“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S.
109: 2-6)
PENDAHULUAN
Pluralisme Agama, atau yang
kini biasa disebut pluralisme saja, merupakan istilah yang berbung-bunga dan
penuh dengan janji-janji. Janji tentang kehidupan yang damai dan rukun antar
masyarakat yang berbeda-beda, terutama agama, kepercayaan, etnik, ras, kelas
sosial dan kelas ekonomi. Tentu saja, bagi masyarakat Indonesia ini adalah
sesuatu yang baru. Namun yang baru itu sendiri dapat berubah menjadi sebuah
titik tolak berkembangnya pluralisme di negara kita terlebih setelah eksperimen
membuktikan lebih dari 50 tahun Indonesia berakhir dengan krisis di segala sisi
kehidupan berbangsa.
Sebuah wacana
persfektif pemikiran pluralisme akan diangkat dalam makalah ini dengan
mengedepankan pemahaman yang sungguh-sungguh atas makna yang terkandung di
dalamnya. Pun akan dibahas tentang tren-tren pemikiran pluralisme yang menjadi
induk berbagai tren pemikiran tentang pluralisme yang berkembang dewasa ini.
Menjadi sebuah
indikasi bahwasannya pluralisme agama semakin hari justru berkarakter menjadi
sebuah agama baru. Baik di level pemikiran maupun di level implementasinya.
Bagaimana tidak pluralisme agama kini memiliki semua syarat untuk disebut
sebagai agama, yaitu: totalitas, absolutisme, komprehensif, dan eksklusivisme.
Alih-alih menjadi wasit bagi semua agama dan kepercayaan. Pluralisme semakin
menunjukkan tanda-tanda bahwa pada akhirnya keadaan yang hendak dicapainya tak
lain dan tak bukan ialah terminasi agama-agama.
Secara garis besar
penyusunan penulisan makalah ini dipaparakan dalam tiga bagian. Pertama adalah Pendahuluan,
merupakan latar belakang atau pokok permasalahan tentang Pluralisme Agama. Bagian
kedua merupakan isi dari makalah yang terkompilasikan dalam tiga poin: poin A memaparkan
tentang definisi pluralisme yang di dalamnya terkandung perumusan masalah, poin
B membahas tinjuan atas bahasan yang direfleksikan dalam empat item yang
komprehensif. Poin C adalah solusi atau penyikapan permasalahan yang diejawantahkan
dalam tiga item. Dan terakhir adalah penutup atau simpulan dari yang dapat
diambil dari pokok bahasan serta refleksi diri.
ISLAM PANDANG PLURALISME
AGAMA: SEBUAH WACANA PERSFEKTIF
A.
‘Makhluk’ yang Disebut Sebagai
Pluralisme
Jika kita lihat dari berbagai
tinjauan, ada banyak sekali definisi tentang pluralisme. Secara epistemologi,
Pluralisme Agama, berasal dari dua kata, yaitu kata ‘pluralisme’ dan ‘agama’.
Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al
ta’addudiyyah al dìniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal
dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada
bahasa tersebut. Dalam kamus bahasa Inggris, pluralisme mengandung tiga
pengertian. Pertama, pengertian
kegerejaan (i) sebutan untuk orang yang
memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan (ii) memegang dua
jabatan atau lebih secara bersamaan baik sifat kegerejaan maupun non-
kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis,
berarti sistem pemikiran yang mengaku adanya landasan pemikiran yang mendasari
lebih dari satu. Sedangkan Ketiga, pengertian
sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman
kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap
menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara
kelompok-kelompok tersebut1). Sehingga Pluralisme Agama dapat diartikan
sebagai kondisi hidup beragama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang
luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri
spesifik atau ajaran masing-masing.
Kata pluralisme
sendiri harus dibedakan dengan pluralitas. Pluralitas adalah suatu kenyataan.
Kenyataan dimana kita sebagai komunitas masyarakat hidup dalam suatu
kemajemukan, seperti agama, kepercayaan, suku, ras, dan lain sebagainya. Bahkan
jika pun kita telaah, pada dasarnya Islam tumbuh karena sebuah lingkungan yang
plural (pluralitas). Sungguh tepat kiranya MUI menggunakan kata pluralitas dengan
pluralisme. Menurut mereka pluralitas itu tidak ada masalah. Akan tetapi,
bahawa pluralisme itulah yang justru jadi masalah.
Walau sudah ada
semacam clear-cut antara definisi pluralitas
dan pluralisme, tetapi sampai saat ini makna pluralisme masih ada dalam
kesimpangsiuran atau masih dalam kerancuan. Tak urung menjadi sebuah perdebatan
yang alot diantara pemuka-pemuka agama. Serta penyikapan yang masih dicari
solusinya.
Seperti yang sudah
dituliskan di atas, Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia
bahasa inggris, maka definisi [eng] pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a
framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance
of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation."
Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap
kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa
konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan)."
Dalam bukunya yang
berjudul Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis mengutip definisi populer dari
Pluralisme Agama yang dirumuskan John Hick lewat buku ‘Religious Pluralism’:
"refers to a particular
theory of the relation between … traditions, with their different and competing
claims. This is the theory that the great world religions constitute variant
conceptions and perceptions of, and responses to, the one ultimate, mysterious
divine reality." (Pluralisme agama mengacu pada sebuah teori khusus
tentang hubungan antara tradisi-tradisi -agama-agama-, dengan klaim-klaimnya
yang berbeda dan bersaing. Ini adalah teori bahwa agama-agama besar dunia
merupakan konsepsi-konsepsi dan persepsi-persepsi tentang, dan respon-respon
terhadap, realitas ketuhanan yang mutlak dan misterius yang satu).
Dengan kata lain,
Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi
dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang
lebih baik dari yang lain. Pluralisme adalah paham religius artifisial,
yang berkembang di Indonesia,
dan merupakan bentuk lain dari asimilasi tetapi menyerap nama pluralism. Jika teori, atau lebih tepatnya: paham,
"persamaan agama" di era modern ini lahir dan berkembang di belahan
dunia bagian barat -sebagai konsekwensi logis dari proses demokratisasi, maka
paham ini secara tak terhindarkan segera merambah ke bagian-bagian belahan
dunia yang lain yang mentaklidi sistem demokrasi ini, seperti Indonesia.
Dari banyaknya
definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwasannya Pluralisme Agama adalah
suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya
kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang
lain salah. Oleh karena tujuan semua agama itu sama yaitu untuk menyembah The Real, Yang Maha Agung, maka atas
dasar itu pula cara yang dipakai pun sah-sah saja walau merujuk kepada satu
agama atau mengadaptasinya. Pluralisme dalam pengertian di atas dikatakan telah
menjadi semacam `aqidah. Di kalangan kaum pluralis sendiri memang telah ada
yang mengatakan demikian.2)
Pluralisme (agama)
dalam konteks pembicaraan ini merujuk faham menyamakan semua agama dalam
artian:
a. Kebenaran ada dalam semua agama,
dan
b. Keselamatan boleh dicapai
melalui agama yang lain.
Pluralisme dalam
pengertian ini harus dibedakan dengan toleransi antara agama dalam sebuah
masyarakat majmuk. Selain itu ia juga harus dibedakan dengan sinkritisme yang
selalu diartikan sebagai faham campur-aduk pelbagai agama.
B.
Pluralisme Agama dan Sebuah
Tinjauan
1.
Sejarah dan Perkembangannya
Pluralisme muncul pada masa
yang disebut Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya abad ke-18 Masehi,
masa yang sering disebut sebagai titk permulaan bangkitnya pemikiran modern.
Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana pergolakan pemikiran yang
terorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari
kungkungan agama. Ia berkembang dalam setting sosial-politik humanisme
sekuler Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal atau paham
liberlisme yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan
keragaman atau pluralisme.
Oleh karena paham
“liberalisme” pada awalnya muncul sebagai sebagai mazhab sosial politis, maka
wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya termasuk gagasan pluralisme agama
juga kental dengan nuansa dan aroma politik. Di sini pluralisme ingin tampil
sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran, cerdas,
mencerahkan, demokratis, dan promising. Hal ini antara lain dikatakan
oleh tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, John Hick.
Seiring waktu
berjalan, pluralisme pun berkembang dengan pemikiran-pemikiran baru dari
pakar-pakar yang sebelumnya berkontribusi mencuatkan “metamorfosa” ini di
dunia. Pada abad ke-15 cikal bakak pluralisme ini muncul di India dalam gagasan
Kabir (1440-1518) dan muridnya Guru Nanak (1469-1538) pendiri agama “Shikisme”.
Di abad ke-19 pluralisme agama mulai dikenal di Amerika sebagai upaya peletakan
landasan teoretis dalam teologi kristen untuk berinteraksi secara toleran
dengan agama lain. Pelopor gerakan reformasi pemikiran agama ini adalah
Friedrich Schleiermacher. Di mana itu pun berkembang dari lingkungan gereja
kristen yang mana banyak pemuka-pemukanya yang memang sudah mengenal
dasar-dasar atas pemikiran yang melandai pluralisme itu (red: liberlisme). Di
abad ke-20 ini seyogianya Pluralisme Agama telah menjadi sangat kokoh.
Jika pun kita
meilhat sebab-sebabnya, di sini sedikit disisipkan. Sebab-sebab timbulnya teori
pluralisme sebenarnya amat banyak dan beragam. Namun dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal. Untuk yang
pertama, faktor internal atau ideologis merupakan faktor yang timbul sebagai
akibat adanya tuntutan akan kebenaran yang mutlak (absolue truth-claim) di agama-agama itu sendiri, baik masalah
aqidah, sejarah maupun keyakinan atau doktrin. Sedangkan Faktor eksternal atau
biasa dikenal dengan faktor sosio-politis, rupakan hasil praktis dari sebuah
proses sosial dan politis yang berkembang di kalangan masyarakat.
2. Tren-Tren
Pluralisme dan Dasar-Dasarnya
Dalam
perkembangannya, ternyata diketemukan tren-tren pemikiran yang menjadi induk
akan tumbuhnya pluralisme yang tengah marak saat ini. Tren-tren itu antara
lain: tren humanisme sekuler, teologi global, sinkritisme dan hikmah abadi (Sophia Perennis).
1. Secara
umum, konsep Humanisem Sekuler bercirikan “antroposentris”, yaitu menganggap
manusia sebagai hakikat setral kosmos (center of cosmos)
atau menempatkan manusis di titik sentral. Intinya, manusia adalah satu-satunya
standar bagi segala sesuatu.
2. Selanjutnya
teologi global. Teologi ini luar biasa dahsyat dan komleks karena dapat
mengubah tatanan hidup manusia dalam segala aspek. Ia telah menyebabkan luntur,
dan bahkan lenyapnya jati-diri dan nilai-nilai suatu kultur dan budaya. Inti
ajarannya bahwa tidak perlu bersikap resisten dan menentang globalisasi
dan globalisem yang sudah nyta-nyata menjadi kenyataan dan tak mungkin untuk
bisa menghindarinya.
3.
Tren Sinkretisme adalah
suatu kecenderungan pemikiran yang berusaha mencampuradukkan dan merekonsiliasi
berbagai unsuryang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak belakang) yang
diseleksidari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertenu dan dalam
suatu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru)
4. Hikmah
Abadi justru muncul sebagai respon kritis terhadap tren-tren tersebut di atas.
Tesis himha abadi ini berambisi dan mengklaim ingin mengembalikan agama ke
habitat asal-kesucian dan kesakralannya yang sempurna lagi absolut, serta ingin
memperlakukan semuanya secara adil dan sama rata sepenuhnya.3)
3. Implikasi Pluralisme
Terhadap Agama
Fenomena pluralisme agama pada
kenyatannya sangat kompleks dan tidak sesederhana yang kita bayangkan. Apabila
kita memperhatikan peta fenomena pluralisme agama sebagaimana yang telah
termanifestasi dalam tren-trennya –bahwa semua agama itu sama- secara serius,
seksama, kritis dan obyektif, maka kita akan segera dikagetkan dengan berbagai
masalah dan isu mendasar yang berimplikasi sangat berbahaya bagi manusia dan
kehidupan keagamaannya. Sebagian implikasi teori atau faham ini erat kaitannya
dengan isu-isu yang bersifat teoritis, epistemologi dan metodologis, serta
berhubungan dengan isu HAM (Hak Asasi Manusia)- khususnya kebebasan beragama.
Ini mengantarkan gagasan pluralisme pada posisi yng sulit untuk menjawa
petanyaan yang krusial, apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi
yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama, seperti yang diklaim oleh para
penggaagasnya, atau malah menimbulkan problem barudalan fenomena pluralisme
agama?
Implikasi nyata
yang muncul atas konsekuensi logis munculnya pluralisme agamad di antaranya
adalah terminasi agama-agama. Sebagaimana yang kita tahu bahwa di beberapa
negara Barat koeksistensi antar berbagai penganut agama, Kristen, Judaisme,
Islam, Hinduisme, ateisme, sekelerisme seudah “tampak” hidup berdampingan dalam
suasana penuh kedamaian, keramahan, toleransi, kebebasan dan saling menghargai.
Namun kenyataannya tidak seperti itu, realita membuktikan bahwa Islam dan kaum
Muslimin di negara-negara tersebut sebenarnya ‘dipaksa’ untuk bisa
menyelaraskan diri dengan, untuk tidak mengatakan ‘tunduk’ kepada Barat sepenuhnya dan harus melepaskan
diri dari keberpihakan dan hak-hak keagamaan mereka, meskipun dalam bentuk
paling sederhana: seperti mengenakan hijab.
Fenomena
“Americanization” (Amerikanisasi) mengindikasikan tiga hal: pertama, bahwa teori pluralisme agama secara meyakinkan
telah terbukti tidak ramah, intoleran terhadap agama-agama, bahkan dalam
beberapa kasus cenderung menghilangkan suatu agama. Kedua kebalikan dari
ke-netral-annya telah menjadi falsafah hidup (worldview) bahkan memiliki karakteristik sebuah agama pada
umumnya.Ketiga, pluralisme yang tidak mampu menjamu kultur tetamu (host culture4)
telah mendatangkan bencana dan petaka yang dahsyat bagi agama-agama lain serta
membawa akibat yang luar biasa, yakni sekulerisme, ateisme, agnostisisme,
skeptisme, yang kesemuanya itu berakhir pada satu muara, yaitu terminasi
agama-agama.
Pada intinya,
dalam pandangan puralisme, semua agama dapat dianggap sebagai ruang atau jalan
yang bisa memberi keselamatan, kebebasan, dan pencerahan. Semuanya valid,
karena pada dasarnya semuanya merupakan respons otentik yang beragam terhadap The
Real (hakikat ketuhanan) yang sama. Saat ini pluralisme menjadi polemik di
Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian
awalnya yaitu pluralism sebagai berikut : - pluralisme
diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural - pluralisme digunakan
sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama - pluralisme digunakan sebagai
alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.
Bahkan jika kita melihat objektif kondisi masyarakat Indonesia saat ini, banyak
sekali penyimpangan-penyimpangan ajaran yang tidak semestinya. Dengan dalih
bahwa inti semua ajaran agama sebenarnya
sama, maka dalam hal ini umat dituntut untuk saling menghormati dan menghargai
antar umat beragama. Namun pada kenyataan tidak seperti itu jadinya.
Kasus ajaran-ajaran
yang sempat mencuat akhir-akhir ini di Indonesia telah membuat heboh para ulama
dan seluruh masyarakat. Tak bisa disangkal bahwa ini bisa jadi ‘titisan’ dari
berkembangnya pluralisme agama di Indonesia. Dengan ‘sewenang-wenang’ mereka
memutar balikkan fakta atas ayat-ayat Allah dan mencari-cari kebenaran yang
sebetulnya salah. Mereka menafsirkan ayat-ayat Allah dengan tafsiran yang tidak
di dukung dengan sumber-sumber yang dapat dipercaya.
Dalam kenyataannya
sayang sekali tidak banyak para ulama dan cendekiawan muslim yang memiliki
perhatian utama untuk coba menyelesaikan masalah tersebut, baik dengan cara
memperbarui penafsiran ayat-ayat maupun dengan menyusun sebuah metodologi
tafsir yang baru. Hingga sekarang, sekelompok pemikir Islam yang concern
pada gagasan pluralisme agama biasanya hanya mengutip satu-dua ayat yang
mendukung pluralisme agama dan sering kali melakukan pengabaian bahkan terkesan
“lari” dari ayat-ayat yang menghambat jalan pendaratan pluralisme agama.
Demikian juga sebaliknya. Sembari merayakan ayat-ayat yang problematis dari
sudut pluralisme agama, para ulama eksklusif kerap menafikan ayat-ayat yang
secara literal jelas-jelas mendukung pluralisme agama.
Di tambah lagi
belakangan ini, muncul fatwa
dari MUI yang melarang pluralisme.
Dalam fatwa tersebut, didefinisikan bahwa pluralisme yang dilarang adalah yang
"menganggap semua agama yg berbeda adalah sama". Sementara salah satu
konsekuensi dari penyamaan itu adalah berubahnya aspek-aspek baku dari suatu
ajaran mengikuti ajaran yang lain, yang merupakan hal yang tidak dikehendaki
ajaran manapun.
4.
Islam Pun Berlirih
Sebuah fakta mengatakan bahwa
terminologi pluralisme, atau dalam bahasa Arabnya ‘al ta’addudiyyah’, tidaklah dikenal secara populer di kalangan
kecuali semenjak kurang dari dua dekadi terakhir abad ke-20 yang lalu. Yakni
ketika Barat berupaya menjajakan ideologi modernnya yang dianggap universal,
seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas. Namun ketika adanya
peremehan dan penghinaan segala sesuatunya yang bukan Barat khususnya Islam, maka
Islam pun bangkit dan merespon perkembangan politis ini dan menjadi concern di kalangan cendikia-cendiki Islam.
Jika kita dudukan,
permasalahan pluralisme sebenarnya lebih merupakan masalah aplikatif, praktis,
administrtif dan historis, daripada masalah keimanan atau teologi, dimana wahyu
telah menuntaskan secara finaldan menyerahkan kepada kebebasan dan kemantapan
individu dalam memilih agama, sebagaimana firman Allah Swt:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam), seseungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”
(AL-Baqarah: 256)
Dengan demikian,
terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme agama dalam
hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena pluralisme agama. Islam
memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine
yang tidak mungkin dinafikan. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis –oleh
karenanya lebih bersifat fiqiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan
solusi teologis epistemologi.
Pandangan dasar Islam
terhadap agama pada dasarnya berngkat dari aqidah tawhìd yang dituangkan dalam
kalimat “laa ilaaha illallaah” (tiada
tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), yang merupakan esensi dasar agama Islam
dan realitas fundamental aqidah Islam. Pluralitas adalah merupakan “hukum”
ilahi dan “sunnah” ilahiyah yang abadi dalam semua bidang kehidupan, sehingga
pluralitas telah menjadi karakteristik utama makhluk Allah.
Secara
epistemologi sebenarnya sudah sangat jelas bahwa istilah pluralisme yang di
pelopori oleh Jhon Hick merupakan sebuah alih-alih untuk coba menggulingkan
kekuatan agama dengan meleburkannya menjadi satu, entah dalam tataran teologis
maupun metodologis yang pada akhirnya membentuk suatu tatanan kehidupan
beragama yang tidak lagi dilandasi oleh prinsip dasar yang dijunjung oleh sebuah
keyakinan atau kepercayaan atas komitmen suatu agama. Dengan kata lain
fundamen-fundamen agama, dalam hal ini Islam, berusaha digoyahkan atau bila
perlu membuat fundamen yang baru sehingga terbentuk “isme” baru akan sebuah
ajaran.
C.
KEMBALI PADA HANIFÌYYAH
1.
Dalil Para Penganut Faham Pluralisme
Untuk mengesahkan faham
pluralisme tersebut para pendukungnya merujuk Al-Qur’an dan membuat
tafsiran-tafsiran “se-enaknya” yang sejalan dengan pola fikir pluralis. Antara
ayat-ayat yang dirujuk termasuk di dalamnya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal" (Al-Hujurat:13)
"Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan
warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui."(Al-Rum:22)
Ayat tentang perbedaan-perbedaan
tersebut di atas dipersepsikan sebagai dasar pluralisme. Perbedaan adalah suatu
kenyataan yang positif dan harus disikapi secara positif -- saling mengenal dan
saling menghargai.
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Thaghut,
ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t."
Al-Baqarah: 256)
Ayat tersebut
dipakai untuk menjustifikasikan pluralisme dengan memberinya pengertian bahawa
tidak ada paksaan dalam memilih satu agama. Pengertian seperti itu membawa
implikasi bahawa manusia boleh memilih agama mana saja karena pada hakikatnya
semuanya sama.
"Sesungguhnya orang-orang mu'min,
orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin5) ,
siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah6) ,
hari kemudian dan beramal saleh7) , mereka akan menerima pahala dari
Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (Al-Baqarah:62)
Ayat di atas
merupakan sandaran utama kaum pluralis untuk menjustifikasikan pendirian inklusif
bahwa semua agama -- asal menyerah kepada Tuhan -- adalah benar dan dapat
mencapai keselamatan abadi. Ternyata mereka memahami ayat tersebut secara harfiah,
terlepas dari kaitannya dengan zaman keabsahan agama-agama yang berkenaan, dan
terlepas dari syarat menganut Islam (setelah pengutusan Muhammad SAW)
sebagaimana yang biasa ditafsirkan oleh para ulama mukta
Untuk membuktikan
keabsahan fahamnya kaum pluralis harus mampu melaksanakan suatu projek besar:
mendobrak dan membongkar konsep-konsep dasar yang telah mapan dan mantap
termasuk konsep Islam dan konsep ahli Kitab. Tampaknya mereka mengeksploitasi
dengan leluasa sekali pendekatan deconstruction
(pembongkaran) tajaan kaum pascamodenis untuk mempersoalkan pemikiran dan faham
yang telah mapan.
Konsep Islam di
tangan kaum pluralis telah mengalami pelonggaran makna sehingga meliputi siapa
saja asalkan menganut agama “Islam” dalam arti agama yang tunduk dan menyerah
kepada Tuhan. Tentang bagaimana cara tunduk dan menyerahnya tidak menjadi
persoalan. Dengan demikian “Islam” menjadi begitu inklusif setelah dilonggarkan
menjadi sekedar kata kerja dan kata terbitan yang bermakna tunduk dan menyerah.
Al-Islam
sebenarnya bukan sekadar nama terbitan dari kata kerja aslama dengan makna
tunduk dan menyerah, tetapi ia adalah nama agama yang diturunkan Allah kepada
Rasul terakhirnya Muhammad SAW. Al-Islam dalam pengertian inilah yang
mengandungi cara tunduk dan menyerah sebagaimana yang diperkenan dan dirdhai
oleh Allah Swt. Hanya -- Al-Islam: `aqidah dan syariat Muhammadiyah -- itulah
satu-satunya cara tunduk dan menyerah yang sah dan diterima Allah. Demikianlah
makna al-Islam apabila ia disebut dalam al-Qur’an.
2. Kekeliruan Pluralisme Agama
- Anggapan bahawa manusia dapat sampai kepada Tuhan yang sama lewat jalan-jalan (agama-agama) yang berlainan adalah bertentangan dengan penegasan Al-Qur’an tentang jalan Allah yang satu-satunya, jalan lurus (agama Islam) yang haris diikuti, bukan jalan-jalan lain yang menyimpang seperti yang dinyatakan dalam ayat 153 surah Al-An`am.
- Andaikata agama-agama lain juga benar dan dapat membawa umat masing-masing mencapai keselamatan hakiki dan abadi, lalu apa perlunya Allah mengutus Muhammad SAW. sebagai rasul terakhir?
- Andaikata semua agama sama, semuanya benar, lalu apa artinya pernyataan Tuhan bahwa “Bahwa Dia-lah yang mengutus rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (Al-Islam), untuk dimenangkan dan ditinggikan atas segala agama yang lain, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya” sebagaimana yang disebut dalam surat Al-Taubah:33.
- Andai kata semua agama benar, lalu apa artinya kewajiban mendakwah atau mengislamkan orang yang belum/tidak menganut Islam?
Kemajemukan
(agama) bukan fenomena baru. Ia telah menampakan wujudnya semenjak zaman Nabi SAW.
dan sejak itu pula telah diletakkan asas formula menanganinya seperti yang
terumus pada ungkapan Qur’ani “lakum
dinukum wa liya din” (untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku) tanpa
saling menyembah tuhan masing-masing, tanpa saling mengakui kebenaran agama
masing-masing.
3. Penyelesaian Metodologis
Terhadap sejumlah kontradiksi
antara satu ayat yang mendukung pluralisme agama di satu pihak dan ayat yang
menolaknya di pihak yang lain tentu saja harus ada penanganan dan penyelesaian
metodologis. Sebab, sebagai teks yang memiliki otoritas mutlak yang tak
terbantahkan, Alquran adalah kunci untuk menemukan dan memahami konsep
pluralisme agama dalam Islam. Pembacaan terhadap kitab Alquran sendiri secara
cermat menyangkut tema pluralisme agama bukan saja sangat berguna, melainkan
terasa sangat mendesak di tengah semarak kekerasan di Indonesia yang sering
kali berbasiskan sejumlah teks agama, termasuk Alquran.
Untuk kepentingan
itu, pada hemat kajiannya, Alquran kiranya perlu dipecah ke dalam dua macam
kategori.
Pertama, adalah ayat-ayat yang
bersifat universal, ushul, ghayat (tujuan) dan lintas-batas yang
meliputi batas historis, ideologi, etnis, suku, bahkan agama. Ayat-ayat seperti
ini biasanya lebih banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar ajaran dalam Islam,
seperti kemaslahatan, keadilan, kesetaraan (termasuk kesetaraan gender),
pluralisme (termasuk pluralisme agama), dan penegakan hak asasi manusia (iqamah
huquq al-insan). Dalam lanskap ini, maka ayat-ayat yang mendukung
pluralisme adalah ayat-ayat ushul yang derajat relevansinya tidak
terikat oleh ruang dan waktu.
Kedua, adalah ayat-ayat Alquran
yang tergolong sebagai ayat partikular, juz`iy, fushul, dan wasilah.
Yaitu, ayat-ayat yang biasanya berbicara tentang hal-hal yang
teknis-operasional dengan demikian ia terikat oleh konteks spasial. Masuk dalam
kategori model ayat kedua ini, di antaranya, adalah ayat-ayat yang terkait
dengan waris, ketidakadilan gender, perintah memerangi orang kafir-musyrik,
diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim, dan lain-lain. Dengan mengacu
pada ayat yang demikian, maka dapat dimaklumi sekiranya para ulama fikih klasik
mempunyai pendirian teologis yang eksklusif. Mayoritas pemikir fikih Islam
klasik, misalnya, berpandangan bahwa (1) tidak diperkenankan bagi orang kafir dzimmi
untuk tampil lebih unggul dari orang Islam; (2) non-muslim tidak boleh menjadi
kepala negara bagi umat Islam; (3) non-muslim adalah warga negara kelas dua, dan
sebagainya.
Menghadapi
ayat-ayat partikular yang cenderung eksklusif bahkan diskriminatif itu, maka
pada hematnya tidak bisa lain kecuali harus segera ditundukkan ke dalam
pengertian ayat dalam kategori pertama. Ayat partikular mesti ditaklukkan ke
dalam sinaran ayat-ayat universal. Ayat yang fushul dapat direvisi oleh
ayat-ayat yang ushul. Dengan demikian, ayat yang mendukung pluralisme
agama dapat menganulir ayat yang tidak mendukungnya. Inilah yang dimaksud oleh
kaidah ushul fikih sebagai naskh al-ayat bi al-ayat. Satu ayat
dapat dianulir oleh ayat yang lain. Menurut Ibnu al-Muqaffa, sayangnya umat
Islam telah lama terlena oleh ayat-ayat yang fushul (partikular) dengan
pengabaian yang nyaris sempurna terhadap ayat-ayat yang ushul
(universal). Ia menyatakan, I'rif al-ushul wa al-fushul; fa inna katsiran
min al-nas yathlubuna al-fushul ma'a idha'at al-ushul. Ketahuilah olehmu
yang terperinci dan yang prinsip. Karena sebagian besar dari manusia, mencari
yang ayat-ayat terperinci, sambil menggabaikan ayat-ayat yang prinsip.
Padahal, dalam
konteks masyarakat yang semakin mengarah pada kehidupan demokratis dan
pluralistik, maka mengacu pada model ayat kedua tadi kiranya tidak cukup
menolong. Sebaliknya, dengan berpegangan pada prinsip dasar ajaran seperti yang
tertuang di dalam model ayat pertama, diharapkan dapat membantu terciptanya
masyarakat yang rukun-damai. Terlebih dalam kasus Indonesia. Bahwa Indonesia
bukanlah negara yang hanya didirikan oleh komunitas muslim saja, melainkan oleh
seluruh warga negara, baik yang beragama Hindu, Buddha, Kristen, maupun Islam.
Indonesia berdiri di atas seluruh jerih payah seluruh warga negara Indonesia.
Dengan demikian, memperlakukan umat non-muslim persis seperti yang ada di dalam
ayat-ayat partikular yang kemudian ditegaskan di dalam fikih Islam, bukan hanya
tidak bijak bestari melainkan juga bertentangan dengan logika ayat-ayat
universal yang mendukung pluralisme agama.
Kembali pada hanifiyyah
atau berpaling dari kesesatan dan menuju ke jalan kebenaran, sesungguhnya islam
adalah agama fitrah,
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perbuatan pada fitrah Allah. Itulah agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Ar-Rum: 30)
Ini semua kembali
menegaskan, bahwa agama yang diturunkan oleh Allah Swt. melalui semua rasul dan
nabinya adalah satu, Islam, seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi
Allah adalah Islam” (Ali Imran:19);
“Barang siapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama ini) dan di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi” (Ali
Imran:85)
“Agama yang paling dicintai Allah adalah hanìfiyyah (agama
yang lurus) yang lapang”8)
PENUTUP
Berbagai telaah telah banyak
dipaparkan oleh para cendikiawan Islam yang ingin mengembalikan ajaran Islam kepada
sesuatu yang kaffah.
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (Al –Baqarah: 208)
Kita mempercayai
bahwa syariat Rasulullah SAW. adalah ‘Dinul Islam’, yang di ridhai oleh Allah Swt
sebagai agama bagi hamba-hamba-Nya. Dan tidaklak Allah menerima agama selain
Islam., sebagaimana firman Allah pada surat Al-Imran ayat 19 yang artinya : “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi
Allah hanyalah Islam.”
Tampak
seperti sudah terjadi proses pengebirian dan “reduksi” akan pengertian agama secara
dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang
merupakan “pangkal permasalahan” sosio-teologis modern yang sangat akut dan
kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan
mengembalikan “agama” itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang
sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak
reduksionistik,
Yang
unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran “persamaan” agama (religious equality) ini, tidak saja
dalam memandang eksistensi riil agama-agama (equality on existence), namun juga dalam memandang aspek esensi dan
ajarannya (syariat), sehingga dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu
kehidupan bersama antar agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai
(mutual respect) atau apa yang
diimpikan oleh para “pluralis” sebagai "Pluralisme Agama".
Alih-alih
menciptakan kerukunan dan toleransi, paham Pluralisme Agama itu sendiri
sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter, dan kejam, karena menafikan
kebenaran semua agama, meskipun dengan jargon menerima kebenaran semua agama.
Pluralisme agama
adalah sebuah kenyataan sejarah yang ditarik berdasarkan situasi nyata manusia
di muka bumi ini. Agama sudah betul-betul menyadari bahwa ada beragam agama di
muka bumi ini. Meskipun ada pergeseran atau perpindahan agama, tetapi skalanya
sangat kecil terutama pada agama-agama besar. Terhadap kenyataan ini, agama
harus mengambil sikap, dalam mengambil sikap itu muncul fakta yang menarik
bahwa sebetulnya kebanyakan agama sudah mengakui pluralisme, barangkali tidak
dalam praktik, tapi masih dalam ajaran normatif.
Para pendiri agama
kelihatan tidak memaksa pengikutnya. Kalaupun ada panggilan dalam agama untuk
melakukan misi atau dakwah, tidak dimaksudkan dengan cara agresif, tapi dengan
cara memberikan kesaksian dengan tidak bermaksud mengajak orang lain secara
paksa. Secara teologis mungkin relevan apa yang dikatakan Al-quran bahwa segala
sesuatu di dunia ini dikehendaki Allah. Bagi Allah tentu gampang mempersatukan
kita dalam satu agama, tapi Dia tidak melakukannya.
Pertama
dan yang paling penting bahwa umat beragama harus betul-betul bersedia hidup
bersama dengan damai. Supaya mereka dapat mengembangkan toleransi positif. Umat
agama lain tidak hanya dibiarkan tapi dihargai untuk dapat hidup sesuai dengan
ajaran agamanya. Secara tradisional sebenarnya itu sudah ada, tapi sering
tertutupi oleh gejolak transformasi sosial dan pengaruh kepentingan politik. Kedua, kita membedakan antara
pluralisme dengan kebenaran agama. Maksudnya menerima secara positif dan hormat
kepada agama lain bukan berarti harus mengatakan bahwa semua agama sama. Sikap
pluralis adalah kita mampu hidup dengan umat beragama yang berbeda dengan kita.
Pluralisme juga memerlukan sikap menerima umat yang berbeda. Memang ada
persamaan tapi juga ada perbedaan. Ketiga.
Jelas, solusi yang diberikan Islam
terhadap problem pluralitas agama bertumpu pada penegasan jatidiri atau
identitas keagamaan dan pemberdayaan hubungan dengan agama, serta pengakuan terhadap
peran agama yang serba meliputi kehidupan beragama.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
ALLAH .”(Al-Imran:
110).
1 Definisi
yang ditulis menurut Dr. Anis Malik Thoha dalam bukunya yang berjudul Tren
Plualisme Agama; cetakan pertama, Jakarta 2005; Penerbit Persfektif – Kelompok
Gema Insani Press
2 Dr.Siddiq
Fadhil mengatakan
bahwasannya Aqidah pluralis-inklusif yang
secara konsekuensial menghasilkan pula fiqh pluralis (lihat buku Fiqih Lintas
Agama) yang dibedakan daripada `aqidah eksklusif dengan fiqh eksklusifnya pula.
3 Seyyed
Hossen Nashr telah menjelaskan tesis perennial philosophy atau philoshopi perennisnya ini secara detail dan panjang
lebar dalam berbagai karyanya. Lihat: Nashr, Seyyed Hossein, Knowledge and the Sacred [1988]
4 Marty,
Martin E., Religion & Republic: The American Circumstance (Boston: Beacon
Press, 1987) hlm. 35
5 Shabiin ialah orang-orang yang
mengikuti syari'at Nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah
bintang atau dewa-dewa.
6 Orang-orang mu'min begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin
yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada
hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari
Allah.
7 Ialah perbuatan yang baik yang
diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.
"
8 H.R. Al Bukhari, Al-Iman: 29;
Ahmad 1:246
DAFTAR
PUSTAKA
Arif, Syamsuddin, Apa salahnya Pluralisme Agama?, artikel pada situs Hidayatullah.com (Edisi 03/XVIII/Juli 2005)
______Et. Al, Pluralisme, laporan harian dari Wikipedia.com (1 Oktober 2005)
Fadzil, Siddiq, Pluralisme
Agama : Perspektif Qur'ani, artikel pada ABIM Online.com (Kuala Lumpur: 24
April 2005)
Ghazali, Maqsith Abd, Problematika Quranik Pluralisme Agama, artikel
dari Media Indonesia (06 Agustus 2004)
Husaini, Adian, Bedah Pluralisme di Bandung, artikel pada situs Hidayatullah.com (Senin, 17 Oktober 2005)
Husaini, Adian, Selamat Datang Buku Dr. Anis Malik Thoha, artikel pada situs Hidayatullah.com (Senin, 12 September 2005)
______, Et. Al, Pluralisme, laporan harian dari Wikipedia.com (1 Oktober 2005)
______, Polemik Pluralisme di Indonesia, dari situs Wikipedia Indonesia-Ensiklopedia (09 September 2005)
Rachman, Munawar Budhy, Teologi Pluralisme di Persimpangan Jalan, artikel dari p3m.com (14 September 2005)
Suseno,
Magnis Franz, Sebagian Besar Agama
Menerima Pluralisme, artikel pada situs islamlib.com/wawancara (08
September 2002)
Sjadzali, Munawir, Kontekstualisasi
Ajaran Islam, (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dan
PARAMADINA: 1995)
Thoha, Anis Malik, Tren
Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Persfektif, Kelompok GEMA INSANI,
2005)
Thoha, Anis Malik, Pluralisme,
Klaim Kebenaran Yang Berbahaya, artikel dalam rubrik Tsaqafah majalah Hidayatullah (Jakarta:
September 2004)
Titaley ,John A, Pluralisme dan Kerukuna Hidup Beragama, artikel pada surat kabar Suara Merdeka (Jakarta: 08 Desember 2005)
Gambar: http://fahmi-salim.blogspot.com/2011/10/tafsir-ayat-ayat-pluralisme-agama-dalam.html
No comments:
Post a Comment