Sunday, April 29, 2012

Janji

Matahari setengah wajahnya bisu, awan menutupnya. Angin berarak menyergah cepat membuat awan gelap. Langkah bergegas teramat tegas membuat jejak demi jejak menuju sebuah janji. Seketika langkah terhenti, ada yang terlupa. Ada janji lain yang telah menungguku lebih dulu. Badan berpaling, menapaki jejak-jejak tadi, membuatnya lebih dalam dan bergigi. Lambat kaki melangkah, merogoh telepon selular dan memijit satu demi satu tombolnya, mengirim pesan, mencari kabar. Tak lama kemudian, sebuah jawaban tiba, kubuka inbox-nya. Ternyata janji pun undur dari perhelatan. Katanya masih berada di tempat yang entah dan entah kapan akan tiba, gerak terhenti. Tak lantas tangguh, kaki pun kembali tertatih menemui janji yang telah menyergah lagi melalui inbox yang lain.

Entah berapa inbox dan balasan yang sudah lalu lalang. Seperti percakapan imajiner yang tak kentara adanya. Batas ruang tak lagi bisa terbayang. Aku di mana, pun janji yang sudah menunggu. Kususuri jalan sambil terus mengutak-atik telepon selular. Orang-orang melangkah menemui janji-janji yang tak kutahu. Mereka tak merasa khawatir karena masih meyakini jawaban untuk sebuah pertemuan, takdir. Kulewati orang-orang yang tengah menunaikan janjinya. Betapa mereka tak punya hutang karena janji telah dilunasi.  Kulambati langkah kaki, duduk di sebuah kursi dekat orang-orang yang tengah bergumul tadi. Balasan tak juga kuterima: di mana pertemuan untuk janji akan disepakati. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul satu. Ada janji hakiki yang belum kutunaikan. Aku pun pergi menuju rumah Illahi.
Menit dan detik melaju, entah sudah berapa putaran berlalu. Tubuh tak juga berhenti bergerak, menunggu jawaban dengan kekhawatiran. Inbox merapat: Qta sdh d kntn.dtgu! Kunyalakan lagi kendaraan bernama sepatu di kakiku. Ketika ke luar, kulihat hujan sudah mengguyur kota, debu meruap ke udara, air basahi bumi. Mega hitam, mendung, menambah gelagap dengan khawatir yang teramat. Kuhela nafas panjang, terdiam. Apakah berarti harus undur juga seperti janji tadi? Tidak. Janji tetap janji, harus ditepati. Maka kutembus juga tangisan awan dan jerit langit yang makin meronta. Bulir-bulir membasahi rambut, pundak, dan kaki, kuterjang semua, berlari.
Beberapa menit kemudian aku pun tiba di depan sebuah kantin umum di pinggir jalan. Kantin tempat pertemuan akan janji yang hendak dilunasi. Kutengok masih lengang, belum banyak orang menjejalinya dengan kesibukan ihwal urusan perut. Kulihat mereka tengah duduk di meja bernomor 17, tercengut, seakan telah lelah menungguku dari tadi. Kusampaikan maaf, bukan berkilah. Namun janji hakiki mesti lebih dulu kutepati. Belum lagi hujan yang sempat saja menggugurkanku untuk tiba di kantin itu.
Tini memegang menu; Arif menunjuk beberapa panganan; Aku rebahkan lelah di kursi, bersender dan melenguhkan peluh. Beberepa menit kemudian aku memesan menu dengan mendatangi stand-stand yang berderet rapi mengelilingi meja-meja dan kursi-kursi tempat menyantap makanan.
“Jadi… ada kabar soal Maya?”
“Belum. Tapi sms-nya sudah aku forward?”
“Apa?”
“Ya. Ketimbang harus menunggu bertemu, kan lebih baik langsung saja.”
“Jadi belum ngobrol?”
“Belum. Mungkin nanti.”
Aku terdiam, merenung. Kukira jawaban –tepatnya tanggapan—dari Maya bisa kudapatkan sekarang. Tapi ternyata tidak. Sempat terlintas di pikiran, mengapa tak aku saja yang langsung berbicara padanya, pada Maya? Mungkin akan lebih cepat ketimbang harus melalui perantara. Betapa aku sangat menunggu jawaban itu, jawaban apakah ia menerima lamaranku. Ya, lamaranku agar Maya bisa bekerja sebagai sekretaris sebuah bimbingan belajar yang kudirikan. Tapi memang tak bisa juga seperti itu. Maya tak terlalu dekat denganku. Aku baru saja mengenal dirinya seminggu yang lalu. Maka dari itu aku meminta bantuan Arif ihwal lamaranku itu. Maya memang sulit dihubungi, katanya. Terlebih ia tak mempunyai telepon selular. Andai saja ia sudah menjadi sekretarisku, mungkin akan kubelikan satu untuknya.
“Dari mana saja sih tadi? Lama amat.” Tini buka mulut.
“Ada urusan dulu.”
“Urusan atau urusan?”
Sial, pertanyaan yang paling tak aku suka. Pertanyaan yang seolah mengejekku. “Ada janji dulu. Tapi kubatalkan karena harus menemui kalian.”
Alah... alasan.”
Mengapa setiap kataku selalu saja dibantahnya, dalam hati. Bukan hanya sekali ini. Seringkali kalau aku berbicara dengan Tini, ia seolah mematahkan setiap kata-kata yang kuucapkan. Aku berusaha untuk tahan, tapi kadang ada juga perasaan jengkel.
“Terserah apa katamu.”
Duk! Sebuah tendangan bersarang di kakiku. Tini mungkin tak tahu kalau aku paling tak suka dengan kontak fisik. Dan tendangan itu benar-benar menjadi sebuah ancaman. Sedari kecil aku sudah teramat tersiksa oleh segala kontak fisik yang kudapat: pukulan ayah, tamparan ibu, jotosan teman-teman sewaktu bersekolah dulu. Tubuhku yang renta ini pun adalah memar yang jadi sejarah betapa aku tak suka apa pun yang berbau kontak fisik. Dan Tini malah melakukan hal yang benar-benar aku geram akannya. Badanku bergeser menjauh, tak terlalu jauh, hanya menghindari tendangannya lagi.
Pesanan tiba, kita makan sambil tetap bercakap-cakap. Hening sejenak. Tiba-tiba seseorang duduk di samping Arif, bukanlah satu bangku, hanya saja meja-meja diatur untuk rapat satu sama lainnya. Ia duduk. Aku berusaha bersikap biasa karena toh memang sudah seharusnya. Tak ada urusan aku dengan dirinya. Selintas lalu kucuri pandang wajahnya, tirus. Wahai, wajah itu! wajah yang mengingatkanku pada kekasih yang sempat hilang dari buaian. “Makan, De?” Arif bertukas. Ternyata namanya Dede. Ah, nama yang sama, yang umum dipakai orang-orang zaman sekarang. Tapi aku menaruh curiga. Kutanyakan Arif ternyata namanya Mutiara. Cocok dengan orangnya, pikirku. Wajah tirus, hidung yang bangir, dua belah pipi yang ranum dalam balutan putih kulitnya, begitu sempurna. Aku tersirap. Kutepis semua imaji tentangnya. Aku kembali khusyuk dengan makananku, Arif dan Tini juga.
Dede, maksudku Mutiara, seakan memancing perhatianku. Sempat kudapati ia pun mencuri pandangku. Namun itu tak berlangsung lama. Aku mencoba untuk tak punya rasa dan gelagat padanya. Cukuplah aku dengan apa yang kunikmati sekarang ini. Tak ada lagi perempuan lagi dalam hidup. Telah banyak yang menyakitiku, mencampakkanku. Mereka ku-black list dalam hidupku. Tapi tak berarti aku men-generalisir bahwa semua perempuan seperti itu. Tidak! Bagaimanapun, mereka tetap merupakan makhluk yang punya hati dan perasaan, ada yang baik dan tidak. Kepada Mutiara pun aku menganggapnya sebagai perempuan yang baik, entah, pikiran positif ini mesti tetap terpancang dalam diriku. Aku tak tahu. Sekarang ini aku hanya ingin menyendiri dulu. Belum  ingin ada seseorang lagi mengisi hidup karena sejatinya aku lebih menginginkan yang abadi, yang mendampingiku hingga akhir hayat nanti. Maka, kutanggalkan Mutiara sebagai hafal semata.
“Kita nonton,” ajakku
“Nonton apa?” tanya Arif
“Apa saja. Tapi apa ada film yang seru?” lanjutku
“Entah.”
“Traktir, ya?” Tini menukas.
“Jangan sekarang. Uangku pas-pas-an.”
“Ah, pelit.”
Kembali aku diam. Mengapa ia selalu saja menuntutku, mengataiku? Kalau pun ada uang, tak pernah aku lupa untuk mentraktir mereka berdua. Mestinya dia tahu hal itu. Aku sendiri memang suka mengajak mereka kalau ada rezeki lebih. Bahkan soal makan, aku tak pernah ingin sendiri. Prinspiku: makan itu bukan dengan apa, tapi dengan siapa (kuingat kata-kata bijak Socrates). Dan kedatangan mereka ke kantin ini pun, setelah kujanjikan, memang sudah kumaksudkan seperti itu. Mengapa terkadang orang tak sadar bahwa seseorang sudah berbuat baik padanya. Bukannya ingin disanjung atau apa, tidak. Tapi setidaknya mereka tahu bahwa seseorang tengah melakukan kebaikan terhadapnya. Apakah memang kebaikan hari ini sudah tidak lagi dihargai? Aku tak tahu dan tak ingin tahu. Lama-lama jadi berang juga aku dengan tingkah Tini itu.
“Memang mau nonton apa?” tanya Arif
“Entah. Mungkin bisa lihat dulu koran hari ini. Biasanya kan ada film-film seru,” jawabku
“Asyik, traktirannya dobel dong.” tambah Tini.
Aku beringsut dari kursi setelah menyelesaikan makan, disusul Tini dan Arif. Kurogoh saku celana, uang hanya cukup untuk makan satu hari ini.
“Sepertinya batal.”
“Mengapa?”
“Uangku tak cukup untuk nonton. Mungkin lain kali.”
Arif tak bergeming. Ia malah mengambil berkas-berkas yang tadi terletak di sampingnya.”
“Ayolah nonton,” sahut Tini.
“Nanti sajalah, uangku tak cukup.”
“Ah, pelit banget sih.”
“Biasanya juga kalau ada uang selalu aku ajak!” Nada bicaraku meninggi. Lantas memenjara semua kata. Bisu. Kuraih buku yang tadi kusimpan dipinggirku, kubaca. Pikiran antara ingin marah dan konsentrasi dengan bacaan. Kalimat demi kalimat meredakan emosiku terhadap Tini. Cukup lama aku membaca dalam diam, begitu juga Arif. Sepertinya ia tak ambil pusing masalah ini. Badanku sedikit berpaling ke arah jam satu, ke Mutiara. Namun serasa aku terganggu atau tepatnya tergoda untuk menatap wajahnya. Aku pun menghadap ke arah Arif yang tepat duduk di depanku. Kepala tertunduk ke arah buku. Sungguh kukhidmati setiap kata yang kudapati, seraya menghempaskan amarah yang redam dalam dada, amarah terhadap Tini. Pikiran yang tak bisa dibaca di permukaan muncul: mengapa ia selalu saja ingin dimengerti sedang aku tak pernah merasa dimengerti olehnya? Hal demikian bukan sekali-dua kali. Sudah berkali-kali dan aku tetap bisa maklum. Tapi sekarang sudah keterlaluan. Aku ingin ia bisa berpikir, berempati, berpikir dewasa. Maka aku diam sediam-diamnya sambil terus membaca dan tanpa sadar menangkap suara Mutiara menyanyi di seberang meja.
Heh, jadi ga nonton?” tendangan kaki Tini bersarang lagi. Emosi yang kuredam telah memuncak hinggap di titik nadirku. Aku bangkit dari tempat duduk menuju kasir. Seloroh kemudian, “Aku pulang duluan. Ada janji dengan Yuda.”
Lho, kok pulang? Marah, ya?” jemari Tini mencengkram jaketku.”
“Aku lagi ga mood!
Kok gitu sih...” ia menarik lagi jaketku.
“Ck… Udah. Aku ingin sendirian.” Kutarik jaket dari cengkraman sambil lalu melangkah keluar dari kantin itu. Untuk terakhir kali kucuri pandang wajah Mutiara, berharap semoga ada kedamaian yang kudapat untuk hatiku yang tengah membara gara-gara Tini. Kuderapkan langkah dengan cepat meninggalkan mereka. Aku merasa perlu ruang dan waktu tuk merenung. Dan memang sudah seharusnya jika ada permasahalan aku selalu ingin sendiri. Bukannya menghindari masalah, tepatnya menghindari amarah, khawatir meluap dan mereka jadi sasaran emosiku.
Dalam perjalanan, otak tak benar-benar diam. Ia berputar-putar memikirkan masalah yang sebetulnya sepele. Baru kali ini aku benar-benar menampakkan amarahku pada orang. Bisa saja aku bendung, tapi apa harus aku terus yang menderita dengan perasaan ini? Sekali-kali aku juga ingin marah, ingin memperlihatkan bahwa aku juga punya hati. Aku ingin membuat mereka sadar dan insyaf dengan apa yang dilakukannya padaku. Aku ingin membuat ia berpikir, membuat dewasa; bahwa sikap dan kata-kata mesti dijaga, tahu mana yang baik dan yang tidak. Di antara mereka, aku memang suka bercanda, tak ambil pusing masalah sepele, tak pernah nyambung kalau membahas sesuatu. Aku memang bodoh walau usia sudah berkepala dua. Betapa tidak, mereka masih kuliah dan aku sudah bekerja. Dunia mereka bukan lagi duniaku. Pikiran mereka bukan lagi pikiranku. Perbincangan mereka pun bukan lagi perbincanganku. Mereka bukan aku. Aku merasa tak lebih pantas lagi untuk diam di lingkungan yang tak lagi mendukungku, tak sesuai dengan kebutuhanku. Hah, lelah aku memikirkan masalah ini.
Hujan mereda, butir-butirnya mengalir ke samudera. Aku dan pikiran yang bertuba melangkah menemui Yuda. Menepati lagi janji yang sempat kutunda. Mungkin persuaanku bisa menghilangkan sejenak pikiranku yang kalut sambil bercakap-cakap soal rencana hidup dalam balutan janji yang mesti ditunaikan. Entah janji apa lagi yang akan tiba, aku tak tahu. Saat ini, aku, juga Yuda, hanya mengingat ada janji yang mesti dilunasi. Ya, kita mesti mencari seorang pendamping hidup yang bisa saling berbagi dan mengerti. Ini adalah janji kita, janji hakiki kepada orang tua dan kepada kita sendiri. Tapi bagaimanapun, pasti akan kuselesaikan masalah tadi dengan Tini. Dan ini pun adalah sebuah janji.***

Lantaidua-Bandung, April 2008

Picture: http://generation-revival.blogspot.com/2011/06/pinky-promise.html

4 comments: