Friday, April 27, 2012

Puisi Bulan ini

Sesaat Setelah Terjaga Dari Waktu

Ada yang asing di tubuhku
Seiring pertemuan yang kutinggalkan
Dalam aduh
Setelah semuanya bernama peluh

Kutinggalkan tidurku dan terjaga
Mencoba menerjemahkan hari
Mengenal kembali waktu
Menyambangi sudut demi sudut
Melagukan sunyi

Betapa kelu lidah mengucap selamat malam
Ketika pintu sudah tertutup
Dan dingin diam-diam mengusap tengkuk
Tiba-tiba aku merasa tak pernah
Mengenal semua yang sempat kukecup
Kupeluk di antara dekapan yang sesaat itu

Matakukah yang berkhianat
Atau waktukah yang hanya miliki gelap?
Dalam gamang kulahirkan kata-kata
Menggantung di ujung rambut

Kutulis namaku di udara sebagai sepi
Tanpa bayang-bayang
Tanpa sahabat mengamini kalimat

Kotarimba, 04.2012


Kerah
            -Kawan Aang

Setelah lulus kuliah dan memiliki kerah
Teman-teman tak lagi menulis puisi
Mereka sekarang menulis keringatnya sendiri
Keringat kering keringat basah timbul tenggelam
di sela-sela jarinya, di balik tengkuknya
Adakalnya tanpa berkeringat pun mereka
masih bisa minum kopi dan merokok setiap hari
Tapi, itu bukan teman-temanku
Mereka hanya kepala yang tak mengenal
bayangannya sendiri apalagi mengenal waktu
Teman-temanku adalah mereka yang di saat hari libur
mencuci kerah dan menyayangi bajunya
agar tetap putih seputih keringatnya
yang kelak bakal jadi puisi

Kotarimba, 04.2012


Kebun Teh
            -Kawan Aang

Dikirimnya kebun teh lewat halaman facebookku
“Datanglah kemari. Di sini hijau begitu menggoda
Karena Tuhan lebih dekat untuk diajak bicara!”
Begitulah sebuah undangan tertulis di bersamanya
Kukirim kebun teh yang lain yang kugunting dan simpan
dalam map. Kebun yang rimbanya masih menjaga
di kanan kirinya, di sebuah kota yang masih belum
tahu sejarah kelahirannya, belum tahu siapa pendirinya
Dedemit dan genderowo masih tinggal di kebun itu
Mengingatkanku pada ketiak sendiri yang sudah lebat
akarnya, yang malu menyebut namanya
Di kebun teh itu ingin kudamaikan diri sendiri
jauh dari besi dan baja, dari riuhnya kata-kata
yang sumbang terus suaranya. Tunggu aku di kebun
itu kawan. Biarlah kental percakapan ini sementara  
adalah teh bercampur gula yang sekarang berdiam
di cangkirku. Semoga engkau juga.

Kotarimba, 04.2012


Spanduk

Tak ada spanduk yang terkibar
di depan rumahnya
Kepalan tangan hanya kenangan
berdenyut di jantungnya
Teriakan apa lagi yang diacungkannya
lewat selembaran dan pengeras suara?
Tidakkah ia tahu jika orang yang
diajak bicara tuli telinganya?  
“Jangan kau ajak bicara suara tulalit
di telepon genggammu. Pacarmu menunggu”
Celoteh teman meredam amarahnya
Secepat kilat ia membalikkan tubuhnya
seraya membawa spanduk lain
untuk dibentangkan di depan kekasihnya
“Perjuangan kita belum selesai, Bung!”
temannya berkata. Sudah, jawab batinnya
Ia pun membawa spanduk yang disimpan
di dadanya. Spanduk yang telah lama
dilupakannya

Kotarimba, 04.2012


Pamflet

Di batang pohon nangka tertempel sebuah pamflet:
“Pilihlah aku. Pohon Nangka. Buahku besar
dan kuning dan harum sepeti surga. Sudah sejak lama
Dijamin, Anda akan kenyang jika melahapnya.”

Di batang pohon rambutan pamflet lain berkata:
“Aku adalah pewaris budaya karena satu-satunya
turunan raja. Apalagi aku adalah produk asli
negeri sendiri. Siapa yang tidak bangga? Pilih kami!”

Di batang pohon kelapa selembar pamflet ikut bercerita:
“Dari akar sampai tunas, apa yang tidak bemanfaat?
Maka dari itu aku punya wibawa. Tubuhku tinggi
Menyentuh langit membentang cakrawala. Aku tumbuh
di mana-mana dan kapan saja. Kuat juga tahan lama!    

Seorang bapak yang membacanya hanya berkata:
“Maaf, aku hanya perlu buahnya!”

Kotarimba, 04.2012


Refrein Lagu Bendera

Bahkan sebelum lagu itu naik chart-nya
Refreinnya sudah terdengar dari sini
Mengalahkan lagu cinta idola remaja
Melibas lagu lawas kaum paruh baya

Tiba-tiba dunia dipenuhi oleh suara
sumbang mengalahkan lagu sebenarnya
menganggu sandang, pangan dan iman
malah tak ayal jadi ancaman

Mungkin penutup telinga nantinya
akan jadi produk yang laku keras
karena setiap orang butuh ketenangan
tak terganggu oleh lagu-lagu sumbang
yang hanya enak sesaat didengar

Lagu itu bendera yang tertangkap
di setiap sudut jalan. Gagah berkibar
diterpa angin menjadi angin
yang mententramkanmu
mengabaikan kebutuhanmu

Kotarimba, 04.2012

No comments:

Post a Comment