Wednesday, February 6, 2013

Writer's Block

Sudah lebih dari lima kali asap rokok keluar masuk hidung dan mulutku. Tapi, tidak satu kalimat pun bisa aku buat. Bukan masalah merangkai kata sebenarnya, melainkan pikiran yang sampai detik ini tidak juga menemukan idenya, inspirasinya. Entah mengapa? Akhir-akhir ini otakku benar-benar tumpul. Ide seakan habis dari muka bumi walau kata-kata banyak tersedia dalam bahasa apa saja. Aku yakin itu.
Sudah lebih dari setengah tahun aku tak menulis. Maksudku, benar-benar menulis sesuatu yang memang serius yang berasal dari akal pikiranku. Sebuah ide yang genial, yang orisinal. Yang aku ingat, terakhir kali aku menulis pelajaran bahasa Sanskerta dan bahasa Sunda dengan pengantar Sunda, dan sebuah tulisan tentang teknik belajar yang aku sendiri kurang bisa membanggakannya. Tapi aku pikir, aku hanya menulis saja, menulis sebuah pengetahuan dari pengetahuan yang aku sempat tahu. Aku tidak menulis (mengarang) sebuah tulisan dari tulisan yang aku buat sendiri. Dengan kata lain, aku mandul saat ini.


Kegelisahanku ini muncul karena ternyata aku masih belum mampu dan belum bisa membuat tulisanku sendiri. Dari pertama kali aku cemburu pada seorang teman SMA yang profilnya terpampang di sebuah majalah remaja, sejak saat itu pula aku mengazamkan diri untuk membuat tulisan, untuk mengarang sebuah karya yang asli miliku sendiri. Sebuah cerita. Sebuah novel.
Sebenarnya bukan berarti aku tidak mampu; hanya saja, setiap kali aku tengah menulis sebuah karangan setiap kali itu pula aku merasa tidak percaya diri, keder, ragu, atau apa pun itu namanya. Aku selalu merasa jika tulisanku itu terlalu berat atau terlalu ringan; terlalu bertele-tele atau terlalu singkat; terlalu idealis atau terlalu popular. Pada akhirnya semua tulisan itu buntu ditengah jalan. Menggantung dan tak dilanjutkan.
Setiap kali aku menulis, selalu saja ada godaan setan yang seolah berkata: “Tulisanmu itu sangat idealis. Bagus! Saya jamin, tidak ada penerbit yang mau menerbitkannya.” Tapi di lain waktu setan itu berkata lagi: “Tulisanmu itu terlalu populer, terlalu remaja, terlalu renyah seperti snack, bahkan lebih parah lagi. Snack yang kurang bumbu dan kurang lezat. Membuat orang yang memakannya ingin dengan segera menghentikannya. Saya yakin tulisanmu diterbitkan oleh penerbit. Tapi dengan demikian, kau telah menjual idealismemu, menjual  dirimu hanya untuk sebuah kapital. Kau tahu hakikat kapital? Ia selalu datang dan pergi, diingat sekaligus dilupakan, dan tak abadi. Bukankah kau selalu berkata bahwa kau bisa lebih baik dari apa yang bisa kaulakukan untuk karya-karyamu.
Begitulah setan itu berkata yang sampai pada akhirnya, terlebih jari-jari bisa menohok-nohok tombol-tombol huruf, berpikir pun aku tak bisa. Begitulah kegelisahan tercipta, dan hanya kebingunganlah yang tersisa. Pada waktu yang sama, sehebat mungkin aku bertanya: Apakah salah menjadi idealis? Apakah tidak boleh aku membuat sebuah tulisan yang dalam dan penuh dengan perenungan, bukan tulisan yang popular seperti kebanyakan orang yang latah? Aku ini bukan orang lain dan orang lain juga bukan aku. Aku adalah aku, yang punya gairah, keinginan dan pikiranku sendiri. Terlebih, aku ini memang bukan orang yang suka dengan hal-hal yang tren dan merasa cukup dan mapan dengan keadaan yang ada. Dengan kata lain, aku ingin menjadi diri sendiri lewat tulisanku.
Akan tetapi, apakah benar aku bisa bertahan dengan idealismeku itu? Apakah rela aku mengorbankan diriku sendiri hanya karena prinsip yang aku terus tegakkan tanpa ada usaha untuk menerima dan mencoba kepopularitasan itu? Aku percaya jika manusia tidaklah dibentuk oleh dunia, oleh realita. Justru sebaliknya, dunialah yang sejatinya membentuk manusia. Manusia sekarang dibentuk oleh kebudayaannya, oleh nyanyian nina bobo yang dipertonton dan diperdengarkan oleh banyak media: program-prgram radio dan televisi dan banyak lagi. Dunia hanya menginginkan aku seperti apa yang dia inginkan. Oleh karenanya, manusia tidaklah spesial, tidaklah unik, tidaklah istimewa, tidaklah beda dengan yang lainnya. Manusia hanyalah tarian omong kosong dunia. Organik yang akan membusuk sebagai kompos yang sama. Jadi untuk apa berulah macam-macam, jalani dan ikuti saja dunia ini apa adanya, mau atau tidak mau.
Setelah lelah berbicara dengan diri sendiri, akhirnya pikiran pun berkata: “Lalu apa yang bisa aku lakukan? Apa yang bisa aku tulis? Haruskah aku murtad saja dari dunia kata-kata ini dan pergi ke lain dunia yang bisa melihat setiap insan sebagai insan dan bukan produk bawaan nenek moyang dalam sebuah cetakan yang sama?”
Saat itulah pikiran berlabuh mengunjungi kenangan demi kenangan. Mengingat semua peristiwa demi peristiwa yang telah lampau berharap mendapat pencerahan atau jawaban atas permasalahanku ini. Seekor belut besar dari sebuah tabloid khayalan, cerita aneh tapi nyata sebuah rubrik koran yang sudah lama mati, empang kakek di dekat hutan, sungai kecil yang kehilangan keperawanannya, kisah cinta monyet yang menjadi puisi pertama, adalah sebagian dari yang aku ingat dari masa lalu dan masih tersimpan di kepala dengan rapi hingga detik ini. Sayangnya semua itu hanya kenangan belaka dan tak lebih. Mendapati kenyataan itu, tiba-tiba aku merasa kalah untuk membaca tanda-tanda kosmik alam semesta. Kalah memperjuangkan harapan dan cita-cita. Kalah dengan diriku sendiri. Selebihnya, hanya setetes bening air mata tersimpan di ruang putih dadaku yang aku lihat, yang menangisiku. 
Barangkali, aku memang bukan penulis, bukan pengarang dan selamanya takkan pernah bisa menulis dan mengarang seumur hidupnya. [Fim Anugrah/”Saswaloka”]

No comments:

Post a Comment