Apa
yang harus aku ceritakan, selain kesibukan yang terus belanjut kulakukan.
Setelah sibuk dengan segala macam tetek bengek UTS di sekolah kedua (GRAMI),
kembali aku kembali ke sekolah pertama (Pagelaran 3) tanpa sedikit pun membawa
harapan atau sekaligus berharap jika di tempat ini aku bisa bernapas panjang.
Tak sebatas mengajar tapi juga bisa “hidup” menghidupi hidupku. Walau, aku tahu
betapa sia-sia berkata seperti ini karena semua itu sudah berlalu, dan sungguh
tak pantas untuk dipertanyakan lagi.
Beberapa
bulan di sekolah kedua, telah bisa kurasakan perbedaan. Perbandingan yang pada
akhirnya memengaruhi keadaan diriku, jalan hidupku dan hal-hal yang berhubungan
dengan kesejahteraan dan cita-citaku. Dua kran ternyata memang cukup membuatku
aman ketimbang satu. Tapi cita-cita, sekali lagi aku bersengketa dengan waktu
yang belum sampai aku miliki. Sampai kapan aku bisa memiliki waktu untuk duduk,
berpikir dan menohok-nohokkan jari jemariku menguntai kata mencipta kalimat demi
kalimat, paragraf, cerita yang utuh bernama novel itu. Novel yang membuatku
terus-terusan membuat mimpi tentang kasih pertama. Aku melahirkan “bayi” dan
kuberikan untuknya. Betapa mimpi yang abrusbd, aneh, abstrak dan sungguh
teramat surealis. Aku mungkin tak mengerti apa maksudnya, tapi aku paham jika
hal ini akan menyampaikanku pada sesuatu. Entah apa. Yang pasti ada. Hanya
waktu—bukan untuk ditunggu—yang harus aku buat. Aku harus membuat waktuku
sendiri untuk itu. Untuk cita-cita ini.
Aku
takut. Bukan karena aku tak bisa melakukan hal yang seperti ini: menulis. Tapi
karena aku sudah tak lagi bisa berbicara. Bicara yang lancar dan baik di depan
orang-orang. Entah karena otakku bekerja lebih cepat, atau karena lidahku
terlalu terlambat (atau mungkin terlalu cepat?) bergerak, sehingga aku tak lagi
bisa berbicara dengan rapi dan teratur. Tata bahasa sudah hilang dari lidahku. Dan
karenanya aku seakan tak bisa mengenal dunia. Ketika kalimat teramat kacau,
maka bukan tak mungkin persepsiku atas dunia (atau bahkan duniaku itu sendiri)
memang sudah kacau, tak bisa diungkapkan dengan sistematika yang baik oleh
perangkat yang bernama bahasa itu. Jika sudah sepert itu, apakah mungkin aku
bisa menulis dan bercerita, menulis cerita dengan baik jika keadaanku seperti
ini?
Pernah
aku menyangsikan kata dan bahasa, suatu hari ketika di bangku kuliah telah aku
baca banyak buku. Bukan karena di buku itu penulis menggunakan persona pertama
atau bahkan persona ketiga, atau bahkan seabreg metode penyampaian lainnya.
Tapi aku yakin jika para penulis itu hanya tahu apa yang mereka tahu—lantas
menceritakannya dalam sebuah tulisan—dan tak pernah benar-benar tahu apa yang
sebenarnya terjadi sebagai sebuah pengetahuan. Lihat saja buku-buku sejarah.
Banyak penulis menulis tentang sejarah karena mereka tahu, entah dari buku atau
dari narasumber lainnya, yang artinya apa yang mereka tulis berasal dari
“katanya” orang. Tapi jika harus ditanya apakah sejarah itu sendiri berbicara
sesuai dengan apa yang orang tuliskan tentangnya? Kita tak pernah tahu. Dan
memang, sangat tidak mungkin sebuah Sejarah berbicara kata ia hanya fakta yang
terbentang dimana mata manusialah yang harus menerjemahkan dan menuliskannya.
Sayangnya, kita juga tahu, jika mata adalah media yang tidak bisa dipercaya. Ia
gampang dimanipulasi.
Jika
tidak, bagaimana mungkin ada fenomena dimana seorang manusia bisa melihat
realita sedang yang lainnya bisa melihat dunia lain yang tak semua orang bisa
lihat. Indigo, begitulah orang-orang menyebut mereka. Seandainya aku seorang
indigo, atau bahkan mungkin anda, mungkinkah orang-orang akan percaya dengan
apa yang aku atau anda lihat? Seandainya aku harus menceritakan kebenaran
sedang orang-orang tak lantas percaya dengan apa yang aku ceritakan, apa yang
harus aku lakukan? Jawabnya: Aku akan terus mencoba. Mungkin itulah jawaban
terbaik, sebagaimana yang diungkapkan Denzel Washington di filmnya yang
berjudul De Javu.
Tapi
kembali kepada masalah bahasa, makhluk yang satu ini sempat aku tak percaya.
Meski jika harus dipertanyakan, di antara banyak hal yang ada di alam semesta
ini, apa yang lalu harus percaya selain bahasa? Jawabannya tak ada. Tak harus
kita membuat alasan karena hidup dengan banyak alasan adalah hidup yang tak
nikmat untuk dijalani, begitu ucap Protagoras. Dan demikian pula aku terhadap
bahasa. Aku cinta bahasa karena aku cinta. Dan itu sudah menjadi sangat cukup
bagiku.[Saswaloka/FA]
Pic: http://learntoembracethestruggle.com/you-do-have-time/