Kata “baku” dalam KBBI berarti (1) pokok, utama; (2) tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan standar; dan (3) saling. Sedang dalam bahasa Sunda kata ini bisa berarti kebiasaan. Pengertiannya lebih tepat dimaksudkan dalam konteks di mana seseorang melakukan kebiasaan, yang biasanya jelek atau buruk, semisal tidur terus, main terus, dsb. “Baku geus sare wae teh silaing mah” (dasar kebiasaan kalau kamu sudah tidur), begitulah kata ini biasanya digunakan secara lisan.
Permasalahannya adalah, bagaimana jika kebiasaan seseorang itu justru bukan kebiasaan jelak atau buruk, seperti membaca, menulis atau mengaji? Bilamanakah kata ini, juga kata yang lainnya, memiliki konotasi negatif? Mengapa sebuah kata lantas memiliki konotasi negatif, jauh dari arti sebenarnya? Kenyataannya, tidak pernah ditemukan (baca: terdengar) seseorang memaki seorang lain karena kebiasaannya yang baik menggunakan kata ‘baku’ ini.
Pelabelan konotasi positif atau negatif sebuah kata memang tidak bisa dilepaskan dari penuturnya, serta latar belakang, situasi dan kondisi lingkungan dimana kata itu diucapkan. Pengultusan pelabelan itu pun tidak pernah secara resmi disepakati oleh para penuturnya. Percis halnya gosip yang menyebar dan sekonyong-konyong orang-orang yang mengetahuinya pun, memercayainya dan menyetujui kenyataannya. Begitu pun dengan kata dalam sebuah ujaran. Ia layaknya virus tanpa nama dimana ketika seseorang menggunakannya dan orang lain melakukan hal yang sama, maka seiring waktu kata itu pun berat dengan beban yang ditanggungnya. Hasilnya adalah label negatif kata di satu sisi dan positif di sisi lain.
Kenyataan ini bukan tanpa masalah. Sekarang ini, orang-orang harus pintar dalam memilih kata. Menggunakan kata yang berkonotasi positif atau yang netral dan tidak ambigu, sedang kata-kata berkonotasi negatif dihindari sebisa mungkin. Namun, kadang kewaspadaan berlebih ini menjadi sangat tidak wajar. Sebut saja kata “anjing.” Dari pengalaman penulis mengajar di kelas, hampir tidak ada anak yang berani berkata “anjing” sebagai terjemahan “dog.” Pun dengan “bangsat” untuk menyebut hewan bernama kutu buku. Bagaimana mungkin kita bisa menerima kata “gogog” untuk anjing, sedang kata itu tidak pernah disepakati sebagai sebuah kata, terlebih tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia?
Ini tidak terlepas dari lingkungan dimana kata itu dilabeli. Dan seperti sebuah pengetahuan bersama, pada akhirnya kata itu pun berlabel sedemikian rupa. Ada dua indikasi yang muncul dari kasus ini. Pertama, anak-anak memang bukanlah gelas kosong yang tidak tahu apa-apa. Kedua, ketidaktahuan mereka terhadap arti kata yang sebenarnya, menghasilkan sikap yang salah kaprah. Mau tidak mau, pemahaman dalam naungan terminologi pun harus diberikan. Jika tidak, barangkali bukan hanya anak-anak tidak tahu pengertian duduk kata, akan tetapi kata itu pun akan semakin tereduksi dalam penggunaannya.
Bahasa memang bersifat dinamis, dan penuturlah yang membuatnya demikian. Akan tetapi tetap ada kekhawatiran, yaitu punahnya kata-kata yang setelah diberi pelabelan, dihantam pula dengan pereduksian penggunaannya di lingkungan. Dan, bukan tidak mungkin, pada akhirnya, kata-kata menjadi milik sekelompok orang lagi, seperti kembali ke awal dimana kata-kata dicipta, dimengerti dan digunakan oleh kelompoknya saja. Padahal, betapa kita membutuhkan kata-kata itu untuk menyebutkan sesuatu yang belum bernama. Keterbatasan inilah membuat orang belajar dan terus belajar, menamani yang belum bernama. Homo homini faber, itulah manusia.
Bagaimanapun, tidak mungkin kita berkata ini atau itu untuk menyebut sesuatu yang melekat padanya sifat dan karakter bersamanya. Kita tahu betapa bahasa itu terbatas, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan alibi untuk membendung kreativitas manusia yang terus-menerus mencipta kata dan memberi nama. Jangan sampai karena keterbatasan ini, kita hanya bisa berkata bahwa ini atau itu hanyalah sesuatu.(“Saswaloka”)
No comments:
Post a Comment