archives |
Jika bukan karena hormat dan menghargai suami, barangkali saat ini Yanti sudah mendatangi Ali dan mengobrak-abrik rumahnya. Betapa tidak? Tindakan Ali sudah tak bisa lagi ditolerir oleh Yanti, bahkan oleh siapa pun. Istri mana yang diam saja melihat suaminya disepelekan orang lain, yang segala kepemilikan dan keahliannya diaku-aku orang lain? Sesabar-sabarnya orang, tetap saja ada batasnya, pikir Yanti. Begitulah ia jika sudah tak bisa menahan amarah.
Kendati demikian, tak sampai pula niatnya itu kesampean. Karena setiap kali Yanti mulai terlihat marah, Doni, suaminya, selalu menghadapinya: meredakan Yanti dengan rasa sabar Doni yang perempuan mana pun bisa jadi luluh dibuatnya. Ada kalanya Yanti sendiri marah terhadap sikap Doni yang selalu menganggap bahwa permasalahan apapun yang berhubungan dengan tingkah laku Ali, dianggapnya hal yang biasa.
“Kang, Si Ali itu kemarin bilang kalau tanah yang diwariskan Ibu Akang itu adalah miliknya. Sementara, Akang juga tahu kan kalau tanah itu milik Akang? Belum lagi saya dengar dari ibu-ibu arisan kalau Si Ali juga mengaku-ngaku bahwa batik yang diwariskan Ibu ke Akang itu bikinan dia. Mau sampai kapan Akang diam terus? Mau sampai kapan? keluh Yanti yang bukan sekali dua kali ia ungkapkan kepada Doni.
Ali sebenarnya bukan orang lain bagi Doni, juga bagi Yanti. Ali adalah adik kandung Doni dari darah orang tua yang sama. Sayangnya, beberapa tahun sebelum ayah meninggal, istrinya meminta cerai padanya, pada suami, ayah mereka. Seperti halnya perceraian sebuah keluarga, akibatnya selalu jadi bogem mentah untuk anak-anaknya, baik soal pembagian harta warisan maupun soal hak asuh. Kenyataannya, Doni harus ikut ibu sementara Ali harus ikut dengan Ayahnya hijrah ke kota sebelah yang luasnya tak seberapa, yang juga populasi penduduknya tak lebih banyak ketimbang kota tempat Doni dan istrinya tinggal sekarang.
Entah bagaimana sejarahnya pertengkaran itu bermula, Doni sendiri tidak benar-benar ingat, bahkan tidak cukup peduli untuk memikirkannya. Hanya saja, ia tahu bahwa perselisihan demi perselisihan telah dimulai semenjak mereka masih kecil, ketika mereka tumbuh dewasa dan akhirnya memiliki keluarga sendiri-sendiri. Mereka bertengkar di sekolah, di kampus, di tempat kerja yang sama. Awal-awalnya ada keberanian Doni menghadapi Ali yang selalu meremehkannya, meski hanya sebatas menegur. Lama-kelamaan, Doni hanya bisa diam dan diam saja. Entah karena sayang dan merasa dirinya sebagai kakak yang mestinya jadi contoh, atau karena otak yang tidak terlalu pintar dibandingkan dengan adiknya itu. Namun, yang mengherankan, teman-teman Donilah yang justru membela Doni setiap kali Ali berulah, pun dengan istrinya sekarang. Doni sendiri tak berbuat apa-apa, sama sekali.
Bagaimanapun, perbedaan yang kentara itu benar-benar ada di antara mereka. Usia Doni dan Ali hanya terpaut lima tahun saja. Doni orangnya tinggi, berperawakan besar, tampan dan sukses di segala bidang. Walaupun demikian, Doni tidaklah sepintar yang orang-orang sangkakan padanya. Kadang orang-orang yang benar-benar mengenal dirinya, menggangap bahwa Doni hanya salah seorang yang beruntung: beruntung mendapatkan warisan tanah dari ibunya di saat orang-orang kelimpungan kehilangan tanah; beruntung mendapatkan begitu banyak peninggalan nenek moyang yang walau demikian tak pernah dirawat dan diperhatikannya; beruntung bahwa orang-orang masih simpati padanya, walau tak sedikit juga yang merasa kasihan akan nasib naas yang seringkali menimpanya akibat perbuatan Ali, adiknya.
Hal ini sangat berkebalikan dengan Ali. Ia yang usianya lebih muda adalah seorang yang pintar, banyak uang walau tak banyak harta warisan dan peninggalan. Ia lebih maju ketimbang Doni yang meski punya banyak harta tapi tak pernah dimanfaatkannya. Sayangnya, kepintaran Ali tak digunakan sebagaimana mestinya. Atau, bilanglah kalau Ali itu pintar, tapi pintar keblinger. Mungkin ini juga yang menjadikan mengapa Ali acapkali mengaku-aku apa pun kepemilikan Kakaknya, mulai dari tanah hingga warisan nenek moyang berupa tradisi atau kesenian.
Tanah dan warisan itu dimiliki Doni tanpa sedikit pun usaha mesti ia keluarkan. Ia mendapatkan kesemuanya dengan per-cu-ma! Justru yang menggunakan keduanya itu adalah warga di lingkungannya. Akan tetapi ketika Ali mulai berulah, warga tak bisa berbuat apa-apa, karena memang mereka tidak punya secuil hak bahkan kuasa pun untuk bersikap terhadap Ali. Tentunya, bukan warga yang memiliki hak atas tanah dan warisan itu, melainkan Doni. Donilah yang mesti bertindak. Jika tidak , ia selamanya akan dicoreng dan dihinakan oleh adiknya itu.
Sempat suatu waktu warga yang simpati terhadap Doni menghadap kepadanya. Mereka berkata bahwa tindakan Ali sudah kelewat batas. Bahkan lebih dari itu, tindakannya sudah melanggar hukum, dan karenanya sangat pantas untuk dibawa saja Si Ali itu ke muka hukum. Tapi, perangai Doni yang tak bisa diubah membuat warga harus menyerah ketika mendapatkan jawaban darinya. Ya, Doni tak sedikit pun bergeming dan tetap menganggap bahwa masalahnya itu tidak akut dan pantas dibawa ke pengadilan. Warga pun akhirnya lepas tangan. Namun demikian, rumor tak lantas tiada di antara warga. Seperti halnya berita cuaca, merebaklah dengan cepat rumor yang tak bisa disangkal dan telah pula menjadi pengetahuan bersama: “Doni yang bodoh atau Ali yang jahat?”
Tapi lama kelamaan, panas telinga dan gerah juga perasaan Doni. Ia mulai terdengar marah-marah di rumahnya –walau tak bisa dibilang benar-benar marah dan mem-perlihatkan kemarahannya; Yanti dengan cukup jelas melihat dan memperhatikannya. Kadang Yanti tersenyum dengan dirinya sendiri, merasa bangga bahwa pada akhirnya suaminya itu bisa juga marah atas ulah adiknya. Mengetahui itu, Yanti dengan segera meminta pertolongan warga, siapapun. Ia berkata bahwa apabila warga melihat suaminya berjalan, melintas, atau berkumpul bersama mereka, “kompori Kang Doni, ya?” begitu pintanya.
Warga yang sempat merasa lelah dan pasrah pun menampakkan lagi semangatnya. Mereka setuju untuk mengompori Doni agar akhirnya ia mau mendatangi Si Ali dan melabraknya. Setiap ada kesempatan, warga selalu memancing Doni dengan rasa benci terhadap Ali.
Namun, apalah artinya marah atas sesuatu tanpa ada tindakan nyata. Hari ke hari, minggu ke minggu warga menunggu kapan kira-kira Doni mau mendatangi Ali. Kendati awalnya warga dan begitu juga istrinya meragu, kembali mereka merasa menang mendapati puncak kemarahan Doni. Warga sangat yakin bahwa kali ini Doni benar-benar akan bertindak nyata.
Akan tetapi, ketika warga telah siap-siap membantu Doni dari belakang, bahkan maju di garda paling depan jika diperlukan, peristiwa mengejutkan sekaligus mengherankan terjadi. Tak ada hujan tak ada badai, tak ada basa-basi apalagi permisi, Doni tiba-tiba saja menghilang dari keberadaannya. Terlebih warga, Yanti sendiri tak tahu ke mana rimba suaminya itu. Akhirnya mereka bingung, bingung sebingung-bingungnya, tanpa nasib dan keputusan yang jelas. Sementara itu, polah Ali benar-benar tak bisa lagi dimaafkan.
Ya, ia mulai mengambil semua kekayaan alam di atas tanah milik Doni. Lantas diratakannya pula tanah itu dan mulai didirikannya pondasi bangunan entah apa. Pun dengan warisan nenek moyang berupa peninggalan dan peralatan kesenian. Semuanya dibopong ke kota tempat Ali tinggal. Warga tentu saja marah, tapi juga serba salah. Doni yang sekarang entah berada di mana, sedang nasib mereka yang makin lama makin tertekan. Bagaimana bisa mereka hidup jika tanah tempat mereka menanam penghidupan pun digusur oleh Si Ali? Yanti, isrinya, pun bingung begitu rupa.
Pada akhirnya, sebuah komando terlontar dari salah seorang warga bernama Karna. Ia adalah teman Doni ketika sekolah dulu, yang juga mengetahui benar-benar permasalahan Doni dengan adiknya itu sedari kecil. Ia berkata kepada warga yang lain bahwa tak perlu bagi mereka menunggu Doni karena itu adalah kenyataan yang muskil belaka.
“Kita sudah amat tertekan oleh kelakukan Si Ali itu, warga sekalian. Dan karena ketertekanan itu, diperlukan perubahan. Ya, kita harus mengubah keadaan kita. Tak bisa kita terus diam saja. Kita datangi saja Si Ali. Kita demo dia!”
“Ya, setuju... setuju,” riuh-reda suara warga mengiyakan perkataan Karna.
“Bagaimana, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu ikut saya mendatangi rumah Si Ali itu?” tanyanya.
“Ya, betul. Kita datangi saja rumahnya,” sahut seorang warga entah siapa.
”Mari… mari kita datangi rumah si Ali itu. Kalau perlu kita gayang dia sekalian,” teriaknya penuh nafsu.
“Ya, gayang saja. Biar tahu rasa!” gemuruh warga seraya mengikuti Karna yang sudah lebih dulu bergerak di depan mereka, menuju rumah Ali. (FA)
Bandung, 02 September 2010
No comments:
Post a Comment