entah apa yg terjadi tapi mungkin guru basa indonesia
lupa memberi tahu murid2 SMA-Nya jika stiap hurup pertama di kata pertama dlm sebuah
kalimat itu harusnya kapital atau huruf BESAR & bukan huruf kecil seperti tulisan ini termasuk huruf
kapital pada kata yg merujuk sebuah nama tempat negara dlsb.
Tentunya tidak
hanya masalah hurup kapital saja mereka pun menyingkat kata2 mirip bahasa
sms seperti kata yg, dlm, stiap dan & bahkan kata ulang pun ditulis
menggunakan angka 2. Entah karena masalah epektipitas atau mungkin semata untuk
menghemat enerji (tina). Teramat remeh memang masalah ini tapi apakah harus
dibiarkan saja sekalipun guru basa Indonesia tahu kesalahan itu dari
tugas-tugas dan PR-PR yang mereka kerjakan dan kumpulkan padahal kita semua
tahu jika ketidakpedulian adalah akar kebodohan dan kebodohan adalah benih
kemiskinan. (Pantesan negeri ini ga maju-maju atuh!)
Sebenarnya
perbuatan mereka ini tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena bisa jadi mereka
merupakan murid-murid kaum Atomis atau Newtonian yang punya prinsip jika atom
selalu mencari jalan sependek-pendeknya dalam usaha menempati void atawa
kehampaan mk dr tu hrf-hrf vkl mnjd tdk pntng utk dtlskn sklpn tdk spnhny (maka
dari itu huruf-huruf vokal menjadi tidak penting untuk dituliskan sekalipun
tidak sepenuhnya). Begitulah hukum alam berperan dalam bahasa dewasa ini di
zaman yang masih kanak-kanak.
Akan tetapi dengan ini pula bahasa jadi berpenyakit.
Virus-virus seperti sinkope, apokope, kliping, bending dan banyak lagi virus
lainnya menjangkiti basa tulisan. Apakah salah? Seorang ahli tata bahasa atau
sebut saja pakar linguistik bisa jadi mencak-mencak melihat tulisan seperti ini dan langsung
berkata kalau tulisannya buruk sebagaimana bahasanya. Banyak salahnya dan tidak
berterima(?) sekaligus dia pun berkata: “sudah sana balik lagi ke SD!” Tapi tatabahasawan
yang lain yakni kaum Newtonian tadi mungkin menjawab: “Oh tidak! Itu justru
sesuai dengan prinsip maximum
ease of articulation. Namanya juga bahasa. Makhluk yang satu ini memang
susah buat dimengerti. Hahaha….” sambil tertawa dan berkacak pinggang dan pergi
meninggalkan sang profesor yang kebingungan karena tidak bisa membuat setiap
orang bisa berbahasa (tulisan) dengan baik dan benar.
Belum beres
masalah penyakit bahasa entah itu masalah menyingkat kata dengan lugunya dan
tanpa merasa salah dan dosa murid-murid menulis kalimat dengan tidak
menggunakan tanda baca yang tepat dan sesuai sementara kita tahu tanda baca
adalah rambu rambu tulisan yang tidak hanya bisa membedakan arti tapi juga
memudahkan pembacaan bagi setiap pembacanya tidak seperti paragraf ini pun
paragraf-paragraf yang sebelumnya yang membutuhkan napas yang panjang untuk
membacanya dan ini namanya menyusahkan dan dan mmembingungkan.
Cape kan?
Dengan tetap
berprasangka positip, mungkin guru-guru bahasa kita lupa mengenalkan muridnya pada
koma, titik, cara penulisan yang baik dan lain sebagainya. Maklum, anak-anak
harus belajar banyak mata pelajaran dan guru-guru bahasa juga sibuk dengan
materi yang harus diberikan pada murid-muridnya sampai-sampai mereka lupa
mengenalkan muridnya dengan koma, titik dan kawan-kawannya itu.
Lalu untuk
masalah penulisan, seorang ekskyuer yang tidak bisa mengucap dan menuliskan
kata excuse dengan tepat dan tidak juga membuat miring katanya mungkin
akan berkata: “Namanya juga anak-anak. Maklumlah, mereka kan sedang belajar.
Tahu sendiri, kalau “kotor” ga belajar.” Orang-orang yang baik yang sangat sayang
dengan anak-anak pun menyepakati perkataan itu seraya berkata: “Jangan terlalu
keras pada anak-anak. Namanya juga anak-anak, salah itu wajar,” sambil berlalu
tak peduli dengan masalah remeh temeh seperti ini karena yang paling penting
bagi mereka bukanlah seperti apa dan bagaimana belajar mereka tetapi bagaimana
nilai yang didapatkan anak-anak itu. “Lagipula urusan menyambung hidup itu
lebih penting dari sekadar masalah titik dan koma dan yang semacamnya itu,”
timpalnya.
Tanpa pikir
panjang sekaligus teringat presiden berpeci dan suka menggunakan kursi roda,
dia pun berkata: “Gitu aja kok repot! Kata-kata kotor seperti SMA-nya yang
ditulis SMA-Nya; energi yang ditulis enerji; efektif yang ditulis epektip;
huruf yang ditulis hurup; kata positif ditulis positip; termasuk kata miring
yang harus dimiringkan itu, ya, tinggal dibersihkan saja. Buat apa ada
guru bahasa kalau begitu?” Seraya memalingkan muka, hatinya menyembunyikan
kalimat (“Nanti juga kotor lagi. Hihi.”)
Tiba-tiba seorang
guru yang geram berteriak lantang: “Mengapa semua kesalahan anak-anak itu harus
dituduhkan pada kami, guru-guru bahasa?” Seorang sinis mencibir: “Soalnya,
orang tuanya sibuk kerja mencari uang yang dibayarkannya untuk SPP, untukmu
wahai guru-guru pengajar (ga tau deh kalau pendidik mah). Lupa ya
tadi sudah dibahas? Oya, maap, saya teh orang daerah yang tidak bisa
berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Jadi maap kalau bahasa sayah
campur aduk. Semoga ini tidak lantas mengurangi harkat dan derajat bahasa yang
besar ini, dan semoga juga bahasa daerah tidak lantas memiliki status yang
rendah ketimbang bahasa negeri pemersatu bangsa ini,” (sambil mengusap dada
tanda syukurnya terhadap tanda kutip yang menyelamatkan kata-katanya.) Tuh kan,
kotor lagi!
Bahasa memang
susah sesusah permasalahan yang muncul karenanya. Satu yang pasti, kenyataan memperlihatkan
jika pada akhirnya anak-anak kita tumbuh tanpa , tanpa . tanpa cara menulis
kata, kalimat, dan paragraf yang baik. Mereka tak mengenal ejaan yang baik dan
benar itu sebagaimana mereka tak mengenal dirinya sendiri. Mengapa? Karena
persoalan hidup teramat sangat banyak di muka ini ketimbang masalah titik dan
koma. Hemat kata, mereka hidup tanpa mengenal bahasa, yang katanya, menjadi
alat kesatoean dan persatoean negerinya sendiri. Identitas bangsanya! Akhirnya,
bahasa (tulisan) mereka pun tampak seperti badut tak lucu yang seolah-olah mengajak
tertawa pembacanya sekalipun pembacanya itu sangat tidak ingin tertawa melihat
tulisannya hanya karena ada kata haha, hihi, hehe di dalamnya.
“Sungguh bahasa yang
aneh,” tukas seorang bisu yang kebetulan punya bahasanya sendiri. [Fim
Anugrah/”Saswaloka]
No comments:
Post a Comment