Akhir-akhir ini aku sering
memikirkan tentang karakter orang kota ini. Kota yang katanya istimewa ini. Hal
itu sering aku lakukan khususnya ketika aku berada di mesjid dekat rumah setiap
kali aku melaksanakan solat Magrib. Sehabis solat, sering aku bertanya, apakah
karakter orang kotaku ini pada hakikatnya memang tak punya bakat untuk memiliki
rasa kepedulian dan solidaritas yang erat, punya bakat untuk bekerja sama
alih-alih berkata “masing-masing” saja?
Tak
hanya pengalaman hidup memperlihatkan bukti-buktinya, akan tetapi justru orang kotaku
ini sendiri, tetanggaku sendiri yang berkata demikian. Dengan lantang dia
berkata demikian ketika aku tengah memarahi anak-anak yang ributnya minta ampun
ketika aku dan jamaah yang lain sedang melaksanakan solat Magrib. Aku marah
bukan hanya anak-anak itu sudah menjadi sangat keterlaluan dengan tingkahnya
dan seperti tak lagi menganggap saranku agar mereka segera masuk mesjid ketika
iqomat sudah diserukan. Berulang-ulang kali sampai aku sendiri bosan jadinya.
Aku marah karena tak ada jamaah lain yang “mengurus” dan mewanti-wanti
anak-anak itu, tak terkecuali Ustaz bahkan RT sekalipun. Mereka punya mata dan
telinga tapi seolah tak dipergunakannya, dan mengetahui kelakuan anak-anak itu
mereka pun tak memedulikannya. Dengan entengnya mereka berkata jika “anak-anak
memang seperti itu. Nakal, susah dikasih tahu.” Hanya itu yang mereka ucapkan,
tak lebih.
Aku
heran, bagaimana mungkin orang-orang bisa menerima keadaan semacam itu?
Membiarkan yang sudah menjadi sangat biasa sekalipun kebiasaan itu bukan
merupakan sesuatu yang bisa dibanggakan; bukan tidak mungkin keadaan itu tak
ubahnya bom waktu yang disulut hingga suatu hari nanti meledak dan semua orang
jadi korbannya? Mereka berbicara perubahaan dan keadaan yang lebih baik. Untuk
hal kecil yang sejatinya tak bisa dianggap sepele saja mereka tak melakukan
apa-apa. Tatanan masyarakat seperti inikah yang pantas dibanggakan? Aku rasa
tidak.
Mendengar
tetanggaku berkata “masaing-masing saja” itu, aku terkejut bukan main.
Sendirian aku geleng-geleng kepala sambil bertanya dalam hati: Apakah itu
artinya apa yang aku sangkakan sebelumnya itu memang benar, jika orang kota ini
itu egois? Tak pedulian? Masing-masing? Tidak punya bakat kerja sama dan hal-hal
egostis lainnya? Makin sering aku memikirkannya makin sering aku ingin keluar
dari kota ini. Pindah ke kota lain yang masyarakatnya punya jiwa sosial yang
tinggi, yang tidak egois dan “masing-masing saja” itu. Lebih jauh, aku pun
berpikir untuk menjadikan masalah ini sebagai ide cerita untuk sebuah novel. Novel
tentang asal muasal kota P yang orang-orangnya egois. Jika benar, entah harus
mulai dari mana aku menulis.
Isu
ini sebenarnya muncul pertama kali ketika aku kuliah di Bandung. Tak seperti
mahasiswa kota lain yang senang ketika bertemu orang sekampung, mahasiswa asal
kotaku ini tidaklah demikian. Aku ingat bagaimana aku tahu jika di kelasku ada
juga mahasiswa yang berasal dari P. Saat itu, dengan impulsifnya, aku
mengenalkan diri dan bertanya banyak hal padanya. Mungkin karena merasa jauh
dari kampung halaman, dan mengetahui ada juga yang berasal dari kampung halaman
yang sama, maka aku pun merasa cukup senang. Akan tetapi sikapku ini
dihadapinya dengan biasa-biasa saja. Pada saat itulah aku mulai membaca
karakter manusia kota. Ada Tasik dengan himpunan mahasiswanya. Ada Cianjur
dengan forumnya. Ada Subang dengan balad-baladnya. Tapi tidak dengan kota P.
Kalaupun ada, keberadaan dan kekerabatannya tak ubahnya menyeruput kopi panas.
Enak di awal namun lekas hilang kemudian. Kami hanya saling tahu, tapi tidak
saling kenal. Hal ini terjadi bahkan ketika kami lulus dari kampus secara
masing-masing dan tanpa ada kepedulian.
Andai
saja sampai itu. Tapi, kenyataan ini muncul berulang ketika aku berada di
komunitas kampus hingga pada akhirnya aku lulus, merantau ke kota yang menjadi
cikal bakal P (Subang) dan kembali pulang ke kampung halaman dan bekerja di
salah satu sekolah berbasis pondok pesantren. Seperti ketika aku di rantau dulu,
sekolah semacam ini bukan hal yang baru. Orang-orang boleh belajar dan mengajar
agama di lingkungan yang agamis, akan tetapi manusia tetap saja makhuk yang tak
ada bedanya. Apakah hanya karena dia lebih banyak tahu masalah agama maka artinya
dia juga lebih tahu soal hidup dan kehidupan? Seorang santri bisa belajar agama
siang harinya dan nyolong nasi tetangga ketika subuh harinya, atau nyolong uang
temannya sendiri. Seorang ustaz bisa mengajar ilmu agama setiap harinya, tapi
dia juga bisa menjadi pemimpin yang otoriter dan kolot pada bawahannya. Menghakimi
mereka tanpa klarifikasi dan kebijaksanaan seenak udelnya. Semakin aku sering
menyaksikan kenyataan yang bertolak belakang ini, semakin aku sakit dibuatnya. Lagi
pula, sudah menjadi prinsipku untuk tidak menilai seseorang dari latar belakang
agamanya. Buat apa? Manusia di mana pun sama saja kok.
Sekolah
mestinya jadi tempat untuk mencerdaskan anak-anak. Akan tetapi, bagaimana
mungkin itu terjadi jika para pengajar dan pimpinannya saja tidak cerdas? Alih-alih
menjadi tempat mencari dan mengajarkan ilmu, sekolah-sekolah itu malah jadi
tempat di mana tradisi kolot dijunjung tinggi, tempat antikritik, dan tempat
mencari duit. Alih-alih untuk bisa menyamakan visi dan misi di antar semua stakeholder, tempat yang mulia ini justru
harus dicederai oleh segelintir orang yang punya kepentingan pribadi. Yang
dikejar, apa lagi kalau bukan pangkat dan kekayaan? Jadi, apa pantas kita masih
saja percaya pada bungkus. Di P sendiri ada sekolah berbasis pondok pesantren
yang terkenal seantero dunia, katanya. Tapi, apakah keterkenalan itu berbanding
lurus dengan kualitas dan pelayanannya? Orang-orang tahunya cuma bungkus doang,
ga tahu seperti apa dalemannya. Bagi orang yang punya idealisme dan prinsip,
jangan harap bisa bertahan di tempat ini. Sejenius apa pun ide dan semulia apa
pun tujuannya, orang-orang semacam ini akan dianggap tak ubahnya ancaman. Duri
yang kemudian harus disingkirkan.
Berbicara
masalah ini, dengan sedih aku menyayangkan, mengapa semua media, entah itu
buku, novel atau film sekalipun hanya mengetengahkan yang baik-baik saja dari
tempat semacam ini? Sedikit yang orang tahu bahwa ada juga sisi gelap dari
tempat dan kehidupan yang terjadi di tempat ini. Sayangnya, tidak ada satu
orang pun yang mengeksposnya. Kalau pun ada, mungkin orang-orang takkan
percaya. Bagaimana tidak? Mereka lebih terlanjur percaya dengan apa yang mereka
saksikan lewat buku, novel dan film itu di awal-awal waktu. Lingkungan sekolah
berbasis pondok pesantren memang lingkungan komunitas. Sekiranya ada aib, maka
hanya orang-orang di lingkungan itu saja yang tahu. Orang tua yang anaknya
mencari ilmu di tempat ini pun takkan percaya. Bagaimana bisa, mereka sudah
lebih dulu didoktrin seperti itu kok. Doktrin hitam dan putih yang sulit dicuci
oleh detergen semahal dan sebagus apa pun. Mereka takkan pernah percaya jika
anaknya mengaji sore hari dan merokok di dalam atap sekolah pada malam harinya.
Sekali lagi, takkan percaya! Mengapa, karena sejak dari awal pikiran mereka
berkata jika pondok pesantern adalah tempat mencari ilmu agama karenanya tempat
ini adalah tempat di mana segala kebaikan berada. Jadi, kalau sandal anaknya
hilang setiap hari, mereka hanya bisa berkata “anggap saja sedekah”, dan kalau
anaknya distrap di lapang sekolah dengan dada telanjang akibat perbuatanya
mengintip santriwati di malam hari seraya mengendap-endap, mereka hanya akan
berkata “ini adalah ujian”. Pertanyaannya, ini sabar atau pasrah?
Di
luar sana, berita tentang anak yang “disentil” oleh seorang guru bisa sangat
viral dan jadi isu besar. Tapi di sekolah berbasis pondok pesantren ini,
anak-anak direndam di kolam ikan semalaman, atau dihantam dengan rotan, satu
pun berita tak ada. Semua adem ayem saja. Karena, sekali lagi, aib apa pun yang
terjadi, ya hanya komunitas ini saja yang tahu!
Tapi
itu adalah cerita lalu. Cerita yang ada sekarang adalah cerita di mana, bahkan
sekalipun aku sudah berada di instansi pemerintahan, sikap “masing-masing” ini masih
saja tampak dan seolah takkan pernah bisa hilang. Masing-masing orang punya
masing-masing kepentingan. Masing-masing bidang juga tak jauh beda. Nama bidang
atau nama instansi tak lebih dari sekadar tempelan. Kami apel tiap Senin pagi lantas
mengerjakan kegiatannya sendiri-sendiri. Setiap orang merasa tak perlu ikut
campur dan tak harus ikut kegiatan apa pun jika dirinya tidak terlibat dan
dilibatkan, sekalipun berada di bidang yang sama. Melihat kenyataan ini, aku
jadi teringat dengan kata-kata tetanggaku, dan aku pikir benar kata dia.
“Masing-masing saja!”
Sebenarnya
aku bukan tipe orang semacam itu yang egois dan semau gue, apa lagi urusan
organisasi. Bukan karena aku memang dididik cara berorganisasi sampai-sampai
harus menjadi ketua bidang kaderisasi dan litbang segala di kampus dulu. Akan
tetapi karena aku tahu jika kebaikan yang tidak terorganisir akan hancur dengan
kejahatan yang terorganisir. Hanya itu. Sederhana saja. Artinya, tak boleh ada
kata “aku” dalam sebuah organisasi, termasuk dalam kegiatan yang dilakukannya. Jika
tidak, ya ancur minah. Aku tahu jika keegoisan hanya akan memunculkan
ketidakpedulian. Dan ketidakpedulian, sekali lagi, ketidakpedulian adalah
sumber kehancuran. Ya, ketidakpedulian, dan bukannya kebodohan! Pasalanya
adalah, bagaimana jika hanya kau seorang saja yang peduli, yang sibuk
mengerjakan ini-itu di organisasi ini sementara yang lain merasa tak punya
kepentingan karena tak terlibat, tak dilibatkan, atau lebih parah, tak mau
melibatkan diri sekalipun itu adalah tanggung jawabnya? Bagaimana jika seperti
itu? Haruskah kau merasa tak peduli dengan semua itu dan terus saja
melaksanakan apa yang menurut kau benar dengan menyibukan diri, sekalipun
orang-orang sebenarnya hanya memanfaatkan saja dirimu? Aku pikir, entah kau
berpikir untuk menjadi superhero atau memang ikhlas dari dalam hati. Tapi jika
kau seperti itu saja, maka dengan tanpa sadar kau telah membuat orang malas
bertambah malas. Orang yang tidak peduli bertambah tidak peduli. Kenapa? Karena
kan ada kau! Kau adalah superhero mereka, orang yang rajin dan bisa diandalkan
sampai-sampai mereka sendiri tak perlu kerja, karena semuanya sudah ditangani
oleh engkau. Begitu. Paham maksudku?
Nah,
jadi kalau pun aku harus menjadi tidak peduli, atau seperti yang disebutkan
tetanggaku dengan “masing-masing saja” itu, itu bukan karena aku memang
menginginkannya, melainkan aku dipaksa untuk menjadi tidak peduli karena
keadaan memang menuntutku seperti itu sekalipun aku tak pernah mau apa lagi
menginginkannya. Aku, sekali lagi, bukan orang yang tidak pedulian atau egois
dan cukup dengan kata “masing-masing” saja itu. Tidak! Sebaliknya, aku adalah
orang yang senang bekerja sama dengan siapa pun. Bekerja dan bersama-sama untuk
aktivitas apa pun. Permasalahannya, manakala egois, tidak pedulian dan
“masing-masing saja” itu sudah menjadi sangat mengakar sebagai karakter,
tradisi bahkan budaya sebuah masyarakat, kau bisa apa? Memaksakan diri? Itu mati
konyol namanya? Menjadi egois dan tidak peduli? Itu artinya kau tak jauh beda
dengan mereka. Bukan salahmu! Kenyataannya, keadaan memang memaksamu demikian.
Dari dulu aku bilang jika budaya itu ada kalanya nonsense, aneh, ga masuk akal.
Dan mungkin ini adalah salah satunya.
Jadi,
cukuplah kau bilang jika orang kota ini memang egois, tidak-pedulian dan, ini
yang menarik , “masing-masing saja”. Tak perlu kau tambah dengan pertanyaan:
“Apakah orang P itu pemalas?” Untuk yang satu itu, aku tidak ingin bicara.
Cukup pabrik-pabrik yang dipenuhi karyawan dari luar kota ini yang jadi jawabannya.
Sejak kecil aku sudah menyaksikannya sendiri. Tapi kalau kau memang tak
percaya, lihat, rasakan dan buktikan saja sendiri. Ya, berdoa saja semoga tak
ada orang semacam tetanggaku itu yang berkata begitu, juga untuk masalahmu yang
satu ini. Semoga.[fa]
19.01.2018 – Rumahduka
No comments:
Post a Comment