“Semoga niatanku untuk membunuh perempuan itu bisa terlaksana. Semoga!” Begitulah kalimat terakhir yang diucapkan Wadi tak lama setelah dia terbangun dari tidurnya.
Kurang sabar apa lagi, pikirnya. Selama ini, di setiap rumah kontrakan yang ditinggalinya, tak pernah sedikitpun dia membuat masalah. Malah, di setiap rumah yang hendak dikontraknya itu, selalu dia mengenalkan diri terlebih dulu pada orang-orang sekitar. Membilang namanya, mengatakan asal muasalnya, menyebutkan pekerjaannya.
Tapi di setiap rumah itu pula, aneh tak habis pikir, masalah selalu saja menyambanginya. Padahal, dia tak pernah jadi biangnya. Dengan kenyataan itu, Wadi pun menjadi seorang nomad. Pindah dari kontrakan ke kontrakan lain, dari satu kota ke kota lainnya. Dan entah sudah berapa rumah dia kontrak sepanjang hidupnya yang sebatang kara itu.
Kenyataan itu pernah juga membuat dia membuat puncak keputusan untuk hidupnya. Di tengah ruwetnya masalah finansial dan tempat tinggal, dia sempat memutuskan menjadi seorang gembel. Dengan berbekal prinsipnya sebagai seorang penduduk dunia, dan beberapa setel pakaian dalam tasnya juga sebuah mesin tik, dia merantau dari kota ke kota. Tidur dimana dia suka, makan dimana dia mau, mandi dimana dia suka.
Pada saat itulah, dia merasa betapa bumi ini adalah rumahnya belaka. Milik dia semata. Tidak perlu dia repot-repot mikirin masalah uang kontrakan dengan seabreg tagihannnya, juga masyarakat dengan segala aturan, norma-norma dan macam kebudayaan yang disimpan di dalam kepalanya --dipaksakan keharusannya kepada siapa pun tanpa kecuali, di setiap rumah yang sempat dikontraknya. Lagipula, tak ada pemeriksaan KTP, dan itu adalah baik untuknya.
Satu satunya “KTP” adalah mesin tiknya. Tapi sungguh, dia bukanlah seorang pegawai kelurahan generasi tua yang terheran-heran dengan “tikus”. Dia juga bukan pegawai perpustakaan di pelosok desa yang tak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Dia adalah seorang penulis, tepatnya seorang cerpenis. Dia membuat cerpen tanpa takut listrik, tanpa takut virus, tanpa takut teknologi. Dan dengan keadaan yang sekarang dia bisa membuat cerpen di mana saja setiap kali inspirasi hinggap di kepalanya.
Bukannya sebuah kebetulan, tapi keputusan dia menggunakan mesin tik, pun menjadi warga dunia terilhami dari seekor tikus. Tikus beneran! Bukan berarti berperilaku seperti tikus; tapi menurutnya, tikus adalah binatang yang bisa hidup dimana saja. Tikus tidak mikirin soal tempat tinggal, bahkan di lubang gelap sekalipun tikus masih bisa hidup, dengan kesendiriannya.
Begitulah. Wadi pun hidup di kota di mana dia suka. Setidaknya, hampir seluruh kota di pulau Jawa sempat dikunjunginya. Kerjanya tak lebih dari sekadar membuat cerpen. Setiap kali dia tiba di satu kota, dia akan melihat ada berapa banyak surat kabar di sana. Setelah itu baru dia membuat cerpen untuk dikirimkan ke redaksi surat kabar yang ditujunya.
Sebenarnya, Wadi bisa saja bekerja di sebuah perusahaan, atau kalau perlu mengajar di perguruan tinggi yang bonafit sekalipun. Magister di tangan. Kurang apa? Tapi bekerja pada orang lain sama saja meperbudak diri sendiri. Lagi, dia harus berkutat dengan segala aturan, agenda, dan tugas-tugas yang harus dikerjakannya. Tak ada namanya kebebasaan hidup jika seperti itu. Terikat. Hidup, hidupnya. Urusan apa dengan orang lain? Begitu pikirnya.
Maka Wadi pun menulis dan terus menulis. Pengetahuan tentang kota yang tengah dikunjunginya juga kehidupan orang-orangnya, sudah lebih dari cukup untuk membuat berpuluh-puluh cerpen yang bisa dituliskannya. Jika dimuat, dia pun akan pergi ke redaksi dan meminta honorariumnya. Sabuk di pinggangg pun tak perlu sungguh dikencangkan.
Meski hidup layaknya seekor tikus, tapi Wadi tidak lantas menjadi seorang yang anti-sosial. Berbicara dengan orang-orang yang ditemuinya justru menjadi sebuah kenikmatan tersendiri baginya, terlepas dari apakah menjadi inspirasi atau tidak untuk cerpen pada akhirnya. Satu kesimpulan dari sebegitu banyak orang yang diajaknya berbicara; pada hakikatnya, orang itu sebenarnya ingin didengar, ceritanya, keluh kesahnya, harapan-harapannya. Sayangnya, Wadi tidak cukup punya banyak telinga untuk diberikan kepada semua orang, seperti halnya tak ada telinga yang khusus dibuat oleh sebuah negara untuk bisa mendengarkan orang-orang itu. Jika menarik, Wadi menuliskannya sebagai cerpen. Selebihnya, hanya angin saja.
Namun demikian, sesejati-sejatinya Wadi Si Cerpenis, ada saat- saat dimana dia punya masalah. Karena sampai detik ini pun Wadi masih tetap manusia. Tidak perlulah menyebut masalah perut yang memang seringkali didapatnya. Tidak sekali dua kali Wadi dianggap orang gila karena pakaiannya yang memang sudah sangat lusuh. Betapa tidak? Suatu hari Wadi sempat dirampok. Uang dan pakaianya raib digasak begal. Tubuhnya pun memar karena dihajar. Satu-satunya yang dia selamatkan, ya, mesin tik itu. Itulah penyambung hidupnya, belahan jiwanya yang setia d mana pun dia berada.
Tak lama setelah abad 21 tiba, Wadi mendapati kenyataan lain. Dia menyaksikan betapa jumlah penduduk makin hari makin bertambah saja. Pun demikian dengan ancamannya. Baginya manusia adalah sumber masalah, sesosok makhluk yang betapa pun baiknya, tetap saja tidak gampang diberi kepercayaan. Adalah sifat alami manusia untuk berbohong, menghalalkan segala haram, mengharamkan segala halal, marah, membuat kesalahan. Sungguh fakta yang menyedihkan, menurutnya. Karenanya, tak ada yang namanya aman itu. Nonsense, katanya.
Yang lebih mengajaibkan adalah, bahkan sekaliber hutan yang menurutnya adalah tempat paling sunyi, paling sepi, paling menyeramkan, manusia tetap saja bisa dia temukan. Dan itu artinya, sekali lagi, tak ada yang namanya kebebasan, bahkan untuk bisa menulis cerpen sekalipun. Demikianlah, Wadi menemukan kehidupan di sebuah hutan rimba, di puncak sebuah gunung yang dianggapnya masih angker, masih perawan.
Sungguhpun lari tidaklah bisa menyelesaikan masalah. Pada akhirnya, di penghujung tahun yang tak lagi jelas musimnya, Wadi pun memutuskan untuk hidup sebagaimana orang kebanyakan. Tinggal di sebuah rumah dan punya pekerjaan. Dia sadar, cerpen tidaklah bisa menghidupnya setiap waktu. Malah, acapkali dialah yang lebih sering menghidupi cerpennya. Dan memang demikian adanya.
Sebuah rahasia. Haruskah Wadi percaya pada mitos atau benda bertuah? Masih percayakah orang-orang dengan hal semacam itu? Wadi sendiri ragu, tapi menyaksikan sendiri kebenarannya.
Syahdan, Wadi mendapatkan benda itu dari seorang tua yang biasa mereparasi mesin tik. Dia sendiri tidak punya niat sama sekali untuk membelinya. Dia hanya terpesona ketika suatu hari dilihatnya orang tua itu tengah mengutak-atik mesin tik di depan rumah tua model Belandanya. Sebuah plang kecil putih lusuh bertuliskan “Reparasi Mesin Tik” warna hitam tergantung di depan rumah itu. Sebuah basa basi pun terucap sebagai sapaan. Orang tua itu menyambutnya dengan hangat.
Tak hanya itu, Wadi pun diajaknya singgah ke rumah dan dijamu. Didengarnya cerita dari orang tua itu segala hal tentang dunia permesin-ketikan. Siapa penemunya, bagaimana sejarahnya, sampai perjalanan hidup orang tua itu dengan mesin ketiknya hingga detik ini. Kagum Wadi dibuatnya. Di saat orang-orang zaman sekarang lebih tertarik dengan teknologi digital, orang tua yang satu ini justru masih khusyuk dengan mesin tiknya walau sudah kehilangan pesona.
Baru saja Wadi hendak pamitan; tak dinyana, tiba-tiba orang tua bernama Bagus itu memberinya hadiah: sebuah mesin tik. Wadi salah tingkah. Diniatkannya untuk dibelinya saja mesin tik itu. tapi, orang tua itu menolak, seraya berkarta: “Kamu tidak mencari mesin tik. Mesin tiklah yang mencarimu.” Dengan berat hati dan banyak ucap terima kasih, mesin tik itu pun diterimanya.
Awalnya, kikuk bukan mainan Wadi menggunakannya. Bagaimana tidak, Wadi sendiri lebih terbiasa menggunakan komputer ketimbang mesin tik. Tapi lama-kelamaan, ada juga asyiknya. Lebih dari itu, ada juga seninya. Setiap hentakkan tuas-tuas huruf yang keras bunyinya tak ubahnya letupan-letupan inspirasi yang ditegaskan lewat huruf-huruf yang muncul di atas kertas. Sampai pada akhirnya, Wadi benar-benar cinta dengan mesin tiknya itu.
Semenjak itu, tulisan demi tulisan lahir dari rahim mesin tik Wadi. Betapa nikmat Wadi merasakan bagaimana kertas demi kertas masuk dalam platen—silinder atau rol mesin tik—dan tertimpa tuas-tuas hurufnya; bagaimana platen itu bergerak horizontal dari kanan ke kiri lantas membunyikan bel tanda jarak ketik hampir habis; dan, bagaimana dia menggeser stir hingga kertas itu bergerak ke atas membawanya ke halaman putih yang menunggu dicantumkan hurufnya. Satu cerpen, dua cerpan, entah berapa ratus cerpen sudah bertelur dari mesin tik itu. Wadi sungguh-sungguh menyayanginya.
Kenikmatan itu pula yang melupakan pertanyaan Wadi tentang mengapa orang tua itu memberikan mesin tik padanya. Sampai suatu waktu, Wadi sendiri tidak percaya dengan apa yang dibuktikan dengan cerpen yang diketik dengan mesin tiknya itu. Sebenarnya, Wadi hanya membuat cerpen dari pengalaman dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Sekalipun ada yang benar-benar imajinatif, jumlahnya tidaklah banyak.
Namun seperti kebanyakan cerpenis, eksplorasi itu penting. Wadi mulai membuat cerita-cerita yang bernada harapan dan mimpi: tentang bagaimana perilaku manusia mestinya; bagaimana seorang tokoh mendapatkan cita-citanya, bagaimana orang-orang yang terpinggirkan justru menjadi superhero yang sesungguhnya. Dan akhirnya, tentang bagaimana Wadi sendiri merasa putus asa dalam hubungannya bersama perempuan yang dikenalnya beberapa tahun belakangan ini. Tak segan-segan Wadi membuat cerpen tentang nasibnya sendiri lewat tokoh rekaannya. Dalam cerpen itu, Wadi bercerita bagaimana Si Tokoh, pada akhirnya, ditinggalkan pergi oleh perempuannya.
Tak sampai satu tahun, ternyata apa yang diceritkan dalam cerpen itu, menggunakan mesin tiknya itu, Wadi memang benar-benar ditinggalkan oleh perempuanya. Sesal bukan kepalang, sayang dirundung malang.
Kebetulan. Itulah kata yang terlintas di pikirannya. Sangat tidak mungkin sebuah cerita, terlebih dituliskan oleh mesin tik yang umurnya sudah tua setua orang yang memberikannya padanya, bisa mengubah nasibnya. Muskil! begitu katanya. Tapi, rasa penasaran tumbuh juga. Wadi pun mulai mencoba-coba menulis cerita yang mungkin bisa mengubah keadaan.
Andai saja Wadi mau memuat cerita seorang tokoh yang menjadi orang kaya. Tokoh yang sebenarnya dia sendiri pemerannya. Tapi, mana mungkin media massa mau memuatnya? Bukankah para penulis, sastrawan dan masyarakt pembaca lebih suka dengan cerita-cerita tentang orang-orang kelas bawah? Yang perubahan nasib si tokoh tidak terlihat kentara? Bahkan, justru malah tidak ada perubahan nasib sama sekali? Dan itu justru malah lebih bagus dari apa yang Wadi pikirkan.
Wadi pun menulis dan terus menulis sebagaimana kenyataan demi kenyataan tersibak di depan matanya. Mesin tik bertuah. Mesin tik keramat, itulah kesimpulan yang dibikinnya. Dia menulis dari hari ke hari di sebuah rumah baru yang dikontraknya hampir satu tahun ini. Sebuah rumah dengan banyak pintu berjajar di dindingnya. Sampai pada akhirnya, datanglah dia. Seorang perempuan bertubuh tambun dan bersuara keras dan kasar, seperti tak berpendidikan. Perempuan beranak dua dengan suami yang kerja di luar kota itu tinggal tak jauh dari rumahnya, bersebelahan.
Setelah mengetahui bagaimana perilaku orang-orang di sekitar rumahnya, Wadi mengambil sikap introvert sejak saat itu. Tak mau dia dianggap sok dekat, dan lagi, tak mau dia berurusan dengan orang lain, sebagaimana orang-orang zaman sekarang yang sudah sangat individualis, tak hanya di kota tapi juga di desa. Di desa di kaki gunung tempat Wadi “bersemedi” dulu.
Belumpun sampai satu minggu, Wadi harus menghadapi kenyataan jika tetangga barunya itu ternyata suka bikin rusuh. Bikin onar. Apa salahnya, pikirnya, menjadi bulan-bulanan perempuan itu hingga dengan lidah tak bertulang Wadi menjadi bahan pergunjingannya. Kenal tidak, tahu pun boro-boro, tapi bisa-bisanya perempuan itu mengata-ngatainya. Andai dinding tak bertelinga. Sayangnya, Wadi mendengar dengan telinganya sendiri bagaimana perempuan itu mengatai-ngatainya. Padahal, Wadi tak pernah bikin masalah. Apakah karena Wadi bersikap introvert sampai-sampai dia harus kena getahnya?
Wadi mencoba bertahan dengan keadaan itu untuk beberapa waktu. Tapi, ketahanan itu pun ternyata hanya isapan jempol saja. Setiap hari dia harus mendengar perempuan itu berbicara kasar dan lantang, menyebutkan sumpah serapah dan segala macam jenis binatang, pun kata-kata ejekan yang membuat kuping Wadi merah bukan kepalang. Sungguh keadaan tidak lagi aman, tentram, apalagi nyaman. Tak hanya soal dunia tulis menulisnya saja yang terganggu, tapi juga seluruh kehidupannya. Inilah yang membuatnya tidak betah. Ketidakbetahan yang dia rasakan di tempat-tempat tinggal sebelumnya.
Ingin Wadi melabrak perempuan itu seandainya bisa. Tapi Wadi sadar, dia bukanlah siapa-siapa di desa antah berantah itu. Berurusan dengan perempuan itu sama saja berurusan dengan semua penduduk desa. Masalah bikin rusuh, manusia memang gampang sekali dibawa.
Dan tiba-tiba, di sore hari yang hampir buta, ketika dia bangun dari tidurnya yang terganggu karena teriakan yang keras dari dinding sebelah, Wadi menatap mesin tik itu. Ditatapnya dengan mantap mesin tik bertuah itu dan bagai sebuah mata pisau yang berkilat di atas meja, sebuah cerita pun muncul entah dari mana. Bunuh! Begitulah kata pertama terbit di kepalanya. Tanpa pikir panjang, Wadi pun mulai memasukkan kertas ke dalam ros mesin tik dan mulai bercerita. [Fim Anugrah/Saswaloka]
Subang, 05 Juni 2012
No comments:
Post a Comment