Mengapa harus hujan (Hujan Bulan Juni)? Atau; Mengapa ada bayang-bayang ketika berjalan (Berjalan ke Arah Barat)? Namun pertanyaan “mengapa” ini tidak lantas menjadi awal permasalahan (penyair) yang jawabannya mesti-harus didapatkan. Karena bagi Sapardi, “puisi tidak memberikan pengertian, melainkan memberikan saran.” Dengan kata lain, alam hanyalah penanda waktu untuk merekam “kegelisahan” penyair dari aktivitas hidupnya sehari-hari. Inilah sesungguhnya apa yang dibicarakan Sapardi pada kebanyakan puisi-puisinya.
Alam bukan masalah dan tidak pula menjadi permasalahan pokok puisi-puisi Sapardi. Alam menjadi bermasalah hanya ketika ia dikaitkan dengan segala bentuk peradaban manusia. Kiranya kemutlakan ini hampir seluruhnya terhampar di semua puisi yang menggunakan alam sebagai bahasa pengungkapannya. Meski demikian, baik puisi-puisi Sapardi maupun puisi-puisi penyair lain, terdapat garis merah yang membuat alam menjadi entitas mutlak yang tidak bisa dimungkiri, yaitu: alam adalah tempat belajar! Dan memang, “alam banyak sekali mengandung pelajaran,” begitu tuturnya, namun kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Alam tereduksi ketika tangan manusia berkuasa. Ini bukanlah sebuah kekhawatiran, justru kebaikan. Ada orang yang “membaca” dari alam lantas beranjak mengunjungi hidup yang mesti digeluti, namun kebanyakan justru sebaliknya. “Setelah kau lelah dengan segala urusan bisnis, politik, keramah-tamahan dan sebagainya, dan menemukan bahwa tidak satupun dari kesemuanya itu bisa memuaskan atau bisa selamanya digunakan, apakah yang tersisa?” Jawabannya adalah: alam,” begitu penyair barat Walt Whitman berkata. Dan, inilah yang dilakukan para penyair sesungguhnya,yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kebanyakan orang di dunia ini.
Bagaimanapun, ada saat dimana seseorang mengambil beberapa saja dari satu hal dan menyisihkannya sebagian yang lain, seperti alam. Dan puisi, menjadi alat residu dari apa yang semestinya ditangkap dan digunakan dengan yang tidak. Sebagaimana puisi menjadi residu bahasa lisan, menghilangan bahasa yang diucapkan lantas merekamnya pada jejak kata. Maka, alam adalan residu pelajaran bagi setiap manusia yang memikirkannya, semata untuk keberlangsungan hajat hidup manusia itu sendiri di bumi yang hanya satu ini. (”Saswaloka”)
No comments:
Post a Comment