Sudah lebih dari lima kali asap rokok keluar masuk
hidung dan mulutku. Tapi, tidak satu kalimat pun bisa aku buat. Bukan masalah
merangkai kata sebenarnya, melainkan pikiran yang sampai detik ini tidak juga
menemukan idenya, inspirasinya. Entah mengapa? Akhir-akhir ini otakku
benar-benar tumpul. Ide seakan habis dari muka bumi walau kata-kata banyak
tersedia dalam bahasa apa saja. Aku yakin itu.
Sudah lebih dari
setengah tahun aku tak menulis. Maksudku, benar-benar menulis sesuatu yang memang
serius yang berasal dari akal pikiranku. Sebuah ide yang genial, yang orisinal.
Yang aku ingat, terakhir kali aku menulis pelajaran bahasa Sanskerta dan bahasa
Sunda dengan pengantar Sunda, dan sebuah tulisan tentang teknik belajar yang
aku sendiri kurang bisa membanggakannya. Tapi aku pikir, aku hanya menulis
saja, menulis sebuah pengetahuan dari pengetahuan yang aku sempat tahu. Aku
tidak menulis (mengarang) sebuah tulisan dari tulisan yang aku buat sendiri.
Dengan kata lain, aku mandul saat ini.
Kegelisahanku ini
muncul karena ternyata aku masih belum mampu dan belum bisa membuat tulisanku
sendiri. Dari pertama kali aku cemburu pada seorang teman SMA yang profilnya
terpampang di sebuah majalah remaja, sejak saat itu pula aku mengazamkan diri
untuk membuat tulisan, untuk mengarang sebuah karya yang asli miliku sendiri.
Sebuah cerita. Sebuah novel.
Sebenarnya bukan
berarti aku tidak mampu; hanya saja, setiap kali aku tengah menulis sebuah
karangan setiap kali itu pula aku merasa tidak percaya diri, keder, ragu, atau apa
pun itu namanya. Aku selalu merasa jika tulisanku itu terlalu berat atau
terlalu ringan; terlalu bertele-tele atau terlalu singkat; terlalu idealis atau
terlalu popular. Pada akhirnya semua tulisan itu buntu ditengah jalan.
Menggantung dan tak dilanjutkan.
Setiap kali aku
menulis, selalu saja ada godaan setan yang seolah berkata: “Tulisanmu itu
sangat idealis. Bagus! Saya jamin, tidak ada penerbit yang mau menerbitkannya.”
Tapi di lain waktu setan itu berkata lagi: “Tulisanmu itu terlalu populer,
terlalu remaja, terlalu renyah seperti snack, bahkan lebih parah lagi. Snack
yang kurang bumbu dan kurang lezat. Membuat orang yang memakannya ingin dengan segera
menghentikannya. Saya yakin tulisanmu diterbitkan oleh penerbit. Tapi dengan
demikian, kau telah menjual idealismemu, menjual dirimu hanya untuk sebuah kapital. Kau tahu
hakikat kapital? Ia selalu datang dan pergi, diingat sekaligus dilupakan, dan
tak abadi. Bukankah kau selalu berkata bahwa kau bisa lebih baik dari apa yang
bisa kaulakukan untuk karya-karyamu. ”
Begitulah setan
itu berkata yang sampai pada akhirnya, terlebih jari-jari bisa menohok-nohok
tombol-tombol huruf, berpikir pun aku tak bisa. Begitulah kegelisahan tercipta,
dan hanya kebingunganlah yang tersisa. Pada waktu yang sama, sehebat mungkin
aku bertanya: Apakah salah menjadi idealis? Apakah tidak boleh aku membuat
sebuah tulisan yang dalam dan penuh dengan perenungan, bukan tulisan yang
popular seperti kebanyakan orang yang latah? Aku ini bukan orang lain dan orang
lain juga bukan aku. Aku adalah aku, yang punya gairah, keinginan dan pikiranku
sendiri. Terlebih, aku ini memang bukan orang yang suka dengan hal-hal yang
tren dan merasa cukup dan mapan dengan keadaan yang ada. Dengan kata lain, aku
ingin menjadi diri sendiri lewat tulisanku.
Akan tetapi,
apakah benar aku bisa bertahan dengan idealismeku itu? Apakah rela aku
mengorbankan diriku sendiri hanya karena prinsip yang aku terus tegakkan tanpa
ada usaha untuk menerima dan mencoba kepopularitasan itu? Aku percaya jika
manusia tidaklah dibentuk oleh dunia, oleh realita. Justru sebaliknya, dunialah
yang sejatinya membentuk manusia. Manusia sekarang dibentuk oleh kebudayaannya,
oleh nyanyian nina bobo yang dipertonton dan diperdengarkan oleh banyak media:
program-prgram radio dan televisi dan banyak lagi. Dunia hanya menginginkan aku
seperti apa yang dia inginkan. Oleh karenanya, manusia tidaklah spesial,
tidaklah unik, tidaklah istimewa, tidaklah beda dengan yang lainnya. Manusia
hanyalah tarian omong kosong dunia. Organik yang akan membusuk sebagai kompos
yang sama. Jadi untuk apa berulah macam-macam, jalani dan ikuti saja dunia ini
apa adanya, mau atau tidak mau.
Setelah lelah berbicara
dengan diri sendiri, akhirnya pikiran pun berkata: “Lalu apa yang bisa aku
lakukan? Apa yang bisa aku tulis? Haruskah aku murtad saja dari dunia kata-kata
ini dan pergi ke lain dunia yang bisa melihat setiap insan sebagai insan dan
bukan produk bawaan nenek moyang dalam sebuah cetakan yang sama?”
Saat itulah
pikiran berlabuh mengunjungi kenangan demi kenangan. Mengingat semua peristiwa
demi peristiwa yang telah lampau berharap mendapat pencerahan atau jawaban atas
permasalahanku ini. Seekor belut besar dari sebuah tabloid khayalan, cerita
aneh tapi nyata sebuah rubrik koran yang sudah lama mati, empang kakek di dekat
hutan, sungai kecil yang kehilangan keperawanannya, kisah cinta monyet yang
menjadi puisi pertama, adalah sebagian dari yang aku ingat dari masa lalu dan
masih tersimpan di kepala dengan rapi hingga detik ini. Sayangnya semua itu hanya
kenangan belaka dan tak lebih. Mendapati kenyataan itu, tiba-tiba aku merasa kalah
untuk membaca tanda-tanda kosmik alam semesta. Kalah memperjuangkan harapan dan
cita-cita. Kalah dengan diriku sendiri. Selebihnya, hanya setetes bening air
mata tersimpan di ruang putih dadaku yang aku lihat, yang menangisiku.
Barangkali, aku memang
bukan penulis, bukan pengarang dan selamanya takkan pernah bisa menulis dan
mengarang seumur hidupnya. [Fim Anugrah/”Saswaloka”]
No comments:
Post a Comment