IN THE RAIN by Fim Anugrah |
Dua puluh tahun kemudian, Karlan akhirnya menyadari apa biang dari segala masalah yang dihadapinya selama ini. Dia tahu apa penyebab yang menyebabkan kegagalan demi kegagalan menghantam hidupnya.
Di penghujung tahun yang basah yang tidak duka tapi tidak juga bahagia, Karlan terbangun dengan kepala yang masih menyisakan ingatan semalam. Setiap malam, Karlan berusaha mengingat-ingat setiap persitiwa masa lalu hidupnya. Dengan tergesa dia akan mencatat apa pun yang melintas di kepalanya, mulai dari perayaan ulang tahun yang kedua yang seumur hidupnya hanya dirayakan pada saat itu saja; kenangan bersama pacarnya ketika duduk di bangku SMP kelas satu dan hanya berumur 30 hari saja; hingga ke masalah pertarungannya dengan seekor katak yang tiba-tiba masuk ke kamar dan bermalam di bawah ranjangnya semasa kuliah.
Akan tetapi, secepat dia mencatat, secepat itu pula dia mencoretnya. Dia tahu bukan itu yang dia cari, entah apa. Beratus-ratus helai kertas telah disobek, dituliskan dan diremas-remas dengan kemarahannya hingga tanpa sadar remasan-remasan kertas itu telah menjadi kasurnya yang kedua. Karlan tidur di atasnya. Sempat dia mencatatkan lima peristiwa yang masih bisa diingatnya: (1) kenalakan pertamanya ketika memecahkan lampus pos ronda dengan ketapelnya dalam jarak tujuh meter; (2) keiisengannya menyimpan cacing di dalam tas teman perempuan SD-nya hingga menyebabkan temannya itu pingsan; (3) penganiayaan yang dilakukan seniornya ketika mengaji; (4) keceriaannya mencari udang dan kerang di sungai dekat rumahnya; dan (5) pertolongannya terhadap seorang nenek yang hendak menyeberang jalan.
Tidak hanya itu, Karlan pun menuliskan beberapa idenya: membuat alat bantu mengingat jika dia lupa menyimpan barang-barang berharganya; membuat restoran yang hanya menjual rokok dan kopi yang diimpor dari berbagai belahan dunia; dan membuat perlombaan menangkap belut tercepat dan terbanyak untuk perayaan tujuh-belasan di lingkungan rumahnya. Tapi, sekali lagi, itu hanyalah buah pikirannya yang dicatat dan tidak pernah dilaksanakannya. Sedang, berbagai peristiwa yang ditangkap dan dituliskannya tadi itu, tak lebih berharga ketimbang apa yang dilakukannya. Catatan ingatannya sudah terlalu banyak, walau tidak bisa dibilang novel bahkan cerpen sekalipun. Mengingat, catatannya hanya terdiri dari dua paragraf dan tidak lebih dari 100 kata. Begitulah pekerjaannya setiap malam.
Tapi, ada suatu saat dia membuat pengalamannya itu semacam cerpen walau tidak pernah diniatkan sebagai cerpen. Dia hanya berpikir, jika tulisannya dikirim hingga bisa dimuat di koran, barangkali dia bisa mendapatkan penghasilan. Dia bukanlah seorang cerpenis, tapi apa salahnya mencoba, begitu dia berkata. Sambil terus mencari ingatannya, Karlan membuat juga tulisan yang semacam cerpen itu. Entah sudah berapa puluh cerpen sudah dikirimnya, Karlan tidak tahu pasti. Yang dia tahu adalah, cerpen-cerpennya itu tidak pernah tampak di halaman koran yang setiap akhir pekan ditungguinya. Selama lima tahun dia melakukan hal itu, tapi sungguh tak ada hasilnya. Yang ada, makin penuh sajalah kamarnya itu dengan kertas-kertas. “Mungkin semua memang tergantung niat,” Karlan mengakhirinya.
Karlan pun kembali ke dunia nyata setelah gagal menjadi seorang cerpenis, bahkan menganggap pekerjaan semacam itu tidaklah realistis. Lagi pula, menurutnya, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa hidup dari hanya menulis cerpen. Dia yakin itu.
Setelahnya, Karlan pun mencari pekerjaan yang mapan. Pertama-tama dia melamar sebagai seorang pramuniaga yang kebetulan saat itu sedang menggeliat pamornya. Sayang, Karlan tidak lolos karena gagal di tes psikotes. Dari tes itu, dia baru tahu jika dirinya memiliki emosi yang sangat labil. Karlan pun mencoba melamar kerja di sebuah pabrik makanan instan di kompleks industri di perbatasan kota. Satu hari penuh dia mengikuti tes, tapi kenyataannya dia harus meneguk kegagalan kedua hanya karena alasan sentimentil: bersin.
Tidak menyerah, Karlan melamar lagi. Kali ini dia memutuskan untuk melamar sebagai guru di seberang kota. Guru SMA untuk mata pelajaran sejarah, walau sebenarnya dia adalah alumni jurusan PPkn di tempatnya dulu kuliah. Awal yang menyenangkan bagi Karlan. Hampir setiap hari dia masuk kelas dan menyampaikan materi kepada murid-muridnya, yang semalam sebelumnya dia mamah terlebih dulu. Murid-murid senang padanya sebagaimana terpancar dari sikapnya yang bisa dikategorikan ke dalam tipe orang koleris. Begitulah tuntutan model guru di dunia pendidikan: ceria, semangat, dan menyenangkan, meski seringkali murid-murid membuat guru-guru itu kesal lewat ulahnya.
Namun begitu, Karlan juga termasuk orang yang pragmatis dan sinis. Ini dibuktikan dengan sikapnya terhadap orang-orang di tempat dia bekerja. Sudah hampir satu tahun dia bekerja di sana, akan tetapi tak pernah dia tahu siapa nama guru bahasa Indonesia dan guru-guru lainnya. Atau, sekalipun dia halaf dan kenal beberapa guru, tak pernah dia tahu apa mata pelajaran yang guru-guru itu ajarkan di kelas. Parahnya, dia bahkan tidak tahu nama staff sekolah yang setiap bulan membayar honornya. Sungguh menyedihkan. Tapi tetap, ada hal yang pantas dibanggakan olehnya.
Tak lama ketika Karlan berprofesi sebagai guru, kesibukan mengerjainya. Kesibukan itu pula yang membuat Karlan sedikit demi sedikit menyisihkan kebiasaannya. Kebiasaan itu sebenarnya berawal ketika dia harus menyelesaikan tugas akhir perkuliahannya, dan karenanya setiap malam selama hampir satu semester dia mau tidak mau harus begadang. Karlan mungkin lupa dengan kebiasannya, tapi sayangnya begadang tidak lupa padanya. Setidaknya, untuk sementara ini Karlan tidak lagi bergumul dengan ingatan dan ide-ide liarnya itu. Dia harus membuat silabus, RPP, soal-soal ulangan, dan materi yang bakal diajarkan esok hari di kelas.
Ada memang saat-saat dimana Karlan mencoba berbagai cara agar bisa tidur cepat, tidur normal seperti kebanyakaan orang. Mulai dari membuat lelah tubuhnya dengan berjalan-jalan tak tentu arah, menelan obat tidur, mencoba pengobatan tradisional, refleksi, akupuntur, dan masih banyak lagi. Tapi tidak satupun dari kesemuanya itu mempan untuk bisa membuat Karlan tertidur. Betapapun hebatnya dia memaksakan matanya terpejam, tetap saja itu tidak membuatnya bisa berpindah ke dunia lain, dunia angan-angan. Sekalinya dia bisa tidur, ruang dan waktu seakan tidak pernah bisa diduga-duga. Dia tidur di kelas dan terjaga ketika bel pulang berbunyi. Dia tidur di kendaraan umum dan terjaga di terminal. Dia tidur di dapur dan terjaga di kamar mandi. Siang dan malam tak lagi di kamus hidupnya.
Hingga, guru yang menyenangkan pun berubah menjadi guru yang mengecewakan hanya dalam waktu enam bulan saja. Sebagai bonus, Karlan pun diberhentikan dengan hormat oleh Kepala Sekolah yang mengungkapkan kata-katanya sambil memejamkan mata: “Terima kasih atas kerja sama Bapak selama ini.” Karlan terheran-heran.
Tapi hidup adalah jalan panjang, dan Karlan pun kembali berjalan. Dia mulai lagi melamar pekerjaan dan sialnya kali ini tambah buruk saja. Lima puluh lamaran telah dilayangkannya dan tak satupun ada jawaban. Karlan pasrah. Karlan menyerah, hampir menyerah, sebelum pada akhirnya dia meminta wejangan dari seorang kakek yang dihormati dan disegani di lingkungannya.
Karlan terkejut mendengar wejangan itu; bagaimana mungkin Karlan harus melamar seorang perempuan untuk dinikahinya sedang dia tidak, dan belum, punya (lagi) pekerjaan? Karlan ragu dan bimbang bagaimana harus memutuskan. “Apakah bisa cara ini mengentaskan nasib sialnya?” katanya dalam hati. Karlan hanya tahu jika kesuksesan memang benar diraih oleh mereka yang menjalankan wejangan yang diberikan kakek itu. Maka, dengan tekad bulat dan semangat ragu yang menyala-nyala, Karlan pun memulai pencarian tulang rusuknya.
Sungguh kasihan Karlan. Tiga tahun pencarian, tak ada satu pun perempuan yang bersedia menjadi istrinya. Jumlahnya lebih banyak ketimbang jumlah penolakan lamaran kerjanya, yakni 69 kali penolakan. Karlan merasa tertekan hingga akhirnya dia marah, lebih marah dari marah. Marah yang merah yang membara dan menyala. “Apa maksud dari semua ini?” teriaknya pada dinding kamar yang seringkali ditatapnya ketika tengah mencari-cari ingatan.
Akhirnya Karlan pun menutup pintu, mengisolasi diri dan hidup sendiri di dalam kamar. Dia tak lagi punya apa-apa karena merasa telah kehilangan segalanya: mimpi dan semangat hidupnya. Dia tak lagi ingin meminta karena apa yang didapatnya pasti akan sirna juga. Tapi, tak mungkin ada api jika tidak ada asap, pikirnya. Dan, Karlan pun mengunjungi lagi ingatannya lewat kebiasaannya yang telah menjadi sangat biasa. Yang berbeda sekarang adalah, Karlan mencoba mewarnai kesendiriannya dengan membaca buku. Berharap dengan ini dia bisa menyegarkan otaknya hingga akhirnya dia bisa menemukan ingatannya yang hilang, yang menurutnya adalah awal dari semua petaka yang dialaminya sekarang.
Karlan merasa ada perubahan dengan kebiasaan ekstranya itu. Tidak hanya dia bisa mencatatkan peristiwa penolakan lamaran nikah dari segitu banyak perempuan dan penolakan lamaran pekerjaan dari sebegitu banyak pabrik yang menolaknya. Tapi, Karlan pun bisa mencatat materi pelajaran yang dulu diajarkannya dengan sangat rinci.
Dia mencatat: (1) Manusia purba pertama yang ditemukan di Indonesia diberi nama Pithecantropus Erectus oleh Eugene Dubois, seorang dokter berkebangsaan Belanda, di desa Trinil , Ngawi, Jawa Timur pada tahun 1889; (2) Perang Dunia II sebagai akibat dari konflik antara German dan koalisi Anglo-Prancis di Eropa, terjadi pada tahun 1939 tapi akhirnya menyebar ke berbagai belahan dunia hingga menyisakan dominasi kekuasaan antara Amerika dan Soviet setelahnya; puncaknya adalah penjatuhan bom atom oleh Amerika di Nagasaki dan Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, bom atom yang kali pertama diciptakan atas arahan J. Robert Oppenheimer dalam sebuah proyek rahasia bernama Proyek Manhattan; (3) “New Order” atau Orde Baru adalah nama yang digunakan Soeharto untuk rezimnya yang sebagian besar pro terhadap kebijakan Barat; terjadi setelah berakhirnya konfrontasi antara negara RI dengan Malaysia. Soeharto sendiri , yang lahir di Kemusu-Yogyakarta, 8 Juni 1981 dari rahim ibu bernama Soekriah atas “usul” Sang Ayah, Kertosudiro, dilantik sebagai presiden RI para tahun 1968.
Bukannya tanpa anomali, ada kalanya Karlan pun melilit-belitkan materi sejarah dengan peristiwa hidupnya sebagaimana dia mencatat: (4) Orde Baru berakhir tepat pada tanggal 21 Mei 1998 ketika sedang membeli beras yang harganya sudah mencapai lima ribu rupiah per liter; (5) pertikaian antara Amerika dan Libya terjadi di Teluk Sidrah pada tahun 1986 dan menghasilkan mimpi basah hingga membuat harus mandi wajib; (6) Uni Eropa dibentuk di bangku kuliah tingkat dua semester empat pada tanggal 2 November 1993 dan disahkan oleh 12 negara yang kemudian menjadi anggota Uni Eropa, lewat penanda-tanganan perjanjian yang salah satunya adalah oleh delegasi bernama Sukar…. Karlan terdiam begitu rupa. Ditatapnya tulisan namanya sendiri: Sukarlan. Tiba-tiba pikirannya berbicara: “Apa mungkin gara-gara nama ini hidupku menjadi sangat sial?” Dia abaikan pikiran itu setelah terlebih dulu mengutuknya.
Suatu hari, Karlan terkejut bagai disambar halilintar walau entah, dia pun tidak pernah tahu rasanya. Di sebuah buku dia membaca subjudul bertuliskan “Insomnia.” Dengan kening berkerut, dibacanya penjelasan kata itu dengan sangat hati-hati. Dia seakan tak bernyawa. Di satu sisi dia senang dengan ingatannya yang hampir ditemukannya itu. Di sisi lain, dia pun mendapati bahwa dia sudah melacurkan tubuhnya di antara waktu yang tak lagi mengenal siang maupun malam. Baru kali ini dia tahu jika insomnia bisa mengakibatkan seseorang kehilangan ingatan. Bukannya berusaha untuk tidur normal, Karlan malah makin sibuk menggali-gali ingatannya. Lebih baik dia mati dari pada hidup penasaran karena ingatan yang belum juga bisa ditemukan.
Di suatu malam dia memutuskan. Ingin sekali dia mencoba lagi untuk terakhir kali melamar pekerjaan sekaligus melamar seorang perempuan. Dia berjanji, jika kesempatan ini dia harus gagal lagi, maka lompat dari atas gedung berlantai 25 sudah menjadi cukup baginya. Satu minggu dia mempersiapkan rencana terakhirnya itu, tanpa sedikit pun meninggalkan kebiasaannya. Sampai satu pagi, sebelum dia melaksanakan rencananya itu, terasa hidup begitu ringan dan menyenangkan. Seumur hidup di usia yang sekarang menginjak 33, baru dia menikmati bagaimana dinginnya pagi, merdunya burung bernyanyi dan lembut serta hangatnya sinar mentari.
Seraya berjalan dan mengambil handuk di gantungan di balik pintu, Karlan melangkah ke kamar mandi. Ditanggalkannya pakaiannya satu-satu setelah mencelupkan tangannya terlebih dulu ke bak mandi. Segar, bisiknya. Dingin pagi membuat kantong kemih minta dirinya menyambangi toilet. Karlan pun jongkok di atas toilet dengan wajah menghadap ke dinding searah kiblat.
Tiba-tiba saja dia teringat guru SD-nya. Dia ingat perbuatannya ketika masih duduk di bangku kelas tiga. Saat itu adalah saat dimana dia dan teman-temannya harus mengumpulkan PR. PR Sejarah! Tubuhnya bergetar dengan jantung berdetak dua kali lebih cepat ketika Sang Guru meminta Karlan mengumpulkan PR-nya. Dia berkata: “Ketinggalan di rumah, Bu!” Sebenarnya, buku itu ada di dalam tasnya. Tapi, bagaimana bisa dia dengan enteng mengumpulkannya jika PR-nya itu belum dikerjakannya.
Satu minggu setelah itu, gurunya kembali menanyakan hal yang sama, dan Karlan menjawab dengan jawaban yang sama pula. Gurunya marah sampai-sampai Karlan pun harus berjanji akan membawa PR-nya itu. Tapi, sampai detik ini, ketika sebuah air memancar dari kemaluannya, janji itu tidak juga ditepati. Bibirnya bergetar, dan tiba-tiba air yang lain menetes perlahan membasahi pipinya.("Saswaloka")
Subang, Desember 2011
No comments:
Post a Comment