Sebuah
halaman kosong dan cursor yang berkedip, tidaklah seperti sebuah kata tanpa
kerja. Tidak pula seperti kata kerja tanpa subjek. Dia bukan angan-angan yang
diharapkan datangnya di siang bolong seraya ongkang-ongkang kaki dengan mata
melotot dan mulut menganga: hanya sebatas berandai tapi tidak pernah (mulai)
berkarya.
Lihatlah bumi, alam beserta isinya. Iklim dan cuaca; bangunan dan jalan
raya; peralatan dan perlengkapan sehari-hari yang memudahkan dan menyempurnakan
hidup. Semuanya berubah, berkembang meninggalkan yang lama dan menciptakan yang
baru. Lebih maju! Produk barang seperti halnya alat komunikasi: telepon
genggam, IPad dan tablet; cincin perak, bros bermata mutiara atau hanya peniti,
bukanlah hanya sebatas materi. Semua itu ada dan mengada, dan sama pentingnya
dengan keberadaan yang membuatnya ada. Karena sebuah eksistensi materi bagaimanapun
sama dengan eksistensi manusia itu sendiri: Si Pembuat “ada.”
Makhluk bernama manusia ini memang benar-benar hebat. Dia bisa melakukan
apa saja yang ingin dilakukannya. Seperti para pelaut dari Cina—dan bukannya
Colombus, mereka bisa menemukan benua Amerika untuk pertama kalinya; atau Neil
Armstrong yang menjejakkan kakinya di bulan. Apa yang tidak bisa manusia taklukkan?
Tidak ada! Mereka dan kita sama saja. Sama-sama bertulang, berdaging, berhati
dan berpikiran. Hematnya, sama-sama manusia. Satu-satunya hal yang membedakan,
satu hal yang begitu sangat signifikan adalah, bagaimana seorang manusia bisa
dan mampu “mengeksploitasi” dirinya sendiri: Sehebat apa tubuhnya digerakkan?
Sejauhmana pikirannya dimanfaatkan?
Sungguh, ketakutan kita bukanlah tentang bagaimana kita tidak bisa mendapatkan
apa yang kita inginkan dan mewujudkan yang dicita-citakan. Ketakutan terbesar
kita adalah tentang bagaimana tubuh dan pikiran itu, ternyata, bisa melampaui
batas-batas kewajaran tubuh dan pikiran itu sendiri semata untuk mengetahui
bahwa setiap manusia, siapa pun dia, bisa melakukan apa yang ingin
dilakukannya, mendapatkan apa yang ingin didapatkannya. Adakalanya, tubuh
seseorang bisa lebih hebat dari pikirannya; dan pikiran seseorang yang hebat,
adakalanya kalah dengan tubuhnya sendiri. Itulah duduk perkaranya. Inilah
masalahnya.
Bukankah kita senang sekali bermimpi, berkhayal atau berandai-andai?
Menjadi seorang presiden, seorang pengusaha, pemilik kodominium berlantai tiga
ratus dengan kolam renang seluas satu hektar, atau hanya menjadi seorang
penulis saja yang banyak menulis buku best seller atau menulis satu buku
saja dan kemudian meninggal dunia? Semua itu boleh-boleh saja. Tidak ada yang
bisa melarang atau bahkan merenggut mimpi itu, tak satu orang pun. Malah harus!
Sekali lagi, bermimpi itu harus, wajib hukumnya!
Tanpa mimpi, apalah artinya hidup seseorang di dunia? Bukankah hidup
mengajarkan pada kita, bahkan sekalipun kita mendapatkan lebih banyak kegagalan
ketimbang keberuntungan, pada akhirnya dan pada ujungnya kita mendapatkan juga yang
terbaik untuk kita, yang memang khusus diperuntukkan bagi kita dan bukan bagi
orang lain. Tidak selamanya kan seorang manusia hidup dalam
keterpurukan? Pastilah oposisi biner itu akan juga didapatkan dan dijalani oleh
manusia itu: suka-duka, miskin-kaya, sendiri-mendua. Dan itu adalah keniscayaan
yang bernama hukum alam manusia!
Akan tetapi permasalahannya adalah, sampai kapan kita akan terus
bermimpi untuk kemudian mulai mewujudkan mimpi itu? Karena selama cursor
itu masih berkedip dan halaman itu tetap kosong, menjadi seorang penulis
hanyalah isapan jempol belaka. Dengan kata lain: mimpi itu adalah cursor
yang berkedip. Selama jari belum menekan satu tombol pun di atas keyboard,
maka mimpi hanyalah mimpi—sesuatu yang belum bisa dipuji apalagi dibanggakan
karena memang tak ada yang bisa dibanggakan.
Selama keadaan itu tetap ada maka selama itu pula mimpi tak lebih dari
sekadar bayang-bayang atau hantu yang menganggu tidurmu. Kita bisa saja
bermimpi menjadi seorang penulis dan berjanji untuk menulis dan menerbitkan
buku. Tapi mungkin, entah karena tidak mendapat inspirasi atau terlalu sulit
untuk memulai meski untuk mengetik satu patah kata sekalipun, maka setan
dipundak akan bersiap-siap mengibarkan panji kemenangannya. Dan terbitlah malas
di pundakmu, malas di kepalamu, malas di jarimu, malas di seluruh tubuhmu;
karenanya, tidurlah kamu bersama mimpi itu, bersama janji-janji lainnya di atas
kasur dan di pelukan gulingmu. Hingga pada akhirnya, engkau lupa dengan janji
dan mimpimu itu. Tak apa. Berjanjilah sesuka hatimu sebagamana engkau tidak
menepati janji yang kaubuat sendiri untuk mimpi-menjadi-penulismu itu. Bukankah
tak ada sanksi atau hukuman untuk janji yang engkau buat? Sayangnya, secara
tidak langsung engkau sudah membohongi diri sendiri, membohongi janji dan mimpi
yang kau buat itu.
Berhentilah di sana, di keadaan di mana kau limbung, bimbang dengan
mimpimu, dengan hidupmu sesudah tidur. Kau bisa saja menendang mimpi itu
seperti halnya kau menendang janji yang kau buat, dan selanjutnya kau lakukan
apa yang kau mau tanpa sedikitpun mempedulikan mimpi itu. Itu tak masalah.
Dunia akan terus berputar dan hidup akan terus berjalan dan semua akan
baik-baik saja. Dan kau bisa saja mempunyai mimpi selain itu, dan itu bagus.
Mungkin menjadi penulis tidak cocok untukmu. Bagusnya kau menjadi seorang
bankir saja, atau pemilik restoran, atau mungkin makelar limbah plastik saja?
Jangan salah, seorang makelar limbah disinyalir berpenghasilan lima juta dalam
sebulan, bahkan lebih dari itu apabila sudah punya cabang. Bukankah lima juta
itu setara dengan satu naskah buku yang kau ajukan ke penerbit seyogianya
naskah itu diterbitkan menjadi buku nantinya? Apapun mimpimu, yang penting
tetap berkarya. Tak harus melulu menjadi penulis. Menjadi apapun, bisa!
Tetapi sekiranya hati dan pikiranmu berkata lain, dalam artian
ujung-ujung syaraf di otakmu dan detak jantungmu masih saja menyebut-nyebut
kata “buku”; maka sebaiknya kau bertanya pada dirimu lagi. Tanyakan: Benarkah
aku ingin menjadi penulis dan menerbitkan buku? Jangan terlalu cepat-cepat
menjawab. Pikirkan saja dulu dengan baik dan penuh perenungan. Seandainya kau
menjawab “ya,” buatlah catatan tentang bagaimana kau sudah membohongi dirimu
untuk janji yang pertama itu. Jika sudah, maka pilihan ada padamu: melanjutkan
janji yang pertama itu atau membuat mimpi baru dengan ide untuk buku yang kau
memang impi-impikan. Sesungguhnya mimpi satu kali itu lebih baik dari apa pun
yang ada di muka bumi ini. Karena selanjutnya, kerja nyatalah yang harus kau
lakukan. Hematnya, mimpilah satu kali dan berkerjalah berpuluh-puluh,
beratus-ratus bahkan beribu-ribu kali. Inilah yang menentukan dari semuanya,
dari mimpi yang hendak kauwujudkan.
Jika sudah seperti itu mulailah bekerja. Andaikata kau sudah mendapatkan
ide atau inspirasi atau apalah itu
namanya, maka mulailah mengetik. Ciptakan kata-kata, kalimat, paragraf, sub-bab
demi sub-bab untuk bukumu itu lewat cursormu yang berkedip itu, yang haus meminta
belas dan kasihmu, sayang dan sabarmu. Hembuskan roh pada kata-katanya itu
dengan hati sebagaimana engkau menyayangi barang kesayanganmu, sebagaimana
engkau merawat tanaman-tanamanmu yang tumbuh dan mekar penuh cinta. Buang
jauh-jauh rasa malasmu sebagaimana kau membuang jauh-jauh segala macam hambatan
baik yang kecil maupun yang besar, sama percisnya kau menendang jauh-jauh setan
yang duduk di pundakmu dan membisikimu tentang kemalasan, tentang kebosanan,
tentang ide yang tak kunjung datang, tentang betapa susahnya menulis, dan
tentang bagaimana menulis itu merupakan pekerjan yang tidak asyik, tidak
menyenangkan. Bagaimanapun, ketika kau sudah memulai dan tengah menulis, godaan
dan hambatan itu tidak akan berhanti mengganggumu. Dia akan terus datang menggelitikimu
sampai akhirnya kau menyerah, kau pasrah dan akhirnya kau meninggalkan
pekerjaan menulismu itu di tengah-tengah jalan. Kau kalah! Dan setan itu, akan
kembali memancangkan bendera kemenangannya untuk kedua kali, atau mungkin entah
ke berapa kalinya.
Sungguh, jangan hiraukan semua godaan itu; dan hambatan itu, sepatutnya
harus kau hancurkan, jika kau memang sayang dengan cursor-mu itu, dengan
halaman kosong yang minta untuk dihidupi dengan kata-kata, kalimat dan
paragrafmu itu, dengan mimpimu itu. Jangan
dulu pedulikan titik, koma, atau apaun tanda baca sekiranya kau bingung ketika
kau sedang menulis. Karena hal-hal teknis itu urusan belakang. Sama halnya ketika
kau membuat kue bolu pengantin, hiasan itu selalu dibuat belakangan! Intinya, jangan
pedulikan apapun yang terjadi. Saat ini, hanya kau dan cursor dan
halaman kosong yang tengah menciptakan dirinya sendiri. Oya, dan tekadmu yang
bulat tentang mimpi itu. Menciptakan buku. Pacarilah mereka dengan setia
(proses menulis) hingga kau menikah (menyelesaikan tulisanmu) dan akhirnya kau
pun kawin dan melahirkan anak (menerbitkan buku).
Ingat, bakat itu tidak berarti apa-apa tanpa adanya kerja keras dan kesabaran.
Jika sudah seperti itu, jangan kau buang-buang waktu untuk membaca tulisan ini.
Segeralah menulis dan menjadi penulis dan mewujudkan cita-citamu. Apa pun yang
terjadi, sekalipun banjir datang, gempa meradang dan gunung meletus, kau akan
tetap menulis. Itu baru namanya penulis sejati! (FA/"Saswaloka")