Saturday, February 25, 2012

Pohon dan Istrinya

my.opera.com/Deniesaceh/albums/showpic.
Oleh: Eka Budianta

Masyarakat boleh menuduh aku lebih cinta pada pohon ketimbang istri. Apalagi sejak Martha menjadi feminis. Rasanya aku lebih percaya pada pohon sengon. Ia setia. Tumbuh sendiri, lurus dan berseri di muka rumahku. Sedangkan Martha, perempuan mungil, anggun dan elegan itu seperti bukan hanya milikku. Ia bicara di mana-mana. Ia terkenal di berbagai kongres dan seminar. Ia  seperti menjadi milik semua orang. Malam ini dia pergi ke Durban, Afrika Selatan.

Istriku memberi kesaksian tentang penjarahan, perampokan, pemerkosaaan, dan banyaknya perempuan Indonesia yang jadi korban. Sementara aku harus di rumah, menidurkan anak bungsu kami, Tommy.

Martha ikut demo dan masuk televisi. Sementara pohon sengonku tumbuh dengan diam. Pohonku tidak pergi ke mana-mana. Ia hidup sederhana dan setia. Batangnya subur, daunnya hijau, seolah-olah hanya untukku. Ia bicara  denganku. Bilang selamat pagi padaku. Ia seperti mengerti kalau aku pulang kerja. Badanku capek dan hati kecewa. Maklum, tampaknya Martha menjadi semakin acuh tak acuh. Ia seperti kurang berperasaan. Bicaranya ketus. Seperti tak ada lagi yang baik di dunia.
Sekali waktu aku dengar bagaimana ia bicara pada Ade, anak kami nomor dua. Waktu itu Ade masih kecil. Belum 10 tahun. "Kalau tidak mau dengar Mami, silakan ikut ayahmu! Jadi pengkhayal dan pemboros. Menghabis-habiskan uang untuk hobinya melulu. Kamu mau makan prangko?"

"Tapi ini investasi, Mami. Perangko tua ini makin lama akan makin mahal." Anakku membela diri. Ia masih muda. Tapi pikirannya sudah tahu menjadi investor. Ia paham konsep penghasilan pasif. Ia dapat menanamkan uang dalam bentuk benda berharga. Ia tidak seperti maminya yang anti kapitalisme, anti globalisasi. Tapi bukan itu yang menyedihkan hatiku. Aku terpukul ketika
Martha menyuruh anak tidak bangga pada ayahnya. Ia bukan menggali kebaikan,  tapi menggaris-bawahi keburukan.

Waktu itu aku memang banyak keluar uang untuk hobiku koleksi bonsai. Sebentar-sebentar beli pohon baru. Harganya bisa ratusan ribu. Martha kecewa melihat tabungan kami habis. Ia pikir aku lebih cinta pohon ketimbang istri. Aku dianggap pemboros, lunatik, pengkhayal! Juga berdosa karena melarang beringin menjadi besar: "Kamu ingin anak cucumu jadi orang besar; tapi menanam pohon dalam pot," katanya.

Pada suatu hari beberapa bonsai mati kekeringan. Aku terpukul berat, dan tobat. "Makanya jangan suka mengerdilkan makhluk hidup," hardik Martha. Sejak saat itu aku bebaskan bonsai supaya tumbuh di alam bebas. Aku juga tanam pohon-pohon besar. Termasuk pohon sengon, alias jeunjing, alias albazia di muka rumahku.

***

Pohon itu makin besar. Siang hari membawa keteduhan yang luar biasa. Malam begini, seperti menghangatkan rumah. Pohon itu, kata para ahli, berfungsi sebagai thermo regulator. Pengatur suhu. Ia menahan panas terik dan memberi kehangatan bila terlalu dingin.. Tidak seperti Martha yang kini mirip burung betet. Kerjanya ngomel melulu. Ia membuat suasana hangat menjadi panas, dan suasana dingin menjadi es. Beku. Makin lama makin sulit bicara dengannya. Apalagi sejak dia selalu mengacu pada keadilan jender.

"Kalau aku bekerja," katanya, "aku juga harus memasak, mengepel lantai, mencuci pakaian, mengurus anak." Itu kritik keras pada laki-laki. Para suami yang merasa dimanjakan istri dan keluarganya perlu lebih peka. Dengan alasan capek, bisa saja langsung tidur, tanpa memeriksa pekerjaan rumah anaknya. Bahkan boleh pergi rekreasi sendiri. Padahal istri dilarang capek. Tidak
boleh cemberut. Istri harus selalu berseri-seri seperti pohon sengonku.

Dan aku semakin sayang padanya. Sambil menidurkan Tommy, anak kami yang bungsu, aku bercerita tentang manfaat pohon itu. Tommy baru berumur empat tahun. Kami pikir dulu Ade anak bungsu. Eh, setelah lulus sekolah dasar, dapat adik lagi. Itulah Tommy. Kami beri nama Tommy bukan karena ikut-ikutan jenderal Soeharto. Tetapi, karena anak kami, perempuan, sejak lahir tampak seperti laki-laki. Tom boy. Karena itulah kami pangil Tommy. Namanya sendiri cantik sekali, Prudentia.

"Kamu tahu manfaat pohon sengon itu, Tommy?" aku bertanya. Untuk hak sepatu Mami, jawab anakku cepat sekali. Sudah berulang-ulang kuajarkan padanya bahwa sengon adalah kayu yang ringan dan kuat. Biasanya ia baik untuk peti telur dan buah-buahan. Tapi pada Tommy kuajarkan, kalau besar nanti bikin perkebunan sengon. Nilai ekonomis tertingi kayu sengon adalah untuk hak sepatu perempuan. Ringan, kuat dan anggun. Mudah dibentuk, diiris-iris sesuka hati.

***

Ah, indahnya pohon sengonku. Aku panjat dia. Aku bergelantungan di dahannya. Pohon itu tumbuh ke langit. Aku lihat Martha jauh di bawah. Rumah kami juga jauh di bawah. Jalan yang mulai ramai juga tertinggal di bawah. Sengonku tumbuh cepat sekali. Seperti mau menerobos ke awan, menembus langit. Mungkin ke surga. Mungkin ke taman firdaus.

Tiba-tiba aku menoleh ke bawah, Martha makin jauh. "Martha-Martha!" aku berseru-seru. Istriku tidak mendengar. Untung Tommy melihatku. Ia ingatkan Mami. "Mami, temani Papi di atas sana." Aku dengar ia seperti mengigau. Dan Martha terbang. Tangannya seperti berubah jadi sayap. Martha terbang diatas bus yang sedang lewat. Lalu naik ke tiang listrik. Akhirnya sampai ke dahan tempatku bergelantungan.

"Hati-hati kamu, sayang," katanya, "Kamu bergantung pada pohon kapitalis. Kamu jadi budaknya globalisasi." Martha seperti berceramah. Ia benci konglomerasi. Ia memihak rakyat kecil. Membela perempuan dan anak-anak yang selalu jadi korban kekuatan besar. Politik dan ekonomi menjadikan mereka bulan-bulanan. Kata Martha, perempuan dan anak-anak selalu jadi sasaran
produk baru, kebijakan baru, dan menjadi kelinci percobaan.

Aku tidak mengerti kata-katanya. Aku hanya tahu bagaimana merawat pohon. Ranting-ranting yang kering sudah dibersihkan. Daun-daun yang gugur ditabung, dijadikan pupuk dan kompos. Pohon sengonku tambah tinggi. Rumah-rumah semakin kecil di bawah. Lalu lintas makin ramai. Bus kota, metro mini, sedan-sedan mewah dan kijang berlalu lalang. Martha bosan menasehati  aku. Ia terbang lagi entah ke mana. Mungkin ke Durban, Afrika Selatan.Tiba-tiba krak! Dahan sengon itu getas sekali.

Albazia memang terkenal getas. Renyah, mudah patah. Aku menjreit. Aku berayun-ayun begitu tinggi. Tinggi sekali. Tak kusangka pohonku sudah sampai di langit. Aku terbuai. Terbawa dahannya yang makin tinggi dan berbahaya.Astaga! Aku hanya bermimpi. Tapi sudah berada di tepi ranjang. Terdesak oleh Tommy.

***

Keringat dingin mengucur sekujur tubuhku. Martha memang sedang di Durban. Ia pergi selama sepekan. Ia ikut konferensi hak asasi manusia. Memberi testimoni penderitaan perempuan. Dan aku harus menjaga Tommy di rumah. Pulang kerja langsung mandi dan menidurkan anakku, sambil bercerita tentang pohon sengon itu. Tommy belum tidur ketika aku terbangun. Ya, Tuhan. malah aku yang tertidur duluan.

"Papi, apakah pohon punya ayah dan ibu?" tanya Tommy. "O, tentu. tentu sayang. Pohon juga punya istri, anak dan cucu. Pohon punya nenek moyang. Bisa jadi nenek moyang pohon Yang Liu dari Tiongkok. Pohon soka dari India, atau eukaliptus dari Australia. Mereka datang dari jauh. Pohon-pohon Sycamore di taman Kota London datang dari Turki pada abad ke-17," kataku.
Aku tak mau berhenti bercerita.

Tapi jantungku berdebar keras. Mimpi singkat tadi bisa mengubah hidupku. Pekan depan, kalau Martha pulang dari Durban, aku akan bicara padanya. Atau malam ini juga kukirim pesan SMS padanya. Aku harus dengarkan peringatannya dalam mimpiku. Konfigurasi dunia memang sedang berubah. Perusahaan-perusahaan kecil berupaya tumbuh jadi besar. Semakin besar,  semakin tinggi, semakin berkuasa. Kuantitas dan kualitas menjadi taruhan. Pabrik sepatu tempatku bekerja baru menjalin aliansi strategis dengan pabrik sepatu terbesar di asia tenggara.

Hasilnya luar biasa. Kalau dulu sepatu buatan kami hanya dijual di Cirebon dan Surabaya, kini akan diekspor ke Singapura dan Brunei. Bahkan katanya mendapat pasar yang menjanjikan di Eropa dan Amerika. Pabrikku akan tumbuh cepat seperti pohon sengon alias jeunjing alias albazia.

Aku yang senang duduk diatas cabangnya akan ternagkat naik. Aku akan terus semakin tinggi. Jauh diatas kota-kota. Jauh diatas rumah-rumah, diatas pedagang asongan dan debu jalanan.

Dan tiba-tiba aku sadar, ternyata aku tidak berpegangan apa-apa. Aku hanya terayun-ayun diatas batang yang getas. Mudah patah, terkena badai atau disambar kilat. Aku takut sekali. Martha-Martha-Martha. Kamu benar.Globalisasi itu sangat berbahaya. Aku harus tebang pohon sengon itu. Aku akan pangkas semuanya. beberapa ranting mulai menggangguu kabel telepon
dan listrik.

***

Secepatnya aku bangun. Kukirimkan pesan SMS pada telepon selular Martha. Enak betul short messaging service ini. Kita bisa tulis pesan kapan saja, di mana saja, tanpa harus ngobrol berpanjang-panjang. Tapi apa jawabnya?

"Kalau ada ranting pohonmu terkena kawat listrik, sebaiknya telepon PLN," tulisnya. Perusahaan Listrik Negara harus mendesain ulang jaringan dan spesifikasi teknisnya. Menurut istriku, pohon itu ciptaan Tuhan. Sedangkan kawat listrik, kabel telepon, jalan aspal, dan seterusnya hanyalah buatan manusia. Kalau ada orang mengeluh pohon membuat retak tembok rumahnya,  silakan membuat tembok baru. Jangan tebang pohon yang untuk besar besar perlu bertahun-tahun. Mana yang lebih penting: benda mati atau makhluk bernyawa? "Jangan lupa, pohon juga punya istri," tandas Martha.

Aku terpana. Rasanya seperti baru diterjang hippo. Seekor kuda nil dari benua hatiku mencebur ke sungai kesadaranku. Martha betuil-betul provokator. Ia tidak mengurangi gelisahku. Justru menambahnya. Selalu begitu. Kebahagiaanku dilipatgandakan. Kesedihanku dibuatnya semakin menjadi-jadi. Kalau aku bingung, dia ikut pusing. Akibatnya suami tambah sengsara. Mungkin
begitulah ciri khas seorang istri, kurnia Tuhan.

***

Kutaruh ponselku. Terdengar Ade baru pulang. ia memarkir sepeda motor di bawah pohon sengonku. "Bokap hebat deh. Pohon ini memberi perlindungan dan rasa aman. Motor kita tidak perlu dimasukkan, ya. Diikat di pohon ini saja aman," katanya. Mati aku. Anakku melihat pohon itu sebagai perlindungan buat sepeda motornya. "Bukan hanya jadi garasi alam, tetapi juga menyerap emisi," katanya. "Bokap pintar memilih investasi."

Kata Ade, ada akuntansi lingkungan yang dapat dipakai menghitung nilai ekonomi sengonku. "Kalau ditebang dan dibuat peti, almari, kursi, sumpit, dan tusuk gigi, paling laku Rp10 juta," katanya. Tetapi kalau dia tidak ditebang, nilai ekologisnya semakin tinggi. Ia memberi oksigen sedikitnya 700 gram sehari. Kalau hujan ia juga mengatur sirkulasi air. Pohon mencegah
banjir, dan menyerap air untuk cadangan sumur kita."

Sudah-sudah. Papi sudah tahu. Kamu makan dulu, kataku. Anakku nomor dua, yang dulu kupikir bungsu, betul-betul telah menjadi seperti ayahnya. Ia lunatik, pengkhayal besar. Tapi aku tidak yakin ia pemboros. Ade tahu nilai ekonomis dan ekologis sebatang pohon. Ia tidak pernah marah kalau ayahnya memenuhi halaman dengan bibit-bibit sengon sehingga sepeda motornya tidak
bisa masuk ke rumah. Ia parkir saja di tepi jalan, di bawah albazia yang memberi rasa aman.

Ade benar. Pohon memberi banyak pelajaran. Mereka membuat manusia sabar, jujur dan setia. Semakin besar pohon, juga harus semakin rendah hati. Tidak boleh sombong. Semakin tinggi dia, semakin banyak yang ingin menebang. Karenanya perlu semakin hormat, penuh empati. Tambah besar perusahaan harus tambah peka. Perhatiannya kepada karyawan mesti semakin mendalam. Kasih sayang pada lingkungan tak boleh basa-basi. Jiwa sosialnya harus kuat, mengakar, membumi.

"Papi tahu pohon juga punya istri?" Ade tiba-tiba bertanya. "Tadi Ade mampir ke rumah Kak Tessa dan Kak Dion. Mereka tanam bisbul di halaman. Dan harus dua batang. Pohon bisbul hidup berpasangan. Kalau tidak ada temannya, tak mau berbuah. Seperti klengkeng, bisbul menjalani penyerbukan silang," anakku terus bicara. Aku diam. Tapi hatiku berbunga-bunga. Ade telah menjadi pecinta tanaman. Bukan hanya Ade, anak sulungku Tessa dan menantuku Dion juga suka pohon. Mereka bahkan pandai memilih spesies yang tepat.

***

Rasanya aku dapat balik tidur dengan tenang sekarang. Aku lihat Tommy memejamkan mata. Semoga sudah tidur tom boy itu. Potongan rambutnya cepak, kepalanya besar dan badannya berotot. Dalam umur empat tahun ia tampak lebih mirip laki-laki daripada seorang putri. Aku rapikan selimutnya. Aku tutup pintu kamarnya. Lalu aku masuk ke kamar sendiri, yang sepi tanpa Martha. Tapi, ya Tuhan, aku mimpi apa lagi?

Dari puncak sengon aku melihat orang berbaris. Seribu, lima ribu, ya ampun, puluhan ribu karyawan berarak-arak mendekati pohonku. Mereka berteriak teriak. "Ekonomi kerakyatan! Tegakkan keadilan! Segala yang menyangkut hajat hidup orang banyak diatur negara untuk kesejahteraan masyarakat. Pohon ini bukan hanya milik Bapak. Pohon ini punya semua orang." Astaga! Masyarakat menuntut pohonku. Masyarakat curiga aku mau memonopoli sengonku, jeunjing-ku, albaziaku. Masya Allah.

Bapak boleh bilang cinta pohon ketimbang istri. Tapi jangan lupa, pohon ini  juga pohon kami. Begitu mereka berseru-seru. Matahari semakin tinggi. Badanku terasa terbakar. Di atas pohon tidak lebih enak daripada di bawahnya. paling enak Berada dalam keteduhan. Bukan mengangkanginya. Aku masih bergayut pada sebuah dahan. Tapi karena takut dikejar dari bawah, aku naik semakin tinggi lagi. Lalu naik lagi ke ranting di puncaknya. panjat  lagi. Naik lagi.

"Jangan! Jangan terlalu tinggi!" tiba-tiba kudengar Martha menjerit. Martha  sini! Martha tolong aku. Tolong, Martha, tolong. Aku takut sekali!

Tetapi Martha tidak terbang. Ia tidak lagi bersayap seperti dalam mimpiku yang pertama. Ia berada diantara kerumunan 10.000 karyawan yang berdemo. Mereka bertanya mengapa perusahaan melebur jadi raksasa? Sejak kapan raksasa lebih hebat dari ksatria, yang kecil, elegan, polos, berani. Seperti Rama dan Shita! Seperti Martha!

***

Aku telah membaca di koran, kutipan pidato Martha di Durban. "Perempuan dan anak-anak masih menjadi bendera bagi kepentingan politik," katanya. "Di negeri kami, perempuan dan anak-anak jadi korban konflik bersenjata. Kaum lelaki berkelahi, yang dikorbankan adalah anak dan istri." Ya, ampun! Martha, pohon hidupku, cepat pulang! Tommy anak kita bangun lagi. Ia belum bisa tidur sendiri. Kudengar si tom boy itu menggebrak pintu kamarnya.***

Sumber: Jejak Tanah, Cerpen Pilihan Kompas 2002.

No comments:

Post a Comment